Komponen Variabel Afektif Variabel Afektif dalam Pembelajaran Sastra

xcvi Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa dalam proses pembelajaran sastra, banyak komponen yang terlibat di dalamnya. Subjeknya, adalah guru sebagai pengajar dan siswa sebagai pembelajar. Selain itu masih ada komponen lainnya yang tidak kalah penting pengeruhnya, terhadap keberhasilan program pembelajaran sastra di sekolah. Komponen-komponen tersebut adalah: 1 materi; 2 metode; 3 media, dan 4 evaluasi. Siswa sebagai subjek dalam proses pembelajaran, diharapkan mempunyai sikap dan minat serta kemampuan yang lebih baik setelah proses pembelajaran itu selesai dilakukan. Selain siswa, guru yang merupakan subjek pembelajaran juga diharapakan mampu memfungsikan dirinya sebagai fasilitator, inofator, informator, maupun konduktor. Berikut ini disampaikan uraian tentang variabel afektif dalam pembelajaran sastra yang berkaitan dengan siswa. Hal itu dilakukan dengan asumsi bahwa variabel afektif dipandang ikut berpengaruh terhadap capaian hasil belajar.

a. Komponen Variabel Afektif

1 Kecerdasan Emosional Goleman 1995:14, menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Menurut Cooper dan Sawaf dalam Agung R Harmoko. 2007, 2007, kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang xcvii manusiawi. Sementara itu, Howes dan Herald dalam Zainun Mutadin. 2007, menyampaikan bahwa kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Kecerdasan emosional berada pada wilayah perasaan, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, dapat menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Goleman 1995: 15, menambahkan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan individu yang lain atau dapat berempati kepada orang lain, orang tersebut memiliki tingkat emosional yang baik dan mudah untuk menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Dari berbagai pendapat tersebut, disimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan suatu kecerdasan yang menuntut seseorang untuk dapat belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain, dan dapat menanggapinya dengan tepat, serta mampu menerapkannya dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari. Unsur penting dari kecerdasan emosional tersebut adalah kecakapan pribadi mengelola diri sendiri, kecakapan sosial menangani suatu hubungan, dan keterampilan sosial menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain. Kecerdasan emosional itu pada dasarnya bukan merupakan lawan dari kecerdasan intelektual, atau yang dikenal dengan Iqn namun keduanya selalu berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan dalam segala bidang kehidupan, lebih-lebih yang berkaitan dengan masalah komunikasi di lingkungan masyarakat. xcviii Goleman 1995: 12, mengungkapkan wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan hidup sehari-hari, yaitu: Pertama, mengenali emosi diri. Kesadaran diri dalam mengenali perasaan merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat orang berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya, yang dapat berakibat buruk bagi pengambilan keputusan. Kedua, mengelola emosi. Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, hal itu merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Seseorang dikatakan mampu mengelola emosinya dengan baik, apabila mampu menghibur dirinya ketika ditimpa kesedihan, dapat melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan mampu bangkit kembali dengan cepat dari semua masalah yang menimpa dirinya. Orang yang kurang mampu mengelola emosi, akan memiliki kecenderungan untuk terus menerus merasa murung, gelisah, dan sedih, sehingga cenderung untuk melarikan diri kepada hal-hal bersifat negatif. Ketiga , memotivasi diri. Kemampuan seseorang dalam memotivasi diri dapat ditelusuri melalui kemampuannya dalam mengendalikan dorongan hati, dan derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja. Usia siswa SMA yang tergolong pada kelompok remaja, merupakan usia yang mengalami masa “storm and stress”, yaitu pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan psikis yang bervariasi. xcix Menurut Monks dalam Zainun Mutadin, 2007, pada masa remaja terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja. Menurut Hurlock dalam Zainun Mutadin, 2007, fase pubertas tersebut berkisar antara usia 11- 16 tahun Pada masa itu remaja mengalami perubahan sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal itu memberi dampak pada bentuk fisik terutama organ-organ seksual dan psikis terutama emosi. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, menuntut remaja untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas yang dijalani tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, remaja sering meluapkannya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran. Mengingat masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi lingkungannya, dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang merugikan bagi diri pribadinya, remaja memerlukan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional itu, akan tampak dari bagaimana seseorang mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya, mampu menyetarakan diri dengan lingkungan, mampu mengendalikan perasaannya dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada, sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif. Menurut teori psikologi, beragam aspek kecerdasan yang terdapat dalam diri seseorang itu, secara bersama-sama dapat membangun tingkat kecerdasan orang tersebut. c Beragam tingkat kecerdasan itulah yang membuat masing-masing orang memiliki kepribadian yang unik dan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Semua orang tentu dapat memiliki beberapa bahkan semua kecerdasan tersebut, bila selalu berusaha untuk melatih semua potensi yang ada pada dirinya. Konsep kecerdasan majemuk yang disampaikan oleh Howard Gardner dalam Agus Syafiie, 2007, telah mengoreksi keterbatasan cara berpikir konvensional yang seolah-olah menganggap bahwa kecerdasan seseorang itu hanya bisa dinilai dari hasil ujian atau tes intelegensi semata IQ. Padahal untuk memperoleh kesuksesan hidup dan kebahagiaan justru lebih banyak dipengaruhi oleh kecerdasan lain yang bermuara di dalam hati. Pada masa lalu, untuk kecerdasan musik musical intelligence dan kecerdasan gerak tubuh bodily-kinesthetic intelligence sering disebut orang sebagai bakat. Sementara untuk kecerdasan interpersonal interpersonal intelligence dan kecerdasan intrapersonal, sering pula disebut dengan kepribadian. Apabila IQ Intelligence Quotient didefinisikan sebagai seberapa cerdas seseorang, maka EQ Emotional Quotient didefinisikan dengan seberapa baik seseorang dalam mempergunakan kecerdasan yang dimilikinya. Peter Salovey, pencetus istilah Emotional Quotient EQ dalam Rubadeau, 2007 menyatakan, bila IQ dapat menyebabkan seseorang memperoleh suatu pekerjaan, maka EQ dapat menyebabkan seseorang mendapatkan promosi dalam pekerjaan itu. Karena itu, EQ tidak kalah penting dari IQ. Seperti yang disampaikan oleh Charles Darwin bahwa ” The biggest, the smartest, and the strongest are not the survivors . Rather, the survivors are the most adaptable.” Di antara orang yang bisa bertahan dan maju berkembang dalam dunia yang ci kompleks ini bukan hanya orang yang paling bisa beradaptasi, namun juga yang paling optimistik dan ini artinya adalah mereka orang-orang yang memiliki EQ tinggi Rubadeau, 2007. 2 Sikap Menurut Abdul Ghofur dkk. 2004: 49, dalam Kurikulum 2004 ditegaskan bahwa paling tidak ada dua komponen afektif yang ikut menentukan keberhasilan siswa. Dua komponen tersebut adalah sikap dan minat, yang sangat penting untuk diperhatikan dan diukur secara sistematis dan berkelanjutan. Secara historis, istilah sikap attitude digunakan pertama kalinya oleh Herbert Spencer 1862, untuk melihat status mental seseorang dan menjelaskan mengapa seseorang dapat berperilaku yang berbeda dalam situasi yang sama Saefuddin Azwar, 2003: 4. Sikap dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan individu untuk menerima atau menolak sesuatu berdasarkan penilaian apakah sesuatu itu berharga atau tidak bagi dirinya. Thurstone 1928 dan Likert 1932, tokoh dalam bidang pengukuran sikap itu, berpendapat bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan mendukung, memihak favorable, maupun tidak mendukung, atau tidak memihak unfavorable, pada suatu objek Saefuddin Azwar, 2003: 5 yang dihadapinya. Menurut Gerung dalam Sunarto Agung Hartono, 2002: 170, secara umum, sikap dapat diartikan sebagai kesediaan bereaksi dari suatu individu terhadap suatu hal. Sikap berkaitan dengan motif yang mendasari tingkah laku sesesorang yang berupa kecenderungan, belum merupakan aktivitas. Sikap merupakan kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu objek. cii Menurut Krech, Crutchfild Ballachey 1962: 177, sikap tersebut merupakan sistem penilaian positif atau negatif, perasaan emosi, dan respon terhadap objek. Senada dengan itu, Winkel 1999: 342, menyatakan bahwa sikap adalah kemampuan internal seseorang yang akan berperan dalam mengambil suatu tindakan. Sikap seseorang memiliki peran yang penting dalam kehidupannya, karena seseorang sering dihadapkan pada suatu pilihan antara senang dan tidak senang. Menurut Fishbein Ajzen dalam Syaefuddin Azwar. 2003: 7, sikap seseorang terhadap suatu objek selalu berperan sebagai perantara antara responnya dengan objek yang bersangkutan, yang dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk, yaitu kognitif, afektif, dan konatif, yang masing-masing saling berhubungan. Untuk melihat bagaimana sikap seseorang, dapat diketahui melalui deskripsi lengkap dari respon ketiganya. Winkel 1983: 30-31 menjelaskan, bahwa dalam proses pembelajaran, sikap merupakan bagian dari kompetensi afektif, yang berhubungan erat dengan perasaan. Perasaan itu merupakan faktor psikis non-intelektual yang berpengaruh terhadap semangat belajar. Pengalaman positif akan terungkap dalam perasaan senang, puas, gembira, dan simpati, sedangkan pengalaman negatif akan terungkap dalam perasaan tidak senang, segan, benci, takut, dan marah. Perasaan tersebut akhirnya akan memainkan perannya sebagai unsur afektif dalam pembentukan sikap seseorang. 3 Minat Minat adalah konsekuensi dari sikap positif. Minat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan yang agak menetap dalam subjek untuk merasa tertarik kepada sesuatu dan merasa senang untuk berkecimpung dalam bidang tersebut Winkel, 1983: 30. Menurut Bloom 1970: 24, minat yang tinggi dapat mengakibatkan orang tergila-gila ciii pada objek yang diminatinya. Minat tersebut dapat dilihat melalui beberapa indikator, yaitu: 1 dengan sadar menerima; 2 mau menerima; 3 mempunyai perhatian yang terpilih dan terkontrol; 4 menyetujui untuk merespon; 5 mau merespon; 6 memutuskan untuk merespon; 7 menerima nilai; dan 8 memilih nilai. Lebih lanjut Winkel 1883: 31, menjelaskan, bahwa minat pada seseorang itu dapat ditimbulkan oleh perasaan senang kepada objek. Perasaan senang tersebut akan mendorong timbulnya suatu minat, dan minat itu biasanya didukung oleh adanya sikap yang positif. Sesungguhnya mana yang lebih dahulu ada antara minat dan sikap positif pada seseorang itu, sukar untuk ditentukan secara pasti. Pada umumnya berlaku urutan psikologis sebagai berikut: 1 perasaan senang® 2 sikap positif ® 3 minat. Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan sikap adalah penilaian dan respon dari siswa terhadap sastra dan pembelajarannya. Respon tersebut bisa positif, namun juga bisa negatif. Adapun yang dimaksud dengan minat dalam pembicaraan ini adalah minat siswa terhadap sastra dan pembelajarnnya. Minat tersebut dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan dari siswa untuk merasa tertarik kepada sastra dan merasa senang serta memperoleh manfaat ketika mempelajarinya. Siswa yang bersikap positif dan berminat tinggi terhadap sastra, akan menunjukkan perilaku senang ketika membaca karya sastra, senang untuk menonton pementasan drama, dan mampu menghargai serta menganggap bahwa sastra itu penting, dan bernilai bagi dirinya. Dengan demikian siswa yang bersikap positif dan berminat tinggi terhadap sastra, cenderung untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran sastra, sehingga diharapkan prestasi belajar sastranya dapat meningkat secara optimal. civ Kondisi status sikap dan minat siswa tidak dapat dideteksi melalui tes, tetapi dapat diketahui melalui angket, atau pengamatan yang dilakukan dengan sistematik, terkontrol, dan berkelanjutan. Sistematik berarti pengamatan dengan mengikuti prosedur tertentu, terkontrol berarti pengamatan terpantau dengan baik, dan berkelanjutan berarti penilaian dilakukan secara terus menerus, dalam waktu yang panjang. Deteksi terhadap variabel afektif itu perlu diperhatikan, mengingat pentingnya peran variabel tersebut dalam mempengaruhi sikap, minat dan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Selain itu, menurut Popham 1994: 179, variabel afektif itu dipandang ikut menentukan nilai-nilai atau norma-norma yang berkenaan dengan kebenaran dan integritas dalam membentuk perilaku dan karakter yang positif bagi seseorang di masa yang akan datang.

b. Penilaian Status Afektif