13. Rasio Subsidi Bagi Produsen SRP = LE
2.2. Tinjauan Empiris
Suatu produk memiliki daya saing yang tinggi salah satu cirinya adalah produk tersebut dapat diproduksi secara efisien. Jika suatu produk telah
diproduksi secara efisien maka biaya produksi akan menurun sehingga keuntungan akan semakin meningkat. Daya saing merupakan salah satu kriteria
yang menentukan keberhasilan suatu negera di dalam perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld 2004 menjelaskan bahwa setiap negara melakukan
perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan gains from trade bagi mereka.
Alasan pertama negara-negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu,
selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat
melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satu- sama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala
ekonomis economics of scale dalam produksi. Seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu
saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam skala yang
lebih besar dan karenanya lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus.
2.2.1. Studi Daya Saing Sapi Potong
Penelitian mengenai daya saing keunggulan komparatif dan kompetitif telah banyak dilakukan diantaranya Simatupang dan Hadi 2004 menyimpulkan
bahwa diproyeksikan Indonesia tahun 2020 akan mengalami defisit produksi daging sapi sebesar 2.7 juta ekor. Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang
mempunyai keunggulan komparatif untuk mengembangkan sistem peternakan berbasis pakan rumput seperti sapi potong, kerbau, kambing dan domba, sehingga
daya saing usaha peternakan di Indonesia terletak pada pakan asal biji-bijian yaitu ayam ras pedaging dan petelur. Oleh karena itu untuk mengembangkan usaha
sekaligus daya saing peternakan di Indonesia, dengan mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi diperlukan pengembangan
teknologi. Nalle 1996 terhadap pengusahaan ternak sapi potong di wilayah Nusa
Tenggara Timur, memperlihatkan bahwa baik untuk sistem pengembalaan maupun sistem ikat serta pada orientasi substitusi impor dan perdagangan antar
wilayah nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik KBSD nya lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa pengusahaan komoditi ternak sapi potong di
Nusa Tenggara Timur adalah layak dan memiliki keunggulan komparatif. Namun Nefri 2000 menghasilkan bahwa keunggulan kompetitif dan komparatif
terhadap kinerja usaha peternakan sapi potong di Indonesia, memperlihatkan tingkat daya saing yang relatif masih rendah baik sebelum atau sesudah
perbaikan pakan, dimana nilai efisiensi ongkos produksi CP ratio adalah sebesar 0.87-0.88 dan tingkat pengembalian modal ROI 12-13 persen serta
Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik KBSD 0.52-0.56. Penelitian yang dilakukan Perdana 2003 menghasilkan bahwa usaha
penggemukan sapi menguntungkan secara sosial dan dengan sendirinya memiliki keunggulan komparatif. Selain itu tingkat keuntungan yang diperoleh antar skala
usaha kecil, sedang, dan besar tidak berbeda nyata. Widodo 2006 menghasilkan pengelolaan sapi potong model Sistem Integrasi Pertanian Ternak
SIPT memiliki keunggulan komparatif dengan indikator nilai Koefisien Biaya Sumberdaya Domestik KBSD atau Domestic Resources Cost Coeficient
DRCC 1.0 yaitu 0.57. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan diarahkan pada upaya mempertinggi harga bayangan sapi potong harga batas dan
memperendah harga input. Mempertinggi harga bayangan daging sapi dilakukan dengan penerapan tarif impor sehingga output sapi domestik mampu bersaing
secara kompetitif dengan sapi impor. Hal ini dapat diterapkan karena kebijakan tarif pemerintah masih rendah yaitu di bawah lima persen.
Sunandar 2006 melakukan penelitian di Kabupaten Gunung Kidul untuk mengetahui keunggulan komparatif usaha ternak sapi potong, menemukan bahwa
usaha ternak sapi ptong di Gunung Kidul tidak memiliki keunggulan komparatif. Nilai KBSD besar dari satu KBSD1 menunjukkan bahwa dari penggunaan
sumberdaya domestik yang ada, usaha ternak sapi potong tidak layak untuk dikembangkan karena secara sosial merugikan masyarakat. Comparative
disadvantages yang dialami usaha ternak sapi potong tidak terlepas dari adanya
distorsi harga sapi potong akibat dumping atau subsidi ekspor oleh negara pengekspor produk sapi potong ke Indonesia
Indrayani 2011 menemukan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot sapi potong di Kabupaten Agam adalah jumlah
hijauan, konsentrat, umur sapi bakalan dan penguasaan ternak. Peternakan sapi potong pada dua kecamatan yang diteliti mempunyai keunggulan komparatif
dengan PCR 1 serta keunggulan kompetiti dengan DRC 1. Faktor yang berpengaruh paling besar terhadap daya saing sapi potong adalah harga output.
Dimana penurunan harga output sebesar 15 persen menyebabkan usaha penggemukan sapi potong tidak memiliki keunggulan komparatif lagi.
2.2.2. Studi Daya Saing Perikanan