14
hambatan dalam perkembangan bahasanya dan memerlukan bimbingan serta pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan individu yang memiliki
gangguan atau ketidakmampuan mendengar sehingga membutuhkan suatu bentuk layanan pendidikan khusus guna mengoptimalkan kemampuan yang
dimiliki dan masih dapat dikembangkan.
2. Klasifikasi Anak Tunarungu
Tidak semua individu memiliki tingkat kemampuan mendengar yang sama, terlebih lagi pada anak tunarungu yang tentunya mengalami gangguan
pendengaran. Slamet Riadi, dkk 1984: 24 mengmukakan satuan yang digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan dengar disebut dengan
dicible dB. Pada anak tunarungu, klasifikasi tingkat kemampuan dengar sangat penting. Hal tersebut dimaksudkan untuk menentukan alat bantu
dengar yang dapat diberikan kepada anak, sehingga mampu mengoptimalkan kemampuan mendengar anak apabila terdapat sisa
kemampuan mendengar. Klasifikasi ketunarunguan sifatnya sangat bervariasi, banyak
pendapat-pendapat berkaitan dengan pengklasifikasian anak tunarungu. Menurut Boothroyd dalam Murni Winarsih 2007: 23-24, klasifikasi
ketunarunguan diantaranya sebagai berikut:
15
a. Kelompok I: kehilangan pendengaran 15-30 dB, disebut mild hearing
losses atau ketunarunguan ringan. Daya tangkap terhadap suara cakapan
manusia normal. b.
Kelompok II: kehilangan pendengaran 31-60 dB, moderate hearing losses
atau ketunarunguan sedang. Daya tangkap terahadap suara cakapan manusia hanya sebagian.
c. Kelompok III: kehilangan pendengaran 61-90 dB, severing hearing
losses atau ketunarunguan berat. Daya tangkap terhadap suara cakapan
manusia hampir tidak ada. d.
Kelompok IV: kehilangan pendengaran 91-120 dB, profound hearing losses
atau ketunarunguan sangat berat. Daya tangkap terhadap suara cakapan manusia sama sekali tidak ada.
e. Kelompok V: kehilangan pendengaran lebih dari 120 dB, total hearing
losses atau ketunarunguan total. Daya tangkap terhadap suara cakapan
manusia tidak ada sama sekali. Andreas Dwidjosumarto dalam Sutjihati Somantri 2006: 95, turut
mengklasifikasikan anak tunarungu berdasatkan taraf kemampuan mendengarnya, adapaun klasifikasi tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat I, kehilangan pendengaran 35-54 dB, individu hanya
membutuhkan latihan berbicara dan bantuan mendengar khusus. b.
Tingkat II, kehilangan pendengaran 55-69 dB, memerlukan penempatan sekolah secara khusus. Selain itu memerlukan latihan berbicara dan
bantuan latihan berbahasa secara khusus.