Dampak Ketidakhadiran Ayah pada Remaja Laki-Laki

19 c. Jenis kelamin anak dan sifat dasar perwalian Pada beberapa penelitian, anak yang tinggal dengan orang tua berjenis kelamin sama ditemui memiliki kecakapan sosial dan harga diri yang lebih baik, lebih bahagia, lebih bebas, dan lebih dewasa Santrock Warshack, 1979, 1986, dalam Santrock, 2003. Akan tetapi, Buchanan, Maccoby, dan Dornbusch 1992 dalam Santrock 2003 mengungkapkan bahwa remaja lebih baik tinggal bersama dengan ibu atau wali ganda daripada bersama ayah. Hal ini dapat disebabkan oleh kedekatan dan perhatian yang diberikan orang tua wali pada remaja. d. Pendapat dan tekanan ekonomi Keadaan ekonomi pada keluarga dengan ibu sebagai orang tua tunggal lebih buruk daripada keluarga dengan ayah sebagai orang tua tunggal. Oleh karena itu, keluarga dengan ibu sebagai orang tua tunggal cenderung mengalami tekanan ekonomi. Berdasarkan keempat hal tersebut, Santrock 2003 mengungkapkan bahwa ketidakhadiran ayah hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja. Adanya sistem pendukung, seperti teman, hubungan positif antara ibu dengan ayah yang telah meninggalkan keluarga, pengasuhan autoritatif, ekonomi yang baik, serta kemampuan- kemampuan remaja menjadi faktor yang mendukung keberhasilan remaja dalam beradaptasi dengan kondisi keluarganya. 20

B. Remaja

1. Definisi Remaja

Menurut Santrock 2003, masa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Sarwono 2011 mengungkapkan bahwa dalam masyarakat Indonesia seseorang yang berusia 11-24 tahun, masih menggantungkan diri pada orang tua, dan belum menikah dapat disebut sebagai remaja. Pada masa ini remaja mengalami banyak perubahan pada aspek fisik, kognitif, dan sosioemosinya Santrock, 2014. Perubahan pada aspek fisik ditandai dengan adanya kematangan fungsi seksual sedangkan pada aspek kognitif ditandai dengan berkembangnya proses berpikir abstrak remaja. Selain itu, remaja juga berkembang secara sosioemosi menjadi pribadi yang independen. Masa remaja terbagi menjadi tiga periode, yaitu remaja awal, madya, dan akhir. Menurut Santrock 2014, masa remaja awal didominasi dengan perubahan fisik, seperti pubertas dan munculnya dorongan seksual. Pada masa remaja madya, remaja cenderung bersifat narcistic, membutuhkan kehadiran teman-teman di sekitarnya, dan mengalami banyak kebingungan dalam mengambil keputusan Sarwono, 2011. Lain halnya dengan masa remaja akhir yang didominasi dengan ketertarikan remaja pada karir, relasi dengan lawan jenis, serta eksplorasi identitas Santrock, 2014 Berdasarkan pengertian di atas, disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju kedewasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan pada fisik, kognitif, dan sosioemosi. 21 Masa remaja berlangsung pada usia 11 sampai dengan 24 tahun yang terbagi menjadi tiga periode, yaitu masa remaja awal, madya, dan akhir. Masa remaja awal didominasi dengan pubertas sedangkan masa remaja madya didominasi dengan perkembangan kognitif dan ketertarikan untuk menjalin relasi dengan teman sebaya. Di sisi lain, masa remaja akhir yang didominasi dengan persiapan menuju masa dewasa.

2. Perkembangan Fisik Remaja

Menurut Berk 2012, masa remaja, ditandai dengan pubertas, yaitu pertumbuhan tubuh secara keseluruhan dan kematangan seksual. Pertumbuhan tubuh secara keseluruhan ini ditandai dengan bertambahnya massa tubuh dan tinggi badan remaja. Selain itu, otot-otot mereka pun makin kuat dan besar. Oleh karena itu, para remaja, khususnya remaja laki- laki semakin kuat, cepat, dan aktif dalam melakukan kegiatan motorik kasar yang kompleks, seperti olahraga gulat, angkat beban, tennis, golf, dan lain sebagainya. Perkembangan fisik yang juga dialami remaja adalah kematangan seksual. Kematangan seksual ini terjadi pada karakteristik seksual primer remaja, misalnya organ-organ reproduksi seperti penis dan testis pada remaja laki-laki. Oleh karena hal tersebut, kini remaja laki-laki mampu berejakulasi, menghasilkan spermatozoa, dan bereproduksi. Hal lain yang turut berkembang adalah karakteristik seksual sekunder remaja, misalnya, munculnya rambut di sekitar ketiak dan daerah kelamin laki-laki. 22 Perubahan fisik yang dialami remaja laki-laki membuat mereka merasa terkejut karena tidak siap menghadapi perubahan yang terjadi pada dirinya meskipun sebelumnya telah mencari informasi terkait pubertas dari bahan bacaan Berk, 2012. Oleh karena itu, remaja perlu menerima keadaan fisik dirinya sendiri Jahja, 2011. Harter 2006 dalam Berk 2012 mengungkapkan bahwa dengan memiliki citra tubuh yang baik, remaja dapat menghargai dirinya dengan baik. Selain itu, remaja juga perlu menerima peran jenis kelamin dan fungsi seksualnya serta memanfaatkan kemampuan tubuhnya secara efektif Sarwono, 2011. Misalnya, remaja laki-laki berperilaku sebagaimana laki-laki seharusnya. Dampak lain dari pubertas adalah munculnya dorongan seks dan familiaritas remaja terhadap hal-hal terkait seksualitas. Hal-hal tersebut dapat mendorong remaja melakukan hubungan seks dengan orang lain. Oleh karena itu, pendidikan mengenai seksualitas sangat diperlukan oleh remaja. Media-media seperti buku, majalah, film, TV, dan internet dapat memberikan informasi tentang seksualitas pada remaja Selain itu, informasi mengenai seksualitas dapat diperoleh dari orang tua, khususnya ayah yang juga mengalami pubertas seperti remaja laki-laki Price, 2007. Meskipun demikian, banyak orang tua yang menghindari pembicaraan mengenai seksualitas kepada anak remaja mereka Berk, 2012. Padahal pembicaraan yang terbuka antara orang tua dengan remaja mengenai seksualitas dapat mencegah terjadinya seks bebas. 23

3. Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut Piaget dalam Berk 2012, kognisi remaja telah mencapai tahap formal operasional. Pada tahap ini, remaja telah mampu berpikir secara abstrak, sistematis, dan kritis. Piaget juga menyatakan bahwa remaja telah mampu berpikir dengan penalaran hipotetis-deduktif. Artinya, remaja mampu memprediksikan hal-hal yang mungkin terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Selain itu, remaja juga mampu memadukan prediksi yang mereka miliki dengan hal lain yang mungkin mempengaruhi persoalan tersebut secara logis. Oleh karena itu, remaja mampu menyelesaikan masalah yang ia hadapi dengan berpikir logis. Kemampuan remaja yang terus meningkat dalam menyelesaikan permasalahan juga diakui oleh Case 1998; Kuhn dan Franklin 2006; Luna et al. 2004 dalam Berk 2012. Meskipun demikian, remaja juga cukup sering melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan. Hal ini terjadi karena mereka hanya mempertimbangkan efek jangka pendek dan melupakan efek jangka panjang dari keputusannya. Akan tetapi, dengan terus belajar dari kegagalannya, remaja mampu mengambil keputusan dengan semakin baik. Selain itu, remaja juga mengalami perkembangan kognisi sosial, yakni cara remaja memandang hubungan antara diri mereka dengan orang lain Santrock, 2014. Dalam hal ini, remaja memiliki egosentrisme yang cukup tinggi. Misalnya, remaja yakin bahwa diri mereka menjadi pusat perhatian dari lingkungan sekitarnya. Egosentrisme remaja juga 24 ditunjukkan oleh keyakinan bahwa diri mereka unik dan kebal sehingga mereka berpandangan bahwa tak seorang pun dapat memahami mereka. Remaja juga cukup dikenal dengan pemikiran idealis dan kritisnya Berk, 2012. Oleh karena itu, remaja sering membayangkan dunia ideal mereka dan mencoba mewujudkan hal tersebut. Hasilnya remaja sering membuat dunia ideal mereka tanpa mempertimbangkan kepentingan orang di sekitarnya. Hal inilah yang kemudian dapat memicu konflik dengan orang dewasa, misalnya orang tua. Berkaitan dengan hal tersebut, Price 2007 mengungkapkan bahwa remaja laki-laki perlu menyadari bahwa dirinya bukanlah pusat dari segala hal melainkan bagian dari komunitas. Dengan demikian, remaja laki-laki dapat belajar betanggung jawab serta menghargai diri sendiri dan lingkungan sosialnya serta membuat keputusan yang baik bagi dirinya. Menurut Berk 2012, lingkungan pendidikan yang positif dapat membantu remaja untuk berprestasi, memiliki kecerdasan yang baik, kepercayaan diri, dan keinginan untuk berhasil. Dalam hal ini, orang tua yang mengasuh anaknya secara autoritatif, yaitu orang tua yang bersikap hangat, terbuka, namun juga tetap terlibat mengawasi anaknya cenderung mendorong remaja untuk dapat berpikir reflektif dan mampu meregulasi diri dengan baik. Selain keluarga, kerja sama orang tua dengan pihak sekolah, seperti guru, serta dukungan dari teman sebaya juga dapat menolong remaja untuk memiliki prestasi akademik dengan baik. 25

4. Perkembangan Sosioemosi Remaja