76
Struktur keorganisasian dalam kelompok hanya terdapat di 4 kelompok pengrajin anyaman, yaitu : 2 kelompok di Dusun Pasawahan, 1 kelompok di
Dusun Sukahaji, dan 1 kelompok di Dusun Cihuni. Kelompok tersebut memiliki struktur keorganisasian karena keempat kelompok tersebut pernah mendapat
bantuan dari pemerintah. Syarat untuk mendapat bantuan adalah adanya struktur organisasi kelompok. Oleh karenya mendorong anggota kelompok untuk
memilih ketua secara musyawarah dan mufakat. Sedangkan 8 kelompok pengrajin anyaman lainnya tidak memiliki strutur keorganisasian. Kelompok
berjalan berdasarkan kepatuhan dan percaya trust pada orang yang dianggap sebagai pemimpin. Dari hasil wawancara dan observasi dapat dilihat bahwa
keanggotaan pada 8 kelompok pengrajin tidak mengikat. Artinya, untuk ikut menjadi pengrajin atau tidak, tidak menjadi paksaan. Berbeda dengan kelompok
yang memiliki struktur keorganisasian, bagi pengurus dan anggota ada keterikatan karena dalam keorganisasian ada tugas dan kewajiban sebagai
pengurus maupun anggota. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan secara mendalam, dapat
disimpulkan bahwa 12 kelompok pengrajin memiliki pemimpinorang yang dianggap ketua dalam kelompok. Tabel berikut diperoleh dari pengamatan dan
wawancara. Tabel 15. Karakteristik Ketua kelompok Pengrajin Anyaman di Tiap Dusun di
Desa Sawah Kulon pada Bulan Juli Tahun 2006
No. Dusun
Karakteristik ketua kelompok Ketua
Umur Jns
klmn Pendidikan
Pekerjaan 1. Warung
Kadu Sd 54
P SD
Upas 2. Warung
Kadu Adm 50
L SD
Pengrajin 3. Warung
Kadu Odg 38
L SLTP Pengrajin
4. Sukahaji Aj
32 L SLA Guru
Ngaji 5. Sukahaji
Fdyh 38
P SLA
Pengrajin 6. Pasir
Angin AA
56 L
SD Pengrajin
7. Pasawahan Eng
36 P
SLA Usaha
Warungan 8. Pasawahan
I 40
L SLTP Tukang
Ojeg 9. Pasawahan
A 55
P SD
Pengrajin 10. Pasawahan
Rkmt 56
L SD
Pengrajin 11. Cihuni
Dmn 48
L SLTA
Buruh Pabrik
12. Cihuni T
37 L
SLTP Pengrajin
3. Lamanya kelompok
Terbentuknya kelompok pengarajin anyaman di Desa Sawah Kulon secara alamiah. Karena tempat tinggal yang berdekatan, kesamaan kebutuhan,
pandangan hidup yang sama, dan lain-lain. Pengrajin anyaman adalah penduduk asli Desa Sawah Kulon, mereka tinggal turun temurun di tempat yang sama.
Sebagai penduduk asli, jarang sekali ada anggota kelompok yang keluar dari
77
tempat asalnya. Hal ini berdampak pada jumlah anggota kelompok pengrajin tidak mengalami perubahan yang berarti. Karena mereka adalah penduduk asli,
maka kelompok terbentuk selama mereka tinggal dan menetap di daerah tersebut.
Kelompok yang terbentuk awalnya karena seperasaan, sepenangungan dan saling memerlukan sejak mereka berada di lahan tersebut. Menggunakan
dukungan alam sebagai media untuk memenuhi kebutuhan hidup dilakukan secara bersama-sama. Karena rutinitas dilakukan akhirnya timbullah keterikatan
satu sama lain dalam menggunakan alam sebagai media pemenuhan kebutuhan.
4. Pengambilan keputusan dalam kelompok
Pengambilan keputusan dalam kelompok berkaitan dengan penentuan : Jenis anyaman yang diproduksi, pembagian upah bagi tenaga kerja, pencaian
bahan baku, harga dan pemasaran. Pada kelompok yang ketuanya dipilih berdasarkan ketokohan, usia, dan pekerjaan, keputusan biasanya diserahkan
kepada orang yang dianggap mewakili kelompok. Sedangkan kelompok yang ketuanya dipilih berdasarkan mufakat, pengambilan keputusan dilakukan dengan
mufakat pula. Penentuan ini ternyata berlaku pada semua tenaga kerja yang terlibat dalam proses produksi dan pemasaran. Baik itu tenaga kerja menetap
maupun tidak tetap.
6.2. Kelembagaan Produksi Anyaman
Kelembagaan produksi pada kajian ini menitik beratkan pada definisi operasional sebagai tata aturan atau pola hubungan yang mengatur perilaku
pengrajin anyaman dari mulai pelibatan tenaga kerja, upah, keragaan produksi, perolehan bahan baku, permodalan, teknologiketerampilan, dan mitra kerja
usaha anyaman. Definisi operasional ini didasarkan pada hasil pangamatan di lapangan selama melakukan kajian. Pengkaji melakukan pengamatana pada
tahapan definisi kelembagaan produksi karena kegiatan yang berhubungan denga produksi yang ditemukan di lapangan adalah seperti tertera pada definisi
operasional di atas. Bahasan kelembagaan produksi pada kajian ini pun selanjutnya akan
lebih menekankan pada : 1. Tenaga kerja dan Upah, 2 Bahan Baku, 3 Permodalan, 4 Teknologi dan Keterampilan, dan 5 Mitra Kerja.
78
1. Tenaga kerja Pengrajinupah
Usaha kerajinan anyaman yang dilakukan oleh semua anggota kelompok 48 persen 69 KK adalah usaha sampingan sebagai mata pencaharian
tambahan. Dari 48 persen tersebut adalah KK yang memiliki pekerjaan lain sebagai adalah buruh pekerja kasar seperti : Buruh bangunan, buruh tani,
pedagang warungan, dan pekerja serabutan apa saja yang bisa dikerjakan asal mendapat upah. Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 pasal 1
tentang Ketentuan Pokok mengenai tenaga kerja maka yang dimaksud tenaga kerja adalah tiap-tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Adanya istilah yang menunjuk tenaga kerja seperti buruh, karyawan, atau pekerja, pada dasarnya memiliki pengertian yang sama. Sebagian penduduk
Desa Sawah Kulon yang melakukan proses produksi dan pemasaran dalam kerajinan anyaman dapat disebut sebagai tenaga kerja. Hanya dalam sistem
pengupahan yang mereka lakukan masih sangan tradisional. Pemberlakuan tenaga kerja dan pengupahan ini berlaku pada semua yang terlibat dalam proses
produksi dan pemasaran anyaman dengan tidak mempertimbangkan kepemilikan lahan. Perhitungan penggunaan lahan dan bahan baku dilakukan setelah atau
sebelum proses produksi dan pemasaran berlangsung. Tenaga Kerja pengrajin yang terlibat dalam kegiatan anyaman di Desa
Sawah Kulon, dapat dibedakan menjadi dua jenis. Yaitu pengrajin tetap matuh dan tidak tetap sambilan.
a. Pengrajin tetap matuh Pengrajin yang terlibat secara menetap dan menjadikan usaha kerajinan
sebagai matapencaharian utama terdapat 52 persen 83 KK dari 142 KK. Mereka tidak mempunyai pekerjaan lain selain sebagai pembuat dan
memasarkan kerajinan anyaman. Pengrajin tetap ini terbagi menjadi dua, yaitu pengrajin yang menganyam sangkar saja, pengrajin yang mencari bahan baku
dan memasarkan, dan pengrajin yang membuat dan memasarkan hasil anyaman. Upah yang diterima oleh pengrajin tetap inipun berbeda tergantung
pada jenis produk yang dihasilkan dan jumlah yang dibuat yang siap untuk dipasarkan.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi, dapat dilihat besarnya upah yang diterima pengrajin tetap.
79
Tabel 16. Perolehan Hasil yang Diterima Pengrajinan Anyaman di Desa Sawah Kulon yang Terlibat dalam Setiap Tahapan pada Bulan Juli Tahun
2006
Jenis produksi Produksi
Rp Bahan
Baku Rp Pemasaran
Rp Terlibat Produksi
pemasaran Rp
Harga jual Rp
Tikar : 1. Tanpa Warna
a. Ukrn 1,25 m x 2 m b. Ukrn 1,25 m x 75
cm 2. Warna
a. Ukrn 1,25 m x 2 m - Digulung
- Dilipat b. Ukrn 1,25 m x 75 cm
- Digulung - Dilipat
5.000 5.000
7.500 7.500
7.500 7.500
Borongan Borongan
Borongan Borongan
Borongan Borongan
2.500 2.500
5.000 5.000
5.000 5.000
10.000 10.000
10.000 10.000
10.000 10.000
15.000 15.000
15.000 20.000
15.000 20.000
Topi berwarna, bercorak 5.000
Borongan 2.500
10.000 15.000
Dompet kecil berwarna 1.500
Borongan 1.000
2.5000 5.000
Sandal wanita 1. Poloscapit
2. Bercorak 2.500
2.500 Borongan
Borongan 1.000
1.000 2.500
2.500 7.500
12.500
Data pada tabel di atas menunjukkan terjadi perbedaan hasil bagi pengrajin yang terlibat dalam setiap tahapan proses. Hasil yang lebih besar
diberikan kepada yang pengrajin yang terlibat produksi dan pemasaran. Harga jual setiap produk ternyata sangat kecil sekali untuk mempertimbangkan biaya
yang telah dikeluarkan pada tahan produksi, bahan baku, dan pemasaran. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan tidak didasarkan pada
manajemen bisnis yang beroriektasi pada pencarian keuntungan uang sebesar- besarnya.
Tingkat ketergantungan pengrajin tetap terhadap pasar sangat tinggi jika dibandingkan dengan pengrajin tidak tetap sambilan. Alternatif pekerjaan yang
mereka lakukan tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga selain dari menjadi pengrajin. Mereka terus melakukan produksi kerajinan anyaman
walaupun dalam jumlah sedikit hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Jika pembayaran, penjualan, pasokan bahan baku mengalami hambatan maka
mereka tidak memiliki penghasilan lain karena mereka tidak memiliki akses dan terhadap sumber daya ekonomi lainnya. Pembayaran yang tidak tunai menjadi
salah satu hambatan dalam meningkatkan taraf perekonomian pengrajin tetap ini, seperti penuturan Mak Eya janda, 2 anak, umur 50 tahun, pendidikan SD.
Abdi mah mung ngandelkeun tina ieu Neng, naon deui atuh kabisa ema nu ngadatangkeun duit. Digawe nulain ema mah teu bisa,
jeung teu pada mercaya bubuhan geus kolot. Ah da kabutuhan ema mah saeutik ukur dahar da anak ema bisa buburuh saeutik-eutikeun
mah. Nya ema mah ngendelkeun ka bah Akun we dina masalah
80
duduitan mah da geus lila gawe nyieun samak teh jeung si abah, percanten da tara ngabohongan salila ieu. Sapoe bisa setengah
samak atawa 2 dompet ge lumayan, saminggu bisa meunang duit jang meuli beas jeung deungeunna.
Saya hanya mengandalkan dari hasil kerajinan, apalagi yang bisa saya perbuat yang bisa mendatangkan uang. Bekerja yang lain
saya tidak bisa, dan tidak ada yang percaya karena saya suah tua. Kebutuhan saya sedikit hanya makan karena anak saya sudah bisa
bekerja sedikit-sedikit. Dalam masalah keuangan saya menyerahkan pada Abah Akun karena saya sudah lama bekerja
membuat tikar dengan Abah, percaya tidak pernah membohongi selama ini. Sehari bisa setengah tikar atau 2 dompet sudah
lumayan, seminggu sudah dapat uang untuk beli beras dengan lauknya.
b. Pengrajin tidak tetap sambilan Pengrajin tidak tetap memiliki pekerjaan lain sebagai mata pencaharian
apabila tidak ada pesanan kerajinan anyaman atau pasokan bahan baku terhambat. 52 persen dari pengrajin anyaman ini memiliki pekerjaan sebagai
tukang ojek, buruh tani, pekerja bangunan, pegawai desa, guru ngaji penjaga mesjid yang dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. Seperti yang
dilakukan oleh Ajo selain sebagai pengrajin anyaman, dia juga berprofesi sebagai guru ngaji anak-anak di malam hari di masjid dan sebagai pegawai desa
tenaga kontrak. Demikian juga dengan Pak Saudi yang bekerja sebagai pesuruh di kantor kecamatan.
Keterlibatan pengrajin yang pada proses produksi tetap berkisar pada anggota kelompok dan keluarga mereka. Penambahan pekerja pengrajin berasal
dari lingkungan komunitas pengajin dengan dasar keterampilan yang diperoleh mereka adalah dari turun temurun. Maka peluang keterlibatan pekerja untuk
menjadi pengrajin anyaman dari luar menjadi tertutup. Apabila usaha kerajinan anyaman ini dapat berkembang, maka peluang keterlibatan tenaga kerja dari luar
untuk menjadi pengrajin sangat terbuka. Tetapi peluang tersebut harus disertai dengan keterampilan yang lebih baik, sehingga usaha kerajinan yang lebih
comparative dan competitive dapat dicapai. Pada kenyataan di lapangan, dalam pembagian hasil kepada pengrajin
sambilan sama saja dengan pengrajin tetap. Yang membedakan adalah jenis dan banyaknya kerajinan yang diproduksi. Kesamaan dalam pemberian hasil
keuntungan sama dengan upah terhadap pengrajin tetap dan tidak tetap, selama ini tidak menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan adanya saling
percaya trust diantara sesama pengrajin, kebersamaan, gotong royong, yang
81
merupakan modal sosial untuk dapat mengembangkan sebuah masyarakat. Sedangkan pembagian hasil bagi pemilik lahan dan bahan baku diperhitungkan
terlebih dahulu sebelum proses pembagian hasilupah dilakukan. Demikian juga apabila modal produksi dan pemasaran diperoleh dari pinjaman atau modal
kelompok. Program pengembangan masyarakat untuk kelompok pengrajin anyaman
ini dapat dikatakan belum menunjukkan hasil untuk kemandirian, keberlanjutan, dan peningkatan kesejahteraan bagi kelompok pengrajin anyaman. Program
pemerintah yang pernah menyentuh kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon ini adalah UP2K dan PPK, dan itupun hanya 4 kelompok dari 12
kelompok yang ada. Pada proses produksi, keterlibatan pengrajin anyaman tanpa
memperhatikan profesionalitas. Hal ini karena pertimbangan bahwa usaha yang dilakukan adalah kekeluargaan, melibatkan pekerja dalam keluarga. Sehingga
sistem pembagian hasil atau pengupahan lebih banyak didasarkan pada ucapan terima kasih bukan pada hasil kerja yang diperoleh. Terlebih pada pengrajin
perempuan. Jika seorang pengrajin perempuan bisa membuat 1 buah tikar berukuran 1,25 cm x 1,75 cm dengan waktu 1 minggu, maka ia akan diupah tidak
lebih dari Rp. 12.500,-. Sedangkan untuk pengrajin laki-laki dengan cara kerja yang sama ditambah penjemuran bahan baku, maka ia akan diupah sampai Rp.
17.500,-. Harga jual di pasaran untuk tikar dengan jenis seperti itu tanpa warna adalah Rp. 25.000,-. Sedangkan jika telah domodifikasi dengan warna dan bisa
dilipat-lipat, harga jual mencapai Rp.35.000,- dengan pembayaran upah yang sama hanya waktu pembuatan yang lebih lama.
Permasalahan pekerja akan pengupahan merupakan perwujudan dari kebutuhan manusia. Dari rasa puas terhadap upah yang diterimanya akan
menimbulkan rasa aman karena adanya perlindungan, kepastian, keteraturan dari lingkungan pekerjaan dimana kebutuhan yang sifatnya pokokdasar dari
hidupnya dapat terpenuhi. Dalam mensikapi sistem pengupahan pada pengrajin anyaman, situasi kestabilan upah tidak terjadi. Sehingga hasil produksi yang
diperoleh tidak mengalami perkembangan yang berarti.
2. Bahan Baku