Perkembangan Kognitif Remaja Remaja

28 Walker dan Taylor, 1991 dalam Berk, 2012. Selain itu, sekolah juga turut berpartisipasi dalam perkembangan penalaran moral remaja. Adanya kesempatan untuk bertemu orang lain dengan berbagai latar belakang budaya memungkinkan remaja untuk memiliki pandangan yang luas terhadap masalah sosial. Selain itu, diskusi terbuka dengan teman sebaya juga memungkinkan remaja untuk mengkritisi masalah sosial di sekitar mereka. Percakapan dengan teman yang seusia dapat membentuk konsep bahwa kehidupan sosial dapat didasarkan pada kesetaraan daripada sekedar ketaatan pada otoritas. Menurut Berk 2012, perkembangan moral juga turut dipengaruhi oleh budaya setempat. Budaya kolektivis yang sangat menghargai interdependensi cenderung mengedepankan kepedulian terhadap sesama dalam kasus moralitas. Hal lain yang juga turut mempengaruhi moralitas remaja adalah agama. Remaja yang terlibat aktif dengan kegiatan keagamaan dan mendapatkan pendidikan keagamaan cenderung terlibat dalam tindakan prososial c. Penipean Gender Peran gender seseorang ditentukan oleh jenis kelamin dan lingkungan yang mempengaruhinya, misalnya orang tua Sarwono, 2011. Dalam masyarakat tradisional, seorang perempuan cenderung mengembangkan sisi femininitas, seperti mengasihi, bersahabat, 29 rendah diri, dan suka menolong Santrock, 2003 dan Berk, 2012. Begitu pula sebaliknya laki-laki. Mereka cenderung berkembang menjadi figur yang maskulin yang memiliki sikap dominan, percaya diri, mandiri, agresif, ambisisus, kompetitif, dan fokus pada kemampuan untuk bertahan Santrock, 2003 dan Berk, 2012. Akan tetapi dalam masyarakat modern, seorang perempuan maupun laki-laki dapat menjadi androgini dimana mereka memiliki sifat maskulin dan juga feminin. Misalnya saja suami dapat pergi berbelanja ketika istrinya sibuk atau seorang perempuan berprofesi sebagai pilot pesawat terbang yang identik sebagai profesi maskulin Sarwono, 2011. Berk mengungkapkan bahwa remaja androgini lebih sehat secara psikologis, lebih percaya diri, lebih mau mengungkapkan pendapat, dan disukai teman sebaya. Selain itu, mereka juga dapat menjadi undifirentiated dimana mereka kurang menunjukkan sisi maskulin maupun feminin Sarwono, 2011 d. Relasi dengan Keluarga Pada tahapan remaja awal, remaja memiliki emosi yang labil Berk, 2012. Salah satu hal yang menyebabkan gejolak ketidakstabilan emosi remaja adalah konflik peran sosial Sarwono, 2011. Di satu sisi, remaja ingin bertindak mandiri seperti orang dewasa namun mereka juga perlu mematuhi orang tua. Akibatnya, remaja sering berkonflik dengan orang tua. Oleh karena itu, orang tua 30 perlu memahami gejolak emosi remaja serta menerima kondisi bahwa remaja bukanlah anak-anak lagi melainkan individu yang telah bertambah dewasa dan lebih senang untuk menghabiskan waktu bersama teman sebayanya daripada bersama keluarga. Dalam hal ini, ayah sebagai laki-laki dewasa dalam keluarga sangat diperlukan perannya dalam membimbing remaja laki-laki Price, 2007. Ayah dapat menghabiskan waktu bersama remaja laki- laki untuk berakitivitas bersama, berbagi pengalaman hidup, memberikan arahan yang positif dan membangun, atau pun berdiskusi mengenai hal tertentu, seperti cara-cara mengambil keputusan. Apabila keluarga dapat berfungsi dengan baik, maka remaja akan merasakan kebebasan sekaligus lekat dengan orang tua Steinberg dalam Berk, 2012. Dengan demikian tugas perkembangan remaja untuk mencapai kedewasaan yang mandiri, percaya diri, dan mampu menghadapi kehidupan dapat tercapai. e. Relasi dengan Teman Sebaya Dalam relasi sosial, para remaja awal lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya mereka Berk, 2012. Remaja ingin memiliki keintiman, rasa saling mempercayai, dan sikap saling memahami dalam persahabatan yang terjalin antara dirinya dengan teman sebaya. Selain itu, remaja juga ingin temannya bersikap setia kepadanya. Oleh karena itu, seiring waktu, remaja semakin terbuka