PENDAHULUAN Learning Team Proceeding 2000

Pelajaran dari Pengalaman Proyek Pesisir 1997 - 2000 8 di Sulawesi Utara dapat dianggap sebagai contoh upaya pengelolaan pesisir berbasis masyarakat bagi tempat-tempat lain di Indonesia Kasmidi,et al., 1999. Dengan meningkatnya perhatian masyarakat serta pemerintah terhadap perlunya kelestarian sumberdaya dan usaha-usaha pemanfaatannya di berbagai desa pantai di Indonesia, pengalaman masyarakat desa Proyek Pesisir di Sulawesi Utara dalam proses pendirian daerah perlindungan laut perlu didokumentasikan secara obyektif Lampiran 1. Berbagai pihak yang akan mendirikan ataupun memfasilitasi pendirian daerah perlindungan laut dapat mempelajari pengalaman masyarakat desa proyek. Metodologi yang dilakukan Learning Team dalam mendokumentasikan kegiatan ini dapat dilihat pada paper perspektif Learning Team Sondita et al., 2000.

3. PROSES PENDIRIAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT

Setelah desa Blongko, Kab. Minahasa terpilih sebagai desa proyek, maka secara umum proses pendirian daerah perlindungan laut terdiri dari lima tahapan, yaitu: 1 Pengenalan masyarakat dan sosialisasi proyek 2 Pengembangan kapasitas masyarakat melalui pelatihan, pendidikan dan studi banding 3 Pertemuan konsultasi dan pembuatan aturan DPL 4 Pengesahan keputusan daerah perlindungan laut dan 5 Pelaksanaan. Proses tersebut dalam prakteknya kadang dilakukan secara paralel dalam jangka waktu yang relatif panjang.

3. 1. Pengenalan masyarakat dan sosialisasi proyek

Mengingat Proyek Pesisir merupakan proyek yang relatif bar u bagi masyarakat maupun pemerintahan desa, proses pengenalan dan sosialisasi masyarakat mencakup kegiatan-kegiatan yang sifatnya memperkenalkan proyek kepada masyarakat pesisir sekaligus memberi kesempatan kepada proyek untuk mengenal masyarakat dan kondisi sumberdaya alam ikan diaturdilarang. Daerah ini telah resmi ditetapkan oleh pemerintah setempat lengkap dengan sebuah peraturan yang disusun dan disetujui oleh masyarakat setempat local ordinance, termasuk kelompok stakeholder yang tinggal berdekatan dengan kawasan tersebut Crawford, 1999. DPL berbasis masyarakat di Sulawesi Utara menggunakan pengelolaan kolaborasi dimana masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama berperan dalam perencanaan dan pelaksanaan. Mengingat konsep daerah perlindungan laut ini relatif masih baru, maka kelancaran dan keberhasilan pendirian kawasan ini dapat dikatakan sangat berkaitan erat dengan kegiatan-kegiatan pendahuluan lain yang dilakukan oleh proyek, seperti perkenalan antara proyek dan masyarakat, serta kegiatan pelaksanaan awal early actions.

2. MANFAAT DARI PENDIRIAN DPL DAN ALASAN PROSES PENDIRIAN DPL PERLU DIDOKUMENTASIKAN

Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat yang berhasil adalah apabila DPL-BM tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat seperti memberikan tambahan sumber pendapatan dari peningkatan produksi perikanan dan dari sektor pariwisata. Juga dapat berfungsi sebagai upaya konservasi dengan adanya perbaikan kualitas sumberdaya alam seperti terumbu karang. Manfaat tambahan lainnya adalah peningkatan kemampuan dan kesadaran masyarakat yang lebih besarmeningkat dalam mengelola sumberdaya alam. Selain itu DPL-BM dapat menjadi alat untuk membantu mengatasi isu pengelolaan sumberdaya pesisir yang lebih luas di wilayah tersebut. Dalam jangka panjang, DPL-BM lebih efektif dari segi biaya dan lebih langgeng sifatnya. Hasil-hasil lain seperti partisipasi luas dari masyarakat dalam proses perencanaan atau pengesahan keputusan desa dapat dilihat sebagai hasil antara, yang secara bertahap akan mengarah pada hasil atau dampak yang lebih luas, seperti perbaikan kualitas sumberdaya alam dan kualitas hidup masyarakat Pendirian daerah perlindungan laut yang diupayakan oleh masyarakat desa-desa Proyek Pesisir Proses kegiatan yang dilakukan dalam pembentukan daerah perlindungan laut 1. Pengenalan masyarakat dan sosialisasi proyek 2. Pengembangan kapasitas masyarakat melalui pelatihan, pendidikan dan studi banding 3. Pertemuan konsultasi dan pembuatan aturan DPL 4. Keputusan desa tentang DPL 5. Pelaksanaan 9 Pelajaran dari Pengalaman Proyek Pesisir 1997 - 2000 di lokasi proyek. Setelah empat desa lokasi proyek dipilih oleh Provincial Working Group PWG, Proyek Pesisir menempatkan penyuluh lapang di desa proyek sejak Oktober 1997. Penempatan para penyuluh lapang ini difasilitasi oleh Bupati Minahasa dengan Surat Keputusan No. 2271997 dan No. 67 1998. Melalui para penyuluh lapangan inilah, Proyek Pesisir melakukan sosialisasi proyek kepada masyarakat dan proyek mengenali masyarakat dan mengetahui kondisi sumberdaya alam desa secara lebih intensif. Penyuluh lapangan berperan sebagai wakil proyek yang bertugas untuk menjembatani komunikasi antara proyek dengan masyarakat desa. Penempatan penyuluh lapangan ini dilakukan secara bertahap sesuai dengan intensitas dan tingkat perkembangan kegiatan proyek di tingkat desa Lampiran 2 mengingat pada saat yang bersamaan Proyek Pesisir juga melakukan sosialisasi proyek atau perkenalan di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten. Secara umum dapat dikatakan bahwa sosialisasi proyek kepada masyarakat berlangsung dalam setiap kegiatan, termasuk kegiatan- kegiatan yang bersifat penyuluhan tentang pengenalan isu-isu pesisir, kondisi pesisir setempat, dampak kegiatan manusia dan cara penanganannya, baik dalam acara resmi maupun tidak resmi. Contoh kegiatan pertemuan yang difasilitasi oleh Proyek Pesisir dalam rangka sosialisasi proyek, penyuluhan dan pendidikan serta musyawarah hal- hal khusus, seperti early actions, dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Untuk memperlancar tugas-tugas penyuluh lapangan, baik dalam proses sosialiasi proyek dan pengenalan masyarakat maupun kegiatan lainnya, mulai tahun 1998 seorang penduduk desa diangkat sebagai asisten penyuluh lapangan. Dalam menjalankan tugasnya, penyuluh lapangan dan asistennya mendapat dukungan dari kepala pemerintahan desa. Dalam proses pengenalan masyarakat juga dilakukan beberapa kegiatan penelitian untuk mengenal lebih jauh kondisi masyarakat maupun ekologi desa tersebut. Sejumlah studi tentang desa lokasi proyek sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan strategi proyek dalam mencapai tujuannya, yaitu baseline study, penyusunan sejarah lingkungan desa atau eco-history dan studi-studi teknis. Baseline study ini dilakukan untuk mengetahui kondisi masyarakat dan lingkungan desa sebelum proyek dilaksanakan sehingga di masa yang akan datang, misalnya pada saat proyek berakhir, kita dapat mengetahui apakah proyek ini mempunyai dampak terhadap kondisi masyarakat dan lingkungan desa. Proyek Pesisir Sulawesi Utara mengadakan baseline study di empat desa dalam periode Juni 1997 - Maret 1998 Lampiran 4. Kegiatan studi ini dimulai di desa Bentenan dan Tumbak dimana desain survei sosial-ekonomi yang disusun kemudian diterapkan dan dikembangkan untuk survei sosial-ekonomi di dua desa lainnya, yaitu Talise dan Blongko Pollnac et al., 1997a. Studi kondisi lingkungan pesisir dilakukan dengan mengacu pada metodologi yang dikembangkan oleh ASEAN-Australia Ma- rine Science Project English et al., 1994. Sejarah lingkungan desa eco-history disusun untuk mengetahui kecenderungan kondisi masyarakat dan lingkungan di masa lalu hingga saat ini sehingga konsekuensi dari kecenderungan tersebut di masa depan dapat diperkirakan jika upaya-upaya untuk menangani isu-isu penting tidak dilakukan. Studi ini dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen desa dan catatan-catatan lainnya serta wawancara dengan orang-orang tua yang tinggal di desa. Seperti juga dengan baseline study, penyusunan sejarah lingkungan ini dimulai dengan desa Bentenan dan Tumbak Lampiran 4. Informasi yang terangkum dalam sejarah lingkungan desa tersebut dimanfaatkan Proyek Pesisir dalam penyuluhan kepada masyarakat agar mereka menyadari dan mengetahui perubahan-perubahan yang pernah terjadi sehingga timbul kesadaran untuk melakukan tindakan sebagai antisipasi terhadap kecenderungan perubahan yang teridentifikasi tersebut. Bagi masyarakat desa Blongko, pembangunan jalan raya Trans-Sulawesi yang menggunakan material terumbu karang sebagai fondasi jalan telah menyadarkan bahwa pengambilan terumbu karang telah menyebabkan pantai desa mudah terkena erosi. Dampak dari berkurangnya upaya penangkapan ikan terhadap kelimpahan sumberdaya ikan dapat dimengerti oleh masyarakat desa Blongko setelah mereka merasakan dengan adanya pengalaman pada saat perang Permesta sekitar tahun 1950-an. Setelah desa ditinggalkan selama sekitar satu tahun karena mereka harus mengungsi di desa tetangga, masyarakat desa dapat melakukan operasi penangkapan ikan dengan mudah karena ikan ‘semakin banyak’ di dekat desa. Sedangkan pengalaman