Peternakan Sapi Potong Tinjauan Teoritis

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Peternakan Sapi Potong

Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap daging setiap tahunnya maka usaha peternakan sapi potong juga mengalami perkembangan. Usaha peternakan sapi potong pada awalnya berkembang di beberapa daerah tertentu seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Bali. Dewasa ini usaha penggemukan sapi juga telah berkembang di Sumatera seperti di Lampung, Sumatera Barat dan Riau. Usaha peternakan sapi dilakukan secara perseorangan atau skala kecil maupun dalam skala besar yang dilakukan oleh perusahaan. Selama ini penyedia daging sapi di Indonesia adalah sebagian besar adalah peternak skala kecil karena peternak berskala menengah dan besar jumlahnya tidak banyak. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan dalam skala besar dan modern. Peternakan rakyat berskala kecil biasanya merupakan usaha sambilan dan mayoritas masih menggunakan pola tradisional. Ada berbagai jenis sapi yang diusahakan oleh peternak di Indonesia sebagai bakalan dalam usaha penggemukan diantaranya: Sapi Bali, Sapi Ongole, Sapi Brahman Cross, Sapi Madura, Sapi Peranakan Limousin. Bakalan merupakan faktor penting karena sangat menentukan hasil akhir usaha penggemukan. Ciri-ciri bakalan yang baik adalah: 1 berumur di atas 2,5 tahun, 2 jenis kelamin jantan 3 bentuk tubuh panjang, bulat dan lebar, panjang minimal 170 cm, tinggi pundak minimal 135 cm, lingkar dada 133 cm, 4 tubuh kurus, tulang menonjol tetapi tetap sehat 5 pandangan mata bersinar cerah dan bulu halus dan 6 kotoran normal Prabowo, 2007. Ada beberapa sistem penggemukan yang digunakan untuk sapi, perbedaannya terletak pada teknik pemberian pakan, luas lahan yang tersedia, umur dan kondisi sapi yang akan digemukkan serta lama penggemukan Siregar, 2009: a. Sistem Pasture Fattening Pasture Fattening merupakan suatu sistem penggemukan sapi yang dilakukan dengan cara menggembalakan sapi di padang pengembalaan. Teknik pemberian pakan dalam sistem ini adalah dengan pengembalaan. Pakan hanya berupa hijauan yang terdapat di padang pengembalaan tanpa pemberian konsentrat maupun biji-bijian. Oleh karena itu di padang pengembalaan harus ditanami leguminosa agar kualitas hijauan lebih tinggi. Di Indonesia, jenis leguminosa yang disarankan adalah Arachis, Centrocema, Lamtoro, Siratro dan Desmodium trifoluim . Pada sistem ini kandang hanya berfungsi sebagai tempat berteduh sapi pada malam hari. b. Sistem Dry Lot Fattening Dry Lot Fattening adalah sistem penggemukan sapi dengan pemberian pakan yang mengutamakan biji-bijian seperti jagung, sorgum atau kacang- kacangan. Dewasa ini penggemukan sapi dengan sistem ini tidak hanya memberikan satu jenis biji-bijian saja tetapi campuran dari berbagai jenis bahan pakan konsentrat. Bahan yang digunakan bisa terdiri dari jagung giling, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit, ampas tahu dan sebagainya. Bahan- bahan tersebut dicampur dengan bahan mineral dan garam dapur sehingga membentuk konsentrat, tetapi pemberian pakan konsentrat tidak boleh lebih dari 60 persen. Pakan hijauan dibatasi jumlahnya minimal 0,5-0,8 persen dari bobot sapi dalam sistem ini sehingga tidak mengganggu proses pencernaan sapi. c. Kombinasi Pasture dan Dry Lot Fattening Sistem kombinasi ini dilakukan dengan pertimbangan musim dan ketersediaan pakan. Sistem ini bisa juga dilakukan dengan cara menggembalakan sapi pada padang penggembalaan beberapa jam pada siang hari dan pada sore dan malam hari sapi dikandangkan dan diberi pakan konsentrat. d. Kereman Penggemukan sapi dengan sistem kereman dilakukan dengan cara menempatkan sapi dalam kandang secara terus menerus selama beberapa bulan. Sistem ini yang umumnya digunakan oleh peternak di Indonesia. Pemberian pakan dan air minum dilakukan dalam kandang yang sederhana selama proses penggemukan. Pemberian Pakan dan konsentrat dilakukan dengan perbandingan yang tergantung pada ketersediaan pakan dan konsentrat tersebut. Konsentrat yang digunakan dalam sistem kereman masih sederhana, yakni terdiri dari satu atau dua jenis bahan pakan saja, misalnya dedak padi saja atau ampas tahu saja. Ada juga peternak yang hanya memberi pakan berupa hijauan saja. Pertambahan bobot badan yang bisa dicapai dengan sistem kereman bervariasi tergantung pada pakan yang diberikan. Pemberian pakan berupa hijauan ditambah konsentrat akan menyebabkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibanding pakan berupa hijauan saja. Berdasarkan penelitian di Wonogiri pertambahan bobot badan sapi rata-rata 0,8 kghari dengan pemberian hijauan dan konsentrat jadi ditambah ampas brem. Pemberian hijauan saja pada sapi peranakan ongole dan jantan sapi perah diperoleh pertambahan bobot badan masing-masing 0,52 kghari dan 0,4 kghari Siregar, 2009 Pemeliharaan dengan sistem kereman juga harus mempertimbangkan bangunan kandang yang baik, karena akan berpengaruh terhadap pertambahan bobot sapi. Secara umum kandang memiliki dua tipe yaitu individu dan kelompok Prabowo, 2007. Pada kandang individu, setiap sapi memiliki tempatnya sendiri berukuran 2,5 x 1,5 m. Pada kandang kelompok, bakalan dalam satu periode memerlukan tempat yang lebih luas daripada kandang individu. Kelemahan tipe kandang ini adalah terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan sehingga sapi yang lebih kuat cenderung cepat tumbuh karena mendapatkan lebih banyak pakan.

2.1.2 Budidaya Ikan Patin