157 Ketiga, perkembangan tambak di Provinsi Aceh khususnya untuk
budidaya udang mencapai titik balik pada tahun 1995. Pada sekitar tahun 1995 muncul penyakit virus, bakteri dan jamur pada udang yang menyebabkan
sebagian besar tambak gagal panen. Diduga akibat pencemaran tambak akibat eksploitasi lahan tambak yang berlebihan. Banyak budidaya udang ditinggalkan
investor, dan pembudidaya tambak mengalihkan usaha dengan memelihara ikan bandeng.
4.13. Interaksi Mangrove dan Sumber daya Perikanan
Beberapa teori menyatakan bahwa ada hubungan positif antara ekosistem mangrove dengan produksi perikanan tangkap. Pemikiran tersebut didasarkan
pada fungsi hutan mangrove yang antara lain adalah sebagai daerah asuhan nursery ground, mencari makan feeding ground, pemijahan spawning ground
berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan kerang Bengen 2002. Ekosistem mangrove di Provinsi NAD adalah sebagai tempat habitat
berbagai macam ikan, crustacean, mollusca, dan burung serta mendukung kehidupan reptile dan mamalia. Masyarakat percaya bahwa akar mangrove dapat
berperan dalam melindungi ikan kecil dari pemangsa. Ketika ikan dewasa, mereka meninggalkan payau dan pindah ke estuaria, karang, dan laut lepas. Ikan
utama yang dapat ditangkap di ekosistem mangrove sepanjang Pantai Barat Aceh adalah udang, kerapu, kakap, teri, bandeng, dan lain-lan.
Untuk melihat interaksi ini digunakan data time series selama 21 tahun 1984 – 2004 dari produksi udang dan beberapa jenis pelagis kecil yang
ditangkap dengan alat tangkap pukat pantai, payang, dan jaring klitik. Data yang digunakan untuk menganalisis bahagian ini adalah hanya data dari Kabupaten
Aceh Besar. Hal ini dilakukan karena sulitnya mendapatkan data time series luasan mangrove di kabupatenkota lainnya atau Aceh secara keseluruhan pada
periode 1984 – 2004. Hasil perhitungan diperoleh parameter biologi sebagai berikut : Koefisien pertumbuhan r = 0,7158, koefisien daya tangkap q = 2.85E-
05 dan carrying capacity K = 7460,57 serta rata-rata produksi aktual adalah 1181,83 ton.
158 Model yang digunakan untuk mengetahui interaksi antara ekosistem
mangrove dan sumber daya perikanan tangkap adalah model Fozal Efrizal 2005, dengan formula 3.57. Rumus ini diturunkan dari kurva yield-effort model
logistik, yaitu dengan memasukkan variabel hutan mangrove pada daya dukung lingkungan carrying capacity. Hasil analisis menunjukkan ada interaksi positif
antara keberadaan ekosistem mangrove dengan produksi perikanan tangkap, khususnya udang dan pelagis kecil. Interaksi tersebut digambarkan oleh
persamaan model Fozal, yaitu : h
t
= 0,6883E
t
+ 5,23623E
t 2
Lampiran 38. Perbedaan produksi perikanan baseline dan model Fozal seperti terlihat pada
Tabel 41. Tabel 41. Perbedaan antara produksi sumber daya perikanan baseline
dengan Model Fozal.
Perbedaan Tahun
Effort Ribu
Trip Produksi
Lestari Baseline
Ton Mangrove
ha Produksi
Lestari dari Mangrove
Ton Produksi
Ton Persentase
1984 5 475 909.89
974.30 183.01
726.87 20.11
1985 5 673 933.30
949.64 195.60
737.70 20.96
1986 5 729 939.87
909.04 198.21
741.67 21.09
1987 5 542 917.93
857.99 184.03
733.90 20.05
1988 5 627 927.96
794.10 187.47
740.48 20.20
1989 5 659 931.69
722.38 186.89
744.80 20.06
1990 5 483 910.86
632.52 172.02
738.83 18.89
1991 5 819 950.17
536.33 188.55
761.61 19.84
1992 6 560
1 030.10 456.77
232.95 797.15
22.61 1993 6
218 994.40 390.44
204.17 790.23
20.53 1994
6 913 1 064 89
337.20 245.62
819.27 23.07
1995 6 907
1 064 36 290.20
238.90 825.45
22.45 1996
8 324 1 182 97
271.00 341.68
841.28 28.88
1997 8 667
1 206 53 268.80
369.59 836.94
30.63 1998
8 967 1 225 56
263.60 394.05
831.51 32.15
1999 8 888
1 220 70 260.50
386.36 834.33
31.65 2000
9 370 1 248 72
258.10 428.37
820.35 34.30
2001 9 216
1 240 19 256.80
414.12 826.07
33.39 2002
10 169 1 286 53
253.70 502.47
784.06 39.06
2003 10 333
1 292 94 251.50
517.85 775.09
40.05 2004
11 896 1 331 34
250.00 684.56
646.79 51.42
Rerata 7 497
1 086 23 485.00
307.45 778.78
27.21
Secara grafik, trajektori produksi lestari sumber daya perikanan baseline dan produksi dari kontribusi mangrove Model Fozal seperti terlihat pada
159 Gambar 50. Dari Tabel 41 dan Gambar 50 menunjukkan bahwa ekosistem
mangrove memberikan kontribusi sebesar 27.21 terhadap produksi sumber daya perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam NAD. Dengan kata lain,
lebih dari 25 produksi pelagis kecil di darah penelitian dikontribusikan oleh adanya ekosistem mangrove. Artinya, peran ekosistem mangrove cukup penting
dalam menentukan tinggi rendahnya produksi perikanan tangkap, khususnya ikan pelagis kecil, udang dan kerang yang bersimbiosis dengan ekosistem mangrove.
200 400
600 800
1000 1200
1400
19 84
19 86
19 88
19 90
19 92
19 94
19 96
19 98
20 00
20 02
20 04
Tahun P
roduk s
i to
n
Lestari Baseline Lestari Mangrove
Gambar 50. Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal. Beberapa penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara ekosistem
mangrove dengan eksistensi dan produksi sumber daya perikanan, antara lain : Efrizal 2005 menyatakan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi
44,18 terhadap produksi sumber daya ikan demersal di Kabupaten Bengkalis, Riau. Paw and Chua 1989 menyatakan bahwa ada hubungan positif antara luas
area mangrove dengan penangkapan udang penaeidae di Philipina. Martusobroto dan Naamin 1979 menyatakan bahwa ada hubungan positif antara hasil
tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Lebih jauh dijelaskan hubungan tersebut bersifat linier dengan persamaan y = 0,06 + 0,15x,
dimana y adalah hasil tangkapan udang tontahun dan x adalah luas hutan mangrove ha.
160 Suatu penelitian yang dilakukan Ruitenbeek 1992 tentang analisis
ekonomi pengelolaan ekosistem mangrove di teluk Bintuni, Irian Jaya, menunjukkan bahwa nilai net benefit tahunan mangrove sekitar US 235. Dari
keseluruhan nilai tersebut kegiatan perikanan fisheries memberikan kontribusi terbesar sekitar US 117 49.79 , diikuti oleh kegiatan kehutanan forestry
sekitar US 67 28.51 , pemanfaatan oleh masyarakat lokal local uses sekitar US 33 14.04 , fungsi keanekaragaman hayati biodiversity US 15 6.38 ,
dan fungsi penahan erosi US 3 1.28. Menurut Sudarmono 2005, sekitar 30 persen produksi perikanan laut
tergantung pada eksistensi hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan berbagai biota laut, termasuk beberapa jenis ikan
tertentu. Daun mangrove yang jatuh menjadi detritus yang dapat menambah kesuburan kawasan sehingga menjadikan tempat ini disukai oleh biota laut
tersebut dan menjadikannya sebagai tempat bertelur, memelihara larva, dan tempat mencari makan bagi berbagai spesies akuatik, khususnya udang penaeidae
dan ikan banding. Menyadari pentingnya hutan mangrove bagi pertumbuhan ikan dan
berbagai biota laut lainnya, maka rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, ketersediaan stok ikan di perairan
Aceh akan semakin memprihatinkan. Sebagai konsekuensinya, para nelayan kecil yang menangkap ikan di sekitar perairan pantai dengan menggunakan boat atau
perahu kecil akan semakin sulit mendapatkan hasil yang memadai. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan mereka.
Belum ada data yang konkrit tentang luas hutan mangrove di Aceh. Data yang ada bervariasi dan berbeda antara satu instansilembaga dengan yang
lainnya. Menurut Departemen Kehutanan 2004, diacu dalam Medrilzam 2005 bahwa luasan hutan mangrove Propinsi NAD diperkirakan mencapai sekitar 346
838 ha, seperti terlihat pada Tabel 42.
161 Tabel 42. Perkiraan luas hutan mangrove di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam NAD. Lokasi Pantai
Panjang Garis Pantai Km
Luas Hutan Mangrove Ha
Pantai Utara - Timur 761
296 078 Pantai Barat - Selatan
706 49 760
Pulau Simeulue 1 000
1 000 Total
2 467 346 838
Sumber : Siaran Pers Dephut No.S.32IIPIK-12004 dan Data Dephut 2001 dan WIIP
Menurut Wetlands International-Indonesia Program, hingga tahun 2000, hutan mangrove yang kondisinya masih baik di NAD hanya lebih kurang seluas
30 000 ha termasuk hutan mangrove yang terdapat di pesisir Pulau Simeuleu. Hutan mangrove yang rusak mencapai 25 000 ha dan hutan mangrove yang rusak
sedang seluas 286 000 ha. Menurut Philips and Budhiman 2005 dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NAD 2004, luas hutan mangrove di Aceh
seperti tercantum pada Tabel 43. Kedua sumber data pada Tabel 43 terlihat sangat bervariasi, namun secara
umum dapat disimpulkan bahwa hutan mangrove di Pantai Timur jauh lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove di Pantai Barat. Hal ini ada hubungannya
dengan type pantai dari kedua wilayah ini, dimana pantai timur lebih landai dibandingkan dengan pantai barat. Diperkirakan sekitar 85 persen dari luas hutan
mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir Pantai Timur Aceh, sisanya 15 persen berada di Pantai Barat dan Pulau Simeulue. Jenis mangrove
yang dominan di Pantai Timur Aceh adalah Avicennia, spp dan Rhizophora mucronata
, sedangkan di Pantai Barat adalah Nypha fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya dan di Pulau Simeulue adalah jenis Rhizophora apiculata
Kusmana 2005. PT Geotray Bhuana 2006 menyatakan mangrove yang dominan di kedua pantai di Aceh adalah Rhizophora apiculata dan Avicennia
marina .
162 Tabel 43. Perkiraan luas hutan mangrove di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam NAD tahun 2003.
Perkiraan Luas Hutan Mangrove ha LOKASI
Philips and Budhiman 2005 DKP Prov. NAD 2004a
PANTAI TIMUR
- Sabang -
40.00 - Banda Aceh
683.20 30.20
- Aceh Besar 1 007.50
90.00 - Pidie
5 012.40 91.00
- Bireuen 5 146.90
20.00 - Lhokseumawe
1 027.50 -
- Aceh Utara 9 337.00
- - Langsa
51.20 2 150.00
- Aceh Timur 12 590.00
20 430.00 - Aceh Tamiang
8 855.00 -
Sub Total 43 710.70
22 851.20 PANTAI BARAT
- Aceh Jaya 320.30
- - Aceh Barat
49.50 40.00
- Nagan Raya -
80.00 - Aceh Barat Daya
34.00 325.00
- Aceh Selatan 12.00
62.00 - Aceh Singkil
- -
- Simeulue -
-
Sub Total 415.80
507.00 TOTAL
44 126.50 23 358.20
Sumber : The WorldFish 2006.
Menurut Wet Land Internasional 2005, berdasarkan RePPProT 1985 – 1989, luas hutan mangrove di Aceh semula mencapai 60 000 ha. Jumlah tersebut
berkurang drastis menjadi sekitar 20 000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986 – 1990 dan kini diperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10 000
– 12 500 ha. Data ini berbeda jauh dengan data Dephut yang digunakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi BRR Aceh-Nias saat ini, luasnya mencapai 168
840 ha dengan akumulasi kerusakan sebelum dan sesudah tsunami 105 260 ha. Akibat gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, hampir 100 persen
hutan mangrove di Pantai Barat Aceh mengalami rusak total, terutama mangrove yang berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Total luas
mangrove di kedua kabupatenkota ini diperkirakan mencapai 27 000 ha.
163 Sedangkan untuk Pantai Timur Aceh, yang dimulai dari Kabupaten Pidie,
Bireuen, sampai Aceh Tamiang, mengalami kerusakan yang bervariasi. Secara umum, semakin ke arah timur arah ke Medan tingkat kerusakan semakin ringan.
Untuk Kabupaten Pidie, diperkirakan tingkat kerusakan hutan mangrove sekitar 75 persen, Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara mencapai 30 persen,
sedangkan Aceh Timur, Kota Langsa, dan Tamiang relatif tidak rusak. Jika luas kerusakan hutan mangrove 105 260 ha, seperti yang dilaporkan
DEPHUT, maka ke depan memerlukan sumber daya yang cukup besar dan kerja keras untuk mengembalikan hutan mangrove yang rusak tersebut. Bahkan Aceh
dengan panjang garis pantai sekitar 2 467 km memerlukan hutan mangrove lebih dari 200 000 ha sebagai buffer zone atau greenbelt yang berfungsi untuk
mencegah erosi dan abrasi serta mengurangi energi gelombang tsunami. Untuk itu, pemerintah, NGOs, dan lembaga donor lainnya telah mulai melakukan
penanaman kembali areal mangrove yang rusak karena tsunami. Luas hutan mangrove yang sudah direhabilitasi selama 2 tahun terakhir dapat dilihat pada
Tabel 44. Table 44. Rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD 2005-2006.
Sumber : BRR database www.e-aceh-nias.org
, dikunjungi pada 5 September 2006
Target rehabilitasi Ha Realisasi rehabilitasi Ha
Kabupaten 2005
2006 2005
2006
Pantai Barat 6278
21 25
21
Aceh Barat 1,251
- 1
- Aceh Barat Daya
- -
- -
Aceh Jaya 5,023
21 23
21 Aceh Selatan
- -
- -
Aceh Singkil -
- -
- Nagan Raya
- -
- -
Simeulue 4 -
1 -
Pantai Timur 2293
149 260
85
Aceh Besar 1,763
9 13
Aceh Timur -
- -
- Bireuen -
- -
- Pidie 92
75 92
75 Banda Aceh
254 50
Lhokseumawe 0 -
- Sabang 184
15 155
10
Total 8571 170
285 106
164 NGO Yagasu, misalnya, pada 15 April 2005 telah menanam kembali
replanting 10 000 batang mangrove, dan dalam 3 bulan ke depan akan menanam hingga 20 000 batang di Kota Banda Aceh. Selain melakukan replanting, NGO
Mercy Corp juga melakukan pembibitan seedling dimana pada November 2005 telah mencapai 130 000 bibit mangrove, Pusat Pengembangan Potensi Pesisir dan
Lautan P4L telah menanam 5 000 batang mangrove di Meureubo Aceh Barat, Dinas Perkebunan dan Kehutanan di tiap kabupatenkota dengan proyek
“Gerhan” Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan telah menanam 7 150 ha mangrove yang terdiri dari 2 550 ha di Pantai Barat dan 4.600 ha di Pantai
Timur Aceh. Disamping itu, masih banyak NGOs lain yang melakukan replanting mangrove, seperti : Oxfam, Forum Kumunikasi Generasi Muda Aceh Barat
GEMAB, Indonesian Department of Education and Permaculture IDEPT, Dinas Perkebunan dan Kehutanan di Tiap KabupatenKota dengan proyek, dan
lain-lain. Namun, hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa survival rate
penanaman mangrove sangat rendah, diperkirakan 50 persen. Rendahnya tingkat tumbuh mangrove ini disebabkan cara penanaman
mangrove yang dilakukan tidak memenuhi standar atau persyaratan teknis. Umumnya jenis mangrove yang telah ditanam kembali pasca tsunami adalah
Rhizophora mucronata yang disebut bakau dengan jarak tanam yang sangat
rapat sekitar 20 – 30 cm. Bibit mangrove ditanam oleh masyarakat setempat dengan sistem upah per batang cash for work. Mereka tidak mempunyai
pengetahuan yang memadai untuk menanam dan merawat mangrove. Padahal, secara teoritis setiap jenis mangrove membutuhkan persyaratan teknis yang
berbeda antara satu dan lainnya, misalnya persyaratan unsur hara, tekstur tanah, salinitas air, ketahanan terhadap gelombang, dan lain-lain. Apalagi kondisi lahan
di Aceh yang dipercayai sudah mengalami banyak perubahan akibat tsunami. Akibatnya, suatu spesies mangrove yang tumbuh baik di suatu darah sebelum
tsunami, maka setelah tsunami belum tentu jenis yang sama akan cocoksesuai ditanam kembali, perlu ada analisis awal tentang kesesuian lahan.
Menurut penelitian Kusmana 2005 tekstur tanah di Pantai Timur Aceh adalah berpasir sand, liat loam, dan liat berlumpur silt loam, jenis mangrove
yang dianjurkan adalah Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba,
165 Rhizophora mucronata
. Sedangkan di Pantai Barat tekstur tanahnya adalah berpasir sand, liat loam, liat berpasir sandy loam, jenis mangrove yang
dianjurkan adalah Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Aegiceras floridum,
dan Phemphis acidula cantigo. Selain itu, jenis Nypha fruticans
yang tumbuh lebih kearah daratan juga cocok ditanami, khususnya di Pantai Barat Aceh. Lebih jauh dikatakan bahwa lahan potensial untuk penanaman
mangrove di Aceh pasca tsunami adalah 447 061 ha, yang terdiri dari 297 464 ha di lahan kahayan KHY, 61 888 ha di lahan kajapah KJP, dan 87 709 ha di
lahan puting PTG. Belajar dari kegagalan masa lalu dimana tingkat keberhasilan survival
rate penanaman mangrove yang cukup rendah, maka kedepan perlu adanya
penanaman dan pengelolaan mangrove yang terorganisir. Untuk itu, perlu dibentuk formulasi perencanaan manajemen mangrove Mangrove Management
Plan . Perencanaan manajemen ini termasuk penilaian secara sistematis dan
komperehensif dari luas area hutan mangrove yang rusak karena gelombang tsunami dan mengidentifikasi luas area yang dibutuhkan dan cocok untuk
penanaman kembali mangrove. Semua ini harus mempertimbangkan faktor-faktor biologi lingkungan dan sosial ekonomi yang mungkin mempengaruhi
pemanfaatan mangrove ke depan dan pembangunan suatu konsep untuk menilai spesies yang paling cocok untuk ditanami kembali. Pemilihan spesies harus
didasarkan pada penelitian kesesuaian lahan, keuntungan ekonomi, dan kesesuaian lingkungan dan ekonomi jangka panjang.
Untuk mewujudkan tahapan di atas, diperlukan suatu pusat sumber daya rehabilitasi hutan mangrove untuk capacity building. Untuk membantu
mendapatkan masyarakat yang mendukung pembangunan perencanaan manajemen, perlu dibentuk suatu network pusat capacity building di sepanjang
pantai. Lembaga harus dikenal luas oleh masyarakat dan harus sukses dalam jangka panjang. Tujuan center ini termasuk : untuk meningkatkan akses informasi
kepada masyarakat tentang pentingnya rehabilitasi mangrove, untuk melakukan training dalam usaha penanaman mangrove, menyediakan informasi dalam opsi-
opsi pemanfaatan hutan mangrove ke depan. Selain itu, juga mengadakan
166 pelatihan menyangkut pengusahaan nursery, rehabilitasi mangrove, reklamasi
lahan yang terintrusi garam tinggi, dan manajemen pengelolaan sumber daya. Untuk mengetahui luasan mangrove dan tingkat effort optimal yang dapat
diterapkan sebagai suatu kebijakan di Provinsi NAD digunakan model Fozin-2 persamaan 3.58. Hasil analisis dengan menggunakan software GAMS diperoleh
nilai-nilai seperti terlihat pada Tabel 45. Tabel 45. Luas Mangrove dan effort aktual dan optimal di Provinsi NAD
Mangrove Effort
Lokasi aktual
optimal aktual
optimal Pantai Timur
43 710.00 100 946.70
87 226.06 105 950.00
Pantai Barat 415.80
13 029.91 64 024.20
74 456.00
Philips dan Budhiman 2005
4.14. Integrasi Analisis Bio-ekonomi Perikanan di NAD