Berdasarkan kondisi di atas maka perhitungan usaha tani usaha budidaya patin pada penelitian dibagi menjadi 2 yaitu usaha yang menggunakan sebagian
besar pakan pabrik pelet dan usaha yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif. Usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif
dilakukan sedikit lebih lama dibanding usaha yang menggunakan sebagian besar pakan pelet. Dimana usaha budidaya yang menggunakan pakan pelet dilakukan
rata-rata selama 8 bulan sedangkan budidaya yang menggunakan pakan alternatif dilakukan selama 9 bulan.
Disamping pemberian pakan yang tepat, produksi ikan patin juga dipengaruhi oleh penggunaan bibit. Bibit ikan patin yang digunakan oleh
pembudidaya di lokasi penelitian pada umumnya berasal dari Jawa Barat. Penggunaan bibit ikan patin dari Jawa Barat disebabkan karena usaha pembibitan
ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu belum maksimal. Benih patin yang biasa digunakan dengan panjang sekitar 10 cm atau dengan padat tebar rata- rata 7 ekor
per m
2
.
4.5. Karakteristik Responden Pembudidaya Ikan Patin
Karakteristik rumahtangga berhubungan dengan keputusan budidaya ikan patin. Karakteristik rumahtangga responden meliputi umur d a n pendidikan
petani pembudidaya ikan patin. Pengalaman tidak dicantumkan karena sebagian besar responden memiliki pengalaman di bawah 5 tahun.
4.5.1. Umur Responden
Umur petani pembudidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu berkisar antara 30-60 tahun. Untuk lebih jelasnya karateristik responden berdasarkan umur
dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Sebaran Umur Responden Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten
Indragiri Hulu Sebaran Pembudidaya tahun
Jumlah Orang Persentase
31 - 40 7
35,00 41 – 50
8 40,00
51 – 60 4
20,00 60
1 05,00
Jumlah 20
100,00
Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa sebagian besar pembudidaya ikan patin berumur antara 41-50 tahun yaitu sebesar 40 persen, selanjutnya petani
pembudidaya dengan berumur antara 31-40 tahun yaitu sebesar 35 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani pembudidaya pembudidaya ikan patin di Kabupaten
Indragiri Hulu sebagian besar masih dalam usia produktif. Pembudidaya dengan umur di atas 60 tahun pada umumnya adalah pensiunan pegawai negeri.
4.3.2. Tingkat Pendidikan Responden Pembudidaya
Tingkat pendidikan merupakan faktor penting dalam usaha budidaya ikan patin. Hal ini karena dibutuhkan kecakapan, keterampilan dan kemampuan untuk
menerima informasi dan inovasi berupa tekonologi untuk pengembangan budidaya ikan patin tersebut
Tabel 14. Sebaran Tingkat Pendidikan Responden Pembudidaya Ikan Patin Tingkat Pendidikan
Jumlah Orang Persentase
SD 5
25,00 SMP
7 35,00
SMA 5
25,00 DiplomaPT
3 15,00
Jumlah 20
100,00 Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
petani pembudidaya ikan patin cukup bervariasi. Sebesar 25 persen peternak responden adalah tamatan SD Sekolah Dasar yaitu sebanyak 5 orang.
Sedangkan yang tamat SMP terbanyak yaitu sebesar 30 persen dan SMA sebanyak 5 orang 20 persen serta DiplomaPT sebanyak 15 persen.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu
5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong
Usaha peternakan sapi potong yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Indragiri Hulu dibedakan menjadi dua jenis usaha yaitu usaha
penggemukan dan usaha pembibitan. Selanjutnya hasil penelitian akan mengarah secara langsung pada kedua jenis usaha ini. Usaha penggemukan dilakukan oleh
masyarakat berjangka waktu rata-rata selama 6 bulan, sedangkan usaha pembibitan dilakukan rata-rata selama 2 tahun. Untuk mengukur tingkat efesiensi
dan kemampuan daya saing usaha peternakan di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dijelaskan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan atau Policy Analysis
Matrix PAM. Matriks ini disusun berdasarkan data biaya input dari suatu
komoditas, kemudian biaya dipisahkan ke dalam komponen tradable dan domestik. Dalam mengelola usaha peternakan seorang peternak memerlukan
sejumlah input yang merupakan biaya produksi. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan dalam usaha peternakan ini baik
kegiatan penggemukan maupun pembibitan sangat ditentukan oleh skala pengelolaannya. Tabel 15 menyajikan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk
usaha penggemukan maupun pembibitan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Pada usaha penggemukan biaya terbesar dialokasikan untuk biaya sapi
bakalan yaitu sebesar 80,56 persen, sedangkan untuk usaha pembibitan biaya terbesar diserap oleh hijauan yaitu sebesar 38,73 persen. Pada usaha
penggemukan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk satu ekor sapi potong selama satu periode penggemukan adalah Rp. 8.895.668, sedangkan pada usaha
pembibitan rata-rata biaya yang dikeluarkan selama satu periode pembibitan untuk satu ekor sapi potong sebesar Rp.6.227.993. Salah satu faktor yang
menyebabkan besarnya proporsi biaya untuk bakalan pada usaha penggemukan adalah mahalnya harga bakalan yang sebagian besar didatangkan dari luar daerah
seperti dari Lampung.