Konflik Lahan Tambak dan Mangrove

153 sederhana untuk mengurangi resiko serangan penyakit terhadap ikan dan udang dengan tetap berpegang pada upaya menjaga kualitas lingkungan. 7. Penggunaan bahan kimia yang cenderung menimbulkan residu atau ancaman terhadap lingkungan harus dihindari. Meskipun antibiotik tidak biasa dipergunakan di dalam pertambakan tradisional, penggunaan bahan- bahan kimia untuk persiapan tambak sering dilakukan dan untuk itu harus dicarikan alternatif solusinya dan selanjutnya dimasyarakatkan. 8. Rehabilitasi dan operasi tambak harus dilakukan agar dapat memberi manfaat bagi masyarakat setempat dan pemerintah provinsi. Rehabilitasi, selain memang sangat diperlukan untuk mata pencaharian masyarakat di wilayah pesisir, juga harus dilakukan agar dapat memaksimalkan lapangan pekerjaan dan keuntungan sosial bagi masyarakat serta dapat menghindarkan terjadinya konflik sosial. Oleh karena itu, rehabilitasi memerlukan rancangan yang sensitif untuk menanggapi berbagai masalah sosial. Prinsip-prinsip ini dapat dikembangkan menjadi seperangkat pedoman untuk diterapkan secara umum dalam konteks mendukung rehabilitasi tambak di Aceh, melalui proses konsultasi dengan pemerintah, NGOs dan petambak. Jika pedoman dan prinsip lingkungan ini telah dikembangkan, selanjutnya akan dibuat materi penyuluhan dan pelatihan menurut keperluan. Kegiatan ini dapat dilaksanakan oleh pemerintah, NGOs dan lembaga-lembaga lainnya yang terlibat di dalam rehabilitasi tambak di Aceh.

4.12. Konflik Lahan Tambak dan Mangrove

Tahun dimulainya usaha budidaya tambak berbeda-beda untuk masing- masing daerah di Aceh. Di desa Neuheun, Lam Nga, dan Gampong Baru Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar budidaya tambak dimulai sejak 1963 ditandai dengan dibentuknya kelompok pembudidaya tambak. Budidaya tambak di Kecamatan Bandar Baru Kabupaten Pidie mulai tahun 1950-an. Sementara di Desa Lambaro Skep Kecamatan Kuta Alam dan Desa Tibang Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh budidaya tambak dimulai tahun 1974. 154 Di Kecamatan Jeunib dan Samalanga Kabupaten Bireuen serta Kecamatan Seunedon dan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara dimulai pada tahun 1947-an. Budidaya tambak secara besar-besaran di Provinsi Nanggroe Aceh terjadi antara tahun 1977-1995, seperti terlihat pada Gambar 49. Pada waktu itu harga udang di pasaran sangat tinggi sehingga memicu para pembudidaya untuk membuka lahan tambak secara besar-besaran. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah terpaksa menebang hutan mangrove dan rawa-rawa di pesisir pantai untuk dikonversidiubah fungsinya menjadi tambak. 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000 45,000 1969 1972 1975 1978 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 Luas Tambak Gambar 49. Perkembangan Luas Tambak di Provinsi Nanggroe Darussalam NAD Tahun 1969 – 2003. Gambar 49 menunjukkan bahwa pembangunan tambak dimulai tahun 60- an dan mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 90-an, setelah itu perkembangan tambak mulai menurun. Dalam kurun waktu tersebut dikonversi lahan di atas 15.000 ha hingga akhir tahun 60-an dan meningkat hampir mencapai 40.000 ha pada akhir tahun 90-an. Wilkinson et al. 2006 menyatakan bahwa penebangan jutaan hektar hutan mangrove untuk pembangunan tambak merupakan penyebab utama berkurangnya hutan mangrove di Indonesia. Yayasan Pugar mengidentifikasi beberapa penyebab berkurangnya hutan mangrove di Aceh, antar lain adalah konversi mangrove untuk lahan tambak dan 155 penebangan mangrove baik untuk rumah tangga maupun untuk tujuan komersil. Pada level rumah tangga, mangrove biasanya digunakan untuk bahan bangunan dan kayu bakar, sedangkan untuk tujuan komersial penebangan mangrove untuk bahan baku industri arang dan kayu log untuk ekspor ke Malaysia dan Singapore Sharma 2005. Pembangunan tambak dituding sebagai penyebab utama rusak atau hilangnya hutan mangrove di kawasan pesisir. Ada konflik penggunaan lahan antara untuk tambak dan hutan mangrove, ketika tambak di bangun maka hutan mangrove harus dikorbankan. Ada interaksi negatif antara luas hutan mangrove dan luas tambak di daerah penelitian. Semakin tinggi luas tambak, maka akan semakin berkurang luasan hutan mangrove. Trajektori luas tambak, di daerah penelitian, di awal periode pengamatan terus meningkat, namun mulai tahun 1996 meskipun ada peningkatan, tetapi relatif kecil dan luasan tambak mulai agak stabil. Hal ini disebabkan, mulai tahun 1995 usaha tambak udang windu di Aceh terinfeksi penyakit virus yang cukup parah, sehingga sebagian besar tambak udang ketika itu mengalami gagal panen. Himpunan Alumni IPB 2006 menyatakan bahwa pemanfaatan hutan mangrove untuk perikanan budidaya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tambak terbuka, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan tambak tumpangsari, yang lebih lestari terhadap lingkungan. Menurut Perum Perhutani, rasio tumpang sari tambak dan mangrove yang ideal adalah 20:80 20 tambak ikan dan 80 hutan mangrove. Lebih jauh dikatakan bahwa dewasa ini luasan hutan mangrove semakin berkurang, sehingga iklim mikro di tambak tidak nyaman untuk pertumbuhan udang. Misalnya, ketika saing hari dimana cuaca panas terik, maka udang tidak ada tempat berteduh karena tidak ada mangrove. Kondisi ini akan berpengaruh pada menurunnya produksi dan nilai jual udang. Berdasarkan skenario pembobotan parameter ekologi dan ekonomi didapatkan bahwa rasio tambak dan mangrove 50:50 dan 60:40 merupakan nilai optimum bagi pemanfaatan hutan mangrove secara lestari, baik secara ekologi maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa para pembudidaya tambak diperbolehkan meningkatkan luas tambak sampai 50 atau 60 dari luas total mangrove untuk 156 meningkatkan keuntungan ekonomi mereka dengan tetap dapat mempertahankan ekosistem mangrove secara lestari. Jika luas tambak lebih dari 80 luas total mangrove, maka ekosistem mangrove tidak akan mampu mendukung sistem kehidupan secara lestari dan kerusakan lingkungan pesisir tidak dapat dihindari. Jika konsep perbandingan tambak mangrove 50 : 50 atau 60 : 40 di atas diterapkan, dan jika luas kotor tambak di Provinsi NAD pada Tahun 2003 adalah 36.615 ha, maka luas hutan mangrove ideal antara 14 646 – 18 307.5 hektar. Ada beberapa hal yang menarik dari perkembangan budidaya tambak di Provinsi Aceh, khususnya jika dikaitkan dengan keberadaan hutan mangrove. Pertama, alih fungsi hutan mangrove untuk budidaya tambak lebih banyak terjadi di Pantai Barat Aceh, yaitu Banda Aceh dan Aceh Besar, dibandingkan dengan tambak-tambak di Bireuen, Pidie, Aceh Utara dan Lhokseumawe merupakan, yang sebagian besar merupakan alih fungsi lahan sawah, terutama sawah-sawah yang berada di sekitar pantai dan muara sungai. Kedua, konversi kawasan hutan mangrove untuk budidaya tambak mulai marak pada awal dekade tahun 1960-an, pada saat investor dari Medan menyediakan pembiayaan bagi kelompok-kelompok pembudidaya tambak satu kelompok terdiri dari 40 orang, dengan syarat hasil udang harus dijual kepada investor yang bersangkutan. Tawaran itu ditanggapi dengan penuh antusias oleh masyarakat, hanya dengan Surat Izin Menggarap yang dikeluarkan Keuchik kepala desa setiap orang bisa menggunakan lahan yang tidak terpakai sebagian besar merupakan hutan mangrove untuk budidaya tambak. Pembabatan hutan mangrove untuk budidaya udang semakin meluas pada pertengahan tahun 1970- an, baik oleh masyarakat setempat maupun oleh investor dari luar Aceh. Hal ini berkaitan dengan tersebarnya rekomendasi teknis dari konsultan Kantor Perikanan Provinsi Aceh, yang menyatakan bahwa pohon mangrove di sekitar tambak dapat meningkatkan keasaman air tambak melalui daun dan akar pohon mangrove, yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas tambak, khususnya budidaya udang. Pada tahun 1987, setelah berlangsung lebih dari sepuluh tahun, Dinas Perikanan melakukan kampanye penanaman kembali pohon mangrove, sembari membantah rekomendasi teknis sebelumnya. 157 Ketiga, perkembangan tambak di Provinsi Aceh khususnya untuk budidaya udang mencapai titik balik pada tahun 1995. Pada sekitar tahun 1995 muncul penyakit virus, bakteri dan jamur pada udang yang menyebabkan sebagian besar tambak gagal panen. Diduga akibat pencemaran tambak akibat eksploitasi lahan tambak yang berlebihan. Banyak budidaya udang ditinggalkan investor, dan pembudidaya tambak mengalihkan usaha dengan memelihara ikan bandeng.

4.13. Interaksi Mangrove dan Sumber daya Perikanan