perusahaan dengan kapasitas pembangunan sekitar 150.000‐200.000 unit oer tahun. Mayoritas
pengembang 80 persen adalah pengembang kecil‐menengah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pembentukan kembali Kementrian Perumahan Rakyat tahun 2004 merupakan faktor positif yang
memengaruhi perkembangan pembangunan perumahan rakyat dalam lima tahun terakhir ini.
Faktor ‐faktor yang memengaruhi KSF pembangunan perumahan rakyat anatara lain mencakup
aspek ‐aspek: penyediaan lahan, keberadaan KPR, ketersediaan subsidi, ketersediaan
infrastruktur, dukungan Pemda, daya beli masyarakat, tata ruang, harga bahan bangunan,
permodalan pengembang, kredit perbankan, peraturan‐peraturan daerah, perpajakan,
sinkronisasi kebijakan pemerintah, tingkat suku bunga, ketersediaan anggaran sektor, birokrasi
pemerintah dan lembaga‐lembaga lain terkait.
1. Permasalahan
Permasalahan pokok dalam pembangunan perumahan rakyat dapat dijabarkan sebagai berikut:
1 Permasalahan
pasokan: kesenjangan antara kebutuhan dan kemampuan pasokan yang mana kebutuhan
mencapai 800.000 unit pertahun ditambah tumpukan backlog yang mencapai lebih
dari 8.600.000 unit sementara kemampuan pasokan rata‐rata hanya 100.000 unit per tahun.
2 Pengadaan
lahan: pengadaan lahan skala besar belum bisa terealisasikan karena belum ada kebijakan
pemerintah, belum ada kelembagaan yang menangani dan belum tersedianya anggaran
khusus, sementara keberhasilan pembangunan perumahan rakyat sangat tergantung
dengan keberhasilan pengadaan lahan skala besar. 3
Marjin RSH Rusunami masih kurang menarik animo pengembang, karena kurang atraktif
dibandingkan marjin properti mewah, sedangkan proses bisnisnya menghadapi kesulitan
yang hampir sama.
4 Kurangnya
dukungan pemda; adanya rusunami yang disegel dan didenda oleh pemda menunjukkan
kurangnya perhatian dan koordinasi antar kebijakan Pemerintah. Terbitnya Pergub
DKI Jakarta No. 272009 sebagai revisi atas Pergub No.1362007 terlalu lama 10 bulan,
sementara pengembang sudah mulai kegiatan konstruksinya dan pemasaran sehingga
konsumen sudah membayar uang muka dan akad kredit indent. Oleh karena itu penghentian
pembangunan karena penyegelan dapat berdampak negatif pada konsumen karena
waktu penyelesaian yang tidak tepat, kehilangan kepercayaan, mengundurkan diri dan
peralatan serta bahan bangunan dan juga tenaga kerja terpaksa tidak dapat difungsikan. 5
Daya beli masyarakat berpenghasilan rendah terus terkikis; peningkatan biaya hidup
masyarakat berpenghasilan rendah mengikis daya beli golongan tersebut tersebut.
6 Kurangnya
dukungan infrastruktur vital, yaitu listrik dan air bersih menjadi permasalahan pembangunan.
Laporan dari REI dan Apersi mencatat bahwa ada lebih dari 100.000 rumah RSH
yang terbangun namun belum tersambung listrik. 7
Layanan publik biaya tinggi, yang mencakup biaya‐biaya pengurusan ijin pembangunan,
pengurusan sertifikat, pengurusan kredit, pengurusan bantuan uang muka yang dirasakan
masih berbelit, waktu yang kurang menentu dan biayanya yang tinggi.
8 Keterbatasan
modal pengembang RSH, khusunya untuk pengadahan lahan yang membutuhkan
modal yang cukup besar sementara sekitar 80 persen pengembang RSH merupakan
kategori pengusaha UKM 9
Beban pajak dan retirbusi yang berlebihan, yang terdiri dari BPHTB 5, APPKD, PBB,
kompensasi makam, retribusi IMB, PPN jasa konstruksi 10, PPh 1 dan beban‐beban
lainnya.
Kadin Indonesia: Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014
104
10 Rawan
terhadap ketersediaan KPR, yang mana MBR sebagai konsumen perumahan rakyat hanya
bisa membeli rumah bila KPR tersedia pembeli RSH via KPR mencapai 95. 11
Rawan terhadap ketersediaan subsidi. Subsidi dibutuhkan mengingat suku bunga yang tinggi
dan fluktuatif membuat daya beli masyarakat berpenghasilan rendah terhadap KPR
terganggu.
2. Rekomendasi Kebijakan Dasar