Keterbatasan Penelitian Gambaran Stunting pada Balita

81

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yang dimiliki yaitu penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2010, dimana penelitian tersebut tidak di disain secara langsung untuk meneliti masalah gizi namun di disain secara langsung untuk meneliti masalah kesehatan yang diarahkan untuk mengevaluasi indikator Millenium Development Goals MDGs, sehingga variabel yang digunakan dalam penelitian ini terbatas hanya pada data sekunder tersebut. Hal ini berarti data tersebut tidak dirancang untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Sebagai akibatnya, beberapa variabel yang diperlukan dan diduga berhubungan dengan Kejadian Stunting pada balita tidak bisa diteliti seperti seperti pengetahuan gizi ibu, ketersediaaan bahan makanan, sosial budaya, daya beli dan penyakit infeksi. Data Riskesdas yang digunakan untuk melakukan penelitian ini kurang begitu baik dalam segi kelengkapan data, karena cukup banyak data yang missing. Dari total 579 data yang tersedia hanya 338 data yang valid untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini. Data konsumsi makanan yaitu asupan energi balita hanya berdasarkan hasil recall 1 x 24 jam. Menurut Gibson 2005 konsumsi makanan sebaiknya dilakukan 3 x 24 jam dengan tujuan untuk menangkap variasi dalam jenis dan jumlah konsumsi makanan. Tingkat pendapatan keluarga dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran rumah tangga sehari yang dinyatakan dalam kuintil 1 sampai 5. Angka dalam rupiah untuk kuintil-kuintil tersebut tidak bisa didapatkan oleh penulis karena data tersebut tidak ada dalam data Riskesdas 2010.

6.2 Gambaran Stunting pada Balita

Stunting merupakan keadaan tubuh pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan Manary Solomons, 2009. Stunting dan serve stunting selanjutnya hanya disebut sebagai stunting pada balita merupakan salah satu masalah besar yang mengancam pengembangan sumber daya manusia. Pada tahun 1995, diperkirakan angka stunting pada balita telah mencapai lebih dari 208 juta dan 206 juta diantaranya berada di negara berkembang. Lebih dari dua per tiga 72 balita stunting berada di Asia. Pada saat ini, angka global stunting pada balita adalah 178 juta World Vision, 2009. Kejadian stunting pada balita diukur dengan menggunakan klasifikasi status gizi berdasarkan indikator tinggi badan menurut umur WHO 2005. Stunting mencerminkan suatu proses kegagalan dalam mencapai pertumbuhan linier yang pontensial sebagai akibat adanya status kesehatan atau status gizi. Pertumbuhan linier atau tinggi badan dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan, dan kondisi medis. Perkembangan dari stunting merupakan proses bertahap yang bersifat kronis, termasuk gizi buruk dan penyakit infeksi, selama periode pertumbuhan linier. Hal ini sering dimulai pada saat janin masih berada dalam kandungan dan meluas melalui dua tahun pertama. Stunting pada masa kanak-kanak sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Tanpa perubahan lingkungan, stunting dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan permanen. Dengan demikian, anak-anak yang mengalami stunting pada awal kehidupan seringkali lebih pendek pada masa kanak- kanak dan dewasa dibanding rekannya yang punya pertumbuhan awal yang memadai Darity, 2008. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS prevalensi balita gizi buruk dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam yaitu 6.3 pada tahun 1989 menjadi 11.6 pada tahun 1995, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Berdasarkan survey gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 prevalensi balita stunting dari tahun 1999-2002 di wilayah pedesaan di delapan provinsi masih berkisar antara 30-40 begitu juga dengan prevalensi balita stunting di wilayah kumuh perkotaan di empat kota menunjukan prevalensi balita stunting tergolong tinggi berkisar antara 27-40. Provinsi Nusa Tenggara Barat NTB merupakan provinsi yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002 yaitu mencapai 48.2. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan, Makasar merupakan kota dengan prevalensi stunting tertinggi, masing masing mencapai 43,1 dan 42,6 Atmarita, 2004. Provinsi Nusa Tenggara Barat NTB juga merupakan salah satu Provinsi yang memiliki prevalensi stunting diatas prevalensi nasional. Provinsi NTB mengalami peningkatan angka stunting pada balita sebesar 4.06 dari tahun 2007 ke tahun 2010. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebanyak 56.36 balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB pada tahun 2010 mengalami stunting. Menurut Kemenkes RI 2010 bila dibandingkan dengan batas non public health problem menurut WHO, angka ini masih diatas ambang batas cut off yang disepakati secara universal. Apabila masalah stunting diatas 20 maka merupakan masalah kesehatan masyarakat.

6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita

Dokumen yang terkait

Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

0 10 147

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Balita Usia 12-59 Bulan di Indonesia (Analisis data Riskesdas 2013)

0 30 139

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 16

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 2

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 1 6

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 34

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013) Chapter III VI

0 0 58

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

1 2 10

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 1 52

KEJADIAN CACAT PADA ANAK USIA 24 - 59 BULAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERKAITAN, RISKESDAS 2010 Factors Associated with Defects in Children Aged 24-59 Months, Basic Health Survey 2010

0 0 12