Analisis Instrumen Kebijakan Efisiensi

101 sustainable rent . Perbedaan rente optimal dan lestari di lokasi penelitian seperti pada Tabel 16 dan Gambar 35. Secara keseluruhan, nilai perbedaan rente baik di Pantai Timur maupun Barat Aceh bersifat positif, artinya rente masih dapat ditingkatkan, namun perlu hati-hati karena terlihat bahwa trend perbedaan rente tersebut berpola semakin menurun. Oleh karena itu, ke depan perlu pengendalian input dengan baik, supaya nilai ekonomi dari sumber daya pelagis di daerah penelitian dapat ditingkatkan.

4.9. Analisis Instrumen Kebijakan Efisiensi

Instrumen kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis efisiensi, yang dilakukan dengan menggunakan teknik Data Envelopment Analysis DEA non konvensional dengan pendekatan DEA dari Haynes dan Dinc 1999, diacu dalam Anna 2003. Teknik ini memungkinkan dilakukan analisis efisiensi secara intertemporal. Model yang digunakan adalah seperti yang telah dijelaskan pada Bab 3, yaitu dengan menggunakan persamaan 3.65. Analisis unit fisik dan moneter diacu pada Fauzi dan Anna 2002, yang menjadi input adalah unit effort dan yang menjadi output adalah produksi aktual dan lestari serta yang menjadi DMU Decision Unit Making adalah tahun dan lokasi penelitian Pantai Timur dan Pantai Barat. Hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan software DEA-Solver disajikan pada Tabel 17 dan Gambar 36 dan 37. 102 Tabel 17. Skor efisiensi unit fisik DEA Pantai Timur dan Barat Aceh. Skor DEA DMU Pantai Timur Pantai Barat 1984 0.954 1.000 1985 0.955 0.987 1986 0.955 1.000 1987 0.941 0.992 1988 0.975 1.000 1989 0.984 0.958 1990 0.998 0.887 1991 0.972 0.841 1992 0.960 0.736 1993 0.979 0.725 1994 0.975 0.809 1995 1.000 0.744 1996 0.949 0.695 1997 1.000 0.644 1998 0.933 0.653 1999 0.824 0.698 2000 0.812 0.646 2001 0.752 0.618 2002 0.725 0.558 2003 0.682 0.537 2004 0.660 0.570 DM U 0 .1 0 .2 0 .3 0 .4 0 .5 0 .6 0 .7 0 .8 0 .9 1 1 9 9 5 1 9 9 0 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 2 1 9 8 5 1 9 9 6 1 9 9 8 2 0 0 0 2 0 0 2 2 0 0 4 D M U Effic ie nc y Gambar 36. Skor efisiensi Decision Making Unit untuk Pantai Timur Aceh. 103 DM U 0 .1 0 .2 0 .3 0 .4 0 .5 0 .6 0 .7 0 .8 0 .9 1 1 9 8 4 1 9 8 8 1 9 8 5 1 9 9 0 1 9 9 4 1 9 9 2 1 9 9 9 1 9 9 8 1 9 9 7 2 0 0 4 2 0 0 3 D M U Effic ie nc y Gambar 37. Skor efisiensi Decision Making Unit untuk Pantai Barat Aceh. Dari Tabel 17 dan Gambar 36 terlihat bahwa untuk Pantai Timur, efisiensi tertinggi terjadi pada tahun 1995 dan 1997 yaitu mencapai 100 dan efisiensi terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu 66. Namun, dari awal periode pengamatan tahun 1984 hingga tahun 1998 mempunyai nilai efisiensi cukup tinggi yaitu di atas 90, setelah itu tingkat efisiensi menurun tajam Gambar 36. Hal ini sesuai dengan analisis sebelumnya, baik dengan analisis sustainable yield effort dengan copes eye ball method atau analisis laju degradasi. Semakin tinggi laju degradasi, maka semakin tidak efisien pengelolaan sumber daya perikanan. Untuk Pantai Barat, tingkat efisiensi tertinggi terjadi pada tahun 1984, 1986, dan 1988 yaitu mencapai 100 dan terendah terjadi pada tahun 2003, yaitu 53,7. Namun mulai awal periode pengamatan, tahun 1984, hingga tahun 1989 tingkat efisiensi relatif tinggi, yaitu lebih dari 90. Setelah tahun 1989, tingkat efisiensi mulai menurun hingga mencapai 57 pada tahun 2004 Gambar 37. Secara umum, jika tahun pengamatan sebagai DMU, terlihat bahwa tingkat efisiensi lebih tinggi terjadi di Pantai Timur Aceh dibandingkan dengan efisiensi di Pantai Barat. Hal ini sejalan dengan laju degradasi dan depresiasi yang lebih tinggi terjadi di Pantai Barat Aceh. Perbandingan skor efisiensi pada Pantai Timur dan Pantai Barat Aceh dapat dilihat pada Gambar 38. 104 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun Sk o r Ef is ie n s i D EA Pantai Timur Pantai Barat Gambar 38. Trajektori skor efisiensi DEA Pantai Timur dan Barat Aceh. Dari Gambar 38. terlihat bahwa tingkat efisiensi pengelolaan perikanan pelagis di Pantai Timur relatif stabil mulai dari awal tahun pengamatan hingga tahun 1998, setelah itu mulai menurun, sedangkan di Pantai Barat, tingkat efisiensi relatif tidak stabil, kecuali beberapa tahun dari awal periode pengamatan hingga tahun 1989, setelah itu menurun tajam. Secara umum, dapat dikatakan bahwa telah terjadi pola yang semakin tidak efisien pada pengelolaan perikanan baik di Pantai Timur maupun Barat. Hal ini disebabkan telah terjadi peningkatan jumlah kapalarmada fleet beroperasi yang cukup tinggi selama periode pengamatan. Walaupun peningkatan input diikuti oleh peningkatan output, namun penambahan output ini masih di bawah proporsi penambahan input, sehingga tingkat efisiensinya rendah. Oleh karena itu, ke depan perlu dilakukan penyesuaian adjust effort agar inefficiency tidak semakin tinggi. Untuk mengetahui potensi perbaikan efisien dapat dilihat pada Tabel 18. 105 Tabel 18. Potensi perbaikan efisiensi dari Decision Making Unit DMU. DMU Perbedaan Effort Perbedaan Produksi Aktual Perbedaan Produksi Lestari Pantai Timur Pantai Barat Pantai Timur Pantai Barat Pantai Timur Pantai Barat 1984 -0.046 0.000 37.71 0.00 0.00 0.00 1985 -0.045 -0.013 31.76 0.00 0.00 0.00 1986 -0.045 0.000 18.79 0.00 0.00 0.00 1987 -0.059 -0.008 12.11 0.00 0.00 0.00 1988 -0.025 0.000 9.40 0.00 0.00 0.00 1989 -0.016 -0.042 28.47 0.00 0.00 0.00 1990 -0.002 -0.113 0.00 0.00 0.00 0.00 1991 -0.028 -0.159 9.40 0.00 0.00 0.00 1992 -0.040 -0.264 0.00 0.00 0.00 0.00 1993 -0.021 -0.275 0.00 0.00 0.00 0.00 1994 -0.025 -0.191 0.00 0.00 0.00 0.00 1995 0.000 -0.256 0.00 1.20 0.00 0.00 1996 -0.051 -0.305 0.00 9.56 0.00 0.00 1997 0.000 -0.356 0.00 0.00 0.00 0.00 1998 -0.067 -0.347 0.00 0.00 0.00 0.00 1999 -0.176 -0.302 0.00 4.70 0.00 0.00 2000 -0.188 -0.355 0.00 9.33 0.00 0.00 2001 -0.248 -0.382 1.86 0.00 0.00 0.00 2002 -0.275 -0.442 0.00 0.00 0.00 0.00 2003 -0.318 -0.463 26.13 0.00 0.00 0.00 2004 -0.340 -0.430 0.00 0.00 0.00 1.47 Tabel 18 menunjukkan bahwa untuk perbaikan efisiensi, tidak ada peluang lagi untuk menambah effort, justru yang perlu dilakukan adalah mengurangi effort rata-rata 22.34 untuk Pantai Timur dan 9.59 untuk Pantai Barat. Dari Tabel 18 juga terlihat bahwa pengurangan effort semakin akhir periode pengamatan, semakin tinggi. Disisi lain, untuk meningkatkan efisiensi output di Pantai Timur maka dapat dilakukan penambahan produksi aktual pada beberapa tahun selama periode pengamatan dengan kisaran sebesar 1.86 - 37.71. Penambahan produksi aktual ini sebagian besar hanya dapat dilakukan diawal periode pengamatan, yaitu tahun 1984 – 1989, sedangkan akhir periode pengamatan tidak ada peluang untuk menambah output, kecuali tahun 2001 dan 2003. Sedangkan untuk Pantai Barat, hanya empat tahun 1995, 1996, 1999, dan 2000 yang boleh dilakukan penambahan produksi dengan kisaran 1.20 - 9.56. Penambahan output ini relatif sangat kecil dibandingkan dengan output di Pantai Timur. Untuk produksi lestari, baik di Pantai Timur maupun Barat, tidak ada peluang lagi untuk 106 menambah produksi zero growth. Secara grafik efisiensi effort dan produksi di Pantai Timur dan Barat Aceh dapat dilihat pada Gambar 39. -50.00 -45.00 -40.00 -35.00 -30.00 -25.00 -20.00 -15.00 -10.00 -5.00 0.00 198 4 198 6 198 8 199 199 2 199 4 199 6 199 8 200 200 2 200 4 Tahun Po te n s i Pe rb a ik a n Ef fo rt Pantai Timur Pantai Barat a 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 198 4 198 6 198 8 199 199 2 199 4 199 6 199 8 200 200 2 200 4 Tahun P o ten si P er b ai k an P ro d u k si A kt u al Pantai Timur Pantai Barat b Gambar 39. Potensi perbaikan effort a produksi aktual b di Pantai Timur dan Barat Aceh. 107 Jika yang dijadikan DMU adalah lokasi penelitian, yaitu Pantai Timur dan Barat Aceh, maka untuk mencapai efisiensi di Pantai Timur perlu dikurangi effort 25.46 dan sebaliknya dapat ditingkatkan produksi 0.52. Sedangkan di Pantai Barat tidak ada ruang untuk menambah baik output maupun input. Jika dihitung lebih jauh, pengurangan effort 25.46 dari 45 219.47 trip di Pantai Timur adalah 11 512.88 trip. Kalau angka 11 512.88 trip dikali dengan biaya operasional per trip Rp 748 327.99, maka menghasilkan opportunity cost Rp 8.62 milyar atau 2.94 dari sektor-sektor PDRB sektor kelautan dan perikanan Provinsi NAD. Dengan diketahui skor nilai efisiensi tahunan melalui perhitungan DEA, maka dapat dihitung kapasitas perikanan di Provinsi NAD, seperti terlihat pada Tabel 19, Lampiran 40 dan 41. Tabel 19. Kapasitas perikanan tangkap di Pantai Timur dan Pantai Barat Provinsi NAD Rp juta Pantai Timur Pantai Barat Tahun Effort Aktual Effort Efisien Over Kapasitas Opp cost Rp Juta Effort Aktual Effort Efisien Over Kapasitas Opp cost Rp Juta 1984 36 381.38 34 708.94 1 672.44 387.87 13 489.98 13 489.98 0.00 0.00 1985 36 235.03 34 607.17 1 627.86 415.01 14 790.14 14 595.00 195.13 50.31 1986 36 209.48 34 589.37 1 620.11 448.06 14 456.01 14 456.01 0.00 0.00 1987 38 162.97 35 926.84 2 236.13 825.85 19 295.64 19 137.70 157.94 58.99 1988 33 436.07 32 609.32 826.76 310.10 20 097.41 20 097.41 0.00 0.00 1989 32 243.98 31 728.25 515.73 248.67 22 362.90 21 423.38 939.52 458.11 1990 30 383.10 30 383.10 0.00 0.00 26 509.15 23 512.92 2 996.23 1 744.97 1991 33 836.81 32 901.41 935.40 494.50 27 724.70 23 310.01 4 414.69 2 360.11 1992 35 518.32 34 104.93 1 413.39 818.41 37 606.88 27 674.62 9 932.26 5 815.90 1993 32 915.69 32 226.95 688.74 424.45 38 668.53 28 035.49 10 633.04 6 626.51 1994 33 522.88 32 672.76 850.12 559.44 31 170.26 25 232.15 5 938.11 3 951.66 1995 30 087.56 30 087.56 0.00 0.00 36 052.27 26 820.06 9 232.21 6 873.06 1996 37 204.42 35 306.59 1 897.83 1 850.67 41 194.26 28 647.36 12 546.90 12 372.74 1997 34 276.03 34 276.03 0.00 0.00 47 797.65 30 790.70 17 006.95 17 466.63 1998 42 014.51 39 188.00 2 826.51 2 883.99 46 658.77 30 484.43 16 174.33 16 688.91 1999 57 415.98 47 287.33 10 128.65 10 418.74 40 951.73 28 569.40 12 382.32 12 880.24 2000 59 134.66 48 042.58 11 092.08 12 036.71 46 873.19 30 257.69 16 615.50 18 233.35 2001 68 253.02 51 308.34 16 944.68 19 345.48 50 375.21 31 140.82 19 234.39 22 206.63 2002 73 360.11 53 215.71 20 144.40 24 137.15 58 633.40 32 728.05 25 905.35 31 389.12 2003 81 790.86 55 812.15 25 978.71 32 596.23 63 546.33 34 151.33 29 395.00 37 297.62 2004 87 226.06 57 575.46 29 650.59 38 879.34 64 024.20 36 521.55 27 502.65 36 468.52 Rata-rata 45 219.47 38 978.99 6 240.48 7 003.84 36 298.98 25 765.53 10 533.45 11 092.54 Tabel 19 menunjukkan bahwa telah terjadi kelebihan kapasitas selama periode pengamatan di Provinsi NAD, kecuali tahun 1990, 1995, dan 1997 untuk 108 Pantai Timur dan tahun 1984, 1986, dan 1998 untuk Pantai Barat dimana kelebihan kapasitas sama dengan nol. Kelebihan kapasitas tersebut semakin tinggi pada akhir-akhir periode pengamatan. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat eksploitasi sumber daya ikan di Provinsi NAD semakin intensif. Tingginya tingkat eksploitasi ini disebabkan 1 perikanan tangkap merupakan alternatif pekerjaan akhir bagi masyarakat di Provinsi NAD, 2 untuk bekerja di sektor ini relatif mudah dan bisa kapan saja mudah keluar masuk pasar karena sifatnya yang open access, 3 banyaknya shifting tenaga kerja dari perikanan budidaya tambak ke perikanan tangkap mulai pertengahan tahun 90-an karena ketika itu budidaya tambak di Provinsi NAD kurang diminati akibat wabah virus, seperti MBV dan WSV White Spot Virus, produksi tambak menurun drastis bahkan di beberapa tempat mengalami gagal panen, 4 faktor keamanan di lahan atas yang tidak kondusif karena konflik antar GAM dan RI menyebabkan masyarakat lebih aman mencari nafkah di laut sebagai nelayan penuh atau sambilan. Akibat kelebihan kapasitas, maka telah terjadi opportunity cost yang cukup tinggi, khususnya pada akhir-akhir periode pengamatan di Provinsi NAD. Rata-rata nilai opportunity cost tersebut, berkisar antara Rp 7 milyar - Rp 11 milyar selama periode pengamatan, seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan produktif lainnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Jika dikonversi kelebihan kapasitas tersebut kedalam unit penangkapan ikan armada, maka dapat diperoleh jumlah unit armada yang efisien seperti terlihat pada Tabel 20. 109 Tabel 20. Efisiensi armada di Provinsi NAD Tahun Aktual Armada Efisien Armada Kelebihan Kapal 1984 8 755 8 554 201 1985 9 008 8 746 262 1986 9 248 9 041 207 1987 11 337 10 958 379 1988 12 099 11 949 150 1989 14 590 14 167 423 1990 14 095 13 298 797 1991 13 704 12 424 1 280 1992 16 516 14 006 2 510 1993 16 994 14 480 2 514 1994 18 025 16 080 1 945 1995 14 723 12 838 1 885 1996 17 303 14 227 3 076 1997 13 687 11 252 2 435 1998 14 179 11 244 2 935 1999 14 581 11 091 3 490 2000 11 908 8 681 3 227 2001 11 288 7 732 3 556 2002 11 288 7 245 4 043 2003 17 413 10 620 6 793 2004 15 576 9 583 5 993 Dari Tabel 20 terlihat bahwa telah terjadi kelebihan armada selama periode pengamatan di Provinsi NAD, dan tingkat kelebihan armada tersebut menunjukkan pola trend yang terus meningkat dari tahun ke tahun, hal ini berkaitan dengan banyaknya shifting tenaga kerja dan investasi dari bidang tambak dan pertanian upland ke bidang perikanan tangkap karena berbagai alasan, antara lain usaha tambak sudah tidak ekonomis karena wabah virus udang dan juga faktor keamanan yang tidak kondusif akibat konflik GAM dan RI. Perbedaan jumlah armada aktual dan efisien tersebut semakin nyata setelah pertengahan tahun 90-an, karena ketika itu sedang mewabah virus udang di Aceh. Perbedaan tertinggi terjadi pada tahun 2003 dan terendah tahun 1998, sedangkan tahun 2004 kelebihan armada mencapai 5 993 unit. Secara grafik trend perbedaan armada aktual dan efisien di Provinsi NAD dapat dilihat pada Gambar 40. 110 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun A rm a da u ni t Aktual Armada Efisien Armada Gambar 40. Trajektori jumlah aktual armada dan efisiensi armada di Provinsi NAD. Jumlah armada di Provinsi NAD sebelum tsunami Tahun 2004 adalah 15 576 unit DKP 2006. Jumlah kapalboat yang rusak dan hilang akibat tsunami adalah 11 124 unit yang terdiri dari 2 156 unit rusak dan 8 968 unit hilang FAO 2005a. Menurut The WorldFish 2005 jumlah kapalboat yang hilang akibat tsunami di Provinsi NAD adalah 9 636 unit Tabel 21. Banyak unit kapal yang telah diberikan kepada nelayan ternyata belum mampu meningkatkan produksi perikanan tangkap di Provinsi NAD. Gambar 41 menunjukkan bahwa jumlah armada setelah tsunami Tahun 2005 adalah 15 703 unit sudah lebih tinggi dari jumlah armada sebelum tsunami Tahun 2004 sebanyak 15 576 unit. Namun produksi Tahun 2005 81 162.70 ton jauh lebih rendah dibandingkan dengan produksi Tahun 2004, yaitu 102 721.40 ton. 111 Tabel 21. Performance armada di Provinsi NAD. Kondisi Armada Jumlah Armada unit Kode Sumber Data Jumlah armada sebelum tsunami 15 576 a DKP 2005; DKP 2006 Kapal hilangrusak FAO 11 124 b FAO 2005a The WorldFish 9 639 c The WorldFish 2005 Blue Print Aceh 9 563 d Medrilzam, et al. 2005 Sisa armada setelah tsunami FAO 4 452 e = a – b The WorldFish 5 937 f = a – c Blue Print Aceh 6 013 g = a – d Jumlah armada yang efisien 9 583 h Hasil analisis Jumlah armada yang perlu digantikan FAO 5 131 = h – e The WorldFish 3 646 = h – f Blue Print Aceh 3 570 = h – g Target BRR 7 000 BRR 2006 Realisasi 4 Juni 2006 6 160 BRR 2006 Jumlah kapal tahun 2005 15 703 DKP 2006 11.908 11.288 11.288 17.413 15.576 15.703 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 Tahun J lh a rm a da ri bu uni t 20 40 60 80 100 120 140 160 P roduk s i ri bu ton Jumlah armada Produksi Gambar 41. Perkembangan jumlah armada dan produksi perikanan tangkap periode tahun 2000 – 2005 di Provinsi NAD. Hasil perhitungan Tabel 21 menunjukkan bahwa dalam konteks efisiensi dan kelestarian sumber daya perikanan, jumlah armada baru untuk menggantikan armada yang rusakhilang karena tsunami di Provinsi NAD adalah antara 3 570 – 5 131 unit. Namun BRR merencanakan akan menggantikan armada baru 112 sebanyak 7 000 unit dan hingga 4 Juni 2006 telah didistribusikan sebanyak 6 160 unit BRR 2006. Jumlah tersebut dinilai sudah berlebihan, hal ini terbukti dari hasil survey di beberapa lokasi telah terjadi kelebihan armada over funded dibandingkan dengan jumlah nelayan dan bahkan ada nelayan yang mendapat armada baru lebih dari satu unit. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah armada di Provinsi NAD Tahun 2005 saja 15 703 unit sudah melebihi jumlah armada sebelum tsunami yang berjumlah 15 576 unit Gambar 41. Diperkirakan Tahun 2006 dan 2007, jumlah armada tersebut terus meningkat karena hingga kini masih terus disupply oleh berbagai lembaga NGOs. Namun harus diakui bahwa bantuan armada baru tersebut belum terdistribusi dengan baik. Pernyataan di atas, telah disinyalir oleh Mangkusubroto 2006 bahwa komitmen dana sebesar US 4.6 milyar hendaknya tidak membuat banyak kalangan segera berbesar hati. Penelusuran lebih jauh dari detail proyek kegiatan yang diajukan menunjukkan masih besarnya disparitas diantara beberapa sektor pembangunan. Akibatnya, terdapat sejumlah sektor yang bisa dikategorikan telah memperoleh surplus pendanaan alias over-funded, sementara yang lainnya malah kurang. Untuk mengatasi kesenjangan inilah BRR NAD-Nias menyusun serangkaian strategi implementasi pelaksanaan kegiatan. Di antaranya mencakup tindakan realokasi anggaran hingga upaya koordinasi dengan LSM, negara donor, dan pemangku kepentingan lainnya. Ikhtiar ini perlu terus bergulir agar komitmen pendanaan efektif yang telah diraih dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kebutuhan warga Aceh dan Nias. Bagi nelayan, kemungkinan terburuk dari upaya membangun kembali sektor perikanan adalah mungkin akan menyebabkan masyarakat pada arah penurunan kondisi perekonomian mereka secara nyata. Alasan pesimisme ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir sumber daya perikanan pantai di Indonesia telah mengalami over-fishing dan atau stok ikan telah menipis. Kendati biomas sumber daya pelagis di Aceh masih cukup tinggi, namun pada beberapa tahun selama periode pengamatan telah terjadi degradasi sekitar 26 - 27. Dengan memperhatikan kemungkinan kondisi telah merosotnya stok ikan di wilayah yang terkena tsunami, hal yang pasti adalah bahwa kondisi-kondisi ini tidak bisa dipulihkan sama seperti kondisi kapasitas penangkapan sebelum 113 tsunami. Namun resiko yang akan terjadi sangat nyata bila upaya rehabilitasi dikembangkan tanpa mempertimbangkan kompleksitas permasalahan yang ada dan didominasi oleh pilihan-pilihan yang mudah dan tidak bijaksana dengan hanya menggantikan perahu dan alat tangkap yang hilang. Hal itu merupakan suatu penyederhanaan yang berbahaya. Hal-hal berikut sangat mungkin terjadi jika rehabilitasi tidak ditangani dengan baik, yaitu : 1. Jumlah kapalboatperahu dan alat tangkap baru sangat mungkin akan lebih tinggi dibanding dengan yang digantikannya, jika bantuan yang diberikan tidak terkoordinasi dengan baik; 2. Ketika pilihan sumber mata pencaharian lain tidak tersedia, pendatang baru pada sektor perikanan diperkirakan akan masuk. Masuknya pendatang baru dapat difasilitasi dengan penyediaan perahu dan alat tangkap baru atau yang sejenisnya yang boleh jadi mengarah pada penerusan praktek penangkapan ikan yang bersifat merusak; 3. Meluasnya kerusakan pada habitat pantai seperti bakau mangroves dan membiarkan penebangan hutan dengan dalih rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh akan berpengaruh terhadap kelestarian sumber daya perikanan; 4. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa kelanjutan dari tipe pengelolaan perikanan bersifat open-access bagi masyarakat pantai, akan mendorong ke arah suatu kemunduran kualitas sumber daya dan sulit dipulihkan. Untuk mengatasi hal-hal di atas, koordinasi dan prioritas penggunaan dana dari donor harus dikaji kembali dan dengan jelas ditargetkan untuk menjamin masa depan jangka panjang masyarakat. Satu hal yang harus diperhatikan adalah, visi jangka panjang harus menjadi acuan bagi upaya rehabilitasi jangka pendek. Pemberian boatkapal dalam jumlah besar kepada nelayan tidak menjamin kehidupan yang lebih baik bagi mereka, malah dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek negatif terhadap income para nelayan dan kelestarian sumber daya. The WorldFish 2005 menyatakan bahwa membangun perahu tidak sama dengan membangun mata pencaharian. Ada beberapa alasan kenapa peningkatan armada setelah tsunami belum mampu meningkatkan produksi perikanan tangkap, antara lain adalah : 114 a. Sebagian besar kapalboat yang telah didistribusikan kepada nelayan berukuran kecil, panjang 5 – 7 meter dan 5 GT. Kapal-kapal tersebut hanya menangkap ikan di sekitar perairan pesisir, yang diduga telah mengalami penurunan depletion sumber daya ikan. b. Banyaknya “nelayan murni” yang meninggalhilang akibat tsunami. Sedangkan nelayan yang ada sekarang, sebagian merupakan nelayan sambilan dan “nelayan baru” yang sebelumnya bekerja sebagai pembudidaya tambak, petani atau profesi lainnya. Para nelayan baru ini belum mempunyai keahlian yang memadai untuk menangkap ikan. Penyebab utama dari banyaknya nelayan baru di pesisir Aceh karena banyaknya bantuan kapal dan alat tangkap di sektor perikanan, sehingga sektor ini menjadi serbuan para pencari kerja yang telah hilang pekerjaan akibat tsunami. Menurut The WorldFish 2006, di beberapa daerah pesisir di Pantai Barat Aceh telah terjadi peningkatan jumlah nelayan hingga 30 persen. c. Terjadinya lag pada sumber daya perikanan, artinya peningkatan effort pada tahun tertentu tidak langsung meningkatkan produksi pada tahun tersebut, namun peningkatan produksi akan terlihat pada tahun berikutnya.

4.10. Kondisi Perikanan Tangkap Setelah Tsunami