An Analisys of Comparative Advantages of Beef Cattle and Catfish Business in Indragiri Hulu District, Riau

(1)

ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI

POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI

KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU

SILVIA HAYANDANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

PROVINSI RIAU

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2013

NRP. H151100251 Silvia Hayandani


(3)

ABSTRACT

SILVIA HAYANDANI. An Analisys of Comparative Advantages of Beef Cattle and Catfish Business in Indragiri Hulu District, Riau (MUHAMMAD FIRDAUS as Chairman and WIWIK RINDAYATI is a Member of the Advisory of Committee)

Indonesia still imports 30 percent of beef to meet domestic demand, while still importing catfish fillets from Vietnam amounted to 600 tons per month in 2011. Indragiri Hulu district of Riau province is one of the central areas of beef cattle and catfish business. There are several problem about beef cattle and catfish business in the region. Therefore it is necessary to study on competitiveness of both types of business. This study aims to analyze: (1) competitiveness beef cattle and catfish business in the District of Indragiri Hulu, (2) the impact of government’s input-output policy on the competitiveness of beef cattle and catfish business. Policy Analysis Matrix (PAM) was employed in this study in order to measure level of competitive and comparative advantage and effect of government interventions on beef cattle and catfish business. The results showed that Beef cattle business is profitable and has competitive and comparative advantage. Catfish aquaculture that uses most of the feed from factories are uncompetitive, while the catfish aquaculture that use alternative feed has highly competitiveness.The impact of government policy on output of beef cattle and catfish business indicates positive result. It is means that the government intervention has been effective so the prices received by farmers is higher than international prices.

Key words : Comparative Advantages, Beef Cattle and Catfish Business, Policy Analysis Matrix and Policy Impact


(4)

RINGKASAN

SILVIA HAYANDANI. Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau (MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Ketua dan WIWIEK RINDAYATI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2005 sektor pertanian menyumbang sebesar 13,1 persen terhadap PDB, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 15,3 persen (BPS, 2012). Peningkatan kontribusi sektor pertanian ini disebabkan oleh meningkatnya kontribusi beberapa subsektor pertanian yaitu tanaman bahan makanan, perikanan dan peternakan. Peningkatan kontribusi ini juga tidak terlepas dari adanya program revilisasi pertanian yang telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tahun 2005. Revitalisasi bidang peternakan adalah swasembada daging sapi tahun 2014, sedangkan salah satu program revitalisasi dibidang perikanan adalah minapolitan dengan pengembangan beberapa produk unggulan, salah satunya yaitu ikan patin. Seiring dengan berjalannya program revitalisasi tersebut, produksi dalam negeri telah menunjukkan peningkatan tetapi belum menjamin ketersediaan daging sapi dan ikan patin di dalam negeri. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri pemerintah masih mengimpor daging sapi sebesar 74.303 ton dan sapi bakalan 645.833 ekor atau setara dengan 30 persen kebutuhan dalam negeri pada tahun 2011 (Ditjennak 2011). Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan ikan patin dalam negeri Indonesia pada tahun 2011 masih mengimpor fillet ikan patin dari Vietnam rata-rata sebesar 600 ton per bulan (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2011). Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu daerah yang dijadikan sebagai sentra ternak sapi potong di Riau. Sektor perkebunan yang berkembang cukup pesat di daerah ini bisa menopang sektor peternakan terutama dari segi pakan baik hijauan maupun pakan tambahan dari limbah kelapa sawit. Subsektor peternakan dijadikan salah satu subsektor andalan di Kabupaten Indragiri Hulu. Disamping berbagai faktor pendukung yang ada, usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu juga menghadapi berbagai kendala seperti mahalnya harga bibit, pertumbuhan bobot sapi yang belum optimal, semakin berkurangnya lahan untuk kebutuhan pakan ternak khususnya hijauan, manajemen pemeliharaan yang relatif sederhana serta harus bersaing dengan sapi yang didatangkan dari daerah lain. Kabupaten Indragiri Hulu juga merupakan salah satu dari 7 kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai kawasan minapolitan khususnya dalam pengembangan komoditas unggulan ikan patin. Namun usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin mempunyai beberapa permasalahan antara lain harga yang cenderung tidak stabil, mahalnya harga pakan, kurangnya teknologi pembuatan pakan dan lain-lain. Permasalahan tersebut di atas akan berdampak terhadap eksistensi dan daya saing usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) tingkat daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu melalui keunggulan komparatif dan kompetitif. (2) pengaruh kebijakan input dan


(5)

output yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian di lakukan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Pemillihan sampel dilakukan secara purposive. Daya saing pengusahaan ternak sapi potong dan budidaya patin dianalisis dan diukur melalui keuntungan finansial, keuntungan ekonomi, analisis keunggulan kompetitif dan komparatif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM).

Berdasarkan analisis PAM, usaha peternakan sapi potong baik untuk usaha penggemukan maupun usaha pembibitan di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan kompetitif (PCR < 1) dan komparatif (DRC < 1). Nilai PCR sebesar 0.62 untuk usaha penggemukan dan 0,72 pada usaha pembibitan Dengan demikian usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu efesien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif. Sedangkan nilai DRC yang sebesar 0.90 pada usaha penggemukan dan 0,87 pada usaha pembibitan (DRC<1). Artinya setiap 1 satuan yang dibutuhkan untuk mengimpor daging dan sapi bibit/bakalan jika diproduksi di Kabupaten Indragiri Hulu hanya membutuhkan biaya input domestik sebesar 0.90 dan 0,87 satuan sehingga terjadi penghematan devisa sebesar 0.10 dan 0.13. Dengan demikian usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu efesien secara ekonomi atau memiliki keunggulan komparatif. Hasil analisis PAM pada usaha budidaya ikan patin menunjukkan nilai PCR untuk usaha budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan pelet sebesar 0,49 dan pada budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif sebesar 0,30. Dengan demikian usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan kompetitif (PCR<1). Nilai DRC sebesar 1,07 untuk usaha dengan pakan pelet dan 0,47 untuk usaha dengan pakan alternatif. Artinya usaha budidaya patin yang menggunakan sebagian besar pakan pelet tidak memiliki keunggulan komparatif, sedangkan budidaya yang menggunakan sebagian besar pakan alternatif memiliki keunggulan komparatif. Artinya lebih baik impor ikan patin dari pada memproduksi di dalam negeri pada kondisi budidaya dengan sebagian besar pakan pelet, sebaliknya pada kondisi budidaya dengan pakan alternatif lebih menguntungkan jika diproduksi di dalam negeri.

Analisis dampak kebijakan pemerintah pada usaha peternakan sapi potong dalam tabel PAM dari sisi output ditunjukkan oleh Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) yang dihasilkan sebesar 1,29 untuk usaha penggemukan dan 1,18 pada usaha penggemukan (NPCO>1). Hasil ini menunjukkan bahwa peternak di Kabupaten Indragiri Hulu menerima harga lebih tinggi dari harga dunia atau pasar internasional. Pada usaha budidaya ikan patin, nilai NPCO adalah 1,60 baik untuk budidaya dengan pakan pelet maupun pakan alternatif. Hal ini terjadi karena adanya subsidi yang diberikan oleh pemerintah terhadap beberapa input produksi dan adanya kuota impor untuk sapi potong dan ikan patin. Kebijakan pemerintah dalam penggunaan input bisa dilihat dari nilai

Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) merupakan rasio antara biaya input asing yang dihitung berdasarkan harga finansial dengan harga input asing yang dihitung berdasarkan harga ekonomi. Nilai NPCI usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar 1,01 pada usaha penggemukan dan 0,91 pada usaha pembibitan. Hal ini menunjukkan bahwa total biaya input tradable karena adanya kebijakan pemerintah tidak sama dengan biaya input tradable tanpa kebijakan pemerintah. Nilai yang lebih besar dari satu


(6)

mengindikasikan adanya susidi negatif sedangkan nilai yang kecil dari satu merupakan dampak dari subsidi positif. Nilai NPCI pada usaha budidaya ikan patin sebesar 1,26 pada usaha dengan pakan pelet dan 1,31 pada budidaya dengan pakan alternatif. Hal ini terjadi karena adanya pajak yang ditetapkan pemerintah salah satunya yaitu PPN terhadap pakan ikan.

Dampak efektif dari insentif yang diberikan pemerintah pada output dan input secara keseluruhan terhadap usaha peternakan sapi potong maupun usaha budidaya ikan patin dapat dilihat dari nilai Effective Protection Coefficient(EPC). Nilai EPC pada usaha peternakan sapi potong adalah sebesar 1,47 pada penggemukan dan 1,23 pada pembibitan. Nilai EPC pada usaha budidaya ikan patin adalah sebesar 2,31 pada budidaya dengan pakan pelet dan 1,64 pada usaha budidaya dengan pakan alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output telah berjalan dengan efektif bagi peternak dan pembudidaya ikan patin untuk berproduksi.

Kata Kunci : Sapi Potong, Ikan Patin, Keunggulan Kompetitif dan Komparatif, Dampak Kebijakan Pemerintah


(7)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

ANALISIS DAYA SAING USAHA PETERNAKAN SAPI

POTONG DAN USAHA BUDIDAYA IKAN PATIN DI

KABUPATEN INDRAGIRI HULU PROVINSI RIAU

SILVIA HAYANDANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

(10)

Judul Tesis : Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau

Nama Mahasiswa : Silvia Hayandani Nomor Pokok : H151100251 Mayor : Ilmu Ekonomi

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Muhammad Firdaus, SP,M.Si,Ph.D

Anggota

Dr.Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si

Mengetahui,

Kordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr.Ir.R.Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah,MSc.Agr


(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong dan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Muhammad Firdaus,SP,M.Si,Ph.D sebagai ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si, sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Bapak Dr. Alla Asmara,M.Si selaku penguji luar komisi serta Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku penguji wakil Program Studi Ilmu Ekonomi atas saran perbaikan tesis. Bapak Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau yang telah memberikan beasiswa selama penyelesaian studi ini serta Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Riau yang telah memberikan izin penulis melanjutkan studi. Bapak Agus Rosadi, SP, M.Pd selaku Kepala Sekolah SMKN Pertanian Terpadu Provinsi Riau yang telah memberikan izin dan mendorong penulis dalam penyelesaian studi. Kepala dan staf Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu serta Kepala UPTD dan staf yang telah memberikan banyak bantuan dalam mengumpulkan data penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Ibu Asniwarli , Ayah Kaismi (alm) dan Ayah Zainun yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do’a dan kasih sayang kepada penulis, juga saudariku tercinta Refnayulita atas dukungan semangat dan do’anya.Teman-teman IE angkatan 2010 terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Penulis berharap penelitian ini bisa bermanfaat dalam pengembangan pendidikan serta pengembangan sektor pertanian khususnya subsektor peternakan dan perikanan di Provinsi Riau.

Bogor, Januari 2013


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tebing Tinggi, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tanggal 18 September 1982, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kaismi (alm) dan Ibu Asniwarli.

Tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di SMK N 1 Payakumbuh dan pada tahun yang sama melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang (UNP) pada Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2005.

Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi Riau. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 dengan beasisswa dari Dinas Pendidikan Provinsi Riau melalui Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan .


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian... ... 12

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Tinjauan Teoritis ... 15

2.1.1. Peternakan Sapi Potong... ... 15

2.1.2. Budidaya Ikan Patin... ... 17

2.1.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sapi Potong dan Ikan Patin... 19

2.1.4. Keunggulan Komparatif.. ... 23

2.1.5. Keunggulan Kompetitif.. ... 24

2.1.6. Analisis Kebijakan Pemerintah ... 25

2.1.7. Kebijakan Output ... 28

2.1.8. Kebijakan Input ... 30

2.1.9. Matriks Analisi Kebijakan (Policy Analysis Matrix/ PAM) ... 33

2.2. Tinjauan Empiris ... 35

2.2.1. Studi Daya Saing Sapi Potong... ... 35

2.2.2. Studi Daya Saing Perikanan ... 37

2.2.3. Studi Aspek Kebijakan ... 38

2.3. Kerangka Pemikiran Operasional ... 40

III. METODE PENELITIAN ... 43

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 43

3.3. Metode Penentuan Sampel ... 44

3.4. Metode Analisi Data ... 44

3.4.1. Analisis Indikator Matriks Kebijakan ... 45

3.4.2. Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing .. 49

3.4.3. Penentuan Harga Bayangan Input dan Output ... 50

3.5. Analisis Sensitivitas ... 55

IV. GAMBARAN UMUM ... 57

4.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 57

4.2. Keadaan Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu... 58


(14)

4.3. Karakteristik Responden Peternak Sapi Potong ... 61 4.3.1. Umur Responden Peternak ... ... 62 4.3.2. Tingkat Pendidikan Responden Peternak ... ... 62 4.3.3. Pengalaman Responden Peternak63

4.4. Keadaan Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu 63 4.5. Responden Pembudidaya Ikan Pati ... 65 4.3.1. Umur Responden Pembudidaya ... 65 4.3.2. Tingkat Pendidikan Responden Pembudidaya66

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 67

5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu ... 67 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Peternakan Sapi

Potong di Kabupaten Indragiri Hulu ... 67 5.1.2. Analisis Daya Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di

Kabupaten Indragiri Hulu ... 70 5.1.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif ... 71 5.1.2.2. Analisis Keunggulan Komparatif ... 72 5.1.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya

Saing Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu... 73 5.1.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output ... 74 5.1.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input ... 75

5.1.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output ... 78

5.1.4. Analisis Sensitivitas Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu ... 83 5.1.5. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing

Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu 83 5.2. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap

Usaha budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 85 5.2.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu ... 85 5.2.2. Analisis Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu ... 89 5.2.2.1. Analisis Keunggulan Kompetitif ... 89 5.2.2.2. Analisis Keunggulan Komparatif ... 90 5.2.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya

Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 91 5.2.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output ... 92 5.2.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input ... 93

5.2.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input dan Output ... 94

5.1.4. Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu ... 96


(15)

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 101

6.1. Kesimpulan ... 101

6.2. Implikasi Kebijakan ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(16)

(17)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Permintaan Daging Sapi di Indonesia tahun 2007-2011... 2

2. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia 2006-2010... 6

3. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2007-2010... 7

4. Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Sumatera Tahun 2007-2010... 7

5. Jumlah Ternak Sapi Potong Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Riau ... 9

6. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi... 26

7. Policy Analysis Matrix... 34

8. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi oleh Peternak Responden di Kabupaten Indaragiri Hulu tahun 2011... 59

9. Sebaran Umur Peternak Responden di Kabupaten Indragiri Hulu... 62

10.Sebaran Tingkat Pendidikan Peternak Responden... 62

11.Pengamalaman Peternak Responden... 63

12.Luas Kolam Responden Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 64

13.Sebaran Umur Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 65

14.Sebaran Tingkat Pendidikan Pembudidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu... 66

15.Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011... 68

16.Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 70

17.Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Privat Cost Ratio (PCR) Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 71


(18)

18.Output Transfer (OT) dan Nominal ProtectionCoeffocient on Output

(NPCO) Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu

Tahun 2011... 74 19.Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient

on Input (NPCI) Usaha Penggemukan dan Pembibitan Sapi Potong di

Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 76 20.Nilai Indikator Kebijakan Input, Output Usaha Penggemukan dan Pembibitan

Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 78 21.Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Penggemukan dan

Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 81 22.Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Penggemukan

dan Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun

2011... 82 23.Simulasi Afirmatif Usaha Peternakan Sapi Potong Di Kabupaten Indragiri

Hulu... 83 24.Rata-rata Penerimaan dan Komponen Biaya Privat Usaha Budidaya Ikan

Patin di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2011... 86 25.Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten

Indragiri Hulu Tahun 2011... 88 26.Domestic Resources Cost Ratio (DRC) dan Privat Cost Ratio (PCR) Usaha

Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 89 27.Output Transfer (OT) dan Nominal ProtectionCoeffocient on Output

(NPCO) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun

2011... 92 28.Input Transfer (IT), Factor Transfer (FT) dan Nominal Protection Coefficient

on Input (NPCI) Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu

Tahun 2011... 93 29.Nilai Indikator Kebijakan Input, Output Usaha Budidaya Ikan Patin di

Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 95 30.Nilai Keuntungan Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan

Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 97 31.Indikator Daya Saing Berdasarkan Analisis Sensitivitas Usaha Budidaya Ikan

Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Tahun 2011... 98 32.Simulasi Afirmatif Usaha Budidaya Ikan Patin Di Kabupaten Indragiri Hulu 99


(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor halaman

1. Hasil Produksi Patin Indonesia 2006-2010... 5

2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor dan Barang Ekspor... 29

3. Subsidi dan Pajak Input Tradable... 31

4. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable... 32


(20)

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto (PDB)

atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (2007-2011) ... 107 2. Alokasi Komponen Biaya Input dan Output dalam Komponen

Domestik dan Asing... ... 108 3. Perhitungan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2011... 109 4. Perhitungan Harga Paritas Impor Daging dan Sapi Bibit/Bakalan

Tingkat Petani di Kabupaten Indragiri Hulu... ... 110 5. Perhitungan Harga Paritas Impor Ikan Patin dan Harga Paritas Impor

Garam Tingkat Petani di Kabupaten Indragiri Hulu... .... 111 6. Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Urea... 112 7. Struktur Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten

Indragiri Hulu... ... 113 8. Struktur Biaya Usaha Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Indragiri

Hulu... .. 113 9. Struktur Biaya Usaha Budidaya Ikan Patin dengan Menggunakan

Sebagian Besar Pakan Peletdi Kabupaten Indragiri Hulu... . 114 10.Struktur Biaya Usaha Budidaya Ikan Patin dengan Menggunakan

Sebagian Besar Pakan Alternatif di Kabupaten Indragiri Hulu... . 114 11.Biaya Privat dan Sosial Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten

Indragiri Hulu Tahun 2011... . 115 12.Biaya Privat dan Sosial Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten

Indragiri Hulu Tahun 2011... . 116 13.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat

Harga Sapi Potong Turun 15 Persen di Kabupaten Indragiri

Hulu... ... 117 14.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing

Pada Saat BBM Naik 15 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu... . 118

15.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Menggunakan Pakan dari Limbah Sawit di Kabupaten Indragiri Hulu... . 119


(22)

16.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Harga Ikan Patin Turun 25 Persen di Kabupaten

Indragiri Hulu... 120 17.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha

Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Pada Saat PPN Pakan Ikan 10 Persen... 121 18.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing

Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indragiri Hulu Pada Saat Terjadi Depresiasi Nilai Tukar sebesar 5.5 Persen... 122


(23)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sektor pertanian juga berperan besar dalam penyediaan pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Sektor pertanian yang dimaksud disini adalah sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan. Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 rata-rata kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 13,4 persen (Lampiran 1), dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 3,7 persen. Dari lima subsektor yang ada, peternakan dan perikanan merupakan subsektor pertanian yang mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan. Walaupun secara rata-rata pangsa subsektor peternakan terhadap total PDB hanya 1,70 persen dan subsektor perikanan 2,2 persen. Secara rata-rata dari tahun 2001-2010 subsektor perikanan tumbuh 5,22 persen, tertinggi dibanding subsektor lainnya. Sedangkan subsektor peternakan menempati urutan kedua dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,24 persen. Pada triwulan III 2011 pertumbuhan subsektor perikanan adalah 6,11 persen (Bank Indonesia, 2011). Oleh karena itu kedua subsektor ini berpotensi dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian.

Peningkatan pertumbuhan subsektor peternakan dan perikanan ini tidak terlepas dari agenda penting pembangunan ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 yang terkait dengan pembangunan pertanian yaitu revitalisasi pertanian. Program revitalisasi pertanian tersebut antara lain diarahkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani (Departemen Pertanian, 2005). Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang di dalamnya termasuk peternakan, mengamanatkan salah satu kegiatan penting yaitu upaya swasembada daging sapi. Swasembada daging ini pada awalnya diharapkan tercapai pada tahun 2010 namun karena banyaknya tantangan dan permasalahan yang dihadapi maka program ini belum terlaksana secara optimal. Berdasarkan


(24)

kondisi ini maka pada tahun 2010 pemerintah kembali mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014.

Pada tahun 2009 rata-rata konsumsi daging secara keseluruhan rakyat Indonesia masih cukup rendah yaitu sebesar 6,297 kg per kapita per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2011), sedangkan konsumsi rakyat Malaysia 46,87 kg per kapita per tahun dan Filiphina 24,96 kg per kapita pertahun (Daryanto, 2009 dalam BAPPENAS 2010). Pada tahun 2010 konsumsi daging mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yaitu 6,953 kg per kapita per tahun. Khususnya untuk daging sapi, Asosiasi Importir Sapi dan para peneliti berbeda pendapat tentang kebutuhan daging sapi nasional. Meskipun terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah kebutuhan daging sapi nasional, saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 30 persen dari kebutuhan daging sapi nasional, ini mengindikasikan bahwa produksi dalam negeri belum mencukupi. Tabel 1. Permintaan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2007-2011 (000 Ton)

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011

Produksi daging lokal 210,77 233,63 250,81 221,23 292,45 Impor 124,80 150,42 142,80 195,82 156,85 Total 335,57 384,05 390,61 417,04 449,31 Sumber: Kementerian Pertanian, 2012

Jika kesenjangan antara produksi dan konsumsi ini tidak diantisipasi dengan upaya peningkatan produksi di dalam negeri maka Indonesia akan selalu bergantung pada sapi impor. Hal ini disamping berdampak kurang baik bagi neraca perdagangan Indonesia juga merugikan peternak dalam negeri. Pencanangan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014 oleh pemerintah diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor daging sapi maupun sapi potong dengan cara meningkatkan produktivitas usaha sapi potong domestik secara lebih kompetitif. Suplai daging sapi dalam negeri bisa lebih kompetitif jika daya saingnya dapat ditingkatkan. Daya saing sangat terkait dengan input produksi seperti ketersediaan pakan, penggunaan bibit unggul, manajemen dan kesehatan hewan, inovasi teknologi serta faktor-faktor eksternal lainnya. Tersedianya sumberdaya lokal dan teknologi serta adanya dukungan


(25)

pemerintah diharapkan dapat dijadikan peluang untuk pengembangan usaha ternak sapi dalam negeri.

Pemberlakuan pasar bebas (Free Trade Area/FTA) terutama persetujuan

ASEAN-Australia Newzealand Free Trade Area (AANZ-FTA) akan berpengaruh pada usaha peternakan sapi dalam negeri. Indonesia selama ini sebagian besar mengimpor daging sapi dan sapi bibit maupun bakalan dari Australia dan New Zealand. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 2007 turun menjadi 20 persen, sedangkan dari tahun 2003 sampai sekarang menjadi 5 persen (Dirgantoro dalam Indrayani, 2011). Tarif ini akan diturunkan secara bertahap sehingga pada tahun 2020 menjadi nol persen. Akibatnya sapi potong impor yang selama ini harganya lebih murah akan semakin menekan daging sapi lokal. Untuk mengantisipasi kondisi ini pemerintah harus segera melakukan percepatan pembangunan peternakan khususnya sapi potong.

Salah satu strategi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan produksi sapi potong adalah program integrasi tananaman sawit dengan ternak sapi potong. Salah satu daerah yang sangat potensial untuk pengembangan program tersebut adalah Provinsi Riau. Luas perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 1,5 juta hektar, dimana hijauan dan limbahnya bila dimanfaatkan mampu mendukung pengembangan ternak sampai ratusan juta ekor. Provinsi Riau juga merupakan daerah yang kebutuhan dan konsumsi dagingnya terus tumbuh dengan pesat, tetapi saat ini hampir 70 persen kebutuhan masih sangat bergantung pada pasokan dari provinsi tetangga dan bahkan dari luar negeri. Pemerintah Provinsi Riau berkomitmen untuk melaksanakan program integrasi tanaman sawit sapi dalam rangka mendukung program swasembada daging sapi sekaligus peningkatan kesejahteraan petani.

Disisi lain subsektor perikanan juga mempunyai peluang yang tidak kalah menjanjikan jika dilihat dari pertumbuhannya yang cukup pesat beberapa tahun terakhir. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar dengan luas laut sekitar 8,5 juta km2. Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi berdasarkan data FAO 2002 (DKP, 2005)


(26)

menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut oleh sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur). Melihat fenomena tersebut, maka pada tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi salah satunya pada bidang perikanan. Upaya revitalisasi di bidang perikanan khususnya berupa pengembangan akuakultur.

Dalam rangka untuk mencapai target visi mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI) menggagas Revolusi Biru sebagai grand strategi. Revolusi Biru merupakan perubahan cara berpikir dan orientasi pembangunan dari daratan ke maritim yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Salah satu realisasi dari program revolusi biru yang digalakkan KKP-RI adalah program pengembangan Minapolitan, yang merupakan konsep pembangunan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak disektor kelautan dan perikanan. Sistem manajemen kawasan Minapolitan didasarkan pada prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselerasi tinggi. Program yang mulai dijalankan Pemerintah RI sejak 2009 ini merupakan upaya untuk merevitalisasi sentra produksi perikanan dan kelautan dengan penekanan pada peningkatan pendapatan rakyat. Melalui program ini akan dikembangkan beberapa komoditas yang telah unggul. Berdasarkan data tahun 2010 ada beberapa komoditas unggulan sektor perikanan dan kelautan Indonesia yang akan ditingkatkan produksi, yakni bandeng, patin, nila, lele, udang, gurame, kakap, kerapu, tuna dan rumput laut. Khusus untuk budidaya ikan patin pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan produksi karena potensi pengembangannya masih cukup besar dan peluang pasar yang masih cukup tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.

Produksi ikan patin di Indonesia pada awalnya hanya ikan patin lokal tangkapan yang berasal dari perairan umum di beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan. Namun saat ini produksi ikan patin sebagian besar adalah hasil


(27)

budidaya, terutama sejak diperkenalkannya ikan patin jenis siam dari Thailand. Sampai saat ini, produksi ikan patin di Indonesia telah mengalami peningkatan tetapi masih belum mampun mencapai target yang diharapkan. Pada tahun 2006 produksi patin nasional 31.490 ton dan meningkat menjadi 144.056 ton pada tahun 2010 dengan pertumbuhan rata-rata 58,28 persen dari tahun 2006-2010 (Gambar 1).

*) Angka Sementara

Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya , 2011

Gambar 1. Hasil produksi Patin Indonesia 2006-2010

Meningkatnya jumlah produksi patin dalam negeri masih belum menjamin tercukupinya kebutuhan ikan patin dalam negeri. Pada tahun 2010, impor patin Indonesia mencapai 2.453,41 ton1

1

Dirjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Saut Parulian Hutagalung

. Sampai dengan akhir tahun 2011 Indonesia masih mengimpor ikan patin dari Vietnam hampir sebesar 600 ton setiap bulannya. Harga patin impor dari Vietnam yang hanya berkisar Rp 9.000 per kg, membuat produk olahan perikanan tersebut mendominasi pasar Uni Eopa, Amerika, Asia tak terkecuali Indonesia. Harga murah ini bisa mematikan pasaran patin lokal yang harganya berada pada kisaran Rp 12.500 per kg. Dari segi kuantitas produksi Indonesia juga kalah jauh dengan Vietnam dimana produksinya melebihi 1 juta ton setiap tahun. Untuk menyelamatkan pasaran patin domestik, pemerintah pun melarang impor dory (fillet ikan patin dari Vietnam) untuk sementara. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15

31.490 36.755

102.021 109.685

144.056

0 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000

2006 2007 2008 2009 2010*


(28)

Tahun 2011, mulai Januari 2012 impor produk olahan patin tersebut dilarang dan pasar domestik akan diutamakan. Mahalnya harga ikan patin di Indonesia terjadi karena tingginya biaya produksi yang salah satunya disebabkan oleh tingginya harga pakan. Hal itu karena tepung ikan sebagai bahan baku pembuat pakan ikan (pelet) masih diimpor dari negara lain.

Tabel 2. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 Kenaikan Rata-rata (%) Volume (Ton) 88.852 55.685 68.275 65.601 57.010 -7,93

Nilai

(US $ 1.000)

76.527 49.925 44.387 39.945 38.303 -4,11 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011

Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat penurunan volume impor tepung ikan di Indonesia dengan melihat perkembangannya yang negatif. Hal ini karena sepanjang 2007, sebanyak 70 persen dari kebutuhan tepung ikan sudah bisa dipenuhi oleh tepung ikan lokal. Para pengolah tepung ikan lokal telah mampu meningkatkan produksi dan kualitas tepung ikan yang dihasilkannya.

Melihat fenomena ini dapat disimpulkan bahwa patin dalam negeri masih kalah saing dibandingkan dengan patin produksi Vietnam. Disisi lain pemerintah mempunyai target untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Patin sebagai salah satu komoditas andalan merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan, selain permintaannya tinggi di dalam negeri, patin juga merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang mempunyai pasar yang sangat bagus di Uni Eropa, Amerika Serikat, Eropa Timur, dan Timur Tengah. Salah satu cara untuk mencapai target tersebut yaitu dengan meningkatkan daya saing komoditas patin. Daya saing tidak hanya berkaitan dengan industri hilir saja tetapi keseluruhan mata rantai usaha mulai dari industri hulu dan hilir terutama yang berkaitan dengan proses produksi. Untuk meningkatkan daya saing budidaya patin setidaknya ada dua hal yang berkaitan erat yaitu (1) ketersediaan bibit unggul dan berkualitas , (2) ketersediaan pakan yang murah dan berkualitas. Seiring dengan meningkatnya daya saing maka diharapkan target produksi yang diinginkan bisa tercapai.


(29)

Tabel 3. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2007-2010 (Ton)

Wilayah 2007 2008 2009 2010

Sumatera 15.991 66.108 79.266 97.438

Jawa 11.532 23.159 14.167 22.287

Bali- Nusa Tenggara 3 7 50 168

Kalimantan 9.231 12.747 10.202 27.991

Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya, 2011

Jika dilihat produksi tiap wilayah di Indonesia maka Pulau Sumatera merupakan wilayah penghasil patin terbesar diikuti oleh Pulau Jawa dan Kalimantan (Tabel 3). Sedangkan untuk wilayah Sumatera sendiri Provinsi penghasil patin terbesar adalah Sumatera Selatan, Riau dan Jambi (Tabel 4). Kenaikan produksi ikan patin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kemudahan dalam membudidayanya dan masih terbukanya pasar dalam negeri. Disamping itu ikan patin seperti halnya ikan lele terutama di daerah Sumatera dan Kalimantan merupakan santapan yang sangat disukai (Ditjen Perikanan Budidaya, 2011).

Tabel 4. Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Sumatera Tahun 2007-2010 (Ton)

Provinsi 2007 2008 2009 2010

Aceh 73 87 - -

Sumatera Utara - - 94 72

Sumatera Barat 4 5 870 4.082

Riau 3.394 14.206 16.618 20.155

Jambi 8.086 10.077 10.907 12.429

Sumatera Selatan 1.631 38.543 47.265 55.582

Bangka Belitung 27 51 44 106

Bengkulu 238 195 105 230

Lampung 2.538 2.943 3.363 4.782

Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya, 2011

Dari Tabel 4 di atas bisa dilihat bahwa di wilayah Sumatera, Provinsi Riau merupakan daerah penghasil patin tertinggi kedua setelah Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang menjadi sentra pengembangan komoditas perikanan terutama patin di Indonesia. Sektor ini merupakan salah satu sektor unggulan yang diharapkan dapat memberikan


(30)

kontribusi yang besar terutama peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian. Perkembangan subsektor perikanan di Provinsi Riau dan pangsanya terhadap PDRB pertanian mengalami peningkatan dari 9,13% pada tahun 2009 menjadi 9,35% pada tahun 20102. Potensi lahan untuk kegiatan budidaya tambak yang telah dimanfaatkan sebesar 262 ha dan luas potensial 22.733 ha dengan total keseluruhan sebesar 22.995 ha. Sedangkan untuk kegiatan budidaya air tawar yang terdiri dari budidaya kolam, perairan umum dan sawah, masing-masing tercatat memiliki potensi luas sebesar 8.200 ha, 400 ha dan 3.500 ha3

1.2. Perumusan Masalah

.

Kabupaten Indragiri Hulu merupakan daerah yang dijadikan sebagai salah satu sentra ternak di Provinsi Riau bagian selatan. Hal itu disebabkan karena Kabupaten Indragiri Hulu memiliki potensi yang besar terutama pakan ternak. Sektor perkebunan yang berkembang cukup pesat di daerah ini bisa menopang sektor peternakan. Dinas Peternakan Indragiri Hulu menargetkan dapat mengembangkan peternakan sapi dan kerbau yang terintegrasi dengan tanaman khususnya sawit. Ditargetkan setiap satu hektar sawit akan ada minimal dua ekor sapi. Pada perkebunan kelapa sawit, hijauan yang ada dilahan, pelepah sawit serta bungkil kelapa sawit bisa dijadikan pakan ternak. Saat ini populasi ternak sapi di Kabupaten Indragiri Hulu tertinggi di Provinsi Riau dan selalu menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Tabel 5). Berdasarkan potensi yang ada maka subsektor peternakan dijadikan salah satu subsektor andalan di Kabupaten Indragiri Hulu.

Kabupaten Indragiri Hulu sebagai salah satu sentra produksi sapi potong memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan daging yang tinggi di Provinsi Riau. Dalam rangka pengembangan usaha peternakan sapi potong sebagai komoditi unggulan, maka pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu telah melakukan berbagai kebijakan diantaranya: (1) mengembangkan sentra-sentra baru pembibitan ternak pedesaan dan

2

www.bi.go.id

3


(31)

pengembangan agribisnis komoditas unggulan ternak pada wilayah yang sesuai dengan agroklimat, pasar dan teknologi (2) mengembangkan pola kemitraan antara perusahaan peternakan besar dengan peternakan rakyat (3) pemberdayaan kelompok petani peternak (4) pengembangan pasar ternak dan lain lain.

Tabel 5. Jumlah Ternak Sapi Potong Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau

Kabupaten/Kota 2009 2010 2011*

Kuantan Singingi 25.043 26.307 22.560

Indragiri Hulu 37.490 39.023 28.418

Indragiri Hilir 6.090 6.334 5.378

Pelalawan 4.926 5.602 5.326

Siak 12.203 15.599 9.556

Kampar 17.291 19.875 23.154

Rokan Hulu 25.249 26.057 30.552

Bengkalis 13.310 11.047 10.517

Rokan Hilir 19.588 21.549 12.866

Kepulauan Meranti - 2.263 3.579

Pekanbaru 7.775 7.962 3.982

Dumai 3.429 7.070 3.967

*) Angka Sementara

Sumber: BPS Provinsi Riau, 2012

Usaha peternakan sapi yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu pada umunya adalah peternakan rakyat dengan skala kepemilikan antara 3-10 ekor. Masyarakat menjadikan peternakan sapi sebagai usaha sampingan, pada umumnya mereka menjadikan sapi sebagai tabungan untuk keperluan-keperluan khusus seperti untuk biaya sekolah anak, biaya pesta dan lain sebagainya. Usaha ternak sapi dipilih oleh masyarakat karena kegiatannya mudah, tidak memakan banyak waktu serta pencarian pakan bisa dilakukan dikebun yang mereka miliki. Sistem pemeliharan yang dilakukan oleh masyarakat berupa ranch murni (sapi dibiarkan lepas di lapangan atau di kebun), semi intensif dan intensif (sapi dikandangkan secara terus menerus dan diberi pakan).

Disamping berbagai faktor pendukung yang ada, usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu juga menghadapi berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi adalah mahalnya harga bibit, lahan hijauan untuk pakan yang semakin berkurang, belum tersedianya mesin untuk pembuatan mengolah pakan dari limbah sawit, pertumbuhan bobot sapi yang belum optimal serta manajemen pemeliharaan yang relatif sederhana. Permasalahan lain yang dihadapi


(32)

oleh peternak adalah adanya sapi potong impor maupun didatangkan dari daerah lain dengan harga yang lebih murah. Berdasarkan berbagai permasalahan yang ada maka perlu dikaji apakah usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki daya saing sehingga layak untuk dikembangkan lebih lanjut dalam rangka pencapaian swasembada daging 2014. Disamping itu perlu juga dikaji kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha sapi domestik.

Sedangkan pada sektor perikanan Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu dari 7 kabupaten/kota di Provinsi Riau yang ditetapkan sebagai kawasan minapolitan. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor KEP.39/MEN/2011 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Nomor Kep.32/MEN/2010 tentang penetapan kawasan minapolitan. Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai potensi yang cukup besar untuk pengembangan perikanan dengan luas perairan umum sebesar 36.015 Ha, yang terdiri dari danau 1.449 Ha, sungai 9.095 Ha dan rawa-rawa 25.471 Ha (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab.Indragiri Hulu, 2011).

Dengan kondisi perairan yang cukup luas produksi perikanan perairan umum di Kabupaten Indragiri Hulu mencapai lebih dari 500 ton per tahun. Komoditas perairan umum andalan di daerah ini adalah ikan patin dengan jumlah produksi 98,65 ton tahun 2009, menurun menjadi 87,80 ton pada tahun 2011(Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu, 2012). Produksi perairan umum seperti ikan patin cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya karena kegiatan penangkapan ikan tersebut telah melewati ambang batas yang diperbolehkan untuk ditangkap. Berdasarkan kondisi ini maka pemerintah mengarahkan pengembangan sektor perikanan di Kabupaten Indaragiri Hulu pada pengembangan usaha budidaya (akuakultur).

Beberapa program yang telah dilakukan oleh pemerintah Indragiri Hulu dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas budidaya ikan patin adalah: (1) pengembangan atau perluasan areal kolam di kawasan minapolitan (2) pembentukan kelompok tani pembudidaya patin sehingga memudahkan dalam mengkoordinir kegiatan pembudidaya (3) memberikan bantuan mesin penepung pakan ikan untuk mengatasi kendala mahalnya harga pakan komersil (4)


(33)

menyediakan mesin pengasapan ikan patin dan program-program lainnya yang terkait dengan budidaya ikan patin.

Usaha budidaya patin yang dilakukan oleh masyarakat Indragiri Hulu sebagian besar dilakukan di kolam. Luas kolam per unit milik pembudidaya bervariasi antara 100-10.000 m2. Dari total 575 Ha potensi kolam yang ada di Indragiri Hulu, yang baru direalisasikan untuk budidaya ikan air tawar 154,80 Ha. Besarnya potensi kolam yang ada ditambah potensi perairan umum berupa sungai dan danau maka usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin masih terbuka cukup luas. Dari 14 kecamatan yang ada, Kecamatan Pasir Penyu merupakan wilayah yang tingkat realisasi pemanfaatan potensi kolamnya paling tinggi sehingga direkomendasikan sebagai pusat kawasan minapolitan. Hal ini juga didukung oleh ketersediaan lahan, sumber air dan sarana produksi lainnya.

Berdasarkan informasi di lokasi penelitian, usaha budidaya ikan air tawar khususnya patin mempunyai beberapa permasalahan yang dirasa cukup berat oleh petani pembudidaya. Beberapa permasalahan yang dihadapi pembudidaya antara lain kurangnya modal usaha, penanggulangan penyakit, sulitnya bahan baku pakan, harga yang tidak stabil dan kurangnya pembinaan SDM dilapangan. Dari segi pakan yang menjadi permasalahan adalah mahalnya harga pakan (pelet) yang didatangkan dari daerah luar seperti Surabaya dan Medan. Disamping itu produksi patin lokal juga harus bersaing dengan ikan yang datang dari kabupaten lain seperti Kampar bahkan dari provinsi lain seperti Sumatera Barat yang harganya lebih murah. Saat musim hujan produksi patin budidaya mengalami penurunan karena perubahan kadar air akibat banjir menyebabkan tingkat kematian patin cukup tinggi. Adanya bermacam permasalahan seperti di atas maka akan sangat berpengaruh terhadap eksistensi dan daya saing usaha budidaya ikan patin di Indragiri Hulu. Oleh karena itu perlu dikembangkan kebijakan yang diharapkan mampu melindungi usaha budidaya ikan patin sehingga program minapolitan yang akan dilakukan bisa berjalan sesuai harapan.

Berdasarkan paparan tentang kondisi serta prospek sektor peternakan dan perikanan Kabupaten Indragiri Hulu di atas, maka ada beberapa permasalahan yang perlu diteliti lebih lanjut yaitu:


(34)

1. Apakah usaha usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif?

2. Apakah kebijakan pemerintah terhadap input dan output mempengaruhi daya saing usaha peternakan sapi potong dan budidaya ikan patin di Kabupaten Indragiri Hulu?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis tingkat daya saing budidaya ikan air patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu melalui keunggulan dan komparatif kompetitif.

2. Menganalisis pengaruh kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daya saing udaha budidaya ikan patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.

1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Indragiri, yang merupakan salah satu daerah yang ditunjuk sebagai kawasan minapolitan serta merupakan salah satu daerah sentra ternak sapi potong di Provinsi Riau. Lokasi unit penelitian adalah Kecamatan Rengat dan Kecamatan Pasir Penyu, dimana kedua kecamatan ini termasuk wilayah basis budidaya patin dan peternakan sapi potong.

Lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usaha peternakan sapi potong dan budidaya patin. Metode analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Analisis ini juga akan memberikan informasi efesiensi ekonomi serta dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha budidaya patin dan usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu.

Terdapat beberapa batasan dari penelitian ini yaitu:

1. Usaha peternakan sapi potong yang dianalisis adalah usaha peternakan rakyat (penggemukan dan pembibitan) dengan skala kepemilikan rata-rata 6 ekor.


(35)

2. Pada usaha pembibitan sapi potong penghitungan analisis biaya usaha tani diasumsikan tanpa resiko.

3. Responden peternak dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan ternak sapi jenis peranakan simmental.

4. Usaha budidaya ikan patin yang dianalisis adalah usaha budidaya pembesaran di kolam dengan luas rata-rata 500 m2.

5. Harga input dan harga output yang dihasilkan dalam usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya ikan patin ini menggunakan harga yang berlaku pada tahun 2011


(36)

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Peternakan Sapi Potong

Seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap daging setiap tahunnya maka usaha peternakan sapi potong juga mengalami perkembangan. Usaha peternakan sapi potong pada awalnya berkembang di beberapa daerah tertentu seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Bali. Dewasa ini usaha penggemukan sapi juga telah berkembang di Sumatera seperti di Lampung, Sumatera Barat dan Riau. Usaha peternakan sapi dilakukan secara perseorangan atau skala kecil maupun dalam skala besar yang dilakukan oleh perusahaan. Selama ini penyedia daging sapi di Indonesia adalah sebagian besar adalah peternak skala kecil karena peternak berskala menengah dan besar jumlahnya tidak banyak. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan dalam skala besar dan modern. Peternakan rakyat berskala kecil biasanya merupakan usaha sambilan dan mayoritas masih menggunakan pola tradisional.

Ada berbagai jenis sapi yang diusahakan oleh peternak di Indonesia sebagai bakalan dalam usaha penggemukan diantaranya: Sapi Bali, Sapi Ongole, Sapi Brahman Cross, Sapi Madura, Sapi Peranakan Limousin. Bakalan merupakan faktor penting karena sangat menentukan hasil akhir usaha penggemukan. Ciri-ciri bakalan yang baik adalah: (1) berumur di atas 2,5 tahun, (2) jenis kelamin jantan (3) bentuk tubuh panjang, bulat dan lebar, panjang minimal 170 cm, tinggi pundak minimal 135 cm, lingkar dada 133 cm, (4) tubuh kurus, tulang menonjol tetapi tetap sehat (5) pandangan mata bersinar cerah dan bulu halus dan (6) kotoran normal (Prabowo, 2007).

Ada beberapa sistem penggemukan yang digunakan untuk sapi, perbedaannya terletak pada teknik pemberian pakan, luas lahan yang tersedia, umur dan kondisi sapi yang akan digemukkan serta lama penggemukan (Siregar, 2009):

a. Sistem Pasture Fattening

Pasture Fattening merupakan suatu sistem penggemukan sapi yang dilakukan dengan cara menggembalakan sapi di padang pengembalaan. Teknik


(38)

pemberian pakan dalam sistem ini adalah dengan pengembalaan. Pakan hanya berupa hijauan yang terdapat di padang pengembalaan tanpa pemberian konsentrat maupun biji-bijian. Oleh karena itu di padang pengembalaan harus ditanami leguminosa agar kualitas hijauan lebih tinggi. Di Indonesia, jenis leguminosa yang disarankan adalah Arachis, Centrocema, Lamtoro, Siratro dan Desmodium trifoluim. Pada sistem ini kandang hanya berfungsi sebagai tempat berteduh sapi pada malam hari.

b. Sistem Dry Lot Fattening

Dry Lot Fattening adalah sistem penggemukan sapi dengan pemberian pakan yang mengutamakan biji-bijian seperti jagung, sorgum atau kacang-kacangan. Dewasa ini penggemukan sapi dengan sistem ini tidak hanya memberikan satu jenis biji-bijian saja tetapi campuran dari berbagai jenis bahan pakan konsentrat. Bahan yang digunakan bisa terdiri dari jagung giling, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit, ampas tahu dan sebagainya. Bahan-bahan tersebut dicampur dengan Bahan-bahan mineral dan garam dapur sehingga membentuk konsentrat, tetapi pemberian pakan konsentrat tidak boleh lebih dari 60 persen. Pakan hijauan dibatasi jumlahnya (minimal 0,5-0,8 persen dari bobot sapi) dalam sistem ini sehingga tidak mengganggu proses pencernaan sapi.

c. Kombinasi Pasture dan Dry Lot Fattening

Sistem kombinasi ini dilakukan dengan pertimbangan musim dan ketersediaan pakan. Sistem ini bisa juga dilakukan dengan cara menggembalakan sapi pada padang penggembalaan beberapa jam pada siang hari dan pada sore dan malam hari sapi dikandangkan dan diberi pakan konsentrat.

d. Kereman

Penggemukan sapi dengan sistem kereman dilakukan dengan cara menempatkan sapi dalam kandang secara terus menerus selama beberapa bulan. Sistem ini yang umumnya digunakan oleh peternak di Indonesia. Pemberian pakan dan air minum dilakukan dalam kandang yang sederhana selama proses penggemukan. Pemberian Pakan dan konsentrat dilakukan dengan perbandingan yang tergantung pada ketersediaan pakan dan konsentrat tersebut. Konsentrat yang digunakan dalam sistem kereman masih sederhana, yakni terdiri dari satu


(39)

atau dua jenis bahan pakan saja, misalnya dedak padi saja atau ampas tahu saja. Ada juga peternak yang hanya memberi pakan berupa hijauan saja.

Pertambahan bobot badan yang bisa dicapai dengan sistem kereman bervariasi tergantung pada pakan yang diberikan. Pemberian pakan berupa hijauan ditambah konsentrat akan menyebabkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibanding pakan berupa hijauan saja. Berdasarkan penelitian di Wonogiri pertambahan bobot badan sapi rata-rata 0,8 kg/hari dengan pemberian hijauan dan konsentrat jadi ditambah ampas brem. Pemberian hijauan saja pada sapi peranakan ongole dan jantan sapi perah diperoleh pertambahan bobot badan masing-masing 0,52 kg/hari dan 0,4 kg/hari (Siregar, 2009)

Pemeliharaan dengan sistem kereman juga harus mempertimbangkan bangunan kandang yang baik, karena akan berpengaruh terhadap pertambahan bobot sapi. Secara umum kandang memiliki dua tipe yaitu individu dan kelompok (Prabowo, 2007). Pada kandang individu, setiap sapi memiliki tempatnya sendiri berukuran 2,5 x 1,5 m. Pada kandang kelompok, bakalan dalam satu periode memerlukan tempat yang lebih luas daripada kandang individu. Kelemahan tipe kandang ini adalah terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan sehingga sapi yang lebih kuat cenderung cepat tumbuh karena mendapatkan lebih banyak pakan.

2.1.2 Budidaya Ikan Patin

Ikan patin adalah nama lokal dari ikan asli Indonesia dengan nama ilmiah

Pangasius. Secara umum saat ini nama patin dipakai untuk sebagian besar ikan keluarga pangasidae. Ciri utama ikan patin di Indonesia pada umumnya adalah bentuk badan sedikit memipih, tidak bersisik, mulut kecil dan bersungut. Kerabat patin di Indonesia cukup banyak diantaranya pangasius polyuranodo (ikan juaro),

pangasius macronema (ikan rios, riu, lancang), pangasius mocronemus (wakal, riuscaring), pangasius nasutus (pedado), pangasius nieuwenhuisii (lawang). Selain itu ada juga patin siam atau jambal siam (pangasius sutchi) dan ikan patin hibrida dengan nama pasupati (persilangan patin jambal dengan siam) yang diperkenalkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (Susanto, 2009).

Daerah pengembangan budidaya patin di Indonesia antara lain Jawa Barat, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Budidaya ikan patin secara garis besar meliputi kegiatan pembenihan dan


(40)

pembesaran. Kegiatan pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih ikan pada ukuran tertentu. Sedangkan kegiatan pembesaran merupakan kegiatan menghasilkan ikan yang siap untuk dikonsumsi. Kegiatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat adalah kegiatan pembesaran. Kegiatan pembesaran bisa dilakukan pada berbagai media seperti kolam, jala apung, pen maupun karamba.

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada budidaya pembesaran patin sistem monokultur di kolam (Susanto, 2009):

a. Konstruksi kolam

Tidak ada kriteria khusus untuk kolam pembesaran sistem monokultur, yang penting adalah kolam tersebut berair tenang dan tidak mengalir deras. Ukuran kolam minimal 200 m2, karena ikan patin tergolong ikan yang berukuran bongsor. Pematang kolam dibuat dengan ukuran yang memadai sesuai dengan luas kolam. Kolam juga harus dilengkapi dengan kamalir di sekeliling dan ditengah kolam secara diagonal. Kamalir dapat menjadi tempat berkumpul ikan saat panen dan sebagai tempat berlindung ikan dari serangan hama dan sinar matahari.

b. Persiapan kolam

Persiapan kolam pembesaran ikan dimulai dengan melakukan pengeringan kolam. Kolam dikeringkan dan dibiarkan selama 3-7 hari sampai dasar kkolam menjadi retak supaya bibit penyakit dan parasit mati.

c. Pengapuran dan pemupukan

Pengapuran diperlukan untuk memperbaiki pH tanah dan mematikan penyakit maupun hama ikan. pH yang cocok berkisar antar 6,7 – 8,6. Pemberian pupuk dilakukan untuk merangsang pakan alami patin seperti Rotifera dan organisme air lainnya dapat tumbuh di kolam. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang maupun pupuk buatan.

d. Pengisian air

Setelah pemupukan selesai, kolam diairi setinggi 20 cm dan dibiarkan selama beberapa hari. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada pitoplankton dan organisme air lainnya agar tumbuh dengan baik. Kedalaman air kolam sebaiknya mencapai 1,5 m dan dilakukan secara bertahap agar pematang tidak rusak.


(41)

e. Penebaran ikan

Penebaran ikan dapat dilakukan setelah kondisi air di kolam diperkirakan sudah stabil. Kepadatan penebaran untuk patin yang dibesarkan secara monokultur adalah 1 ekor/m2 untuk benih berukuran 100g/ekor. Kepadatan ini juga tergantung pada ukuran benih. Penebaran ini dilakukan ketika suhu air rendah yaitu sekitar 250 C. Suhu ini biasanya terjadi pada pagi atau sore hari. f. Pemberian pakan tambahan

Pemberian pakan tambahan pada prosese pembesaran patin di kolam sangat mutlak untuk memacu pertumbuhan. Pakan tambahan bisa berupa pelet atau sisa-sisa kegiatan dapur. Jumlah pakan tambahan biasa 3-4 persen dari bobot total ikan perhari.

g. Panen

Pemanenan dilakukan bila ikan sudah dipelihara di kolam pembesaran selama 6 bulan. Pada umur ini biasanya ikan patin sudah mencapai ukuran konsumsi. Semakin besar ukuran benih yang ditebarkan semakin singkat masa pemeliharaannya. Pemanenan dilakukan dengan cara mengeringkan kolam dengan cara perlahan-lahan agar ikan tidak stres. Saluran pemasukan air ditutup sedangkan saluran pengeluaran dibuka.

2.1.3 Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Patin dan Sapi Potong

2.1.3.1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sapi Potong

Konsumsi daging sapi per kapita masyarakat Indonesia saat ini mencapai 1,87 kg. Angka ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri Indonesia memerlukan minimal 448.000 ton daging sapi per tahun. Dari total jumlah tersebut Indonesia masih harus mengimpor sebesar 30 persen dari Australia (75 persen), Selandia Baru (20 persen) dan dari Amerika Serikat (5 persen). Ketergantungan terhadap daging sapi impor akan menguras devisa negara disamping itu juga menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan. Impor dari negara lain juga membuka peluang bagi masuknya penyakit-penyakit ternak yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Oleh karena itu Kementerian Pertanian Indonesia


(42)

mencanangkan program PSDSK (Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau). Pada awalnya program ini dicanangkan untuk tahun 2010, tetapi karena adanya berbagai permasalahan maka program tersebut direvisi menjadi tahun 2014.

Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka swasembada daging 2014 masih belum mampu mengurangi kesenjangan antara konsumsi dan produksi daging nasional. Beberapa strategi yang ditetapkan oleh pemerintaha dalam rangka Pencapaian swasembada daging 2014 yaitu:

1. Peningkatan atau penambahan populasi sapi betina produktif melalui A). Mengoptimalkan potensi sapi betina lokal yang ada melalui peningkatan produksi dan produktivitas dengan cara aplikasi teknologi inovatif bidang pakan dan reproduksi. B). Menambah populasi sapi bibit betina, upaya penambahan populasi sapi bibit betina produktif melalui importasi dilaksanakan dengan memanfaatkan dana pemerintah maupun swasta.

2. Penyelamatan populasi sapi betina produktif

3. Sejalan dengan peningkatan populasi sapi dalam negeri maka penyelamatan populasi sapi betina produktif perlu ditempuh melalui upaya : (A) Optimalisasi pencegahan pemotongan betina produktif di RPH. (B) Optimalisasi pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular strategis (Brucellosis dan IBR). (C) Optimalisasi penanganan gangguan reproduksi agar tidak di culling.

4. Menekan angka kematian (pedet dan sapi muda) 5. Peningkatan berat hidup sapi siap potong

6. Peningkatan kualitas pelayanan RPH

Sejak tahun 1974 impor daging Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya. Peningkatan impor ini akan menyebabkan peternakan dalam negeri menjadi tergusur, hal ini disebabkan karena harga daging impor lebih murah dari daging lokal. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka Ditjen Peternakan menetapkan suatu kebijakan dalam pengaturan kebutuhan daging pada tahun 1995, dalam pertemuan tahunan Ditjen Peternakan dengan seluruh Dinas Peternakan Provinsi serta kedua Asosiasi yaitu Asosiasi Produsen daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) dan Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia


(43)

(ASPIDI) di Lampung yang dikenal dengan konsep Tiga Ung (Gaung) yakni : (1) peternakan rakyat tetap merupakan tulang punggung, (2) industri peternakan rakyat menjadi pendukung, dan (3) impor daging sebagai penyambung penawaran dan permintaan (Indrayani, 2011). Berdasarkan kebijakan ini pemerintah mengatur jumlah daging yang bisa diimpor (kuota) untuk memenuhi kebutuhan daging di dalam negeri. Pada awal 2012 pemerintah bahkan memangkas kuota impor daging dari 94.000 ton menjadi 34.000 ton.

Dalam rangka melindungi produsen dalam negeri, pemerintah juga memberlakukan kebijakan pengenaan bea masuk berupa tarif impor pada komoditas daging. Pemerintah Indonesia secara bertahap akan melakukan penyesuaian terhadap tarif impor sebagaimana yang telah diusulkan dalam Asian Vision Toward 2020. Pada tahun 1990 tarif impor daging sapi sebesar 30 persen, tahun 1995 turun menjadi 25 persen, dan tahun 1997 turun menjadi 20 persen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeaan untuk periode 1 Januari 1997 sampai dengan 31 Desember 2003 (kesepakatan AFTA), tarif impor daging sapi akan diturunkan menjadi 5 persen (Dirgantoro dalam Indrayani, 2011). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132.PMK.0.10/2005 tentang Program Harmonisasi Tarif 2005-2010 menetapkan tarif impor daging sapi dari tahun 2005-2010 sebesar 5 persen. Sedangkan tarif impor untuk sapi bakalan dari 15 persen turun menjadi nol persen berdasarkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Nomor 522/1991.

Kebijakan tentang pakan ternak di Indonesia mengacu pada Undang-Undang No.6 Tahun 1967 tentang peternakan dan kesehatan hewan. Undang-Undang- Undang ini hanya memuat tanaman pakan sebagai pakan ternak, padahal pakan dan bahan baku pakan tidak hanya tanaman pakan tetapi juga pakan tambahan. Setelah direvisi, Undang-undang ini memuat: definisi pakan, jenis pengusahaan dan distribusi pakan, keamanan pakan, perizinan pengusahaan pakan dan peraturan-peraturan dengan instansi yang berhubungan dengan seluruh aspek mutu pakan. Peraturan tentang ekspor-impor pakan belum ada, hal ini penting sekali untuk dipertimbangkan karena pakan, bahan baku pakan dan feed additive

sering dikenakan biaya cukup tinggi dalam perdagangan internasioan (Indrayani, 2011).


(44)

2.1.3.2. Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Ikan Patin

Seiring dengan penurunan hasil produksi perikanan tangkap di Indonesia maka usaha budidaya perikanan (akuakultur) menjadi andalan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat petani dan nelayan. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkomitmen penuh untuk meningkatkan produksi dan produktivitas perikanan budidaya yang berdaya saing, berkeadilan, berkelanjutan diiringi produk yang memenuhi standar mutu pangan (food safety). Komitmen ini terlihat dengan menempatkan komoditas udang, rumput laut, bandeng dan patin sebagai komoditas utama mendukung industrialisasi perikanan melalui program revitalisasi bidang perikanan. Revitalisasi dibidang perikanan adalah program minapolitan yang merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan sistem dan manajemen kawasan dengan prinsip integrasi, efisiensi, kualitas dan akselarasi.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh industri akuakultur adalah banyaknya produk impor perikanan yang sejatinya bisa diproduksi di dalam negeri. Untuk budidaya patin dalam negeri belum mampu bersaing dengan produk patin dari Vietnam yang saat ini menguasai lebih dari 90 persen pasar patin dunia. Disamping itu kendala lain adalah kontinuitas pasokan ikan yang belum terjamin. Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan produktivitas perikanan di Indonesia yaitu (1) ekstensifikasi, memperluas dan menambah unit usaha budidaya (2) intensifikasi, meningkatkan produktivitas dari setiap unit usaha budidaya (3) diversifikasi, menambah jenis/ komoditas yang diusahakan (Ditjen Perikanan Budidaya)

Selama ini yang menjadi kendala terbesar bagi pembudidaya ikan khususnya patin adalah mahalnya harga pakan buatan pabrik. Mahalnya harga pakan terkait dengan kebijakan pemerintah yang masih mengenakan PPN atas bahan baku paku pakan. Disamping itu sampai saat ini Indonesia masih mengimpor 70 persen tepung ikan sebagai bahan baku pakan. Harga pakan yang tinggi juga menyebabkan biaya produksi tinggi sehingga hasil produksi kurang kompetitif. Oleh karena itu diperlukan kebijakan untuk menurunkan harga pakan ikan sehingga bisa menurunkan biaya produksi.


(45)

2.1.4. Keunggulaan Komparatif

Pada dasarnya setiap negara di dunia saling tergantung antara satu dengan yang lainnya, karena suatu negara tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri akibat keterbatasan sumber daya dan keahlian. Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam maka muncullah perdagangan antar negara atau perdagangan internasional

Teori perdagangan internasional klasik menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan karena melakukan spesialisasi produksi. Suatu negara akan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut tidak memiliki keunggulan mutlak. Hal ini dikemukakan oleh Adam Smith (1723-1790) yang dikenal dengan teori keunggulan absolut atau mutlak (Krugman dan Obstfeld, 2004). Kelebihan dari teori keunggulan absolut yaitu terjadi perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda dimana terjadi interaksi ekspor dan impor. Kelemahannya adalah apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan (Oktaviani dan Novianti, 2009).

Teori Adam Smith ini disempurnakan oleh David Ricardo dengan teori keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantagse) baik secara efesiensi tenaga kerja maupun produktivitas tenaga kerja. Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yakni tenaga kerja. Suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana barang tersebut dapat berproduksi relatif lebih efesien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efesien. Kelemahan teori ini adalah Ricardo tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya satu negara yang memiliki keunggulan mutlak asalkan masing-masing negara tersebut memiliki perbedaan dalam keunggulan biaya komparatif dan keunggulan komparatif produksi.


(46)

Teori Ricardo tentang keunggulan komparatif kemudian disempurnakan lebih modern oleh Heckscher Ohlin yang didasari oleh kepemilikan faktor produksi serta dampak perdagangan internasional terhadap distribusi pendapatan (Oktaviani dan Novianti, 2009). Menurut teori H-O bahwa perbedaan opportunity cost suatu produk antara satu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara. Adanya perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan tejadinya perdagangan internasional. Negara yang memiliki faktor produksi yang relatif banyak atau murah cenderung akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor produknya. Sebaliknya mengimpor barang yang memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal. Teori modern H-O ini disebut dengan teori proporsi faktor (factor proportions theory).

2.1.5. Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu kegiatan berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat diukur berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia nyata dan keunggulan komparatif suatu kegiatan ekonomi dari sudut pandang atau individu yang berkepentingan langsung (Salvator, 1997).

Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Porter menyatakan bahwa kekuatan kompetitif menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri baik domestik maupun internasional yang menghasilkan barang dan jasa. Menurut Porter (1990), keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada, kenyataan yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri


(47)

yang ada dalam suatu negara. Disamping itu keunggulan kompetitif tidak bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitasnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada korelasi langsung antara dua faktor produksi seperti sumber daya alam yang melimpah dan sumberdaya yang murah. Porter menyebutkan bahwa disamping faktor produksi, peran pemerintah juga sangat penting dalam peningkatan daya saing.

Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yaitu keadaan faktor-faktor produksi, permintaan dan tuntutan kualitas, industri terkait dan pendukung yang kompetitif dan strategi, struktur dan sistem penguasaan antar perusahaan (Halwani, 2002). Selain empat faktor penentu tersebut, keunggulan kompetitif juga ditentukan oleh faktor eksternal yaitu sistem pemerintahan dan terdapatnya kesempatan. Faktor-faktor ini secara bersama-sama akan membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan kompetitif suatu negara. Suatu komoditas dapat memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sekaligus yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi dan diusahakan serta dapat bersaing di pasar internasional. Akan tetapi bila suatu komoditas yang diproduksi suatu negara hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka di negara tersebut dapat disumsikan terjadi distorsi pasar atau terdapat hambata-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lain-lain. Oleh karena itu pemerintah perlu untuk mengadakan deregulasi yang dapat menghilangkan hambatan atau distorsi pasar tersebut.

2.1.6. Analisis Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah ditetapkan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk output maupun input yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan berupa subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota.


(48)

Monke dan Pearson (1989) menjelaskan pengaruh intervensi pemerintah pada harga komoditi yang membagi kedalam delapan tipe kebijakan subsidi dan dua kebijakan perdagangan yang terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi

Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada

Konsumen Kebijakan Subsidi

1. Tidak merubah harga pasar dalam negeri

2. Merubah harga pasar dalam negeri

Subsidi pada Produsen 1.Pada barang-barang

subsitusi impor (S + PI; S – PI)

2.Pada barang-barang orientasi ekspor (S + PE; S – PE)

Subsidi pada Konsumen

1.Pada barang-barang subsitusi impor (S + CI; S – CI)

2.Pada barang-barang orientasi ekspor (S + CE; S – CE)

Kebijakan Perdagangan (merubah harga pasar dalam negeri)

Hambatan pada barang impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor (TCE)

Sumber : Monke dan Pearson (1989).

Keterangan :

S+ PI = Subsidi PE = Produsen Barang Orientasi Ekspor S - PI = Pajak CI = Konsumen Barang Substitusi Impor PI = Produsen Barang Subsitusi Impor CE = Konsumen Barang Orientasi Ekspor TCE = Hambatan Barang Eskpor TPI = Hambatan Barang Impor

Kebijakan harga (price policies) terdiri dari tiga kriteria yaitu : (1) subsidi atau kebijakan perdagangan; (2) penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh produsen dan konsumen; dan (3) kriteria ekspor atau impor. Implementasi dari kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditi dan kemampuan negara tersebut untuk melindungi produsen atau konsumen dalam negeri.

1. Kebijakan Harga Subsidi atau Kebijakan Perdagangan

Menurut Salvator (1997) subsidi merupakan pembayaran dari atau untuk pemerintah. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak). Pajak atau subsidi negatif merupakan pembayaran kepada pemerintah, sedangkan subsidi positif merupakan pembayaran dari pemerintah. Tujuan dari subsidi yaitu untuk melindungi konsumen atau produsen agar harga domestik berbeda dengan harga internasional.


(49)

Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditi (Monke dan Pearson, 1989). Kebijakan perdagangan yang dapat diterapkan dapat berupa tarif dan kuota. Tarif yaitu harga komoditi yang diperdagangkan, sedangkan kuota merupakan pembatasan jumlah komoditi yang diimpor. Tujuan diterapkannya kedua kebijakan tersebut adalah untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (komoditi impor) dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasioanl dengan harga di pasar domestik. Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional.

Komponen utama yang menjadi dasar dalam diterapkannya salah satu kebijakan perdagangan adalah perbedaan harga komoditi di pasar internasional dan domestik. Apabila harga suatu komoditi di pasar internasional lebih murah dibandingkan dengan harga domestik, maka kebijakan yang tepat dilakukan adalah kebijakan perdagangan impor. Penetapan tarif impor maupun kuota impor dilakukan agar produk impor yang dijual dalam negeri harganya menjadi lebih mahal dan jumlahnya terbatas. Kebijakan impor ini bertujuan untuk melindungi produsen domestik. Sedangkan kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar internasional.

2. Kebijakan Berdasarkan Penerimaan

Kebijakan berdasarkan penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen dan anggaran pemerintah (Monke dan Pearson, 1989). Anggaran pemerintah tidak dibayarkan seluruhnya untuk transfer, hal ini mengakibatkan produsen mengalami kerugian. Akan tetapi dengan adanya transfer akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari kerugian yang diterima.

3. Kebijakan Berdasarkan Komoditi

Kebijakan berdasarkan komoditi bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat di ekspor dan komoditas yang dapat di impor. Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input maupun output komoditas pertanian.


(50)

Penerapan kebijakan (subsidi atau hambatan perdagangan) yang tepat mampu memperbaiki kesejahteraan produsen (petani) maupun konsumen.

2.1.7.Kebijakan Output

Kebijakan yang ditetapkan terhadap output baik berupa subsidi maupun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan

Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor. Harga pasar dunia (Pw) lebih rendah dari harga domestik (Pd). Tingkat subsidi sebesar Pd – Pw kepada produsen menyebabkan produksi akan meningkat dari Q1 menjadi Q2 namun kondisi akan tetap pada Q3 karena kebijakan subsidi ini tidak merubah harga dalam negeri. Subsidi ini akan menyebabkan impor turun dari Q2 ke Q3. Transfer pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pd – Pw) atau sebesar PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor akan diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Subsidi tersebut akan memberikan dampak terjadinya kehilangan efesiensi sebesar CAB.

Gambar 2(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GBAH.


(51)

(a) S + PI (b) S + PE

(c ) S + CI (d) S + CE Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Keterangan :

Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik

S + PI : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Impor S + PE : Subsidi kepada Produsen untuk Barang Ekspor S + CI : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Impor S + CE : Subsidi kepada Konsumen untuk Barang Ekspor Gambar 2. Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen

Barang Impor dan Barang Ekspor

P P

S B H Pd S A F E G Pw A B Pd C Pw Q4 Q3

Q2 Q1 Q

D Q3 Q2 Q1 Q D P P S S B C Pw A Pc G E F A Pw D H B Pd D Q Q2

Q1 Q

Q4 Q3

Q1 Q2


(1)

Lampiran 13.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Penghapusan Bea Masuk Impor Sapi Potong sebesar 5 Persen

Tabel PAM Usaha Penggemukan

Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 10200000 3754033 5141635 1304332

Harga Ekonomi 7028566 3380462 4739342 -1091238

Dampak Kebijakan 3171434 373571 402293 2395570

Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 1 304 332 Keuntungan Sosial = -1 091 238 DRC = 1,30 PCR = 0,79

Tabel PAM Usaha Pembibitan Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 7055000 957021 4891972 1206007

Harga Ekonomi 5398042 1051260 4807087 -460305

Dampak Kebijakan 1656958 -94239 84885 1666312

Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 1 206 007 Keuntungan Sosial = -460 305 DRC = 1.11 PCR = 0.80


(2)

Lampiran 14.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat BBM Naik 15 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu Tabel PAM Usaha Penggemukan

Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 12000000 3772438 5151580 3075982

Harga Ekonomi 8268901 3408223 4754342 106336

Dampak Kebijakan 3731099 364215 397238 2969646

Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 3 075 982 Keuntungan Sosial = 106 336 DRC = 0.97 PCR = 0.63

Tabel PAM Usaha Pembibitan Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 8300000 1027524 4930069 2342407

Harga Ekonomi 6350638 1152608 4861852 336178

Dampak Kebijakan 1949362 -125084 68217 2006229

Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 2 342 407 Keuntungan Sosial = 336 178 DRC = 0.94 PCR = 0.67


(3)

Lampiran 15.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Menggunakan Pakan dari Limbah Sawit di Kabupaten Indragiri Hulu

Tabel PAM Usaha Penggemukan

Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 13980000 3754033 5141635 5084332

Harga Ekonomi 9633270 3380462 4739342 1513466

Dampak Kebijakan 4346730 373571 402293 3570866

Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 5 084 332 Keuntungan Sosial = 1 513 466 DRC = 0.76 PCR = 0.50

Tabel PAM Usaha Pembibitan Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 8300000 839516 4206317 3254167

Harga Ekonomi 6350638 882346 4131664 1336628

Dampak Kebijakan 1949362 -42830 74653 1917539

Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 3 254 167 Keuntungan Sosial = 1 336 628 DRC = 0.76 PCR = 0.56


(4)

Lampiran 16.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Pada Saat Harga Ikan Patin Turun 25 Persen di Kabupaten Indragiri Hulu

Tabel PAM Budidaya Dengan Sebagian Besar Pakan Pelet

Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 21528000 15068960 6729273 -270233 Harga Ekonomi 17766359 11996454 6294403 -524498

Dampak Kebijakan 3761641 3072506 434870 254265

Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = -270233 Keuntungan Sosial = -524498 DRC = 1.09 PCR = 1.04

Tabel PAM Budidaya Dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 28926000 3353214 10590878 14981908 Harga Ekonomi 23871688 2553155 10161219 11157314

Dampak Kebijakan 5054312 800059 429659 3824594

Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 14981908 Keuntungan Sosial = 11157314 DRC = 0.48 PCR = 0.41


(5)

Lampiran 17.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indrgarir Hulu Pada Saat PPN Pakan Ikan 10 Persen

Tabel PAM Budidaya Dengan Sebagian Besar Pakan Pelet

Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 28704000 13572080 6606153 8525767 Harga Ekonomi 17766359 11996454 6294403 -524498 Dampak Kebijakan 10937641 1575626 311750 9050265 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 8525767 Keuntungan Sosial = -524498 DRC = 1.09 PCR = 0.48

Tabel PAM Budidaya Dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 38568000 3027544 10564092 24976364 Harga Ekonomi 23871688 2553155 10161219 11157314 Dampak Kebijakan 14696312 474389 402873 13819050 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 14981908 Keuntungan Sosial = 11157314 DRC = 0.48 PCR = 0.30


(6)

Lampiran 18.Tabel PAM (Policy Analisis Matrix) dan Indikator Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Indrgarir Hulu Pada Saat Terjadi Depresiasi Nilai Tukar sebesar 5.5 Persen

Tabel PAM Budidaya Dengan Sebagian Besar Pakan Pelet

Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 28704000 15068960 6729273 6905767

Harga Ekonomi 18717538 11881598 6289335 546605

Dampak Kebijakan 9986462 3187362 439938 6359162 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 6905767 Keuntungan Sosial = 546605 DRC = 0.92 PCR = 0.49

Tabel PAM Budidaya Dengan Menggunakan Sebagian Besar Pakan Alternatif Keterangan Penerimaan

Biaya

Keuntungan Input

Tradable Domestik

Harga Finansial 38568000 3353214 10590878 24623908 Harga Ekonomi 25149735 2690038 10177076 12282621 Dampak Kebijakan 13418265 663176 413802 12341287 Indikator Daya Saing

Keuntungan Privat = 24623908 Keuntungan Sosial = 12282621 DRC = 0.45 PCR = 0.30