menjaga balita tersebut selama ibu bekerja. Oleh karena itu jumlah balita stunting lebih banyak ditemukan pada ibu yang bekerja.
6.11 Gambaran Pekerjaan Ayah dengan Kejadian Stunting pada Balita
Hasil analisis menunjukkan hanya 2.96 ayah balita yang tidak bekerja. 97.03 lainnya berkerja. Dapat disimpulkan sebagian besar ayah balita bekerja. Namun
meskipun hampir seluruh ayah balita bekerja, bukan berati balita mereka terbebas dari stunting. Ternyata 56.54 balita dengan ayah bekerja tersebut justru mengalami
stunting. Ayah memiliki peran yang sangat penting dalam keluarga. Sebagai kepala
keluarga, pekerjaan dan penghasilan ayah sangat mempengaruhi daya beli suatu keluarga. Penelitian Hatril 2001 menunjukkan kecenderungan bahwa ayah yang
bekerja dalam kategori swasta mempunyai pola konsumsi makanan keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan ayah yang bekerja sebagai buruh. Hasil uji statistiknya pun
menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya. Penelitian Alibbirwin 2002 mengatakan ayah yang bekerja sebagai buruh
memiliki risiko lebih besar mempunyai balita kurang gizi dibandingkan dengan balita yang ayahnya bekerja wiraswasta.
Keadaan sosial ekonomi antara lain dapat digambarkan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB tahun 2010
yang dikutip dari Profil Provinsi NTB Tahun 2010 diketahui bahwa sebanyak 47 penduduk NTB berusia diatas 10 tahun bekerja dalam bidang pertanian.
Kebanyakan hasil pertanian tersebut untuk konsumsi rumah tangga sehingga pendapatan dari pertanian masih terbilang cukup rendah. Oleh karena itu meskipun
sebagian besar ayah balita bekerja tetapi balita-balita tersebut tetap mengalami stunting.
6.12 Gambaran Wilayah Te mpat Tinggal dengan Kejadian Stunting pada Balita
Hasil analisis menunjukkan 58.22 balita tinggal di pedesaan. Sedangkan
41.77 lainnya tinggal di daerah perkotaan. Sebagian besar balita yang mengalami stunting 58.85 juga tinggal di daerah pedesaan.
Definisi perkotaan adalah suatu tempat dengan 1 kepadatan penduduknya lebih dibandingkan dengan kondisi pada umumnya, 2 mata pencaharian utama penduduknya
bukan merupakan aktifitas ekonomi primerpertanian, dan 3 tempatnya merupakan pusat budaya, administrasi atau pusat kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya Daldjoeni,
2003 dalam Humyrah 2009 dan Ratih 2011. Menurut Komsiah 2007, wilayah pedesaan ditandai dengan sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian di
bidang pertanian. Letak suatu tempat dapat berpengaruh terhadap perilaku konsumsi individu.
Sebagai contoh, seorang petani yang tinggal di desa dan dekat dengan areal pertanian akan lebih mudah dalam mendapatkan bahan makanan segar dan alami, seperti buah dan
sayur. Namun, seseorang yang tinggal di daerah perkotaan akan lebih sedikit akses untuk mendapatkan bahan makanan segar tersebut karena di daerah perkotaan lebih
banyak tersedia berbagai makanan cepat saji. Walaupun tidak menutup kemungkinan, terdapar penduduk perkotaan yang mengkonsumsi buah dan sayur Suhardjo, 2006.
Penelitian yang dilakukan di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh Rosha et al 2012 mengemukakan bahwa anak yang tinggal di wilayah kota memiliki
efek protektif atau risiko lebih rendah 32 terhadap stunting dibandingkan dengan anak yang tinggal di pedesaan. Fenomena ini diduga karena wilayah kota adalah tempat
dimana terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih beragam sehingga orangtua lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan di desa. Hal
ini memungkinkan kebutuhan gizi dan makanan anak sehingga terhindar dari stunting. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Kanjilal et al 2010 menemukan bahwa
stunting diamati lebih tinggi diantara anak orang miskin di daerah pedesaan. Anak-anak perkotaan secara signifikan lebih kecil kemungkinannya dari anak-anak pedesaan utuk
menjadi stunting. Mbuya et al. 2010 dalam penelitiannya di Zimbabwe mengemukakan bahwa balita yang tingal di daerah pedesaan berisiko 2.3 kali untuk
mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang tingal di perkotaan. Dalam penelitian ini sebagian besar balita usia 24-59 bulan di Provinsi NTB
tinggal di pedesaan. Selain sulitnya lapangan pekerjaan di daerah pedesaan yang mengakibatkan daya beli keluarga rendah, sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan
pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan status gizi balita di daerah pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan.
Selain itu orang-orang di daerah pedesaan biasanya memiliki pola pikir yang tidak open-minded. Sebagian besar masyarakat di pedesaan lebih mempercayai
perkataan orang-orang dahulu atau tetua desa yang belum tentu benar faktanya dibandingkan dengan informasi- informasi baru yang sudah teruji kebenarannya. Selain
sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan, informasi kesehatan pun menjadi sulit untuk sampaikan kepada mereka, karena mereka cenderung membantah dan tetap menjalani
apa yang mereka percaya berdasarkan leluhur mereka. Hal ini akan mempengaruhi pola asuh balita. Orang-orang di pedesaan sering memberikan makanan yang tidak sesuai
dengan usia balita. Seperti memberikan pisang kepada anak bayi yang usianya belum cukup. Kebiasaan-kebiasaan ini dapat mempengaruhi masalah gizi balita yang pada
akhirnya mengakibatkan stunting.
6.13 Gambaran Status Ekonomi Keluarga dengan Kejadian Stunting pada Balita