Gambaran Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting pada Balita

menutup kemungkinan balita tersebut terbebas dari stunting. Karena berdasarkan hasil perhitungan statistik didapatkan hanya 83 dari 175 balita dengan konsumsi protein memiliki pertumbuhan normal. 92 balita lainnya 52.77 mengalami stunting meskipun konsumsi proteinnya sudah sesuai dengan AKG. Sama halnya dengan asupan energi, banyaknya kejadian stunting yang justru ditemukan pada anak-anak yang memiliki asupan protein cukup dikarenakan adanya faktor waktu yang mempegaruhi sampai akhirnya seorang anak dapat menjadi stunting. Protein berfungsi sebagai pengangkut zat-zat gizi. Jika seorang anak dengan asupan energy cukup namun asupan proteinnya sangat kurang, maka zat-zat gizi yang lain pun tidak dapat diangkut keseluruh tubuh. Sehingga menyebabkan kekurangan gizi dan bila kejadian ini terus menerus terjadi maka terjadilah stunting. Oleh karena itu baik asupan energy maupun protein, keduanya sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak.

6.5 Gambaran Jenis Kelamin dengan Kejadian Stunting pada Balita

Dari hasil analisis yang dilakukan, jumlah balita perempuan di Provinsi NTB Tahun 2010 sebagian besar berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 174 balita 51.59. Sedangkan sebanyak 164 balita 48.40 berjenis kelamin laki- laki. Dari 174 balita perempuan yang ada, terdapat 98 orang balita 56.63 mengalami stunting. Meskipun demikian kejadian stunting pada laki- laki di Provinsi NTB juga terbilang cukup tinggi, yaitu sebanyak 56.08 dari 164 balita yang ada mengalami stunting. Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang sehingga terdapat keterkaitan antara status gizi dan jenis kelamin Apriadji, 1986. Perbedaan besarnya kebutuhan gizi tersebut dipengaruhi karena adanya perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki dan perempuan. Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi pada anak laki- laki dan perempuan. Pada beberapa kelompok masyarakat, perempuan dan anak perempuan mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki dan anak laki- laki dalam pengaturan konsumsi pangan. Hal tersebut mengakibatkan perempuan dan anak perempuan merupakan anggota keluarga yang rentan terhadap pembagian pangan yang tidak merata Soehardjo, 1989. Penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah 2012 menunjukkan bahwa kejadian stunting pada balita usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur lebih banyak dialami oleh balita perempuan 64.5 daripada balita laki- laki 35.5. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa presentase gizi kurang pada balita perempuan lebih tinggi 17,9 dibandingkan dengan balita laki- laki 13.8 Suraedi, 2004. Sedangkan sebuah studi meta analisis di 10 negara Sub-Saharan Afrika menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak 0-59 bulan laki- laki lebih tinggi 40 dibandingkan dengan anak perempuan 36 Wamani H et al., 2007. Sejalan dengan penelitian tersebut penelitian yang dilakukan di wilayah Maluku Utara pada anak usia 0-59 bulan juga menunjukkan anak laki- laki memiliko risiko lebih tinggi OR=16 untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak perempuan Ramli et al., 2009. Penelitian serupa yang dilakukan di Zimbabwe juga menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada balita laki- laki lebih tinggi 36 daripada anak perempuan 30. Rosha et al 2012 menunjukkan bahwa anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 29 terhadap stunting dibandingkan dengan anak laki- laki. Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan otot lebih sedikit daripada laki- laki. Secara metabolik, otot lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga secara proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi daripada lemak. Dengan demikian, laki- laki dan perempuan dengan tinggi badan, berat badan dan umur yang sama memiliki komposisis tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan energi dan gizinya juga akan berbeda Almatsier, 2001. Pada tahun pertama kehidupan, laki- laki lebih rentan mengalami malnutrisi daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena ukuran tubuh laki- laki yang besar dimana membutuhkan asupan energi lebih besar pula sehingga bila asupan makanan tidak terpenuhi dan kondisi tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat meningkatkan gangguan pertumbuhan Grehwin M et al., 2004. Namun pada tahun kedua kehidupan perempuan lebih berisiko menjadi stunting. Hal ini terkait dengan pola asuh orang tua dalam memberikan makan pada anak dimana dalam kondisi lingkungan dan gizi yang baik, pola pertumbuhan anak laki- laki lebih baik daripada perempuan. Di Filipina, laki- laki lebih dulu dikenalkan makanan pendamping dimana makanan yang diberikan kaya akan protein yang penting dalam proses pertumbuhan. Sedangkan perempuan lebih banyak diberikan sayuran Adair et al, 1997. Baik laki- laki maupun perempuan memiliki probabilitas untuk menjadi stunting. Namun dengan pola asuh yang baik sebenarnya stunting dapat dicegah. Di Provinsi NTB ini meskipun jumlah balita perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah balita laki- laki, proporsi balita yang mengalami stunting hampir sama, yaitu lebih dari 56. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena pola asuh orang tua balita di Provinsi NTB kurang baik pada balita laki- laki dan perempuan.

6.6 Gambaran Berat Lahir dengan Kejadian Stunting pada Balita

Dokumen yang terkait

Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

0 10 147

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Balita Usia 12-59 Bulan di Indonesia (Analisis data Riskesdas 2013)

0 30 139

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 16

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 2

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 1 6

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 34

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013) Chapter III VI

0 0 58

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

1 2 10

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 1 52

KEJADIAN CACAT PADA ANAK USIA 24 - 59 BULAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERKAITAN, RISKESDAS 2010 Factors Associated with Defects in Children Aged 24-59 Months, Basic Health Survey 2010

0 0 12