Sekalipun demikian, dengan segala keterbatasannya, pelaksanaan otonomi daerah telah berhasil
mengurangi dominasi Jakarta dan Jawa dalam persebaran kegiatan ekonomi. Dengan kata lain,
penerapan otonomi daerah yang konsisten akan membuka ruang yang lebih leluasa bagi luar Jawa
untuk tumbuh lebih cepat. Tanda‐tanda ke arah sana sudah mulai tampak. Misalnya, penurunan
pangsa Jakarta dalam penghimpunan dana pihak ketiga oleh perbankan. Sebelum krisis pangsa
Jakarta mencapai 67,3 persen. Sepuluh tahun kemudian, angkanya turun menjadi 50 persen.
Sebaliknya, pangsa dana pihak ketiga di Sumatera dan kawasan Timur Indonesia mengalami
peningkatan cukup tajam. Dalam hal penyaluran kredit, pangsa Sumatera dan kawasan Timur
Indonesia mengalami peningkatan lebih pesat lagi, yakni lebih dua kali lipat dibandingkan 10 tahun
silam. Sebaliknya, pangsa Jakarta merosot tajam dari 68 persen tahun 1997 menjadi hanya 36
persen pada tahun 2007.
Jika pembangunan infrastruktur bisa dipacu lebih cepat di luar Jawa, niscaya kawasan ini akan
sangat menjanjikan sebagai sumber pertumbuhan utama di masa mendatang. Sudah barang tentu,
yang dibutuhkan adalah pembangunan daerah yang betul‐betul meningkatkan kesejahteraan warga
daerah. Bukan sekedar “pembangunan di daerah” yang hanya membuat warganya sebagai
penonton sebagaimana terus berlangsung hingga sekarang. Hal ini telihat dari belum terjadinya
feedback effect. Terbukti, sejauh ini pembangunan di daerah yang cukup marak justru
menghasilkan porsi PDRB yang terus meningkat bagi Jawa.
2. Kerangka
Pokok Pembangunan Regional
Secara teoretis, pembangunan regional dapat diklasifikasikan berdasdarkan kawawasn itu sendiri,
yaitu: 1 kawasan inti yang tumbuh pesat sebagai akibat aglomerasi ekonomi core regions, 2
kawasan transisi yang tumbuh cukup pesat karena kedekatan dengan pusat aglomerasi ekonomi
upward transitional areas, 3 kawasan transisi yang ekonominya menurun atau stagnan
downward ‐transitional areas, 4 kawasan yang belum berkembang tetapi memiliki sumberdaya
pertanian atau kegiatan primer resource frontier regions, dan 5 kawasan yang menghadapi
kendala khusus karena kondisi lokasi yang terpencilteriolasi atau potensi sumber daya yang
dimilikinya kurang memadai special problem regions. Lihat Friedman, 1966.
Bahkan seri Laporan Pembangunan Bank Dunia 2008 secara tegas membuat klasifikasi bahwa
pemerataan kesejahteraan masyarakat antar wilayah akan mulai membaik, jika pendapatan
perkapita di suatu negara mencapai USD 3,500. Kedua, tingkat pemerataan kesejahteraan akan
lebih mantap, jika pendapatan perkapita di suatu negara mencapai USD 10,000. Terakhir, titik
kemapanan pemerataan kesejahteraan masyarakat antar daerah, jika pendapatan perkapita di
suatu negara mencapai USD 25,000. Artinya, sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita
suatu negara, maka tingkat kesenjangan perkembangan antar daerah semakin kecil, dan integrasi
ekonomi antar daerah semakin baik.
Menurut paradigma pembangunan wilayah, proses transformasi sosial‐ekonomi dan lingkungan
fisik terjadi di dalam ruang dapat dilihat dari dimensi geografi ekonomi, yaitu: 1 dimensi
kepadatan ruang density, 2 jarak ruang distance, dan iii pembagian fungsi ruang division.
Ketiga dimensi ini dapat menciptakan ketidakmerataan kesejahteraan masyarakat antar wilayah,
namun juga dapat menciptakan integrasi ekonomi antar wilayah secara eksklusif yang dapat
dianalisis dari fenomena: 1 agglomerasi, 2 migrasi, dan 3 spesialisasi.
Untuk mengurangi ketidakmeraan antarruang tersebut, maka kerangka pembangunan kawasan
perlu mempertimbangkan prinsip‐prinsip keterkaitan linkage, yang berupa: 1 Keterkaitan yang
Kadin Indonesia: Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009 – 2014
32
sinergis antar kota induk dengan kota sekitarnya di kawasan metropolitan, terdapat kecenderungan
kota metropolitan bergabung dengan kota di sekitarnya dan menjadi sangat besar, 2 Keterkaitan
antara perkotaan dan perdesaan di kawasan agropolitan, dan 3 Pengendalian pengembangan
perkotaan dengan menyebarkan pusat‐pusat kegiatan nasional dan wilayah.
3. Landasan