Model Surplus Tenaga Kerja Dua sektor

17 diakibatkan oleh terlalu banyaknya campur tangan dan regulasi pemerintah dalam kehidupan perekonomian nasional. Akhimya, pada penghujung dekade 1980-an dan awal dekade 1990-an, sejumlah kecil ekonom neoklasik dan institusional mulai mengembangkan apa yang kemudian menjadi pendekatan kelima, yakni yang disebut-sebut sebagai teori baru pertumbuhan ekonomi. Teori ini mencoba memodifikasikan dan mengembangkan teori pertumbuhan tradisional sedemikian rupa sehingga ia dapat menjelaskan mengapa ada sebagian negara yang mampu berkembang begitu cepat sedangkan yang lain begitu sulit atau bahkan mengalami stagnasi kemacetan. Teori baru ini juga bermaksud menjelaskan mengapa meskipun konsep-konsep neoklasik seperti pasar bebas dan otonomi sektor swasta begitu gencar didengungkan, tetapi peranan pemerintah dalam keseluruhan proses pembangunan masih tetap sangat besar.

2.2. Teori Perubahan Struktural

Pada bagian ini akan dipaparkan secara mendalam teori perubahan struktural ekonomi. Hal tersebut dilakukan mengingat teori perubahan strukural akan menjadi pegangan atau pijakan utama dalam penelitian ini. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran pendekatan perubahan struktural ini didukung teoritis W. Arthur Lewis yang dikenal dengan model tentang “surplus tenaga kerja dua sektor two sector surplus labor”, dan H.B. Chenery, yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang “pola-pola pembangunan patterns of development”.

2.2.1. Model Surplus Tenaga Kerja Dua sektor

18 Salah satu model teoritis tentang pembangunan yang paling terkenal, yang memusatkan perhatian pada transformasi struktural structural transformation suatu perekonomian subsisten, mula-mula dirumuskan oleh W. Arthur Lewis, salah satu ekonom besar dan penerima Hadiah Nobel, pada pertengahan dekade 1950-an, dan kemudian diubah, diformalkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Fei dan Gustav Ranis. Pada dasarnya, teori tersebut membahas proses pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja selama akhir dekade 1960-an dan dekade 1970-an. Menurut model pembangunan Lewis, perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu : 1 sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol, dimana situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja surplus labor sebagai suatu fakta bahwa sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor itu tidak akan kehilangan outputnya sedikit pun, dan 2 sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten. Perhatian utama dari model tersebut diarahkan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor yang modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor modern tersebut. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri dimungkinkan 19 oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah, dengan asumsi bahwa para kapitalis yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Yang terakhir, tingkat upah di sektor industri perkotaan sektor modern diasumsikan konstan dan, berdasarkan suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor pertanian subsisten tradisional. Lewis berasumsi bahwasanya tingkat upah di daerah perkotaan sekurang-kurangnya harus 30 persen lebih tinggi daripada rata-rata pendapatan di daerah-daerah pedesaan untuk memaksa para pekeja pindah dari desa-desa asalnya ke kota-kota. Pada tingkat upah di daerah perkotaan yang konstan, maka kurva penawaran tenaga kerja pedesaan dianggap elastis sempurna. Gambar 2 mengilustrasikan pertumbuhan sektor modern dari model perekonomian dua sektor rumusan Lewis. Sektor pertama, yakni sektor pertanian subsisten tradisional digambarkan pada dua gambar sebelah kanan. Kurva sebelah kanan atas memperlihatkan bagaimana produksi pangan subsisten semakin sulit mengimbangi kenaikan input tenaga kerja. Ini khas fungsi produksi production function sektor pertanian, di mana total output atau produk TP A berupa bahan pangan ditentukan oleh perubahan satu-satunya variabel input, yakni input tenaga kerja L A , sedangkan input modal, A K , dan teknologi, A t diasumsikan tidak mengalami perubahan apa pun. Pada kurva kanan bawah menunjukkan kurva produktivitas tenaga kerja marjinal atau MP LA dan kurva produktivitas tenaga kerja rata-rata atau AP LA yang merupakan turunan dari kurva produksi total yang ditunjukkan tepat di atasnya. Kuantitas tenaga kerja pertanian Q LA yang tersedia pada kedua sumbu horisontal dan dinyatakan dalam jutaan tenaga kerja. 20 Lewis mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian terbelakang, 80 persen hingga 90 persen angkatan kerjanya terkumpul di daerah-daerah pedesaan serta menggeluti pekerjaan di sektor pertanian. Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi Model W. Arthur Lewis Sumber : Todaro, 2000. Lewis mengemukakan dua asumsi perihal sektor tradisional. Yang pertama adalah adanya surplus tenaga kerja, atau MP LA , sama dengan nol. Kedua, bahwasanya semua pekerja di daerah pedesaan menghasilkan output yang sama sehingga tingkat upah riil di daerah pedesaan ditentukan oleh produktivitas tenaga 21 kerja rata-rata, bukannya produktivitas tenaga kerja marjinal seperti pada sektor modern. Menurutnya diasumsikan bahwa ada sejumlah L A tenaga kerja pertanian yang menghasilkan produk pangan hingga sebanyak TP A , dan masing-masing tenaga kerja menghasilkan output pangan dalam jumlah yang persis sama, yakni sebanyak W A ini sama dengan hasil hitungan TP A L A . Produktivitas marjinal tenaga kerja sebanyak L A tersebut sama dengan nol, sebagaimana terlihat pada kurva di sebelah kiri bawah, dan oleh karenanya, asumsi surplus tenaga kerja berlaku pada seluruh pekerja yang melebihi L A perhatikan kurva TP A berbentuk horisontal setelah melewati jumlah pekerja L A pada diagram kanan atas. Inilah sumber atau pijakan asumsi surplus tenaga kerja itu. Kemudian kurva di sebelah kiri atas menunjukkan kurva-kurva produksi total fungsi produksi untuk sektor industri modern. Berdasarkan hal itu tingkat output, dari barang-barang manufaktur atau TP M , merupakan fungsi dari variabel input tenaga kerja, L M , dengan catatan stok modal M K dan teknologi M t sama sekali tidak berubah. Pada sumbu horisontal, kuantitas tenaga kerja yang dikerahkan untuk menghasilkan sejumlah output, misalnya TP M1 , dengan stok modal K M1 , dinyatakan dalam ribuan dari pekerja perkotaan L 1 . Kemudian dalam model Lewis, stok modal di sektor modern dimungkinkan untuk bertambah dari K M1 ke K M2 , dan ke K M3 , sehubungan dengan adanya kegiatan reinvestasi dan pertumbuhan sektor industri modern. Seperti digambarkan pada diagram sebelah kiri atas, hal tersebut akan menggeser kurva total produk ke atas, dari ke TP M K M1 berubah ke TP M K M2 dan akhimya ke TP M K M3 . Hal itu menunjukkan proses yang akan menghasilkan keuntungan para kapitalis ini dari investasi ulang dan pertumbuhan. Berdasarkan hal tersebut didapati kurva-kurva produksi tenaga 22 kerja marjinal dari sektor modern yang merupakan turunan dari kurva-kurva TP M pada kurva tepat di atasnya. Dengan asumsi bahwa pasar tenaga kerja sektor modern itu kompetitif sempurna, maka kurva-kurva produksi marjinal itulah yang menentukan besar-kecilnya tingkat permintaan yang aktual akan tenaga kerja. Sebagaimana terlihat pada kurva-kurva sebelah bawah Gambar 2a dan Gambar 2b, W A memperlihatkan tingkat rata-rata pendapatan riil dari sektor ekonomi subsisten tradisional di daerah-daerah pedesaan. Dengan demikian, W M pada Gambar 2a memperlihatkan tingkat upah riil pada sektor kapitalis modern. Pada tingkat upah itu, penawaran tenaga kerja pedesaan diasumsikan tidak terbatas atau elastis sempurna yang diperlihatkan oleh kurva penawaran tenaga kerja horisontal W M S L . Dengan kata lain, Lewis mengasumsikan bahwasanya pada tingkat upah di perkotaan sebesar W M yang jauh lebih tinggi daripada tingkat pendapatan pedesaan W M , para penyedia lapangan kerja di sektor modern dapat merekrut tenaga kerja pedesaan sebanyak yang mereka perlukan tanpa harus merasa khawatir bahwa tingkat upah akan meningkat. Perhatikan bahwa kuantitas tenaga kerja di sektor pedesaan pada Gamar 2b dinyatakan dalam jutaan, sedangkan di sektor modern perkotaan pada Gambar 2a dinyatakan dalam ribuan. Pada tahap awal pertumbuhan sektor modern dengan penawaran modal K M1 , yang jumlahnya tetap dan sudah tertentu, kurva permintaan terhadap tenaga kerja semata-mata ditentukan oleh penurunan produk marjinal para tenaga kerja, seperti ditunjukkan oleh kurva D 1 K M1 yang mempunyai kemiringan negatif lihat kurva sebelah kiri bawah. Karena para produsen di sektor modern selalu berusaha memaksimumkan keuntungan dan mereka diasumsikan akan terus merekrut tenaga kerja sampai ke titik di mana produk fisik marjinal marginal 23 physical product sama persis dengan upah riil yaitu, titik F yang merupakan perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran tenaga kerja, kesempatan kerja di sektor modern akan sama dengan L 1 . Total output sektor modern TP Ml , ditunjukkan oleh bidang yang dibatasi oleh titik-titik 0D 1 FL 1 , dengan total tenaga kerja L 1 . Dari bidang itu, keuntungan total yang diterima oleh para pengusaha kapitalis di sektor modern ditunjukkan dengan W M D 1 F. Menurut Lewis diasumsikan bahwa semua keuntungan tersebut akan ditanamkan kembali sehingga memperbesar stok modal dari KM 1 menjadi KM 2 menyebabkan kurva produk secara keseluruhan pada sektor modern meningkat menjadi TP M K M2 yang pada gilirannya akan mengakibatkan terus meningkatnya kurva permintaan tenaga kerja karena pergeseran produk marjinal tenaga kerja. Pergeseran kurva permintaan tenaga kerja ke arah luar dalam gambar ditunjukkan oleh garis D 2 K M2 pada Gambar 2a sebelah bawah. Dari hasil ini diperoleh suatu titik keseimbangan baru tentang tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor modern yang ditunjukkan oleh G dengan jumlah tenaga kerja yang dikerahkan pada L 2 . Jumlah output meningkat menjadi TP M2 atau ditunjukkan oleh bidang 0D 2 GL 2 , dengan jumlah upah para pekerja dan keuntungan para pengusaha meningkat menjadi masing-masing 0W M GL 2 dan W M D 2 G. Sekali lagi, keuntungan W M D 2 G yang lebih besar ini akan ditanamkan kembali, dan akan meningkatkan jumlah stok kapital ke K M3 , yang akan menggeser kurva produk dan permintaan tenaga kerja masing-masing ke TP M KM 3 dan ke D 3 K M3 , serta menaikkan tingkat penyerapan tenaga kerja sektor modern ke L 3 . Rangkaian proses pertumbuhan berkesinambungan self-sustaininggrowth atas sektor modern dan perluasan kesempatan kerja tersebut di atas, diasumsikan akan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja pedesaan diserap habis 24 oleh sektor industri. Selanjutnya, tenaga kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian dengan biaya yang lebih tinggi karena hal tersebut pasti akan mengakibatkan merosotnya produksi pangan. Hanya penurunan rasio tenaga kerja terhadap tanah secara drastis sajalah yang akan mampu membuat produk marjinal tenaga kerja desa menjadi tidak sama dengan nol lagi. Dengan demikian, ketika tingkat upah serta kesempatan kerja di sektor modern terus mengalami pertumbuhan, maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja bernilai positif. Transforrnasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan menjadi suatu kenyataan dan perekonomian pun pada akhimya pasti beralih dari perekonomian pertanian tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian industri modern yang berorientasikan kepada pola kehidupan perkotaan. Meskipun model dua sektor Lewis ini cukup lugas dan jelas, serta secara umum sudah sesuai dengan pengalaman sejarah pertumbuhan ekonomi modern negara-negara Barat, namun menurut Todaro 2000 tiga dari asumsi-asumsi utamanya ternyata sama sekali tidak cocok dengan kenyataan institusional dan ekonomis di sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga sekarang ini. Pertama, model ini secara implisit mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor modern pasti sebanding dengan tingkat akumulasi modal sektor modern. Semakin cepat tingkat akumulasi modalnya, maka akan semakin tinggi tingkat pertumbuhan sektor modern dan semakin cepat pula penciptaan lapangan kerja baru. Akan tetapi, apa yang akan terjadi seandainya keuntungan para kapitalis tersebut justru diinvestasikan kembali dalam bentuk barang-barang modal yang lebih canggih 25 dan lebih hemat tenaga kerja capital intensive? Gambar 3 mengembangkan Gambar 2a di sebelah bawah, dan terlihat bahwa kurva permintaan tanaga kerja tidak lagi bergeser ke luar, akan tetapi bersilang. Kurva permintaan D 2 K M2 miring lebih negatif daripada D 2 W MI untuk menunjukkan fakta bahwa tambahan stok modal, yang dimanfaatkan kemajuan teknologi hemat tenaga kerja, yaitu teknologi K M2 yang hanya memerlukan lebih sedikit tenaga kerja bagi setiap unit output daripada teknologi yang sebelumnya, yakni K M1 . Terlihat jelas bahwa, meskipun jumlah output telah meningkat sangat besar yaitu, 0D 2 EL 1 yang jau lebih besar daripada 0D 1 EL 1 akan tetapi upah keseluruhan 0W M EL 1 dan kesempatan kerja L 1 tetap saja tidak berubah. Semua output tambahan diterima oleh para pengusaha kapitalis itu dalam bentuk peningkatan keuntungan. Dengan demikian Gambar 3 menujukkan apa yang oleh sementara pengamat disebut sebagai pertumbuhan ekonomi yang antipembangunan antidevelopmental etonomic growth, yaitu semua tambahan pendapatan dan pertumbuhan output hanya akan dibagikan kepada sekelompok kecil pemilik modal, sedangkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja dari sebagian besar tenaga kela justru tidak akan mengalami peningkatan yang berarti. Kedua, asumsi yang sering dan patut dipersoalkan dari model tersebut adalah adanya dugaan bahwa di pedesaan terjadi kelebihan tenaga kerja, sedangkan di daerah perkotaan terjadi penyerapan faktor-faktor produksi secara optimal full employment. Namun sebagian besar penelitian ternyata menunjukkan bahwa keadaan yang sebaliknyalah yang lebih mungkin terjadi di negara-negara Dunia Ketiga yaitu, jumlah pengangguran di perkotaan cukup besar tetapi hanya sedikit surplus tenaga kerja di pedesaan. Dugaan tersebut 26 sampai batas tertentu memang masih bisa diterima semata-mata karena adanya dua pengecualian terhadap kenyataan yang baru saja disebutkan, yaitu adanya arus pekerja musiman dan perpindahan permanen penduduk secara geografis misalnya saja, di beberapa tempat di anak benua Asia dan di berbagai daerah yang terisolasi di Amerika Latin, di mana kepemilikan tanahnya sangat tidak merata. Akan tetapi, para ahli ekonomi pembangunan pada saat ini, pada umumnya kelihatan telah sepakat bahwa asumsi surplus tenaga kerja di perkotaan secara empiris lebih sahih daripada asumsi sebaliknya yang dikemukakan oleh Lewis. Gambar 3. Modifikasi Model Lewis yang Menunjukkan Tambahan Stok Modal yang Bersifat Capital Intensive Sumber : Todaro, 2000. Ketiga, asumsi dugaan tentang pasar tenaga kerja yang kompetitif di sektor modern akan menjamin keberadaan upah riil di perkotaan yang konstan sampai pada suatu titik dimana surplus penawaran tenaga kerja habis terpakai adalah tidak dapat diterima. Berdasarkan bukti empiris ditunjukkan bahwa sebelum tahun 27 1980-an tingkat upah pasar tenaga kerja perkotaan di hampir semua negara sedang berkembang adalah cenderung meningkat sangat besar dari waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara relatif, apabila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan di daerah pedesaan. Kecenderungan tetap terjadi sekalipun ada kenaikan tingkat pengangguran di sektor modern dan produktivitas marjinal yang rendah atau nol di sektor pertanian. Faktor-faktor kelembagaan cenderung untuk menghapuskan atau meniadakan kekuatan-kekuatan kompetitif yang terjadi di pasar tenaga kerja sektor modern di negara-negara Dunia Ketiga.

2.2.2. Model Pola-Pola Pembangunan