Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga
sulit menerima informasi baru bidang gizi. Tingkat pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan,
semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi- informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan tercipta
pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat mengetahui kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan pola makan
lainnya Soehardjo,1989.
Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh Semba RD,
2008 dalam Rahayu, 2011. Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan
dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1
dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah Norliani, 2005 dalam Rahayu, 2011.
2.5.7 Pendidikan Ayah
Tingkat pendidikan ayah yang tinggi akan meningkatkan status ekonomi rumah tangga, hal ini karena tingkat pendidikan ayah erat kaitannya dengan
perolehan lapangan kerja dan penghasilan yang lebih besar sehingga akan
meningkatkan daya beli rumah tanga untuk mencukupi makanan bagi anggota
keluarganya Hidayat, 1980 dalam Suyadi 2009.
Tingkat pendidikan ayah dan ibu merupakan determinan yang kuat terhadap kejadian stunting pada anak di Indonesia dan Bangladesh Semba RD,
2008 dalam Rahayu, 2011. Pada anak yang berasal dari ibu dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tinggi badan 0,5 cm lebih tinggi dibandingkan
dengan anak yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan rendah6. Berdasarkan penelitian Norliani et al., tingkat pendidikan ayah dan ibu mempunyai risiko 2,1
dan 3,4 kali lebih besar memiliki anak yang stunted pada usia sekolah Norliani, 2005 dalam Rahayu, 2011.
2.5.8 Pekerjaan Ibu
Menurut Djaeni 2000, pekerjaan adalah mata pencaharian apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.
Lamanya seseorang bekerja sehari- hari pada umumnya 6-8 jam sisa 16-18 jam dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur, dan
lain- lain. Dalam seminggu, seseorang biasanya dapat bekerja dengan baik selama 40-50 jam. Ini dapat dibuat 5-6 hari kerja dalam seminggu, sesuai dengan pasal
12 ayat 1 Undang- undang tenaga kerja No. 14 Tahun 1986.
Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja terutama di sektor swasta. Di satu sisi hal ini berdampak
positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif
terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Mulyati, 1990 dalam Hermansyah, 2010. Pengaruh ibu yang bekerja terhadap hubungan antara ibu dan anaknya
sebagian besar sangat bergantung pada usia anak dan waktu ibu kapan mulai bekerja. Ibu- ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang
cukup bagi anak-anak dan keluarga Hurlock, 1999 dalam Suyadi, 2009.
Dalam keluarga peran ibu sangatlah penting yaitu sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga, juga berperan dalam usaha
perbaikan gizi keluarga terutama untuk me ningkatkan status gizi bayi dan anak. Para ibu yang setelah melahirkan bayinya kemudian langsung bekerja dan harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore akan membuat bayi tersebut tidak mendapatkan ASI. Sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan
tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Hal ini menyebabkan asupan gizi pada bayinya menjadi buruk dan bisa berdampak pada status gizi bayinya
Pudjiadi, 2000 dalam Suyadi, 2009.
2.5.9 Pekerjaan Ayah