81
merupakan modal sosial untuk dapat mengembangkan sebuah masyarakat. Sedangkan pembagian hasil bagi pemilik lahan dan bahan baku diperhitungkan
terlebih dahulu sebelum proses pembagian hasilupah dilakukan. Demikian juga apabila modal produksi dan pemasaran diperoleh dari pinjaman atau modal
kelompok. Program pengembangan masyarakat untuk kelompok pengrajin anyaman
ini dapat dikatakan belum menunjukkan hasil untuk kemandirian, keberlanjutan, dan peningkatan kesejahteraan bagi kelompok pengrajin anyaman. Program
pemerintah yang pernah menyentuh kelompok pengrajin anyaman di Desa Sawah Kulon ini adalah UP2K dan PPK, dan itupun hanya 4 kelompok dari 12
kelompok yang ada. Pada proses produksi, keterlibatan pengrajin anyaman tanpa
memperhatikan profesionalitas. Hal ini karena pertimbangan bahwa usaha yang dilakukan adalah kekeluargaan, melibatkan pekerja dalam keluarga. Sehingga
sistem pembagian hasil atau pengupahan lebih banyak didasarkan pada ucapan terima kasih bukan pada hasil kerja yang diperoleh. Terlebih pada pengrajin
perempuan. Jika seorang pengrajin perempuan bisa membuat 1 buah tikar berukuran 1,25 cm x 1,75 cm dengan waktu 1 minggu, maka ia akan diupah tidak
lebih dari Rp. 12.500,-. Sedangkan untuk pengrajin laki-laki dengan cara kerja yang sama ditambah penjemuran bahan baku, maka ia akan diupah sampai Rp.
17.500,-. Harga jual di pasaran untuk tikar dengan jenis seperti itu tanpa warna adalah Rp. 25.000,-. Sedangkan jika telah domodifikasi dengan warna dan bisa
dilipat-lipat, harga jual mencapai Rp.35.000,- dengan pembayaran upah yang sama hanya waktu pembuatan yang lebih lama.
Permasalahan pekerja akan pengupahan merupakan perwujudan dari kebutuhan manusia. Dari rasa puas terhadap upah yang diterimanya akan
menimbulkan rasa aman karena adanya perlindungan, kepastian, keteraturan dari lingkungan pekerjaan dimana kebutuhan yang sifatnya pokokdasar dari
hidupnya dapat terpenuhi. Dalam mensikapi sistem pengupahan pada pengrajin anyaman, situasi kestabilan upah tidak terjadi. Sehingga hasil produksi yang
diperoleh tidak mengalami perkembangan yang berarti.
2. Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan untuk kerajinan anyaman ini adalah dari daun pandan yang selama ini mengandalkan hampir 75 persen menggunakan
bahan baku yang terdapat di Desa Sawah Kulun. Areal pertanian seluas 82
82
persen dari luas wilayah Sawah Kulon, 36 persen digunakan untuk ladang pertanian dan 15 persen digunakan untuk tanaman pandan. Selama ini areal
seluas 12 hektar yang digunakan untuk menanam pohon pandan cukup untuk memenuhi kebutuhan kerajinan anyaman. Dalam setiap musim panen yang
menghasilkan daun bermutu bagus rata-rata setiap hektar 100 kg. Setelah mengalami proses perendaman dan penjemuran rata-rata hanya tinggal 80 kg
yang memiliki nilai jual Rp. 35.000 – 50.000kg. Perbedaan harga ditentukan oleh panjang dan lebar daun yang dihasilkan. Dari setiap kilogram daun pandan yang
telah siap pakai untuk dianyam, bisa diperoleh 5 sampai 7 buah tikar yang berukuran 1,26 m x 2 m yang memiliki harga jual Rp. 15.000 – Rp.
20.000lembar. Dalam proses penyamana pun mengalami pengurangan karena sobek atau putus. Jadi daun yang betul-betul dapat diproses untuk pembuatan
anyaman diperkirakan tinggal 70 kg. Berdaraskan hasil wawancara dan pengamatan, bahan baku yang dimilki kelompok pada kenyataannya tidak selalu
tepat berdasarkan hasil hitungan rata-rata setiap panen. Tetapi mengalami penyusutan karena proses penyimpanan, cuacasuhu, dan faktor kelalaian
lainnya. Setelah berbentuk bahan baku yang siap diolah menjadi anyaman, dirata-
ratakan harga perkilo sebagai awal dimulainya penentuan harga bahan baku. Harga tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap harga pemasaran. Hasil
penentuan harga bahan baku akan menjadi pemilik lahan setelah dikurangi upah pemelihara tenaga kerja dan biaya pemeliharaan. Pada kenyataan di lapangan
kesemua penentuan harga tersebut dilakukan atas dasar kekeluargaan bukan atas dasar perhitungan bisnis. Apabila terjadi pengumpulan modal secara
patungan, maka hasil perhitungan harga akan dibagi berdasar persentasi besarnya modal yang ditanam masing-masing anggota kelompok. Jika modal
diperoleh dari bandar, maka pengrajin akan membayar dengan sejumlah hasil produksi. Kelembagaan seperti demikian telah dilakukan selama oleh kelompok
pengrajin anyaman secara turun temurun, artinya telah berlangsung lama. Penggunaan lahan yang digunakan untuk menanam bahan baku
dilakukan secara sewa dengan sistem pembagian hasil dengan cara 4 banding 1 atau 5 banding 1. Artinya hasil bahan baku daun pandan setelah dihitung total
bersih berapa kilo kemudian kemudian dilakukan pembagian 5 atau 4 bagian untuk pemilik lahan dan 1 bagian untuk pengrajin lain yang terlibat dalam
pemeliharaan tanaman bahan baku. Pemilik lahan yang memperoleh bagian
83
lebih besar selama ini melakukan pembagian lagi dengan para pemilik modal uang dengan cara fifety-fifety atau cukup dengan mengembalikan besaran
modal yang dttanamkan. Namun pada kenyataan di lapangan, pengembalian modal uang dan upah pemeliharaan tanaman bahan baku baku selalu dilakukan
setelah produk anyaman dihasilkan dan dipasarkan, mulailah dilakukan perhitungan.
Apabila ada pesanan yang melebihi yang biasa diproduksi, maka setiap kelompok pengrajin akan melakukan kerja sama untuk mencari bahan baku dari
daerah lain. Seperti yang pernah dilakukan oleh 4 kelompom pengrajin lainnya Pasawahan, Cihuni, dan Sukahaji.
Pencarian bahan baku dari daerah lain dilakukan oleh anggota kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pengkaji dan
wawancara dengan dinas pertanian, apabila mengandalkan secara terus menerus bahan baku dari wilayah Sawah Kulon, maka tingkat kesuburan tanah
akan berkurang. Hal ini akan berpengaruh pada kualitas daun pandan yang dihasilkan. Oleh karena itu tingkat kesuburan tanah harus tetap dijaga dengan
pemupukan atau perputaran dalam menanam jenis tanaman lain di tempat yang sama.
Perolehan bahan baku melalui bandar pernah dilakukan oleh semua kelompok, tetapi dalam harga pembelian bahan baku yang terlalu tinggi. Daya
beli setiap kelompok apabila harus membeli dari bandar sangat tidak mampu. Menurut pendapat mayoritas kelompok, apabila membeli bahan baku dari
bandar, maka biaya dari mulai proses produksi sampai pemasaran sangat tinggi dan keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Oleh karena itu kelompok pengrajin
anyaman di Desa Sawah Kulon sebisa mungkin menghindari membeli bahan baku dari bandar. Apabila ada pesanan dalam jumlah diluar kebiasaan produksi,
maka mereka mencari sendiri bahan baku ke daerah lain.
3. Permodalan