Teori Degradasi Sumber daya

23 eksplisit membahas depresiasi sumber daya perikanan. Model-model dasar di atas melihat bahwa depresiasi terjadi manakala input yang digunakan atau output yang dihasilkan terlalu belebihan model Gordon dan Copes. Pada model Clark dan Munro melihat bahwa depresiasi sumber daya akan terjadi manakala penggunaan input maupun tingkat panen tidak mengikuti trajektori optimal yang ditentukan oleh aspek intertemporal sumber daya ikan itu sendiri.

2.4. Teori Degradasi Sumber daya

Definisi degradasi agak bersifat subjektif, memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Misalnya, untuk sumber daya hutan, sebagian orang mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu pointtitik dimana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi adalah suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Sedangkan menurut Oldeman 1992 mengatakan bahwa degradasi adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas baik saat ini maupun masa mendatang dalam memberikan hasil. Degradasi sumber daya dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain karena permintaan yang tinggi terhadap jasa ekosistem akibat pesatnya pertumbuhan ekonomi, perubahan demografis dan pilihan-pilihan individu individual choice, serta mekanisme pasar yang tidak menjamin keberlangsungan jasa konservasi ekosistem. Wilayah pesisir memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumber daya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi kekayaan sumber daya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an phenomena degradasi biogeofisik sumber daya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumber daya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari muara sungai. 24 Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan overfishing, termasuk udang, ikan demersal, pelagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan terganggu. Penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan teknologi penangkapan semacam ini banyak terjadi di daerah-daerah. Teknologi penangkapan yang digunakan umumnya menyebabkan kerusakan dan kehancuran sumber daya perikanan. Teknologi tersebut misalnya penggunaan alat tangkap trawl, potassium cyanide, dan penggunaan bom ikan. Dari hasil penelitian para peneliti ekonomi sumber daya dari International Center for Living Aquatic Resource Management ICLARM yang melakukan kajian tentang hal tersebut. Salah satu kesimpulan dari kajiannya adalah nelayan terdorong atau terpaksa menangkap ikan dengan cara-cara merusak destructive karena kesalahan manajemen sumber daya perikanan ICLARM 1992. Selanjutnya dikatakan bahwa jika manajemen sumber daya perikanan itu tidak dilakukan dengan baik, akhirnya akan terjadi kelebihan penangkapan ikan overfishing. Tangkap lebih ini dibagi dalam beberapa tipe bergantung pada tingkat keseriusannya, yaitu: 1. Recruitment overfishing, yaitu kondisi ikan-ikan muda juvenile yang ditangkap secara berlebihan sehingga tidak ada pertumbuhan stok ikan dewasa yang berasal dari ikan dengan kelompok usia yang lebih muda. Dengan kata lain, pertumbuhan stok ikan dewasa hanya terjadi melalui penambahan ukuran berat ikan dewasa yang tersisa. 2. Biologically overfishing, yaitu kondisi penangkapan ikan yang telah mencapai tahap melebihi hasil tangkapan maksimum lestari MSY. Hal ini berarti ikan yang ditangkap melebihi kemampuan maksimum stok ikan untuk tumbuh secara alami dan berkelanjutan. Biologically overfishing akan membuat stok 25 sumber daya ikan menurun secara drastis dan akhirnya membuat perikanan berhenti secara total. 3. Economically overfishing, dimana upaya penangkapan ikan secara berlebihan melalui investasi armada penangkapan secara besar-besaran, namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat hanya pada tingkat sub optimum lebih rendah dari tingkat maksimum yang dapat dihasilkan. Pada kondisi seperti ini, berarti industri penangkapan ikan beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi, oleh karena itu kondisi seperti tidak lagi efisien. 4. Malthusian overfishing. Kondisinya sama seperti yang dikemukakan Malthus, yaitu pertumbuhan penduduk begitu cepat, sedangkan pertumbuhan produksi pangan untuk menghidupi penduduk sangat lambat. Dalam perikanan kondisi ini berarti ada sedikit ikan yang tersedia di laut dan diperebutkan oleh banyak nelayan. Malthusian overfishing terjadi ketika pemerintah sebagai manajer sumber daya perikanan tidak mampu dan tidak berhasil menata dan mengelola kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan rakyatnya. Akibatnya, setiap nelayan berkompetisi secara bebas, maka timbul daya kreasi setiap orang untuk mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dan cepat. Daya kreasi itu diwujudkan dengan dihasilkannya atau direkayasakannya metode dan teknik menangkap ikan yang cepat dan efisien secara ekonomi, namun ternyata merusak dan merugikan lingkungan. Metode dan teknik yang digunakan antara lain: bom, dinamit, racun, aliran listrik, serta alat-alat penangkap ikan yang kontemporer bersifat merusak. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan, jika tidak dilakukan, orang lain yang akan melakukannya tragedy of common Malthusian overfishing adalah perlombaan untuk meraih keuntungan dengan cara yang salah dan membawa dampak kerugian bagi semua orang Nikijuluw 2002. Permasalahan degradasi sumber daya perikanan dan kemiskinan di wilayah pesisir sangat kompleks dan melibatkan berbagai kepentingan, degradasi dapat terjadi akibat tangkap lebih dan kemiskinan. Namun degradasi juga dapat menjadi sebab terjadinya kemiskinan. Beberapa variabel kunci yang 26 menyebabkan terjadinya hubungan timbal balik antara kemiskinan dan degradasi sumber daya pesisir dan laut, yaitu: ketidakstabilan pendapatan, rendahnya akses masyarakat dan rendahnya kontrol mereka dalam pengelolaan sumber daya laut. Belajar dari kelemahan masyarakat tersebut maka upaya pemberdayaan harus mengacu pada upaya mengatasi kelemahan-kelemahan pokok masyarakat pesisir agar mereka berdaya dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan Hidayati 2000. Seperti diketahui bahwa sebagian besar sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia telah mengalami degradasi, dimana faktor penyebabnya yang dominan adalah karena aktivitas manusia. Namun demikian pada dasarnya masih belum banyak dilakukan penilaian seberapa besar sebenarnya laju dari degradasi dan depresiasi dari sumber daya pesisir dan laut ini termasuk sumber daya perikanan, hal ini disebabkan karena memang belum ada teknik pengukuran besaran laju degradasidepresiasi khusus untuk sumber daya perikanan. Model matematis untuk menghitung besaran laju degradasi sumber daya lahan yang dilakukan oleh Amman and Durraipah 2001 dalam penelitian mengenai Land Tenure and Conflict Resolution: A Game Theoretic Approach in the Narok District in Kenya, adalah sebagai berikut: φ = t , i Avg q qi e + 1 1 2.8 q i,t Avg = q it jika V j dl jt i ≤ 0 2.9 d q q it Avg t , i = 2.10 Variabel q i,t adalah komponen degradasi yang disebabkan oleh agent i dari seluas lahan tertentu. Jika output q i,t seluas tertentu ha lebih besar dari kemampuan daya dukung lingkungan carrying capacity pada waktu t, maka kehilangan efisiensi dalam bentuk faktor degradasi akan muncul. Peneliti menggunakan fungsi logistik untuk menjelaskan hal ini, seperti persamaan di atas. Variabel Avg t , i q secara mendasar akan menangkap efek degradasi bersama dari pemilik dan penyewa lahan Anna 2003. 27 Untuk aplikasi bidang perikanan, laju degradasi Amman dan Durraipah dimodifikasi sebagai berikut Anna 2003 : δ α δ h h h D − = 2.11 dimana : D = persentase degradasi = δ h Produksi sustainable = α h Produksi aktual Sementara koefisien degradasi dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini : α δ Φ h h D e + = 1 1 2.12 Untuk laju depresiasi pada dasarnya sama dengan laju degradasi, hanya menggunakan parameter-parameter ekonomi, sebagai berikut : α δ Π Π Φ e D + = 1 1 2.13 Dimana : φ, = Laju depresiasi δ Π = Rente sustainable α Π = Rente aktual.

2.5. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen. Surplus Konsumen