ditempuh ke depan adalah pertama, melanjutkan pembahasan tentang payung hukum dari level
undang ‐undang sampai level peraturan di tingkat lokal untuk merangkum berbagai macam
kepentingan yang menginginkan terwujudnya suatu instrumen pasar jasa lingkungan. Kedua,
melaksanakan beberapa actions di tingkat lapangan untuk memperkuat kapasitas penyedia jasa,
penerima jasa dan intermediaries, agar mampu mewujudkan mekanisme kompensasi jasa
lingkungan pada beberapa lokasi yang krusial bagi konservasi lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan secara umum.
4. Instrumen Ekonomi untuk Keberlanjutan
Instrumen ekonomi untuk membumikan strategi pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan
melalui pebaikan kebijakan yang lebih antisipatif dan responsif terhadap strategi pembangunan
keberlanjutan. Pada intinya, pemerintah harus mengambil inisiatif untuk memelopori
pengelolaan lingkungan hidup baik melalui pengaturan regulasi maupun melalui perumusan
instrumen ekonomi dan sistem insentif lainnya. Pengaturan memerlukan peraturan perundang‐
undangan dan memerlukan insentif ekonomi dalam bentuk pungutan pajak, royalti, subsidi, dan
sebagainya. Telah cukup banyak negara‐negara yang berhasil merumuskan suatu instrumen fiskal
dan kebijakan fiscal telah terbukti efektif dalam mempertahankan kualitas lingkungan hidup
hidupnya. Misalnya, tentang harga tiket masuk ke kawasan alam yang dilindungi; pengenaan
pajak yang efektif terhadap penebangan hutan; dan pungutan yang tinggi terhadap penggunaan
pupuk kimia dan obat pemberantas hama. Pungutan terhadap penggunaan pupuk dan obat‐
obatan banyak digunakan oleh negara‐negara maju, sedangkan beberapa negara sedang
berkembang menterapkan pajak atas penebangan hutan, dan pungutan bea masuk ke dalam
taman nasional banyak diterapkan hampir di semua negara.
Sistem insentif ekonomi untuk mengelola lingkungan hidup dapat diberikan dalam bentuk insentif
fiskal, insentif pendanaan, dan insentif pengembangan pasar jasa lingkungan. Insentif fiskal untuk
mengelola lingkungan hidup dapat berupa pengenaan pajak, tetapi dapat pula dalam bentuk
pemberian subsidi. Pedoman insentif fiskal di atas akan efektif, jika parameter‐parameter tentang
marginal cost dan marginal benefit, serta turunannya dapat dihitung dengan baik. Pajak
lingkungan tepatnya, pajak untuk mengelola lingkungan hidup dapat dikenakan dalam
persentase tertentu, berbentuk retribusi dengan besaran nominal tertentu, ataupun berupa
pungutan. Sebaliknya, sistem insentif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dapat pula
berupa pengurangan pajak, pembebasan pajak, dan pemberian subsidi. Pembebasan pajak
berupa pemotongan jumlah pajak yang harus dibayar, pembayaran secara berkala, atau fasilitas
pajak lainnya diberikan karena objek pajak melaksanakan kegiatan ramah lingkungan, antara lain
menggunakan energi berteknologi secara efisien, atau pengurangan produk yang dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan. Subsidi pajak diberikan antara lain pemotongan pajak
subsidi silang, subsidi pembelian atau pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan.
Singkatnya, kebijakan yang lebih progresif dan kerja lebih keras, agar strategi pembangunan
berkelanjutan dapat masuk ke dalam arus utama mainstream perumusan dan pelaksanaan
kebijakan ekonomi nasional.
Berdasarkan uraian di atas, maka Indonesia perlu membuat suatu reformasi kebijakan fiskal, tidak
hanya memperkenalkan jenis pungutan atau pajak baru, tetapi juga mengintensifkan pengenaaan
pajak dan pungutan yang sudah ada tidak hanya jumlah subyek pajaknya, tetapi juga perbaikan
tarip royalty dan pengenalan pajak lingkungan. Ketidak beranian mengenakan pungutan pajak
Kadin Indonesia: Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014
68
yang tinggi untuk lingkungan berarti tidak adanya kemampuan Pemerintah dalam melaksanakan
fungsi pengaturan, yang sekaligus harus dibayar mahal, karena kualtias sumberdaya dan
lingkungan hidup semakin rusak dan beberapa di antaranya sulit untuk dipulihkan kembali.
Kondisi ekonomi, politik dan sosial terganggu dan akhirnya kesejahteraan masyarakat umumnya
menjadi semakin memburuk.
Selain dengan pendekatan regulasi dan instrumen ekonomi, suatu sistem insentif dan disinsentif
ekonomi untuk mewujudkan strategi pembangunan berkelanjutan juga dapat ditempuh melalui
penyampaian informasi atas dasar kesukarelaan, seperti pemberian Anugerah Adipura dan
Kalpataru kepada perorangan dan lembaga. Pada prinsipnya, dunia usaha mendukung upaya
membumikan strategi pembangunan berkelanjutan atau pelestarian lingkungan hidup secara
umum. Dunia usaha bahkan dapat mengupayakan suatu reformasi peraturan dan sistem insentif
misalya dalam bentuk pembebasan bea masuk untuk mesin‐mesin dan peralatan Unit Instalasi
Pengolahan Limbah IPAL yang diimpor dari luar negeri. Sebaliknya, dunia usaha yang
membebani lingkungan hidup atau terbukti secara obyektif dan terukur mendegradasi melebihi
ambang batas yang ditentukan, perlu dikenakan disinsentif berupa cukai atau punishment berupa
denda secara progresif yang berefek jera.
Proporsi antara insentif dan disinsentif dibuat sedemikian rupa sehingga menstimulasi pelestarian
keseimbangan lingkungan balanced ecology namun tetap tidak counterproductive terhadap
pembangunan berkelanjutan suistanable development. Oleh karena itu, maka instrumen
kebijakan perlu diarahkan pada pengembangan kesadaran, pemahaman, dan komitmen semua
pihak multistakeholder baik dari kalangan pemerintah sendiri, maupun dari luar pemerintah,
khususnya sektor swasta. Langkah‐langkah ini perlu didukung dengan ditegakkannya corporate
responsibility and accountability yang diawasi ketat semua aspek masyarakat, baik itu oleh
asosiasi ‐asosiasi perusahaan ataupun masyarakat umum. Pada saat yang bersamaan, ketegasan
aparat pemerintah willingness to charge yang berwenang menjadi keniscayaan sehingga tidak
ada lagi anggapan aturan hanya sebatas “macan kertas”. Guna membentuk keniscayaan tersebut,
maka good governance sebagai landasan mutlak, harus tercipta lebih dulu terutama di semua
daerah otonom.
5. Pedanaan Pembangunan Berkelanjutan