137
5.1.2. Analsisis dari sisi Distribusi Pendapatan Rumahtangga
Berdasarkan kerangka SAM provinsi Jawa Barat tahun 1993 dan 2003 ukuran 38 x 38 rumahtangga di provinsi Jawa Barat dirinci menjadi 8 Delapan
golongan rumahtangga. Rumahtangga tersebut menerima pendapatan dari 2 Dua sumber, yaitu : 1 pendapatan faktor produksi, meliputi : tenaga kerja dan modal,
2 penerimaan transfer, meliputi penerimaan transfer dari : rumahtangga lainnya, swasta, pemerintah dan luar negeri.
Tabel 6 di bawah ini menunjukkan sumber dan distribusi pendapatan rumahtangga di provinsi Jawa Barat tahun 1993 dan 2003. Rincian sumber
pendapatan rumahtangga diperlihatkan dalam bentuk share terhadap total pendapatan masing-masing kelompok rumahtangga.
Berdasarkan Tabel 6 dapat dikemukakan bahwa secara keseluruhan rumahtangga di provinsi Jawa Barat tahun 1993 menerima pendapatan yang
bersumber baik dari perimaan faktor produksi balas jasa dan transfer. Rumahtangga buruh tani, golongan rendah di desa dan golongan rendah di kota
memperoleh sumber pendapatan utama berasal dari faktor produksi tenaga kerja, yaitu masing-masing sejumlah 64.20, 69.66 dan 91.12 persen. Sementara itu,
rumahtangga pengusaha Pertanian, penerima pendapatan di desa, golongan atas di desa, dan golongan atas di kota menerima sumber terbesar dari faktor produksi
modal, yaitu masing-masing sejumlah 82.19, 54.01, 92.44 dan 44.48 persen. Dan rumahtangga penerima pendapatan di kota yang terbesar berasal
dari transfer, terutama dari luar negeri, yaitu sejumlah 82.04 persen. Pola yang sama juga terjadi pada tahun 2003, secara keseluruhan sumber
pendapatan rumahtangga barasal juga baik dari perimaan balas jasa faktor
161
Tabel 6. Sumber dan Distribusi Pendapatan per Rumahtangga di Provinsi Jawa Barat Tahun 1993 dan 2003
Kelompok Rumahtangga Sumber Pendapatan per Rumahtangga
Pendapatan per Rumahtangga
Ribu Tahun Faktor Produksi
Transfer Pendapatan T. Kerja
Modal RT
Swasta Pemerintah
L. Negeri Jabar
1993 2003 1993 2003 1993 2003 1993 2003 1993 2003 1993 2003 1993 2003
Buruh Tani
64.21 74.01
27.80 11.32 3.84
11.41 0.01 0.01 4.14 3.25 0.00 0.00 2374 9677 Pengusaha
Pertanian 10.00
19.88 82.19
76.24 2.21 2.32 0.02 0.01 5.58 1.55 0.00 0.00 6714 30793
Golongan Rendah
di Desa
69.66 42.33
25.56 56.27 2.33 1.09 0.06 0.01 2.39 0.30 0.00 0.00 2749
12091 Penerima
Pendapatan di
Desa 7.43 14.28 54.01 60.38 13.12 22.64 0.02 0.01 5.91 2.69 19.51 0.00 3897 23937
Golongan Atas
Desa 5.61
40.95 92.44
49.41 0.56 1.47 0.01 0.01 1.38 0.95 0.00 7.21 9492 29089
Golongan Rendah
di Kota
91.11 58.24 8.29
41.03 0.19 0.46 0.01 0.01 0.40 0.26 0.00 0.00 3680 12818
Penerima Pendapatan
di Kota
3.25 44.70
13.49 41.55 0.85 6.27 0.00 0.01 0.37 0.72
82.04 6.75 4926 39359
Golongan Atas
Kota 14.26
56.47 44.48
19.99 1.30 0.29 0.08 0.00 4.33 0.26 35.55
22.99 10405
63032
Sumber : SAM Provinsi Jawa Barat Tahun 1993 Diolah
139 produksi dan transfer. Meskipun demikian tidak ada golongan rumahtangga yang
kini memperoleh pendapatan terbesar dari penerimaan transfer. Rumahtangga buruh tani, golongan rendah di kota, penerima pendapatan dan golongan atas
di kota memperoleh sumber pendapatan utama berasal dari faktor produksi tenaga kerja, yaitu masing-masing sejumlah 74.00, 58.25, 44.71 dan 56.46 persen.
Sementara itu golongan rumahtangga lainnya memperoleh sumber pendapatan utama berasal dari faktor produksi modal, yaitu sebesar 76.24, 56.27, 60.38
dan 49.41 persen masing-masing untuk rumahtangga pengusaha Pertanian, golongan rendah, penerima pendapatan dan golongan atas di desa.
Berdasarkan Tabel 6 dapat juga dikemukakan bahwa rata-rata pendapatan per rumahtangga buruh tani di provinsi Jawa Barat tahun 1993 berjumlah
Rp.2374.46 ribu per tahun, dan merupakan rumahtangga berpendapatan paling rendah. Sedangkan rumahtangga bukan Pertanian golongan atas di perkotaan
berjumlah Rp.10405.26 ribu per tahun, merupakan golongan rumahtangga dengan rata-rata pendapatan per rumahtangga tertinggi. Pola yang sama juga terjadi pada
tahun 2003, sebagaimana dikemukakan pada Tabel 7, terlihat bahwa rumahtangga buruh tani yang menerima rata-rata pendapatan per rumahtangga sebesar
Rp.9676.93 ribu per tahun, adalah yang paling rendah, dan rumahtangga bukan Pertanian golongan atas di perkotaan, menerima sebesar Rp.63031.81 ribu per
tahun, merupakan golongan rumahtangga dengan rata-rata pendapatan per rumahtangga tertinggi.
Apabila rumahtangga dikelompokkan ke dalam 2 dua kelompok, yaitu kelompok rumahtangga Pertanian dan bukan Pertanian, maka dapat dikemukakan
bahwa rata-rata pendapatan per rumahtangga yang diperoleh kelompok
140 rumahtangga Pertanian di provinsi Jawa Barat pada tahun 1993 lebih tinggi, yaitu
sebesar Rp.5239.97 ribu per tahun, dibandingkan mereka yang tergolong sebagai rumahtangga bukan Pertanian baik di desa maupun di kota, yaitu masing-masing
menerima sebesar Rp.4581.01 dan Rp.4585.58 ribu per tahun. Akan tetapi tidak demikian keadaan yang terjadi pada tahun 2003, rata-rata pendapatan per
rumahtangga yang diperoleh kelompok rumahtangga bukan Pertanian di kota lebih tinggi, yaitu sebesar Rp.24782.30 ribu per tahun, dibandingkan mereka yang
tergolong sebagai rumahtangga bukan Pertanian di desa dan rumahtangga Pertanian, yaitu masing-masing menerima sebesar Rp.15352.94 dan Rp.17740.59
ribu per tahun. Berdasarkan rasio perbandingan antara pendapatan rumah tangga terendah
dan rumahtangga tertinggi, yang dihitung berdasarkan pendapatan per rumahtangga secara keseluruhan sebagaimana terlihat pada Tabel 6, yaitu antara
rumahtangga buruh tani dan golongan atas di perkotaan adalah 1 berbanding 4.38 pada tahun 1993 dan 1 berbanding 6.51 pada tahun 2003. Terlihat perubahan
tingkat kesenjangan pendapatan yang semakin melebar antar dua golongan rumahtangga tersebut. Pola yang sama juga akan terlihat apabila
memperbandingkan, Pertama, antara pendapatan rumah tangga pada level perkotaan, yaitu antara rumahtangga golongan rendah dan golongan atas di kota
adalah 1 berbanding 2.83 pada tahun 1993 dan 1 berbanding 4.92 pada tahun 2003, Kedua, antara pendapatan rumah tangga pada level sektor pertanian yaitu
antara rumahtangga buruh tani dan pengusaha pertanian adalah adalah 1 berbanding 2.83 pada tahun 1993 dan 1 berbanding 3.18 pada tahun 2003, dan
Ketiga, antara pendapatan rumah tangga pada level sektor non pertanian yaitu
141 antara rumahtangga golongan rendah di desa dan golongan atas di kota adalah
adalah 1 berbanding 3.79 pada tahun 1993 dan 1 berbanding 5.21 pada tahun 2003. sebaliknya akan terlihat pola yang berbeda apabila memperbandingkan
antar pendapatan per rumahtangga pada level pedesaan, yaitu antara rumahtangga golongan rendah dan golongan atas di desa adalah 1 berbanding 4.00 pada tahun
1993 dan 1 berbanding 3.01 pada tahun 2003. Namun demikian dapat dinyatakan bahwa secara keseluruhan tingkat kesenjangan pendapatan antar golongan
rumahtangga di Provinsi Jawa Barat menjadi semakin melebar yang diperhitungkan pada tahun 1993 dan 2003.
Berdasarkan perhitungan gini rasio yang juga dihitung berdasarkan pendapatan per rumahtangga sebagaimana terlihat pada Tabel 6 diperoleh
koefisien gini di provinsi Jawa Barat sebesar 0.26 dan 0.32 masing-masing untuk tahun 1993 dan 2003, yang berarti menunjukkan terjadinya tingkat kesenjangan
pendapatan antar golongan rumahtangga yang semakin melebar. Hal ini membuktikan bahwa hasil perhitungan ini mendukung pernyataan di atas.
Meningkatnya perekonomian yang ditunjukkan oleh peningkatan output di provinsi Jawa Barat selama periode tahun 1993-2003 memberikan imbas yang
baik terhadap pendapatan rumahtangga, dimana pendapatan per rumahtangga yang diterima oleh masing-masing kelompok rumahtangga mengalami
peningkatan. Akan tetapi kesenjangan pendapatan antara rumahtangga termiskin golongan rumahtangga buruh tani dan rumahtangga terkaya golongan
rumahtangga atas di kota berdasarkan pendapatan per rumahtangga di provinsi Jawa Barat menjadi lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa pencapaian
tingkat pertumbuhan yang tinggi dan diiringi adanya perubahan struktural di sisi
142 output di provinsi Jawa Barat tidak dibarengi dengan pemerataan pendapatan
antar golongan rumahtangga. Berdasarkan fenomena ini dan dikaitkan dengan uraian sebelumnya, hasilnya menunjukkan suatu pola yang menyimpang dengan
hasil studi Chenery dan Syrquin 1975 dalam Budiharsono 1996, yang pada dasarnya menyatakan perubahan struktural yang berhasil digambarkan oleh
adanya keselarasan perubahan output, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Terdapat kesamaan antara hasil temuan penelitian ini dengan
hasil studi Budiharsono 1996.
5.2. Sumber Pertumbuhan