Karakteristik Anak Tunarungu Kajian Mengenai Anak Tunarungu
19
menghubungkan, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian. Tin Suharmini 2009: 40 menegaskan bahwa anak tunarungu secara
potensial tidak mengalami masalah, yang menjadi masalah yaitu menetapkan cara mengembangkan potensi intelegensi tersebut.
b. Karakteristik pada Aspek Bahasa dan Bicara
Permanarian Somad dan Tati Hernawati 1996: 35-36 menyatakan perkembangan bahasa dan bicara pada anak tunarungu tidak mengalami
permasalahan sampai pada tingkat meraban. Namun, setelah itu perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu terhenti. Ketika
memasuki masa meniru, peniruan anak tunarungu terbatas pada hal yang bersifat visual atau berupa gerakan. Oleh karena itu perkembangan
bahasa dan bicara anak tunarungu membutuhkan adanya pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan tingkat ketunarunguan dan
potensi pendukung lain. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suparno dan Tin Suharmini dalam Tin Suharmini 2009:
40, diperoleh informasi bahwa kesulitan yang dihadapi anak tunarungu, khususnya anak tunarungu remaja dalam penggunaan bahasa ketika
melakukan komunikasi antara lain yaitu: 1 kesulitan dalam menyampaikan pendapat, 2 kesulitan menangkap atau menerima pesan,
3 sering terjadi kesalahan persepsi, 4 kesulitan dalam menyusun kata- kata dengan struktur kalimat atau tata bahasa yang benar serta, 5 kurang
mempertimbangkan penggunaan bahasa dengan menyesuaikan lawan bicaranya.
20
Berdasarkan karakteristik pada aspek bahasa dan bicara yang telah dijelaskan di atas, diketahui anak tunarungu mengalami kesulitan dalam
menyusun kata-kata dengan struktur kalimat atau tata bahasa yang benar. Oleh karena itu diperlukan metode khusus yang diterapkan untuk dapat
mengatasi permasalahan tersebut. c.
Karakteristik pada Aspek Emosi dan Sosial Sutjihati Somantri 2006: 98-99 menyatakan keadaan emosi anak
tunarungu selalu bergolak akibat dari miskinnya bahasa serta pengaruh dari lingkungan yang diterimanya. Seringkali anak tunarungu mengalami
kesalahan dalam mempersepsikan sesuatu sehingga memicu tekanan pada emosinya. Tekanan emosi tersebut mampu menghambat
perkembangan kepribadiannya, seperti menampilkan sikap menutup diri ataupun justru bersikap agresif terhadap lingkungan. Pada umumnya
lingkungan melihat anak tunarungu sebagai individu yang memiliki kekurangan, hal tersebut tentunya membuat anak rendah diri. Anak
tunarungu sering mengalami kecemasan karena harus menghadapi lingkungan dengan komunikasi yang beragam sehingga memicu
timbulnya kebingungan, konflik, dan ketakutan. Menambahkan pendapat yang telah dijelaskan di atas, Tin
Suharmini 2009: 83-84 menyatakan bahwa kesalahan persepsi dari komunikasi yang dilakukan anak tunarungu, ditambah respon lingkungan
yang kurang menyenangkan mampu menimbulkan adanya salah pengertian dan mengakibatkan tekanan-tekanan emosi. Menghadapi
21
lingkungan yang bermacam-macam membuat anak tunarungu mengalami kebingungan dan kecemasan karena anak memiliki keterbatasan
kemampuan berbahasa yang diperlukan dalam mengenalkan norma- norma. Bentuk-bentuk perilaku sosial yang ada pada anak tunarungu
adalah sugesti, simpati, imitasi visual, dorongan untuk bersahabat, menarik diri dari lingkungan yang lebih luas dan kecemasan sosial.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang ada di sekeliling anak memegang peranan penting dalam mengendalikan dan
mengembangkan aspek emosi dan perilaku pada anak tunarungu. Penerimaan dan respon positif yang diberikan lingkungan terhadap
keberadaan anak merupakan hal yang dibutuhkan dalam proses perkembangan aspek emosi dan perilaku sosialnya.