Penilaian Status Afektif Variabel Afektif dalam Pembelajaran Sastra

civ Kondisi status sikap dan minat siswa tidak dapat dideteksi melalui tes, tetapi dapat diketahui melalui angket, atau pengamatan yang dilakukan dengan sistematik, terkontrol, dan berkelanjutan. Sistematik berarti pengamatan dengan mengikuti prosedur tertentu, terkontrol berarti pengamatan terpantau dengan baik, dan berkelanjutan berarti penilaian dilakukan secara terus menerus, dalam waktu yang panjang. Deteksi terhadap variabel afektif itu perlu diperhatikan, mengingat pentingnya peran variabel tersebut dalam mempengaruhi sikap, minat dan aktivitas siswa dalam pembelajaran. Selain itu, menurut Popham 1994: 179, variabel afektif itu dipandang ikut menentukan nilai-nilai atau norma-norma yang berkenaan dengan kebenaran dan integritas dalam membentuk perilaku dan karakter yang positif bagi seseorang di masa yang akan datang.

b. Penilaian Status Afektif

Dalam dunia pendidikan pada umumnya, pengaruh variabel afektif terhadap keberhasilan seseorang dalam belajar sudah tidak diragukan lagi. Karena itu, penilaian terhadap status afektif siswa, penting untuk dilakukan secara sistematis, dan terprogram. Namun kenyataannya hal itu masih jarang dilakukan. Fenomena itu tampaknya tidak hanya terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia tetapi menurut Popham 1994: 190, juga umum terjadi di Negara-negara Barat. Sikap dan minat merupakan variabel afektif yang penting dalam proses pembelajaran, lebih lagi dalam pembelajaran sastra. Para pakar berpendapat bahwa variabel afektif memegang peran utama dalam menentukan norma siswa berkenaan dengan kebenaran dan integritasnya dalam membentuk perilaku sehari-hari. Hal itu sejalan dengan cv pendapat Popham 1994: 179 bahwa variabel afektif ikut membentuk kepribadian positif siswa dan ikut berperan dalam menentukan keberhasilan hidupnya di masa mendatang. Kenyataan menunjukkan, apabila ada siswa yang tidak mampu mengerjakan tugas-tugasnya dengan benar, sesungguhnya belum tentu disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam mengikuti pelajaran. Menurut Krashen dalam Bambang Kaswanti Purwo, 1990: 93, banyak faktor dapat menyebabkan masalah tersebut terjadi. Salah satu kemungkinannya adalah adanya penolakan dalam diri siswa di bawah sadar terhadap figur gurunya. Mengingat variabel afektif ikut berpengaruh terhadap pembelajaran, sudah selayaknya bila guru memberi perhatian secara khusus kepada variabel afektif tersebut. Menurut Popham 1994: 179, masih sedikit guru yang memperhatikan masalah status afektif siswanya. Demikian pula ditegaskan oleh Nana Sudjana 1995: 29, bahwa pada umumnya guru lebih banyak memperhatikan masalah kognitif, dari pada masalah afektif ini. Di lapangan, belum banyak guru yang mencoba untuk menilai status afektif siswanya secara sistematis. Para guru cenderung mengadakan penilaian secara sekilas, dengan mengamati sikap siswa yang “tidak baik” dan kemudian menyimpulkan apakah siswa itu telah mengalami “penyimpangan perilaku”, atau depresi. Penilaian yang demikian itu, hasilnya kurang dapat dipercaya. Tindakan guru tersebut, menurut Popham 1994: 179, karena dilatar belakangi oleh adanya pandangan yang menyesatkan dari para guru, bahwa satu-satunya misi mereka adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswanya. Padahal variabel cvi afektif jauh lebih penting untuk diperhatikan, karena variabel afektif tersebut secara signifikan berpengaruh dalam menentukan keberhasilan seseorang. Bloom 1956: 1 menjelaskan, faktor afektif merupakan salah satu hasil keluaran belajar yang berkaitan dengan perasaan, feeling, nada, emosi, serta variasi penerimaan dan penolakan terhadap sesuatu. Menurut Gagne 1979: 49-56, faktor afektif sering diterjemahkan dengan sikap attitude yang dikaitkan dengan nilai-nilai toleransi, suka membaca, mencintai, dan tanggung jawab. Menurut Nana Sudjana 1995: 30, hasil belajar afektif akan tampak dalam berbagai tingkah laku, antara lain pada perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, penghargaan terhadap guru dan teman, kebiasaan belajar, dan hubungan sosialnya. Adapun jangkauan tujuannya menurut Burhan Nurgiantoro 2001: 25, lebih bersifat kesadaran melalui penerimaan dan kecondongannya terhadap nilai-nilai.

C. Kerangka Berpikir

Kurikulum pembelajaran sastra di SMA memberikan peluang yang besar kepada guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di sekolah, yang dewasa ini dinilai kurang berhasil oleh masyarakat pada umumnya. Dengan melihat sastra sebagai sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa, dan sastra hadir untuk dibaca, dinikmati, diapresiasi serta dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan, maka pembelajaran sastra yang ideal adalah yang apresiatif. Pembelajaran sastra yang apresiatif merupakan pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bergaul dengan sastra, melalui kegiatan membaca, menikmati dan menilainya, serta mencoba untuk mencipta karya sastra bagaimanapun bentuk dan hasilnya.