Apresiasi Sastra Pembelajaran Sastra yang Apresiatif di SMA a. Belajar dan Pembelajaran

xlix umumnya sastra literer memiliki fungsi sosial, yaitu memperkaya khasanah batin pembaca atau penikmatnya. Adapun sastra populer atau hiburan adalah sastra yang ringan bobot literernya, dan berisi masalah-masalah yang lebih mengedepankan hiburan belaka. Pada umumnya, sastra populer mengemukakan kenyataan semu, bahkan fantasi atau cerita yang mengandung kadar emosi berlebihan. Selain itu, sastra populer juga mengetengahkan tema-tema percintaan yang sentimental, kekerasan, pembunuhan, dan sedikit mengarah pada pornografi. Dail 2007 menjelaskan, bahwa penting bagi guru sastra untuk memahami dan memperhatikan berbagai ragam jenis sastra, sebagai alternatif materi yang dapat disajikan dalam pembelajaran di kelas. Berbagai ragam genre sastra yang berbeda, seperti misteri horror, fiksi sejarah, fiksi ilmiah, multikultural, dan buku-buku sastra lain yang berkualitas, merupakan alternatif yang baik untuk dipilih sebagai materi pembelajaran yang menarik dan mudah untuk ditemukan oleh guru dan siswa.

c. Apresiasi Sastra

Apabila sastra dilihat sebagai sistem tanda karya seni yang pada umumnya bermediakan bahasa, dan hadir untuk dibaca, dinikmati, dan dimanfaatkan, maka pembelajaran sastra seharusnya ditekankan pada apresiasi. Menurut Hornby dalam Suminto A. Sayuti, 2000: 2, secara leksikal istilah apresiasi appreciation mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan, yang memberikan penilaian. l Istilah apresiasi dapat dimaknai dengan pernyataan seseorang yang secara sadar merasa tertarik dan senang kepada sesuatu, serta mampu menghargai dan memandang hal yang dipilihnya itu mengandung nilai-nilai yang bermanfaat dalam kehidupannya. Menurut Suminto A. Sayuti 2000: 4, apabila sastra dipandang sebagai penjelmaan pengalaman sastrawan ke dalam medium bahasa sehingga membentuk struktur yang rumit, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai kegiatan mengenali, memahami, dan menikmati pengalaman dan bahasa yang menjadi jelmaan pengalaman tersebut, serta hubungan antara keduanya dalam stuktur keseluruhan yang terbentuk. Boen S. Oemarjati 2005: 3 menjelaskan, bahwa apresiasi berarti merespon dengan kemampuan afektif, memahami nilai-nilai, sekaligus berupaya memetakan pola dan tata nilai yang diperoleh dari karya sastra yang diapresiasi ke dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalannya. Berdasarkan batasan-batasan apresiasi yang telah diuraikan tersebut, dapat disampaikan bahwa apresiasi sastra dapat dimaknai dengan kegiatan memahami karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Adapun langkah-langkah dalam apresiasi sastra menurut Suminto A. Sayuti 2000: 5-7, meliputi: 1 interpretasi atau penafsiran, yaitu upaya memahami karya sastra dengan memberi tafsiran berdasarkan sifat karya itu; 2 analisis, yaitu penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-normanya; dan 3 penilaian, yaitu menentukan kadar keberhasilan atau keindahan karya sastra yang diapresiasi. Kurikulum berbasis kompetensi menuntut pembelajaran sastra yang apresiatif, agar wawasan dan kepekaan perasaan siswa dapat dikembangkan. Melalui pembelajaran li sastra yang apresiatif, diharapkan siswa memiliki rasa cinta terhadap sastra, dan sampai pada kesadaran yang lebih baik terhadap diri dan masyarakat sekitarnya. Maman Suryaman dan Felicia Nuradi 2005: 15 menjelaskan, bahwa dalam kurikulum berbasis kompetensi, pembelajaran apresiasi sastra memiliki target penguasaan tiga kompetensi, yaitu: 1 kompetensi penghayatan atau apresiasi; 2 kompetensi ekspresi; dan 3 kompetensi kreasi produktif. Adapun proses pembelajarannya dapat disampaikan melalui empat keterampilan berbahasa, meliputi keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Melalui pembelajaran keterampilan menyimak dan membaca, siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam menikmati, menghayati dan memberikan penilaian terhadap karya sastra. Sementara itu, melalui pembelajaran keterampilan berbicara dan keterampilan menulis, siswa dapat mengekspresikan kemampuannya dalam bersastra melalui kegiatan mencipta berbagai macam karya sastra, bagaimanapun bentuk dan kualitas hasilnya. Kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra diharapkan dapat terwujud dalam berbagai bentuk, antara lain kegemarannya dalam membaca karya sastra, kemampuannya dalam membaca dan menulis puisi, keterampilannya dalam memerankan karakter tokoh dalam drama, kegemarannya dalam menonton pentas drama, dan keterampilannya dalam menganalisis atau menilai karya sastra. Kemampuan apresiasi tersebut dapat dicapai oleh siswa apabila dirinya terlibat langsung dan bergaul dengan karya sastra, melalui pengalaman belajar nyata, dengan membaca dan menikmati karya lii sastra secara utuh, bukan hanya melalui sinopsisnya atau teori-teori yang disampaikan dalam buku-buku pelajaran saja. Kurikulum berbasis kompetensi menyarankan agar pembelajaran sastra yang diselenggarakan di sekolah bersifat responsif dan kolaboratif. Pembelajaran yang responsif dan kolaboratif itu, antara lain dapat terlaksana apabila dimulai dengan kegiatan membaca karya sastra secara intensif. Namun ditegaskan oleh Teeuw 1991: 12-15, bahwa membaca dan menilai karya sastra itu bukan pekerjaan yang mudah, sebab diperlukan pengetahuan yang cukup tentang sistem kode yang rumit, kompleks, dan beraneka ragam. Berbagai kode yang harus dipahami oleh para pembaca sastra, adalah kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Kode bahasa perlu dikuasai oleh pembaca, agar dirinya berhasil dalam mengapresiasi karya sastra tersebut, sebab pada dasarnya setiap karya sastra itu memiliki keunikan yang sebagian di antaranya diungkapkan melalui bahasa. Bahasa dalam karya sastra telah dieksploitasi melalui proses kreatif untuk mendukung fungsi tertentu. Untuk dapat memahami maknanya, seseorang perlu memahami dahulu konvensi bahasa yang umum, yang dimungkinkan oleh kaidah tersebut. Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman 1980: 26, kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Rachmat Djoko Pradopo 2001: 55- 56, menyatakan bahwa karya sastra sebagai tanda terikat pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin realitas budaya masyarakat yang menjadi modelnya. liii Adapun kode sastra adalah kode yang berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran imajinatif dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik, sastra sebagai dokumen sosal budaya, dan sebagainya. Menurut Teeuw 1991: 14, sesungguhnya kode sastra itu tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipun begitu, pada prinsipnya keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra.

d. Pembelajaran Sastra yang Apresiatif