e. Penebaran ikan
Penebaran ikan dapat dilakukan setelah kondisi air di kolam diperkirakan sudah stabil. Kepadatan penebaran untuk patin yang dibesarkan secara
monokultur adalah 1 ekorm
2
untuk benih berukuran 100gekor. Kepadatan ini juga tergantung pada ukuran benih. Penebaran ini dilakukan ketika suhu air
rendah yaitu sekitar 25 C. Suhu ini biasanya terjadi pada pagi atau sore hari.
f. Pemberian pakan tambahan
Pemberian pakan tambahan pada prosese pembesaran patin di kolam sangat mutlak untuk memacu pertumbuhan. Pakan tambahan bisa berupa pelet atau sisa-
sisa kegiatan dapur. Jumlah pakan tambahan biasa 3-4 persen dari bobot total ikan perhari.
g. Panen
Pemanenan dilakukan bila ikan sudah dipelihara di kolam pembesaran selama 6 bulan. Pada umur ini biasanya ikan patin sudah mencapai ukuran
konsumsi. Semakin besar ukuran benih yang ditebarkan semakin singkat masa pemeliharaannya. Pemanenan dilakukan dengan cara mengeringkan kolam dengan
cara perlahan-lahan agar ikan tidak stres. Saluran pemasukan air ditutup sedangkan saluran pengeluaran dibuka.
2.1.3 Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Patin dan Sapi Potong
2.1.3.1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sapi Potong
Konsumsi daging sapi per kapita masyarakat Indonesia saat ini mencapai 1,87 kg. Angka ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain
di Asia Tenggara. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri Indonesia memerlukan minimal 448.000 ton daging sapi per tahun. Dari total
jumlah tersebut Indonesia masih harus mengimpor sebesar 30 persen dari Australia 75 persen, Selandia Baru 20 persen dan dari Amerika Serikat 5
persen. Ketergantungan terhadap daging sapi impor akan menguras devisa negara disamping itu juga menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani
khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan. Impor dari negara lain juga
membuka peluang bagi masuknya penyakit-penyakit ternak yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Oleh karena itu Kementerian Pertanian Indonesia
mencanangkan program PSDSK Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau. Pada awalnya program ini dicanangkan untuk tahun 2010, tetapi karena
adanya berbagai permasalahan maka program tersebut direvisi menjadi tahun 2014
.
Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka swasembada daging 2014 masih belum mampu mengurangi kesenjangan antara konsumsi dan
produksi daging nasional. Beberapa strategi yang ditetapkan oleh pemerintaha dalam rangka Pencapaian swasembada daging 2014 yaitu:
1. Peningkatan atau penambahan populasi sapi betina produktif melalui A.
Mengoptimalkan potensi sapi betina lokal yang ada melalui peningkatan produksi dan produktivitas dengan cara aplikasi teknologi inovatif bidang
pakan dan reproduksi. B. Menambah populasi sapi bibit betina, upaya penambahan populasi sapi bibit betina produktif melalui importasi
dilaksanakan dengan memanfaatkan dana pemerintah maupun swasta. 2.
Penyelamatan populasi sapi betina produktif 3.
Sejalan dengan peningkatan populasi sapi dalam negeri maka penyelamatan populasi sapi betina produktif perlu ditempuh melalui upaya : A
Optimalisasi pencegahan pemotongan betina produktif di RPH. B Optimalisasi pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular
strategis Brucellosis dan IBR. C Optimalisasi penanganan gangguan reproduksi agar tidak di culling.
4. Menekan angka kematian pedet dan sapi muda
5. Peningkatan berat hidup sapi siap potong
6. Peningkatan kualitas pelayanan RPH
Sejak tahun 1974 impor daging Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Peningkatan impor ini akan menyebabkan peternakan dalam negeri menjadi
tergusur, hal ini disebabkan karena harga daging impor lebih murah dari daging lokal. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka Ditjen Peternakan
menetapkan suatu kebijakan dalam pengaturan kebutuhan daging pada tahun 1995, dalam pertemuan tahunan Ditjen Peternakan dengan seluruh Dinas
Peternakan Provinsi serta kedua Asosiasi yaitu Asosiasi Produsen daging dan Feedlot Indonesia APFINDO dan Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia
ASPIDI di Lampung yang dikenal dengan konsep Tiga Ung Gaung yakni : 1 peternakan rakyat tetap merupakan tulang punggung, 2 industri peternakan
rakyat menjadi pendukung, dan 3 impor daging sebagai penyambung penawaran dan permintaan Indrayani, 2011. Berdasarkan kebijakan ini pemerintah
mengatur jumlah daging yang bisa diimpor kuota untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri. Pada awal 2012 pemerintah bahkan memangkas kuota
impor daging dari 94.000 ton menjadi 34.000 ton. Dalam rangka melindungi produsen dalam negeri, pemerintah juga
memberlakukan kebijakan pengenaan bea masuk berupa tarif impor pada komoditas daging. Pemerintah Indonesia secara bertahap akan melakukan
penyesuaian terhadap tarif impor sebagaimana yang telah diusulkan dalam Asian Vision Toward
2020. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 1997 turun menjadi 20 persen.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeaan untuk periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Desember 2003 kesepakatan AFTA,
tarif impor daging sapi akan diturunkan menjadi 5 persen Dirgantoro dalam Indrayani, 2011. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
132.PMK.0.102005 tentang Program Harmonisasi Tarif 2005-2010 menetapkan tarif impor daging sapi dari tahun 2005-2010 sebesar 5 persen. Sedangkan tarif
impor untuk sapi bakalan dari 15 persen turun menjadi nol persen berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Nomor 5221991.
Kebijakan tentang pakan ternak di Indonesia mengacu pada Undang- Undang No.6 Tahun 1967 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Undang-
Undang ini hanya memuat tanaman pakan sebagai pakan ternak, padahal pakan dan bahan baku pakan tidak hanya tanaman pakan tetapi juga pakan tambahan.
Setelah direvisi, Undang-undang ini memuat: definisi pakan, jenis pengusahaan dan distribusi pakan, keamanan pakan, perizinan pengusahaan pakan dan
peraturan-peraturan dengan instansi yang berhubungan dengan seluruh aspek mutu pakan. Peraturan tentang ekspor-impor pakan belum ada, hal ini penting
sekali untuk dipertimbangkan karena pakan, bahan baku pakan dan feed additive sering dikenakan biaya cukup tinggi dalam perdagangan internasioan Indrayani,
2011.
2.1.3.2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Ikan Patin