Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita

Menurut Kemenkes RI 2010 bila dibandingkan dengan batas non public health problem menurut WHO, angka ini masih diatas ambang batas cut off yang disepakati secara universal. Apabila masalah stunting diatas 20 maka merupakan masalah kesehatan masyarakat.

6.3 Gambaran Asupan Energi dengan Kejadian Stunting pada Balita

Dari hasil analisis univariat yang dilakukan diketahui bahwa balita dengan asupan energi rendah sebanyak 196 anak 58.22. Sedangkan balita dengan asupan energi cukup sebanyak 142 anak 41.77. Dengan kata lain, ada lebih dari 50 balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang mengkonsumsi energi kurang dari AKG. Penelitian yang dilakukan Fitri 2012 mengenai stunting di Sumatera juga menunjukkan bahwa 50.5 balita memiliki konsumsi energi rendah. Makanan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan terutama untuk pertumbuhan. Tanpa asupan makanan dan nutrisi yang cukup, suatu organisme tidak bisa tumbuh dan berkembang secara normal Robert, 1999 dalam Lupiana, 2010. Tingkat kesehatan biasanya dipengaruhi oleh asupan makanan yang masuk kedalam tubuh seseorang, jika asupan gizi yang masuk dalam komposisi yang baik maka gizi seseorang juga akan baik. Namun jika yang terjadi adalah yang sebaliknya maka tubuh akan kekurangan zat gizi atau biasa disebut malnutrition. Masalah tersebut disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbanga n antara energi dan protein yang masuk dalam tubuh Notoatmodjo, 1989. Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan umur tidaklah sama, sehingga asupan yang diperlukan balita usia dua dan empat tahun akan berbeda. Kebutuhan energi bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan AKG energi untuk balita usia 24-47 bulan adalah 1000 kkalhari, sedangkan AKG balita usia 48-59 bulan adalah 1550 kkalhari WNPG VIII, 2004. Adapun batasan minimal asupan energi per hari adalah 70 dari AKG Kementerian Kesehatan, 2010. Kegagalan tumbuh stunting dihasilkan dari kurangnya asupan gizi merupakan faktor risiko yang paling besar dalam menentukan perkembangan anak Wachs, 2008. Kekurangan gizi mempengaruhi sejumlah besar anak-anak di negara berkembang. Kekurangan gizi akibat dari berbagai faktor, sering terkait buruknya kualitas makanan, asupan makanan tidak cukup dan penyakit infeksi El Sayed et al, 2001. Meskipun jumlah balita dengan asupan energi kurang jumlahnya lebih banyak dibandingkan balita dengan jumlah balita dengan asupan energi cukup, ternyata jumlah balita yang menjadi stunting lebih banyak ditemukan pada balita yang awalnya mengkonsumsi energi cukup. Ada sebanyak 57.85 balita yang mengkonsumsi energi cukup namun pada akhirnya menjadi stunting. Hal ini dapat disebabkan karena stunting merupakan akibat dari kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis. Meskipun secara umum anak balita dengan asupan energi kurang di Provinsi NTB tahun 2010 lebih tinggi, belum tentu seluruh balita tersebut mengalami stunting. Karena ada kemungkinan sebelum pengambilan data Riskesdas 2010 ini dilakukan, balita-balita tersebut sebenarnya sudah mengkonsumsi energi yang cukup atau sesuai dengan AKG. Oleh sebab itu meskipun pada saat pengambilan data Riskesdas ini dilakukan tercatat bahwa balita tersebut mengkonsumsi energi dalam jumlah kurang, tetapi balita tersebut tidak mengalami stunting. Begitu pula sebaliknya, balita yang tercatat mengkonsumsi jumlah energi sesuai AKG pada saat pengambilan data Riskesdas ini belum tentu pada masa sebelumnya selalu mengkonsumsi energi sesuai AKG. Oleh sebab itu meskipun pada data Riskesdas tercatat bahwa balita tersebut telah mengkonsumsi energi sesuai dengan AKG tidak menutup kemungkinan bahwa balita tersebut dapat mengalami stunting. Masyarakat Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat memiliki tradisi Berayan Mangan, yaitu tradisi makan bersama yang telah dilakukan sejak dahulu kala. Biasanya tradisi Berayan Mangan ini dilakukan oleh anak-anak pada saat makan siang dan anak-anak tersebut ditemani oleh ibu mereka. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan selera dan nafsu makan pada anak. Berayan Mangan ini dilakukan secara spontan. Seorang anak akan membawa sepiring nasi yang sudah dilengkapi dengan lauk pauk. Kemudian bersama teman dan saudara serta kerabat lainnya berkumpul di salah satu rumah tetangga. Terkadang lauk pauk bisa saling tukar ataupun saling mencicipi. Tradisi ini merupakan salah satu kebiasaan yang cukup baik guna untuk mengurangi tingkat gizi buruk pada anak. Jika tradisi ini terus dikembangkan dan dikombinasikan dengan adanya penyuluhan mengenai informasi gizi untuk anak, mungkin gizi buruk di NTB dapat ditanggulangi. Penyuluhan informasi gizi ditujukan agar ibu dapat menyajikan makanan yang bergizi untuk anak-anaknya. Sehingga pada saat kegiatan Berayan Mangan ini dilakukan, lauk-pauk yang dibawa anak-anak tersebut adalah lauk-pauk yang sehat dan bergizi, meskipun bukan lauk-pauk yang mahal dan mewah. Dengan demikian selain meningkatnya nafsu makan anak, anak pun diharapkan mendapatkan asupan gizi yang sesuai dengan AKG. Karena stunting merupakan akibat dari kekurangan gizi kronis, jika tradisi Berayan Mangan ini dilakukan terus menerus maka diharapkan prevalensi kejadian stunting di masa yang akan datang pun dapat menurun.

6.4 Gambaran Asupan Protein dengan Kejadian Stunting pada Balita

Dokumen yang terkait

Determinan Asupan Energi dan Protein pada Balita di Wilayah Indonesia Timur dan Barat Tahun 2010 (Analisis Data Sekunder Riskesdas 2010)

0 10 147

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Balita Usia 12-59 Bulan di Indonesia (Analisis data Riskesdas 2013)

0 30 139

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 16

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 2

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 1 6

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 0 34

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013) Chapter III VI

0 0 58

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

1 2 10

Pendidikan Ibu dan faktor lainnya sebagai determinan kejadian stunting pada balita usia 24 – 59 bulan di Provinsi Sumatera Utara (Analisis Data Riskesdas 2013)

0 1 52

KEJADIAN CACAT PADA ANAK USIA 24 - 59 BULAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERKAITAN, RISKESDAS 2010 Factors Associated with Defects in Children Aged 24-59 Months, Basic Health Survey 2010

0 0 12