Perkembangan Fisik Remaja Remaja
26
pemahaman tentang kelemahan maupun kelebihan diri. Sisi evaluatif konsep diri disebut dengan harga diri. Keberhargaan
diri pada remaja dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti relasi pertemanan, daya tarik, dan kompetensi yang dimiliki. Remaja yang
memiliki prestasi akademik, kemampuan atletik, dan relasi pertemanan yang baik cenderung memiliki harga diri yang baik pula.
Menurut Berk 2012, harga diri yang baik membuat remaja memiliki kesadaran serta kemampuan adaptasi dan sosial yang baik. Sedangkan
remaja dengan harga diri yang rendah cenderung memiliki kesulitan dalam beradaptasi.
Hal lain yang mempengaruhi harga diri remaja adalah pola pengasuhan orang tua. Orang tua dengan pola pengasuhan autoritatif
cenderung membentuk harga diri yang tinggi. Di sisi lain, orang tua yang sering mengkritisi dan merendahkan anaknya membentuk remaja
dengan harga diri yang rendah. Konsep diri dan keberhargaan diri remaja turut membentuk identitas personal mereka.
b. Perkembangan Moral
Menurut Sarwono 2011, moral berkaitan dengan segala hal baik yang perlu dilakukan dan hal buruk yang sebaiknya tidak dilakukan.
Hal lain yang terkait dengan moral adalah religi, agama, tata krama, sopan santun, dan norma-norma masyarakat.
27
Berdasarkan teori psikoanalisa Freud dalam Sarwono 2011, moral dijelaskan dengan konsep superego yang berfungsi untuk
mengatur seseorang agar bertindak sesuai dengan norma. Superego terbentuk karena proses internalisasi ajaran-ajaran, perintah, maupun
larangan yang diberikan orang tua atau masayarakat. Dalam hal ini, ayah berperan penting dalam menanamkan moral pada anak-anaknya
Santrock, 2003. Berbeda dengan Kohlberg yang mengungkapkan bahwa
pemahaman moral ditentukan oleh cara individu melakukan penalaran Berk, 2012. Pada tingkatan pertama, yaitu prakonvensional,
moralitas seseorang dikendalikan oleh pihak eksternal. Tingkatan moral ini sering dijumpai pada usia remaja awal. Tingkatan kedua
disebut dengan konvensional dimana moralitas didasarkan pada usaha untuk memelihara keteraturan sosial. Tingakatan kedua sering ditemui
pada remaja pertengahan. Sedangkan pada tingkatan terakhir, yaitu pascakonvensional, moralitas seseorang didasarkan pada nilai
kemanusiaan yang berlaku secara universal. Perkembangan penalaran moral remaja dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Orang tua yang mampu mendiskusikan ajaran moral secara terbuka dapat mengembangkan moralitas yang tinggi pada
remaja Leman, 2005 dalam Berk, 2012. Di sisi lain, orang tua yang menyampaikan pelajaran moral secara satu arah dan penuh ancaman
cenderung menghambat perkembangan penalaran moralitas remaja
28
Walker dan Taylor, 1991 dalam Berk, 2012. Selain itu, sekolah juga turut berpartisipasi dalam perkembangan
penalaran moral remaja. Adanya kesempatan untuk bertemu orang lain dengan berbagai latar belakang budaya memungkinkan remaja untuk
memiliki pandangan yang luas terhadap masalah sosial. Selain itu, diskusi terbuka dengan teman sebaya juga memungkinkan remaja
untuk mengkritisi masalah sosial di sekitar mereka. Percakapan dengan teman yang seusia dapat membentuk konsep bahwa kehidupan
sosial dapat didasarkan pada kesetaraan daripada sekedar ketaatan pada otoritas.
Menurut Berk 2012, perkembangan moral juga turut dipengaruhi oleh budaya setempat. Budaya kolektivis yang sangat
menghargai interdependensi cenderung mengedepankan kepedulian terhadap sesama dalam kasus moralitas. Hal lain yang juga turut
mempengaruhi moralitas remaja adalah agama. Remaja yang terlibat aktif dengan kegiatan keagamaan dan mendapatkan pendidikan
keagamaan cenderung terlibat dalam tindakan prososial
c. Penipean Gender
Peran gender seseorang ditentukan oleh jenis kelamin dan lingkungan yang mempengaruhinya, misalnya orang tua Sarwono,
2011. Dalam masyarakat tradisional, seorang perempuan cenderung mengembangkan sisi femininitas, seperti mengasihi, bersahabat,