27 1980-an tingkat upah pasar tenaga kerja perkotaan di hampir semua negara sedang
berkembang adalah cenderung meningkat sangat besar dari waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara relatif, apabila dibandingkan dengan rata-rata
pendapatan di daerah pedesaan. Kecenderungan tetap terjadi sekalipun ada kenaikan tingkat pengangguran di sektor modern dan produktivitas marjinal yang
rendah atau nol di sektor pertanian. Faktor-faktor kelembagaan cenderung untuk menghapuskan atau meniadakan kekuatan-kekuatan kompetitif yang terjadi di
pasar tenaga kerja sektor modern di negara-negara Dunia Ketiga.
2.2.2. Model Pola-Pola Pembangunan
Sama halnya, dengan model yang disusun oleh Lewis, analisis pola
pembangunan patterns-of-development analysis juga memusatkan perhatiannya
pada proses yang mengubah struktur ekonomi, industri dan kelembagaan secara bertahap pada suatu perekonomian yang terbelakang, sehingga memungkinkan
tampilnya industri-industri baru untuk menggantikan kedudukan sektor pertanian sebagai penggerak roda pembangunan. Namun, berlainan dengan model Lewis,
pola atau teori ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi merupakan syarat yang harus dipenuhi, akan tetapi tidak akan memadai jika harus
berdiri sendiri necessary but not sufficient conditions dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga mensyaratkan bahwa selain akumulasi modal
untuk pengadaan sumber daya fisik maupun sumber daya manusia, diperlukan juga suatu rangkaian perubahan yang saling berkaitan dalam struktur
perekonomian negara yang bersangkutan demi terselenggaranya transisi yang bersifat mendasar dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern.
Perubahan-perubahan yang bersifat struktural ini melibatkan seluruh fungsi
28 ekonomi termasuk transformasi produksi dan perubahan komposisi permintaan
konsumen, perdagangan intemasional dan sumber daya, serta perubahan dalam faktor-faktor sosioekonomi seperti proses urbanisasi, pertumbuhan dan
sebarandistribusi penduduk di negara yang bersangkutan. Model perubahan struktural yang paling terkenal dalam hal ini adalah
model yang disusun oleh Hollis B. Chenery, seorang ekonom terkemuka dari Universitas Harvard. Chenery sendiri mendasarkan perumusan model perubahan
strukturalnya pada serangkaian penelitian empiris, dimana dia secara khusus mengadakan penelitian untuk menyelidiki pola-pola pembangunan di sejumlah
negara-negara dunia ketiga selama kurun waktu pasca perang dunia kedua. Rangkaian penelitian empiris yang dilakukan oleh pakar ekonomi tersebut
dilakukan secara cross sectional antarnegara pada periode tertentu maupun antarwaktu secara khusus, meliputi sejumlah negara tertentu sepanjang kurun
waktu yang cukup panjang. Dia mengambil negara-negara berkembang dengan berbagai tingkat pendapatan sebagai bahan studi guna mengidentifikasi
karakteristik-karakteristik yang sekiranya berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses pembangunan mereka. Faktor-faktor yang didapatinya
penting antara lain adalah kelancaran transisi dari pola perekonomian agraris ke perekonomian industri, kesinambungan akumulasi modal fisik dan manusia,
perubahan jenis permintaan konsumen dari produk kebutuhan pokok ke berbagai macam barang dan jasa, perkembangan daerah perkotaan terutama pusat-pusat
industri berkat migrasi para pencari kerja dari daerah-daerah pertanian di pedesaan dan kota-kota kecil, serta pengurangan jumlah anggota dalam setiap
keluarga dan kenaikan populasi pada umumnya karena anak sudah tidak lagi
29 dipandang sebagai salah satu faktor penunjang ekonomi keluarga sehingga para
orang tua pun menjadi lebih mementingkan kualitas pendidikan anak daripada sekedar kuantitasnya.
Pendekatan yang digunakan dalam memprediksi pola perubahan struktural adalah model ekonometrik yang berbentuk persamaan tunggal. Pada awal
penelitian Chenery menggunakan model yang dikenal sebagai model elastisitas pertumbuhan Chenery, 1960 dalam Budiharsono, 1996. Dalam model ini, yang
kemudian dipakai oleh ECAFE 1967 untuk memproyeksi pertumbuhan ekonomi jangka panjang negara-negara wilayah ECAFE, menunjukkan gambaran sistem
ekonomi yang masih sederhana karena diasumsikan perdagangan luar negeri tidak ada, perkembangan teknologi dan pertumbuhan bersifat konstan, sehingga
strategi demand side merupakan faktor penting dalam menentukan pola output. Kemudian dalam model ini diasumsikan bahwa pola konsumsi mengikuti
hukum Engel, sehingga tingkat pendapatan akan menentukan pola output sektoral. Model ini menggunakan model log linier dengan peubah penjelas yang masuk
dalam model adalah pendapatan perkapita Y dan jumlah penduduk N. Dalam model ini, Y tidak hanya mewakili peubah tingkat dan komposisi permintaan,
tetapi juga mewakili peubah tentang keadaan penawaran faktor produksi dan tingkat teknologi dari suatu negara, dengan demikian parameternya disebut
sebagai koefisien elastisitas pertumbuhan dan bukan elastisitas pendapatan. Kemudian Chenery bersama bersama Syrquin 1975 dalam Budiharsono
1996 mengembangkan model untuk menduga pola perubahan struktural tersebut akibat meningkatnya pendapatan. Model ini merupakan pengembangan model
Chenery-Taylor 1968 mengemukakan 3 tiga model regresi untuk data cross
30 section antar negara dan 1 satu model regresi untuk data time series. Model ini
lebih lengkap dari model sebelumnya karena sudah memasukkan faktor perdagangan luar negeri dan waktu periodesiasi.
Berdasarkan penelitian
Chenery-Syrquin 1975 diketahui bahwa sebagai proses, alokasi pembangunan ekonomi dapat dianggap sebagai suatu proses
pertumbuhan ekonomi atau proses peningkatan pendapatan nasional per kapita yang disertai dengan, antara lain : perubahan ekonomi dari suatu perekonomian
yang dominan sektor Pertanian menjadi dominan sektor Industri Pengolahan manufacture dan sektor Jasa. Dari hasil studi tersebut, banyak para ahli ekonomi
berpendapat bahwa setiap negara yang pembangunannya dianggap berhasil ditandai dengan antara lain oleh meningkatnya sektor industri baik dalam struktur
produksi maupun dalam sruktur ekspornya. 2.3. Model Pertumbuhan Tidak Seimbang
Sebagai suatu teori, analisis yang berkaitan dengan perubahan struktural terutama yang telah dikemukakan oleh Lewis masih sangat sederhana,
sehubungan dengan itu dalam studi ini juga dipaparkan teori dari A.O. Hirschman untuk melengkapi penjelasan yang terkait dengan perubahan struktural. Konsep
pertumbuhan tidak seimbang dikemukakan oleh A.O. Hirschman memiliki pengertian bahwa dalam pembangunan ekonomi didasarkan atas pertumbuhan
yang tidak seimbang unbalance growth. Menurut Hirschman dalam Jhingan, 2003 dan Arief, 1998 investasi pada industri atau sektor-sektor perekonomian
yang strategis dan berhubungan satu dengan lain melalui keterkaitan linkage akan menghasilkan kesempatan investasi baru dan membuka jalan bagi
pembangunan ekonomi lebih lanjut.
31 Pada
hakekatnya konsep
pertumbuhan tidak seimbang adalah suatu strategi yang mengembangkan sektor yang memiliki keterkaitan kuat. Menurut
teori keterkaitan ini yang dimaksud adalah meliputi keterkaitan ke belakang backward linkage dan ke depan forward linkage. Usulan untuk
mengembangkan sektor ekonomi yang memiliki keterkaitan ini berlaku tidak hanya pada sektor industri juga kepada sektor pertanian saja tetapi keseluruhan
sektor ekonomi. Menurut Hayami dan Ruttan 1971 konsep ketidakseimbangan dalam dan antar sektor pertanian adalah suatu sumber penting dari keterkaitan ke
belakang dan ke depan dalam mentransmisikan kemajuan teknologi di dalam sektor pertanian terhadap keseluruhan pembangunan ekonomi.
Menurut Hirschman pola pembangunan tak seimbang didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : Arsyad, 1999
1. Secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang. 2. Untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang
tersedia. 3. Pembangunan tak seimbang akan menimbulkan kemacetan bottlenecks atau
gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.
Berdasarkan uraian di atas pada dasarnya Hirschman merumuskan model yang selanjutnya dikenal dengan efek keterkaitan ke depan dan ke belakang.
Keterkaitan ke depan mendorong keputusan investasi pada sektor atau industri yang memanfaatkan output tertentu untuk proses produksi selanjutnya. Hal ini
dapat menurunkan biaya produksi di industri hilir melalui external economies. Keterkaitan ke belakang mendorong keputusan investasi pada sektor yang
32 menyediakan input. Peningkatan keterkaitan antar sektor atau antar industri
merangsang peningkatan investasi yang selanjutnya mendorong peningkatan permintaan input yang merupakan output dari suatu sektor atau industri tertentu
yang akhirnya mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Saling ketergantungan antar sektor dapat dirumuskan dalam tiga jenis efek keterkaitan, yaitu: 1 efek keterkaitan antar industri interindustry linkage effect,
mengukur efek peningkatan satu unit permintaan akhir final demand terhadap tingkat produksi dalam setiap sektor, 2 efek keterkaitan ketenagakerjaan
employment linkage effect, mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan 3 efek
keterkaitan penciptaan pendapatan income generation linkage effect mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap
peningkatan pendapatan Chenery and Clark, 1959 dalam Ginting, 2006.
Peningkatan dalam satu unit permintaan akhir dapat meningkatkan produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri dan tingkat
penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan. Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga dicerminkan oleh
penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui keterkaitan penciptaan pendapatan mendorong peningkatan permintaan barang-barang konsumsi, menginduksi lebih
banyak output dan kesempatan kerja.
Pembangunan sektor pertanian disatu pihak meningkatkan permintaan input antara intermediate input, seperti : pupuk, insektisida, traktor dan lain-lain
yang dipasok oleh sektor bukan pertanian ini disebut keterkaitan ke belakang backward linkage. Namun dipihak lain, sektor pertanian meningkatkan
33 penawaran output untuk sektor-sektor lain industri pertanian, di samping ada
yang digunakan sendiri oleh sektor pertanian ini, disebut keterkaitan ke depan forward linkage. Dengan demikian kedua aspek inilah dikenal sebagai efek
keterkaitan antar industri interindustry linkage effect yang mengarah ke belakang dan ke depan.
Selain itu, pembangunan sektor pertanian akan meningkatkan penyediaan kesempatan kerja dan pendapatan di sektor pertanian, yang selanjutnya
meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan sektor lain. Keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang tersebut merupakan
dorongan untuk meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan disektor pertanian. Hubungan inilah dikenal sebagai efek keterkaitan
ketenagakerjaan employment linkage effect dan efek keterkaitan penciptaan pendapatan income generation linkage effect.
2.4. Distribusi Pendapatan