40 Ketidakpastian akses terhadap impor bahan baku, menyebabkan penerimaan
ekspor berfluktuasi. Dan Gillis et. al., 1992 menyatakan booming ekspor produk- produk primer mendorong negara-negara berkembang lebih cenderung
mengembangkan industri pengolahan mineral barang tambang dengan karakteristik : skala besar, padat modal, teknologi tinggi dan upah yang tinggi.
Industri yang dikembangkan ini menciptakan kesempatan kerja yang kecil dan memiliki keterkaitan yang kecil terhadap perekonomian secara keseluruhan.
2.5.2. Strategi Industri Substitusi Impor ISI
Substitusi impor merupakan substitusi produksi domestik terhadap impor produk-produk industri manufaktur. Konsep dasar dari strategi ISI meliputi :
Pertama, mengidentifikasi pasar domestik yang besar, yang mengindikasikan peningkatan impor dari tahun ke tahun. Kedua, memastikan bahwa teknologi
produksi dapat diterapkan oleh industri manufaktur lokal atau para investor luar negeri bersedia mensuplai teknologi, manajemen dan kapital. Ketiga, menerapkan
hambatan-hambatan tarif, seperti tarif atau kuota impor, untuk mengatasi biaya awal yang tinggi dari produksi lokal dan membuatnya menguntungkan bagi
investor-investor lokal dalam mencapai target industri Gillis et. al., 1992. Menurut Krugman dan Obstfeld 1991 negara-negara yang menerapkan
stategi ISI tidak menyebabkan negara-negara tersebut menjadi lebih maju bahkan menyebabkan stagnasi pendapatan per kapita. Pada kasus beberapa negara
berkembang hal itu terjadi. Menurut Basalim et. al. 2000, kegagalan negara- negara sedang berkembang meningkatkan perekonomiannya, termasuk Indonesia,
dengan menerapkan strategi ISI adalah : Pertama, pengembangan industri substitusi impor dijalankan dengan melakukan proteksi pemerintah yang
41 berlebihan berupa pemberian fasilitas kredit, fiskal dan perlindungan tarif. Hal ini
membawa konsekuensi berupa kondisi pasar yang tidak sehat, harga yang terlalu tinggi, mutu barang rendah dan timbulnya praktek-praktek monopoli atau
sejenisnya. Lebih tegas dinyatakan oleh Tambunan 2004 bahwa proteksi itu menjadikan industri menjadi tidak efisien. Inefisien ini telah membuat industri
menjadi high cost industry. Kedua, industri yang dikembangkan cenderung bersifat padat modal, sehingga peranannya dalam penyerapan tenaga kerja sangat
kecil. Disamping itu, pengembangan industri padat modal ini menyebabkan industri kecil dan menengah sejenis yang padat karya kalah bersaing, sehingga
tingkat pengangguran bertambah. Ketiga, industri substitusi impor bersifat inward-looking dalam memasarkan produknya dan outward-looking dalam
permintaan input, implikasinya multiplier effects yang ditimbulkan sangat kecil. Keempat, pengembangan industri ini cenderung menguras devisa negara guna
mengimpor bahan bakupenolong dan barang modal yang diperlukan, di sisi lain produk-produk yang dihasilkan kalah bersaing dengan produk-produk sejenis dari
negara lain karena kualitas yang relatif rendah. Kelima, apabila produk-produk industri ini di ekspor, maka devisa yang diperoleh negara-negara sedang
berkembang sangat kecil. Hal ini disebabkan produk industri yang dihasilkan merupakan subcontracting exports dari perusahaan asing kepada afilisasinya di
negara lain. Selanjutnya Tambunan 2004 menyatakan bahwa dari pengalaman
Indonesia, strategi ISI tidak hanya memberikan dampak buruk terhadap sektor industri, tetapi juga terhadap sektor pertanian dan pedesaan. Dengan tarif impor
yang tinggi dalam skim ISI, impor barang modal yang dibutuhkan oleh sektor pertanian manjadi mahal sehingga investasi menurun. Dia menyatakan bahwa
42 secara umum, sektor pertanian berada pada situasi yang berat dalam posisi
“underinvestment”.
2.5.3. Strategi Industri Promosi Ekspor IPE