Posisi dan Peranan Organisasi

91 1575SKXI2005. Tugas utama PPK adalah melaksanakan perumusan kebijakan teknis penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PPK melaksanakan fungsi: 1 penyusunan rancangan kebijakan umum penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 2 penyiapan rumusan kebijakan pelaksanaan dan perumusan kebijakan teknis dalam penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 3 koordinasi pelaksanaan bimbingan dan pengendalian di bidang pemantauan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 4 mobilisasi sumber daya dalam penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 5 mengumpulkan data, menganalisa dan menyajikan informasi yang berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 6 evaluasi pelaksanaan kebijakan, peraturan dan standar dan program yang berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 7 pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Berdasarkan tugas dan fungsi tersebut, PPK dapat mengambil posisi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan sebagai pendukung dengan peranan sebagai penyedia layanan kesehatan baik bagi korban kebakaran maupun bagi pelaksana pengendalian kebakaran hutanlahan. Keterlibatan organisasi-organisasi lain pada umumnya adalah juga dalam operasi pemadaman kebakaran. Kementerian Luar Negeri terlibat sebagai pendukung terutama dalam fasilitasi keimigrasian ketika terjadi pengerahan sumber daya pemadaman dari luar negeri dan fasilitasi bagi penyebarluasan informasi pengendalian kebakaran ke dunia internasional. Kementerian Keuangan berperan dalam fasilitasi bea dan cukai bagi masuknya barang-barang dalam mobilisasi bantuan internasional untuk kepentingan operasi pemadaman. Kementerian Dalam Negeri Kemdagri terlibat sebagai pendukung dalam pencegahan dan pemadaman kebakaran karena adanya Direktorat Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana di bawah Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum yang dibentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 130 tahun 2003 dan diperbarui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri. Salah satu sub direktorat menangani pencegahan dan penanggulangan kebakaran, tanpa merinci jenis kebakaran yang dimaksud. Uraian tugas sub direktorat tersebut 92 menunjukkan bahwa organisasi tersebut tidak terlibat dalam operasional pengendalian kebakaran di lapangan melainkan pada perumusan kebijakan, fasilitasi, pemantauan dan evaluasi. Posisi dan peranan organisasi-organisasi tersebut di atas tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi berdasarkan analisis terhadap profil dan bidang kegiatan yang selama ini biasa dilakukan peranan-peranan tersebut dapat diidentifikasi seperti pada Tabel 5 berikut. Tabel tersebut hanya menyajikan organisasi- organisasi yang dianggap memegang posisi utama, sedangkan Tabel yang memasukkan juga organisasi-organisasi lain yang menjadi pendukung disajikan pada Lampiran 8. Tabel 5 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional menurut profil organisasi Organisasi Peranan Pencegahan Pemadaman Pasca Kebakaran Dit. PKH U U P Asdep PKHL P P U BNPB - U P Kemkes - U U Polri - P U Kejakgung - - U Keterangan: U = posisi utama, P = posisi pendukung Pada tingkat provinsi, di samping organisasi-organisasi yang sudah disebutkan di atas yang profilnya menyebutkan secara eksplisit kebakaran hutanlahan, terdapat pula beberapa organisasi yang dapat digolongkan sebagai organisasi yang berperanan dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Seperti di tingkat nasional, Polda dan Kejaksaan Tinggi di tingkat provinsi serta Polres dan Kejaksaan Negeri di tingkat kabupatenkota berada di posisi utama pada peranan pasca-kebakaran yustisi. Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla di Kalimantan Barat mempunyai departementasi berdasarkan wilayah pemangkuan. Oleh sebab itu, setiap organisasi yang memangku kawasan yang disebutkan di dalam struktur organisasi Pusdalkarhutla ataupun Satlakdalkarhutla dapat dikatakan menduduki posisi utama dan berperanan dalam setiap bidang pengendalian kebakaran. 93 Berbeda halnya dengan di Riau, Pusdalkarhutla di tingkat provinsi dan Satlak-dalkarhutla di tingkat kabupatenkota memiliki departementasi menurut bidang-bidang dalam pengendalian kebakaran, sehingga setiap organisasi yang ditunjuk sebagai penanggung jawab bidang dapat dikatakan sebagai pemegang posisi utama dan berperanan dalam bidang tersebut. Organisasi-organisasi lain yang dalam Pusdalkarhutla atau Satlak-dalkarhutla baik di Riau maupun di Kalimantan ditunjuk sebagai anggota dapat disebut sebagai berada pada posisi pendukung dengan peranan sesuai dengan bidang di mana organisasi tersebut ditempatkan. Berdasarkan analisis tersebut maka posisi dan peranan organisasi-organisasi di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota di kedua lokasi penelitian Riau dan Kalimantan Barat yang berada di posisi utama dapat dirangkum seperti pada Tabel 6. Hasil identifikasi selengkapnya terhadap seluruh organisasi disajikan pada Lampiran 8. Adapun keterkaitan masing-masing organisasi tersebut dengan pengendalian kebakaran hutanlahan dapat dilihat dari kedudukan masing-masing organisasi tersebut di dalam struktur organisasi Pusdalkarhutla seperti pada Gambar 8 dan Gambar 9. Setiap penanggung jawab sektor, kecuali sektor kesehatan dan sekretariat, mempunyai tugas yang serupa yaitu: pembinaan terhadap badan usaha di sektornya, pemantauan, pengarahan, dukungan sumber daya, dan koordinasi dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran di arealkawasan yang berada di bawah tanggung jawabnya. 1. Kota Dumai, Provinsi Riau Tingkat KabupatenKota Organisasi-organisasi di tingkat kabupatenkota yang menangani kebakaran hutanlahan relatif sama dengan organisasi-organisasi di tingkat provinsi baik di Riau maupun Kalimantan Barat. Organisasi-organisasi tersebut adalah yang menangani lingkungan hidup, kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan lahan di Kota Dumai berbentuk Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan 94 Satlakdalkarhutla Kota Dumai yang dibentuk dengan Peraturan Walikota Dumai nomor 01 Tahun 2006. Susunan organisasi Satlakdalkarhutla Kota Dumai ditetapkan dengan Keputusan Walikota Dumai nomor 334PEREKO2006. Satlakdalkarhutla dipimpin oleh Wakil Walikota. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Distanbunhut Kota Dumai menduduki posisi utama dengan menjadi Sekretariat Satlak dan Kepala Distanbunhut Kota bertindak sebagai Ketua Pelaksana Harian Satlak. Tabel 6 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota menurut profil organisasi No. Organisasi Peranan Sekretariat Pencegahan Pemadaman Pasca Kebakaran

A. Riau

1. Dishut Prov. Riau - P U P 2. Disbun Prov. Riau - U P P 3. BLHD Prov. Riau U - P P 4. Polda Riau - - P U

B. Kalimantan Barat

1. Dishut Prov. Kalbar - U U P 2. Disbun Prov. Kalbar - U U P 3. Distan Prov. Kalbar - U U P 4. Distamben Prov. Kalbar - U U P 5. BLHD Prov.Kalbar U - - P 6. Polda Kalbar - - P U

C. Kota Dumai

1. DistanbunhutKota Dumai U P U P 2. Dinas KPLH Kota Dumai - U P - 3. Polresta Dumai - - P U D. Kab. Inderagiri Hulu 1. BLHD Kab. Inhu U - - P 2. Dishutbun Kab. Inhu - U U P 3. Polres Inhu - - P U E. Kab. Ketapang 1. Dishut Kab. Ketapang - U U P 2. Disbun Kab. Ketapang - U U P 3. BLHD Kab. Ketapang U - - P 4. Polres Ketapang - - P U

F. Kab. Kubu Raya

1. BLHD Kab.Kubu Raya U - - P 2. Dishutbun - U U P 3. Polres Pontianak - - P U Keterangan: U = posisi utama, P = posisi pendukung 95 Gambar 8 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Riau Sumber: Peraturan Gubernur Riau nomor 6 tahun 2006. Di samping itu, Kepala Bidang Kehutanan sebagai Sekretaris dan Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai Koordinator Bidang Penanggulangan dan Wakil Koordinator Bidang Monitoring dan Pencegahan. Namun demikian, profil organisasi Distanbunhut Kota Dumai sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Dumai nomor 13 tahun 2005 yang merupakan dasar pembentukan instansi tersebut baik dalam struktur organisasi maupun uraian tugas jabatan-jabatannya sama sekali tidak menyebutkan tentang kebakaran 96 hutanlahan. Urusan kebakaran ditangani di tingkat eselon IV yaitu Seksi Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam pada Bidang Kehutanan. Gambar 9 Struktur organisasi Pusdalkarhutla Provinsi Kalimantan Barat Sumber: Keputusan Gubernur Kalimantan Barat nomor 164 tahun 2002. 97 2. Kabupaten Inderagiri Hulu, Provinsi Riau Kabupaten Inderagiri Hulu belum memiliki sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan. Meskipun termasuk daerah rawan kebakaran, sejak era Reformasi di tahun 1999 kabupaten ini belum membangun kembali sistem pengendalian kebakarannya. Sistem yang berlaku adalah Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Satlakdalkarhutla sebagai bagian dari Pusdalkarhutlada yang dibangun sebelum era Reformasi tersebut. Badan Lingkungan Hidup Daerah BLHD yang sebelumnya bernama Bapedalda Kabupaten bertindak sebagai Sekretariat dan Dinas Kehutanan Kabupaten Inderagiri Hulu sebagai Ketua Pelaksana Harian, sementara sebagai koordinator pelaksana pemadaman kebakaran sejak tahun 2003 ditunjuk Manggala Agni Daerah Operasi Daops Rengat. 3. Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat Pengendalian kebakaran hutanlahan di Kabupaten Ketapang seperti halnya di tingkat provinsi ditangani oleh masing-masing sektor. Pengorganisasian pengendalian kebakaran masih menggunakan organisasi masa Orde Baru yaitu Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran hutanlahan di mana bupati sebagai penanggung jawab. Penunjukan instansi-instansi yang bertanggung jawab atas masing-masing sektor dikaitkan dengan struktur organisasi dan uraian tugas instansi-instansi yang bersangkutan menurut Peraturan Daerah nomor 11 tahun 2008 secara singkat disampaikan sebagai berikut. Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan hutan, tetapi di dalam struktur organisasinya tidak terdapat bidang atau seksi yang khusus menangani kebakaran hutan. Dinas Perkebunan Kabupaten yang bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan kebun memiliki seksi yang menangani kebakaran lahankebun. Dinas Pertambangan Kabupaten dan Dinas Pertanian dan Peternakan yang masing- masing menangani sektor pertambangan dan sektor pertanian dan peternakan juga tidak memiliki bagian di dalam struktur organisasinya yang menangani kebakaran. Kantor Lingkungan Hidup KLH Kabupaten, yang dulunya adalah 98 Bapedalda Kabupaten, yang sebelumnya bertindak sebagai Sekretariat Satlakdalkarhutla Kabupaten juga tidak memiliki unsur yang menangani kebakaran, bahkan dengan diturunkannya level jabatan dari eselon II badan menjadi eselon III kantor menurut Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang nomor 12 tahun 2008, posisi KLH Kabupaten hanya sebagai pendukung. 4. Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat Kabupaten Kubu Raya merupakan kabupaten baru, hasil dari pemekaran Kabupaten Pontianak berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2007. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan belum terbentuk, tetapi sementara ditangani oleh Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Transmigrasi Dishutbuntrans Kabupaten. Pelaksanaan operasional dilakukan bersama dengan Manggala Agni Daerah Operasi Pontianak yang bermarkas di Rasau Jaya yang berada di wilayah Kabupaten Kubu Raya. Dishutbuntrans Kabupaten Kubu Raya memang berada di posisi utama dalam pengendalian kebakaran hutanlahan tetapi tidak ada unsur di dalam struktur organisasi maupun uraian tugas jabatan-jabatan di organisasinya yang secara jelas menyebutkan kebakaran hutanlahan. Organisasi-organisasi lain di pemerintahan kabupaten juga tidak ada yang secara jelas menyebutkan hal tersebut. Hasil pengamatan terhadap profil organisasi tersebut memperlihatkan bahwa peranan organisasi dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan telah secara formal didefinisikan pada tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota, tetapi justru belum terjadi di tingkat nasional. Pada tingkat nasional, Kementerian Kehutanan yang menurut PP nomor 4 tahun 2001 Pasal 23 bertanggung jawab atau berperan dalam penanggulangan kebakaran hutanlahan jika dampaknya telah melintas batas provinsi danatau batas negara, tetapi menurut PP nomor 45 tahun 2004 yang menjadi landasan utamanya justru membatasi diri pada penanganan kebakaran hutan saja. Hal tersebut di atas menunjukkan adanya diskrepansi peranan Brown Harvey 2006 karena Kemenhut diharapkan menangani kebakaran tidak hanya di kawasan hutan melainkan juga di lahan. Peranan yang diberikan oleh PP nomor 4 99 tahun 2001 seharusnya diterima oleh Kemenhut dengan penuh tanggung jawab karena di setiap peranan ada harapan dan tanggung jawab Martin MacNeil, 2007 dan peranan tersebut diberikan karena adanya kepercayaan Wehmeyer et al . 2001 bahwa Kemenhut memiliki kapabilitas untuk menjalankannya. Kepercayaan trust dalam hubungan antar organisasi, apapun organisasinya baik bisnis maupun pemerintahan, merupakan sesuatu yang biasanya diperjuangkan dengan sangat keras karena menurut berbagai literatur yang dikutip Wehmeyer et al 2001 kepercayaan merupakan sebuah faktor yang sangat krusial bagi operasi jejaring yang efisien. Kepercayaan serupa diberikan juga kepada organisasi yang menangani kehutanan di tingkat provinsi maupun tingkat kabupatenkota seperti terungkap pada hasil angket maupun wawancara. Asdep PKHL yang secara tegas menyebutkan keterlibatannya pada kebakaran hutanlahan pada kenyataannya mengambil peranan lebih pada penanganan pasca kebakaran yakni berhubungan dengan dampak kebakaran hutanlahan. Di sisi lain, BNPB juga belum secara tegas mengambil semua peranan seperti yang diamanatkan oleh UU nomor 24 tahun 2007. Ketentuan di masa lalu ketika masih bernama Bakornas PB, organisasi tersebut terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan, khususnya dalam operasi pemadaman jika kondisi kebakaran dianggap telah menjadi bencana. UU tersebut kemudian memberikan peranan penuh kepada BNPB untuk menangani bencana kebakaran hutanlahan. Namun demikian, sampai saat ini kriteria bencana kebakaran hutanlahan belum ditetapkan sehingga peranan BNPB tersebut masih belum jelas. Keadaan tersebut di atas menunjukkan bahwa di tingkat nasional, pembagian peranan memang belum ada kesepakatan di antara organisasi- organisasi yang terlibat. Situasi yang terjadi masih menunjukkan adanya apa yang disebut oleh Brown dan Harvey 2006 sebagai role ambiguity maupun role conflict . Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang belum jelas dan utuh dari masing-masing organisasi tentang posisi dan peranannya, karena memang belum ada kesepakatan formal mengenai hal tersebut. Suatu sistem pengorganisasian harus segera dibangun dengan memberikan kejelasan mengenai posisi dan peranan dari masing-masing unsur di dalam sistem tersebut. Jika melibatkan 100 berbagai organisasi, maka posisi dan peranan dari masing-masing organisasi yang dilibatkan juga harus jelas. 5.2.2. Posisi dan peranan organisasi menurut pendapat responden praktisi Posisi dan peranan organisasi selain dianalisis berdasarkan profil organisasi juga dianalisis berdasarkan hasil pengisian angket penelitian dan wawancara dengan para responden dari organisasi-organisasi yang diamati. Hasil pengujian terhadap validitas dan reliabilitas angket penelitian memperoleh angka validitas 75 dan reliabilitas 80. Hal tersebut menunjukkan bahwa angket tersebut layak untuk digunakan. Jumlah angket yang diterima dalam keadaan terisi lengkap sebanyak 72 dari jumlah angket yang dibagikan kepada responden dari organisasi yang diamati di tingkat nasional, provinsi dan kabupatenkota. Persentase dari jumlah angket yang kembali tersebut sebenarnya telah diperkirakan sebesar sekitar 75. Pencapaian 100 sulit dicapai karena beberapa alasan antara lain yaitu: 1. rendahnya perhatian responden terhadap penelitian tersebut, terutama dari para responden yang jabatannya tidak pernah berkaitan dengan pengendalian kebakaran atau secara pribadi responden yang bersangkutan tidak memiliki perhatian ataupun terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan; 2. responden tidak berada di tempat tugas selama penelitian dilaksanakan, sehingga meskipun angket penelitian telah diserahkan, responden tersebut tidak mengetahuinya; Hasil pengisian angket penelitian oleh responden di dalam organisasi- organisasi yang diamati menunjukkan pemahaman responden terhadap posisi dan peranan organisasinya dalam pengendalian kebakaran hutanlahan dapat disajikan secara ringkas di bawah ini. 1. Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran Identifikasi terhadap keterlibatan organisasi-organisasi di tingkat nasional dalam dalkarhutla boleh dikatakan tepat sesuai dengan hasil pengisian angket 101 penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan organisasinya terlibat atau berperan dalam dalkarhutla Gambar 10. Hampir separuh 41,67 dari jumlah responden bahkan sangat yakin mengenai hal tersebut. Jika dilihat dari asal organisasinya, semua organisasi yang diamati terdapat respondennya yang menjawab setuju atau sangat setuju bahwa organisasinya terlibat dalam dalkarhutla. Gambar 10 Keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam dalkarhutla Para responden adalah pejabat di organisasi-organisasi tersebut yang tentunya mengetahui dan memahami dengan baik mengenai terlibat tidaknya organisasinya dalam dalkarhutla. Beberapa responden yang ragu-ragu adalah mereka yang masih baru di organisasinya tersebut atau jabatannya memang tidak berkaitan sama sekali dengan dalkarhutla. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan para pejabat tersebut secara pribadi dalam dalkarhutla. Gambar 11 menunjukkan bahwa hampir sepertiga responden menyatakan tidak pernah terlibat dalam kegiatan dalkarhutla dan bila ditambahkan dengan yang ragu-ragu maka hampir separuh responden menyatakan hal tersebut. Jika dikaitkan dengan profil organisasi pada sub bab tersebut di atas, hal ini dapat menggambarkan bahwa keterlibatan organisasi dalam dalkarhutla lebih disebabkan oleh kepedulian pejabatnya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan 102 dalkarhutla. Menurut pengamatan penulis selama bertugas di bidang dalkarhutla, banyak organisasi yang menurut profilnya tidak berperanan dalam dalkarhutla, pada periode pejabat tertentu hampir selalu terlibat dalam dalkarhutla dalam berbagai bentuk seperti menghadiri rapat-rapat di tingkat nasional maupun tingkat provinsi dan internasional. Namun, pada periode yang lain dengan pejabat yang lain, organisasi tersebut seringkali sulit untuk dilibatkan karena kurangnya perhatian dari pejabatnya. Keinginan organisasi-organisasi untuk berperan dalam dalkarhutla sebenarnya juga dinyatakan oleh para responden di mana lebih dari 80 responden menyatakan bahwa dalkarhutla perlu melibatkan banyak organisasi dan lebih dari 80 pula menyatakan bahwa organisasinya perlu terlibat dalam dalkarhutla. Namun demikian alasannya tidak terkait dengan apa yang disebut dalam teori peranan organisasi sebagai motivasi pelayanan publik atau public service motivation atau PSM yakni keinginan atau motivasi untuk melayani kepentingan publik Moynihan Pandey 2007. Pengendalian kebakaran hutanlahan merupakan kepentingan publik, untuk itu maka pengendaliannya ditangani oleh pemerintah. Beberapa indikasi PSM yang belum terpenuhi jika menggunakan kriteria PSM Moynihan Pandey 2007 yaitu bahwa mereka seharusnya a berkontribusi positif terhadap upaya pengendalian kebakaran; b menunjukkan level komitmen yang tinggi terhadap kinerja pengendalian kebakaran; c bekerja lebih keras karena percaya bahwa pekerjaannya adalah Gambar 11 Keterlibatan responden dari organisasi di tingkat nasional dalam kegiatan dalkarhutla. 103 penting; dan d terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sehingga kinerjanya tinggi dan tingkat kepuasan atas pekerjaannya juga lebih tinggi. Alasan untuk berperan pada umumnya adalah untuk berbagi sumber daya karena tidak ada satupun organisasi yang memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan untuk pengendalian kebakaran dan sumber daya yang dimiliki pada umumnya masih sangat kurang untuk menjalankan peranannya secara optimal. Namun demikian, usaha untuk dapat memiliki sumber daya atau kapasitas dan kapabilitas pada tingkat yang optimal tampaknya masih kurang kuat. Hal ini juga didukung oleh pendapat di dalam focus group discussion FGD di tingkat nasional maupun provinsi dan kabupatenkota. Di tingkat provinsi, baik di Riau maupun Kalimantan Barat sebagian besar responden juga menyatakan hal serupa bahwa organisasinya terlibat dalam dalkarhutla, tetapi persentase jumlah responden yang menyatakan hal tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan di tingkat nasional. Organisasi yang diamati di kedua provinsi tersebut adalah organisasi yang secara formal terdaftar di dalam Pusdalkarhutlada, sehingga para pejabatnya seharusnya sudah mengetahui hal tersebut. Di Riau bahkan masih ada 4,76 pejabat di Dishut Provinsi yang ragu-ragu mengenai keterlibatan organisasinya dalam dalkarhutla. Para responden dari organisasi-organisasi di tingkat kabupatenkota yang termasuk sebagai penanggung jawab bidang atau sektor dalam Satlakdalkarhutla hampir seluruhnya mengetahui bahwa organisasinya terlibat dalam dalkarhutla, kecuali di Kabupaten Inderagiri Hulu ada sebagian kecil 12,5 yang masih ragu-ragu. Hal ini menggambarkan tingkat pengetahuan responden yang relatif baik tentang peranan organisasi dalam dalkarhutla. Mereka yang masih ragu-ragu mungkin karena pejabat baru yang datang bukan dari internal organisasi tersebut atau yang tidak pernah terlibat dalam kegiatan dalkarhutla. 2. Peranan dalam Sistem Peringatan dan Deteksi Dini SPDD Kebakaran Sistem peringatan dan deteksi dini SPDD kebakaran hutanlahan mencakup dua hal yang sebenarnya terpisah yaitu sistem peringatan kebakaran 104 dan sistem deteksi kebakaran Suprayitno Syaufina 2008. Sistem peringatan merupakan bagian dari pencegahan kebakaran sedangkan sistem deteksi merupakan bagian dari pemadaman kebakaran. Kedua sistem tersebut di berbagai negara termasuk Indonesia memanfaatkan terutama data dan informasi cuaca dan peta. Oleh sebab itu, organisasi-organisasi yang dapat menyediakan, mengolah, dan atau menyajikan data dan informasi cuaca menduduki posisi utama dalam pengendalian kebakaran. Gambar 12 menunjukkan bahwa hampir 90 responden dari organisasi- organisasi di tingkat nasional menyatakan setuju 50 dan sangat setuju 37,50 bahwa organisasinya berperan dalam SPDD. Organisasi yang seluruh respondennya menyatakan bahwa organisasinya perlu berperan dalam SPDD yaitu: Dit. PKH, Dit. Linbun, Asdep PKHL, BMKG, Bakosurtanal dan LAPAN. Ketiga organisasi yang terakhir tersebut memang mempunyai tugas dan fungsi yang sangat berkaitan dengan penyediaan data dan informasi untuk SPDD, sedangkan ketiga organisasi yang pertama, berdasarkan hasil wawancara diketahui memiliki alasan yang berbeda-beda. Responden dari Dit. PKH menyatakan bahwa organisasinya berperan dalam mengolah dan menyajikan informasi peringatan dan deteksi dini kebakaran. Informasi yang dimaksud meliputi peringkat bahaya kebakaran fire danger rating dan lokasi serta jumlah titik panas hotspot. Informasi tersebut disebarkan Gambar 12 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam sistem peringatan dan deteksi dini kebakaran hutanlahan. 105 kepada berbagai instansi dan publik melalui sistem komunikasi radio terpadu SKRT Kementerian Kehutanan dan media massa cetak maupun media massa elektronik. Responden dari Dit. Linbun menyatakan bahwa organisasinya berperan mendistribusikan informasi bahaya kebakaran dan lokasi titik panas melalui sistem komunikasi di Kementerian Pertanian terutama kepada jajaran instansi dan badan usaha pertanian dan perkebunan di seluruh provinsi. Peranan Asdep PKHL menurut respondennya adalah menyebarluaskan informasi titik panas kepada badan-badan lingkungan hidup di provinsi dan masyarakat.. Responden dari organisasi-organisasi tingkat provinsi maupun tingkat kabupatenkota baik di Riau maupun Kalimantan Barat sebagian besar menyatakan organisasinya terlibat dalam SPDD. Keterlibatan tersebut, menurut hasil wawancara terutama adalah sebagai penerima informasi dan penyebarluas informasi. Organisasi-organisasi yang diamati di tingkat provinsi menerima informasi peringkat bahaya kebakaran dan titik panas secara harian dari tingkat nasional yaitu Dit. PKH. Organisasi-organisasi tersebut memilah-milah informasi, terutama titik panas hotspot, tersebut menurut lokasi kabupatenkotanya dan menyampaikan informasi tersebut kepada instansi serupa, misalnya instansi kehutanan di tingkat provinsi kepada instansi kehutanan di tingkat kabupatenkota di mana terdapat titik panas pada waktu tersebut. Instansi-instansi di tingkat kabupatenkota tersebut selanjutnya menyampaikan informasi SPDD tersebut kepada instansi-instansi pemda setempat melalui surat-menyurat atau telekomunikasi dan kepada publik di wilayahnya melalui media massa lokal. Pengakuan para responden mengenai keterlibatan organisasi dalam SPDD tersebut di atas menunjukkan bahwa sebuah peranan “dikeroyok” oleh begitu banyak organisasi tanpa kejelasan peranan spesifik dari masing-masing organisasi yang terlibat tersebut, sehingga yang terjadi adalah konflik peranan role conflicts. Langkah yang harus ditempuh untuk menghindarkan konflik peranan yang membuat peranan tersebut tidak dapat dijalankan secara efektif dan efisien adalah membuat accurate descriptions of expectations uraian yang tepat mengenai hal-hal yang diharapkan dari peranan tersebut dan menunjuk pemimpin atau organisasi yang menduduki posisi utama dalam peranan tersebut Martin MacNeil 2007. 106 107 3. Peranan dalam pencegahan Peranan dalam pencegahan kebakaran hutanlahan seperti ditunjukkan pada Gambar 13 tampaknya juga menjadi pilihan sebagian besar responden dari organisasi-organisasi di tingkat nasional. Responden yang memilih peranan dalam pencegahan bagi organisasinya hampir seluruhnya berasal dari organisasi- organisasi yang memangku kawasan yaitu Dit. PKH, Dit. Linbun dan Dit. Lintan. Hal tersebut tampaknya dipahami oleh para responden bahwa kebakaran hutanlahan terjadi di kawasan-kawasan yang berada di bawah pemangkuan dan tanggung jawab mereka dan disadari bahwa mereka harus mengambil peran dalam pencegahan kebakaran. Responden dari organisasi-organisasi yang menjadi koordinator atau penanggung jawab bidang atau sektor di dalam Pusdalkarhutla di tingkat provinsi maupun mereka yang berada di tingkat kabupatenkota baik di Riau maupun Kalimantan Barat sebagian besar, sekitar 95, juga memilih setuju organisasinya berperan di dalam pencegahan kebakaran hutanlahan. Organisasi-organisasi tersebut adalah pemangku kawasan sehingga hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa masing-masing organisasi tersebut merasa bertanggung jawab atas pencegahan di kawasannya. Gambar 13 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam pencegahan kebakaran. 108 4. Peranan dalam pemadaman Preferensi responden dari organisasi-organisasi di tingkat nasional mengenai peranan organisasinya dalam pemadaman kebakaran hutanlahan cukup beragam. Dibandingkan dengan peranan dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran maupun pencegahan kebakaran yang dipilih oleh lebih dari 50 bahkan hampir oleh seluruh responden, peranan dalam pemadaman dipilih oleh kurang dari 50 responden Gambar 14. Hampir separuh responden lainnya menyatakan bahwa organisasinya tidak berperan dalam pemadaman kebakaran. Para responden yang menyatakan bahwa organisasinya berperan dalam pemadaman kebakaran semuanya berasal dari Dit. PKH dan BNPB, serta sebagian dari Dit. Linbu n, sementara responden dari organisasi-organisasi lainnya di tingkat nasional menyatakan tidak setuju atau ragu-ragu. Para responden dari organisasi-organisasi di tingkat provinsi maupun tingkat kabupatenkota di Kalimantan Barat berpendapat serupa dengan mereka di tingkat nasional bahwa organisasinya berperanan dalam pemadaman. Hal ini berbeda dengan di Riau di mana responden yang menyatakan organisasinya berperanan dalam pemadaman relatif lebih rendah, yakni di bawah 50 dari total responden di daerah tersebut. Hal ini menggambarkan pengaruh dari posisi dan peranan organisasi mereka di dalam Pusdalkarhutlada di mana organisasi- organisasi di Kalimantan Barat bertanggung jawab atas kebakaran di sektornya, yang artinya setiap organisasi tersebut bertanggung jawab atas semua bidang Gambar 14 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam pemadaman kebakaran. 109 dalam pengendalian kebakaran, termasuk pemadamam. Di Riau, pembagian tugas dan tanggung jawab dalam Pusdalkarhutlada berdasarkan bidang-bidang dalam pengendalian kebakaran, sehingga hanya organisasi-organisasi yang termasuk dalam bidang pemadaman yang menyatakan keterlibatan atau peranannya. Hal tersebut dapat dikonfirmasi dari hasil angket penelitian di mana responden di tingkat provinsi di Riau adalah hampir seluruhnya lebih dari 95 berasal dari Dishut Provinsi, yang dalam Pusdalkarhutla bertanggung jawab atas bidang operasi pemadaman. Hal tersebut pada tingkat kabupatenkota, kurang nampak perbedaan antara bidang pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran karena organisasi yang ditunjuk menangani bidang-bidang tersebut yakni kehutanan dan perkebunan kebetulan bergabung dalam satu instansi, yaitu Distanbunhut Kota Dumai dan Dishutbun Kabupaten Inderagiri Hulu. 5. Peranan dalam penanganan pasca kebakaran Komposisi jumlah responden dari organisasi-organisasi di tingkat nasional yang menyatakan peranan organisasinya dalam penanganan pasca kebakaran cukup menyebar Gambar 15, namun lebih dari separuh jumlah responden menyatakan keterlibatan organisasinya dalam penanganan pasca kebakaran. Organisasi-organisasi yang sebagian besar respondennya memilih organisasinya berperan adalah Dit. PKH, Dit. Linbun dan Asdep PKHL, sedangkan organisasi lainnya yang ada respondennya yang memilih peranan tersebut adalah BNPB dan Bakosurtanal. Para responden di tingkat provinsi di Riau, 47,5 menyatakan bahwa organisasinya berperanan dalam penanganan pasca kebakaran, selebihnya yaitu 38,1 dan 14,4 menyatakan tidak terlibat dan ragu-ragu. Pada tingkat kabupatenkota di Dumai maupun Inderagiri Hulu terjadi hal yang serupa. Alasan mengenai hal ini kemungkinan sama dengan alasan pada peranan di dalam pemadaman yakni berkaitan dengan pembagian tanggung jawab dalam pengendalian kebakaran baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupatenkota yang berdasarkan bidang-bidang. 110 Selanjutnya, ketika dirinci bentuk keterlibatan tersebut, responden dari Dit. PKH lebih memilih terlibat dalam rehabilitasi kawasan bekas kebakaran dan pemulihan korban satwa, sedangkan responden dari Dit. Linbun dan Asdep PKHL lebih memilih keterlibatan dalam yustisi kebakaran. Responden BNPB memilih keterlibatan dalam pemulihan korban manusia, dan responden dari Bakosurtanal memilih keterlibatan dalam proses yustisi. Hal yang serupa dengan yang ada pada peranan pemadaman di Kalimantan Barat terjadi pula pada peranan dalam penanganan pasca kebakaran di provinsi tersebut. Para responden dari organisasi-organisasi baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupatenkota juga menyatakan bahwa organisasinya berperanan dalam penanganan pasca kebakaran. Alasannya pun tampaknya serupa yakni bahwa masing-masing organisasi tersebut bertanggung jawab bukan hanya pada bidang pengendalian tertentu melainkan pada semua bidang di sektornya masing-masing. Posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional, tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota berdasarkan hasil dari pengisian angket penelitian dapat dirangkum seperti berturut-turut pada Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9. 5.2.3 Posisi dan peranan organisasi menurut pendapat responden pakar Analisis ini dimaksudkan untuk memperoleh pandangan dari para pakar di bidang kelembagaan dan pakar di bidang kebakaran mengenai posisi dan peranan Gambar 15 Pendapat responden tentang peranan organisasinya di tingkat nasional dalam pasca-kebakaran. 111 Tabel 7 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat nasional menurut pendapat responden praktisi No. Organisasi Peranan SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh Manusia Satwa 1 Dit. PKH √ √ √ - √ - √ 5 19,2 2 Dit. Lintan - √ - - - - - 1 3,8 3 Dit. Linbun √ √ √ √ - - - 4 15,4 4 Asdep PKHL √ √ - √ - - - 3 11,5 5 BNPB - - √ - - √ - 2 7,7 6 Bappenas - - - - - - - 7 BMKG √ - - - - - - 1 3,8 8 Basarnas - - - - - √ - 1 3,8 9 Bakosurtanal √ - - √ - - - 2 7,7 10 LAPAN √ - - - - - - 1 3,8 11 Kemdagri - - - - - - - 12 Kemlu - - - - - - - 13 Kemsos - - - - - √ - 1 3,8 14 Kemkes - - - - - √ - 1 3,8 15 Kemhub - - - - - - - 16 Kemkeu - - - - - - - 817 TNI - - √ - - √ - 2 7,7 18 Polri - - - √ - - - 1 3,8 19 Kejakgung - - - √ - - - 1 3,7 20 APHI - - - - - - - 21 GPPI - - - - - - - 26 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran; Pulih = pemulihan korban Tabel 8 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat provinsi menurut pendapat responden praktisi No. Organisasi Peranan SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh Manusia Satwa

A. Riau

1. Dishut Prov. √ √ - - √ - √ 4 22,2 2. Disbun Prov. √ √ √ √ √ - - 5 27,8 3. Distan Prov. √ √ - √ √ - - 5 27,8 4. BLHD Prov √ - √ - √ √ - 4 22,2 18 100

B. Kalbar

1. Dishut Prov. √ √ √ √ √ - √ 6 35,3 2. Disbun Prov. √ √ √ √ √ - - 6 35,3 3. Distan Prov. √ - - √ √ - - 3 17,6 4. BLHD Prov √ - - - √ - - 2 11,8 17 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran; 112 No. Organisasi Peranan SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh Manusia Satwa Pulih = pemulihan korban Tabel 9 Hasil identifikasi posisi dan peranan organisasi di tingkat kabupatenkota menurut pendapat responden praktisi No. Organisasi Peranan SPDD Gah Dam Yus Rehab Pemulihan Jmlh Manusia Satwa

A. Kota Dumai

1. Distanbunhut √ √ √ √ √ - - 5 62,5 2. Satpol PP - - √ - - - - 1 12,5 3. KLH √ - - √ - - - 2 25.0 8 100

B. Kab. Inhu

1. Dishutbun √ √ √ √ √ - - 5 62,5 2. Satpol PP - - √ - - - - 1 12,5 3. BLHD √ - - √ - - - 2 25,0 8 100

C. Kab. Ketapang

- - 1. Dishut √ √ √ √ √ - - 5 41,7 2. Disbun. √ √ √ √ √ - - 5 41,7 3. BLHD √ - - √ - - - 2 16,6 12 100

D. Kab. Kubu Raya

1. Dishutbuntrans √ √ √ √ √ - - 5 71,4 2. BLHD √ - - √ - - - 2 28,6 7 100 Keterangan: SPDD = sistem peringatan dan deteksi, Gah = pencegahan, Dam = pemadaman, Yus = yustisi; Rehab = rehabilitasi kawasan bekas kebakaran; Pulih = pemulihan korban organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Hal ini selanjutnya bersama dengan hasil analisis posisi dan peranan menurut profil organisasi dan pendapat praktisi dari organisasi-organisasi tersebut di atas dipergunakan dalam merancang bangun sistem pengorganisasian. Para pakar tersebut terdiri atas tiga orang pakar di bidang kebakaran hutan yaitu seorang praktisi dari Kementerian Kehutanan dan dua orang akademisi dari Fakultas Kehutanan IPB, seorang pakar di bidang kelembagaan dari Fakultas Kehutanan IPB, serta seorang pakar di bidang bencana alam dari BNPB. 113 Pengolahan data dengan perangkat analisis Interpretive Structural Modeling ISM memperoleh gambaran mengenai posisi dari organisasi-organisasi yang diamati dalam setiap aspek dari pengendalian kebakaran hutanlahan. Posisi organisasi yang penting sebagai key element Eriyatno 2003 adalah organisasi yang menduduki peringkat pertama yaitu yang di dalam diagram model struktur berada di level terbawah. Level ini menggambarkan bahwa elemen atau dalam hal ini organisasi tersebut memiliki kekuatan penggerak driver power yang terbesar dengan tingkat ketergantungan dependence terendah. Hasil dari analisis ISM ini dapat ditafsirkan bahwa organisasi atau organisasi-organisasi yang berada di level terbawah tersebut menduduki posisi terpenting kunci dalam aspek yang diamati. Adapun aspek-aspek yang diamati yaitu: 1 perumusan kebijakan, 2 sistem peringatan dan deteksi kebakaran, 3 pencegahan kebakaran, 4 pemadaman kebakaran, 5 rehabilitasi kawasan bekas kebakaran, dan 6 yustisi kebakaran. Posisi juga dibedakan tingkatannya menurut tingkatan pemerintahan yaitu tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupatenkota. a. Posisi dan peranan dalam perumusan kebijakan Hasil identifikasi terhadap organisasi-organisasi di tingkat nasional menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga posisi yang ditunjukkan pada Matriks DP-D yaitu independent kwadran IV, dependent kwadran II dan autonomus kwadran I. Organisasi yang berada pada posisi independent, yaitu Dit. PKH, Dit. TD-BNPB, Dit. Linbun, dan Bappenas Gambar 16.a memiliki pengaruh kuat terhadap organisasi-organisasi lain dalam merumuskan kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan. Organisasi-organisasi inilah yang diharapkan berperan utama dalam perumusan kebijakan tersebut. Sementara itu, tidak ada satupun organisasi yang berada pada posisi linkage kwadran III. Posisi ini menggambarkan pengaruh yang kuat tetapi tingkat keterkaitannya dengan organisasi lain juga tinggi. Sedangkan organisasi yang berada di kwadran II adalah organisasi yang bergantung pada organisasi lain. Dengan demikian, perumusan kebijakan akan lebih ditentukan oleh keempat 114 organisasi yang tersebut di atas. Selanjutnya, berdasarkan struktur hirarkinya Gambar 16.b Dit. PKH merupakan organisasi yang berada di posisi utama, yang harus berperan dalam menyiapkan rumusan dan memimpin dalam pembuatan kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat nasional. Situasi tersebut dapat juga ditafsirkan sebagai penggambaran bahwa organisasi-oganisasi tersebut sebenarnya membawa atau mewakili masing-masing kepentingan utama di dalam perumusan kebijakan. Dit. PKH 1 merepresentasikan kepentingan Kehutanan, Dit. Linbun 2 mewakili kepentingan Pertanian, atau dapat pula dianggap sebagai mewakili lahan, BNPB 6 dari sisi kepentingan penanganan bencana, dan Bappenas 7 pada sisi pendukung terutama dalam hal koordinasi perencanaan dan penganggaran. a b Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI Gambar 16 Posisi organisasi di tingkat nasional dalam perumusan kebijakan. a Matrik DP-D menunjukkan posisi relatif organisasi terhadap organisasi lain; b Diagram ISM menunjukkan struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan. 1 2 3, 13 4 5 6 7 8, 12, 16 9 10 11 14 15 17 18 19, 20 21, 22 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 3 5 9 10 13 15 21 22 11 14 18 19 20 4 8 12 16 17 7 2 6 1 D R I V E R P O W E R DEPENDENCE I II III IV 115 Bappenas dan Depkeu sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya mengoordinasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Koordinasi dalam perumusan kebijakan sangat penting agar tercipta kebijakan yang komprehensif dan pelaksanaannya dapat efektif dan efisien. Kondisi demikian mengisyaratkan perlunya kemampuan tinggi dari Bappenas untuk menjalankan peranan sebagai koordinator. Jika tidak, maka kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan menjadi kurang terpadu dan lebih bersifat sektoral. Perumusan kebijakan di tingkat provinsi, menurut matriks DP-D, akan diarahkan oleh Dishut dan BLHD. Kedua organisasi tersebut berada di kwadaran yang sama yang memiliki kekuatan penggerak DP tinggi. Diagram ISM pada Gambar 17 memperlihatkan bahwa Dishut Provinsi dan Bapedalda BLHD merupakan organisasi kunci dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat provinsi. Pada tingkat kabupatenkota, sesuai dengan Diagram ISM pada Gambar 18, Dishut, Disbun dan BLHD berada pada satu level tertinggi. Hal ini mengisyaratkan bahwa pada tingkat terbawah yang berhubungan langsung dengan 3 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14 2 12 1 Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. BapedaldaBLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran. Gambar 17 Struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat pada perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat provinsi. 116 situasi dan kondisi lapangan di mana kebakaran terjadi, kebijakan pengendaliannya dirumuskan bersama-sama dengan menyatukan kepentingan pada kawasan hutan yang direpresentasikan oleh Dishut, lahan oleh Disbun, dan dampak kebakaran serta koordinasi oleh BLHD. Posisi organisasi-organisasi lainnya dalam aspek perumusan kebijakan dapat dikatakan sebagai pendukung. Keberadaan institusi Kehutanan pada posisi utama di semua tingkat baik nasional maupun provinsi dan kabupatenkota dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan menurut profil organisasi, pendapat para praktisi maupun pendapat para pakar memberikan pesan bahwa dalam perumusan sistem pengorganisasi pengendalian kebakaran hutanlahan institusi tersebut perlu ditempatkan sebagai organisasi kunci. Hal ini juga mengisyaratkan akan adanya kemudahan-kemudahan bagi institusi tersebut dalam berkoordinasi lintas tingkatan karena organisasi-organisasi tersebut berada dalam satu jajaran, Kehutanan. Kendala yang dihadapi adalah berupa terputusnya hubungan komando antar tingkatan akibat penerapan otonomi daerah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab terakhir dari bab ini yang membahas alternatif-alternatif rumusan sistem pengorganisasian. 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14 3 1 2 12 Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. BapedaldaBLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran. Gambar 18 Struktur hirarki organisasi-organisasi yang terlibat pada perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat kabupatenkota. 117 118 b. Sistem peringatan dan deteksi kebakaran Matriks DP-D menempatkan BMKG 8, Dit. PKH 1, dan BNPB 6 dalam satu kwadran yakni Kwadran IV untuk kepentingan dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran di tingkat nasional Gambar 19. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga organisasi yang memiliki kekuatan penggerak driver powerDP tertinggi tersebut yang dianggap sesuai untuk memiliki kewenangan dan tanggung jawab bagi pengelolaan sistem peringatan dan deteksi kebakaran di tingkat nasional. a b Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI Gambar 19 Matriks DP-D a dan struktur hirarki b organisasi di tingkat nasional dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutanlahan. Ketiga organisasi tersebut memang selama ini dalam prakteknya dianggap paling berperanan untuk kepentingan tersebut. Sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutanlahan sangat berkaitan dengan tersedianya data dan informasi iklim dan cuaca, dan sesuai tugas dan fungsinya, BMKG yang menyediakannya. 3 5 9 10 13 18 19 20 21 22 2 4 11 14 15 16 12 7 17 6 1 8 119 Data dan informasi iklim dan cuaca dari BMKG biasanya masih berupa data mentah yang memerlukan pengolahan untuk menjadi data dan informasi cuaca kebakaran fire weather. Dit. PKH dan BNPB inilah yang melakukan pengolahan data. Namun posisi tidak saling bergantung independent antara kedua organisasi tersebut dapat ditafsirkan bahwa pengolahan dan penyajian informasi cuaca kebakaran dilakukan terpisah demi kepentingan yang berbeda. Kondisi tersebut adalah seperti yang terjadi sekarang di mana informasi cuaca kebakaran dan titik panas hotspot dikeluarkan oleh beberapa instansi yang berbeda. Meskipun sudah ada penjelasan bahwa informasi berbeda tersebut memang untuk kepentingan yang berbeda, penjelasan tersebut belum tentu dipahami oleh setiap orang sehingga terjadi persepsi yang bermacam-macam. Untuk itu, sesuai dengan asas kesatuan tujuan, asas kesatuan komando, dan asas tanggung jawab agar terwujud organisasi yang efektif Hasibuan, 2008, peranan sebagai penanggung jawab sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutanlahan sebaiknya diserahkan kepada satu organisasi yang paling layak yaitu BMKG. Di tingkat provinsi, tampaknya masalah integrasi tersebut lebih mudah diatasi karena sesuai dengan diagram ISM Gambar 20, organisasi-organisasi yang dianggap memiliki kekuatan penggerak DP tinggi untuk kepentingan sistem peringatan dan deteksi kebakaran berada pada satu level dan dalam satu kwadran yakni Kwadran III. Berada di kwadran ini, disebut linkage, bermakna bahwa ada keterkaitan di antara organisasi-organisasi tersebut untuk suatu kepentingan, yang dalam hal ini adalah pengelolaan sistem peringatan dan deteksi kebakaran. Organisasi-organisasi yang berada pada posisi terpenting tersebut adalah Dishut 1, Disbun 2, BLHD 12, dan BMKG 13. Namun demikian, kesamaan tersebut juga membuat kesulitan di dalam menentukan siapa di antara keempat organisasi tersebut yang bertindak sebagai koordinator. Untuk itu, agar asas-asas seperti tersebut di atas Hasibuan, 2008 dapat terpenuhi, peranan koordinator jejaring atau network coordinator Wehmeyer 2001 juga diserahkan kepada BMKG di tingkat provinsi. 120 Situasi serupa terjadi juga pada tingkat kabupatenkota. Keempat organisasi yaitu Dishut 1, Disbun 2, BLHD 12 dan BMKG 13 di tingkat kabupatenkota menurut matrik DP-D berada pada kwadran yang sama, yaitu Kwadran III Linkage dan menurut diagram ISM berada pada level yang sama. Dengan demikian, perlakuan serupa yaitu menyerahkan peranan koordinator jejaring kepada BMKG di tingkat kabupatenkota. a b Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. BapedaldaBLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran. Gambar 20 Matriks DP-D a dan struktur hirarki b organisasi di tingkat provinsi dalam sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutanlahan. Penyerahan peranan sebagai koordinator jejaring kepada BMKG di semua tingkatan memberikan peluang lebih besar bagi terciptanya keterpaduan kebijakan atau policy integration Meijers Stead 2004 maupun koordinasi terpadu atau integrative coordination Bolland Wilson 1994. Peranan sebagai koordinator pada sistem peringatan dan deteksi kebakaran hutanlahan tersebut memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada BMKG untuk mengoordinasikan data dan informasi bagi kepentingan sistem tersebut. Kebutuhan akan segala data dan informasi tersebut untuk berbagai kepentingan dalam bidang-bidang pengendalian kebakaran pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca-kebakaran 4 5 6 7 8 9 10 11 14 3 1 2 12 13 121 disediakan oleh BMKG dan penyampaian kepada publik juga hanya dilakukan oleh BMKG, sehingga tidak terjadi simpang siur data dan informasi. Untuk mendukung peranan tersebut, BKMG telah memiliki dan harus terus mengembangkan sistem informasi yang mantap, termasuk kerja sama dengan berbagai media massa. c. Pencegahan kebakaran Hasil analisis posisi dan peranan di bidang pencegahan memperoleh gambaran cukup jelas bahwa bidang pencegahan ditangani secara berbeda antara di tingkat nasional dengan di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota. Penanganan pencegahan kebakaran hutanlahan tingkat nasional pada saat ini menjadi wewenang dan tanggumg jawab organisasi pemangku kawasan. Pencegahan pada kawasan hutan dengan cukup tegas dinyatakan di dalam PP nomor 45 tahun 2004 pada Pasal 20 3 sebagai tanggung jawab pencegahan di kawasan hutan ada pada Menteri Kehutanan. Pencegahan di luar kawasan hutan, dalam hal ini adalah lahan, belum ada penegasan siapa yang memiliki wewenang dan tanggung jawabnya. PP nomor 4 tahun 2001 hanya menyebutkan bahwa kewajiban pencegahan kebakaran hutanlahan dibebankan kepada setiap orang Pasal 12 atau setiap penanggung jawab usaha Pasal 13. Pertanggungjawaban kepada pemerintah berhenti hanya sampai kepada Gubernur Pasal 15, sedangkan tanggung jawab kepada tingkat nasional tidak disebutkan secara tegas dan jelas. Hal serupa juga terjadi untuk pencegahan kebakaran pada lahan perkebunan, di mana UU nomor 18 tahun 2004 mewajibkan usaha pencegahan kebakaran hanya kepada pelaku usaha perkebunan Pasal 25 Ayat 1 dan Pasal 26. Pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupatenkota Pasal 44 tanpa menjelaskan organisasi pemerintah yang dimaksud, kecuali untuk pelanggarannya jelas dilakukan oleh instansi penegak hukum Pasal 45. Ketidakjelasan posisi dan peranan tersebut juga tampak pada profil organisasi-organisasi yang memangku kawasan. Kemenhut yang memangku kawasan hutan secara tegas seperti disebutkan di atas PP nomor 45 tahun 2004 hanya bertanggung jawab atas pencegahan kebakaran di kawasan hutan yang 122 dilaksanakan oleh Dit.PKH. Kementan yang bertanggung jawab atas hampir seluruh fungsi lahan pertanian pangan dan hortikultura, perkebunan, dan peternakan tidak secara tegas dan jelas pula menyatakan tanggung jawabnya atas pencegahan kebakaran di kawasan yang menjadi tanggung jawabnya. a b Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI Gambar 21 Struktur hirarki organisasi di tingkat nasional dalam pencegahan kebakaran hutanlahan. Matriks DP-D dan diagram ISM pada Gambar 21 memberikan sebuah alternatif solusi. Peranan dan tanggung jawab pencegahan kebakaran hutanlahan sebaiknya di tangan satu organisasi tingkat nasional yaitu Dit. PKH 1, yang harus memegang posisi dan peranan sebagai koordinator di bidang pencegahan kebakaran. Hal ini berbeda dari pendapat yang selama ini berkembang bahwa pencegahan kebakaran hutanlahan merupakan urusan bagi instansi pemangku kawasan. Pendapat yang berkembang selama ini adalah bahwa urusan pencegahan di kawasan hutan menjadi tanggung jawab Kemenhut, di lahan perkebunan dan lahan pertanian di bawah Kementan, dan di luar ketiga fungsi kawasan tersebut 3 4 7 9 10 12 13 14 18 20 19 21 22 2 8 11 15 16 17 6 5 1 123 menjadi tanggung jawab Kemendagri. Menurut diagram ISM, kedua organisasi yang disebut terakhir itu justru berada pada level kepentingan yang lebih rendah. Hal ini berarti bahwa pencegahan kebakaran di tingkat nasional tidak menjadi tanggung jawab masing-masing organisasi pemangku kawasan, melainkan diserahkan kepada salah satu organisasi yang memiliki kekuatan penggerak DP tertinggi di antara ketiga organisasi tersebut di atas, yaitu Dit. PKH. Di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota, Dishut 1 dan Disbun 2 merupakan organisasi yang dianggap memiliki kekuatan penggerak DP tertinggi untuk kepentingan pencegahan kebakaran. Keduanya baik yang di provinsi maupun yang di kabupatenkota berada pada kwadran III linkage. Menurut diagram ISM, di tingkat provinsi Gambar 22, hanya terdapat dua level, di mana pada posisi utama atau yang memiliki kekuatan tinggi untuk mengarahkan dipegang oleh kedua organisasi tersebut ditambah dengan dua organisasi lain yaitu BLHD 12 dan BMKG 13. Organisasi-organisasi lainnya dengan kekuatan penggerak DP rendah berada pada level berikutnya. Demikian pula halnya di tingkat kabupatenkota Gambar 23, terdapat tiga level, dengan level kedua diduduki oleh Distan 3 dan BMKG 13, sedangkan organisasi-organisasi lainnya berada di level berikutnya dengan kekuatan penggerak DP terendah. Posisi-posisi tersebut dapat ditelaah dengan dua tafsiran. Pertama, organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan penggerak DP tinggi berada pada posisi utama dengan tanggung jawab maupun pelaksanaan pencegahan kebakaran hutanlahan sepenuhnya dan organisasi-organisasi lainnya hanya sebagai pendukung atau pelaksana atas program-program yang telah disusun oleh posisi utama. Tafsir lainnya adalah bahwa organisasi dengan kekuatan penggerak DP tertinggi hanya sebagai koordinator, sedangkan program dan pelaksanaan pencegahan berada di tangan organisasi-organisasi lain yang berada di level-level dengan kekuatan penggerak DP lebih rendah. Dishut dan Disbun baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupatenkota memiliki memiliki peluang yang sama untuk ditunjuk sebagai koordinator bidang pencegahan di masing-masing tingkatan. Dalam perancangan sistem pengorganisasian, hal ini menjadi pertimbangan dan pemilihan koordinator akan ditentukan berdasarkan sistem yang 124 akan digunakan, apakah melibatkan banyak organisasi ataukah hanya satu organisasi yang ditunjuk. a b Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. BapedaldaBLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran. Gambar 22 Matriks DP-D a dan struktur hirarki b organisasi di tingkat provinsi dalam pencegahan kebakaran hutanlahan. a b Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. BapedaldaBLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran. 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14 3 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 14 1 2 12 13 125 Gambar 23 Matriks DP-D a dan struktur hirarki b organisasi-organisasi yang terlibat pada pencegahan kebakaran hutanlahan di tingkat kabupatenkota. d. Pemadaman kebakaran Hasil identifikasi terhadap posisi organisasi untuk urusan pemadaman kebakaran menunjukkan bahwa organisasi-organisasi yang memiliki kekuatan penggerak DP tinggi pada tingkat nasional Gambar 24 yaitu Dit. PKH 1, BNPB 6, dan Basarnas 9, sedangkan di tingkat provinsi Gambar 25 dan tingkat kabupatenkota Gambar 26 adalah Dishut 1 dan Disbun 2. Di tingkat nasional ketiga organisasi berada dalam satu kwadran yakni Kwadran IV dan menurut diagram ISM ketiganya independen dengan Dit. PKH pada posisi tertinggi, disusul BNPB. Posisi tersebut tampaknya sejalan dengan anggapan dan kondisi faktual sekarang bahwa untuk pemadaman kebakaran hutanlahan, organisasi yang telah memiliki sumber daya pemadaman adalah Kemenhut. Keberadaan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni yang berada di berbagai daerah di bawah kendali Unit Pelaksana Teknis UPT Kemenhut tampaknya turut mempengaruhi penempatan Dit. PKH di posisi utama tersebut. 3 4 5 7 8 10 11 12 13 14 15 17 18 19 20 21 22 2 16 9 6 1 126 Sementara itu, di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota, Dishut 1 dan Disbun 2 dipandang sebagai organisasi yang bertanggung jawab terhadap pemadaman kebakaran. Hal ini mungkin karena kebakaran banyak terjadi di kawasan-kawasan yang berada di bawah wewenang dan tanggung jawab kedua organisasi tersebut. Dikaitkan dengan profil organisasi yang disajikan di bagian awal bab ini, di Provinsi Riau dan Provinsi Kalbar memang kedua organisasi tersebut yang diberi mandat baik melalui keputusan atau peraturan gubernur atau bupatiwalikota untuk menjadi koordinator pemadaman kebakaran hutanlahan. a b Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. BapedaldaBLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran. Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI Gambar 24 Struktur hirarki organisasi di tingkat nasional dalam pemadaman kebakaran hutanlahan. 4 5 6 7 8 9 10 11 13 12 3 14 1 2 127 Gambar 25 Matriks DP-D a dan struktur hirarki b organisasi-organisasi di tingkat provinsi dalam pemadaman kebakaran hutanlahan. Persoalannya adalah kembali pada penerapan asas-asas pengorganisasian yang efektif terutama asas kesatuan komando, asas rentang kendali, dan asas pembagian kerja Hasibuan 2008. Struktur hirarki ISM untuk tingkat nasional sudah dengan tegas menunjukkan organisasi yang dapat berada di puncak tanggung jawab yakni Dit. PKH, tetapi untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota masih terdapat dua organisasi di masing-masing tingkatan tersebut. Penetapan mengenai organisasi mana yang ditunjuk sebagai koordinator bidang pemadaman sebaiknya diserahkan kepada penanggung jawab wilayah, dalam hal ini gubernur dan bupatiwalikota. Namun demikian, kepada gubernur dan bupatiwalikota tersebut tetap perlu diberikan arahan pilihan yaitu memilih salah satu di antara Dishut dan Disbun. Pertimbangan lainnya adalah berkaitan dengan status fungsi kawasan di mana frekuensi dan skala tertinggi kejadian kebakaran dan kapasitas organisasinya. a b Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. BapedaldaBLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran Gambar 26 Matriks DP-D a dan struktur hirarki b organisasi-organisasi di tingkat kabupatenkota dalam pemadaman kebakaran hutanlahan. 4 5 6 7 8 9 10 11 13 12 14 3 1 2 128 e. Rehabilitasi kawasan bekas kebakaran Matriks DP-D untuk rehabilitasi kawasan bekas kebakaran hutanlahan menurut para responden pakar menjadi wewenang dan tanggung jawab KNLH 5 sebagai organisasi dengan kekuatan penggerak DP tertinggi seperti pada Gambar 27. Sementara itu, di level berikutnya terdapat Dit. Linbun 2 dan APHI 21 dan organisasi-organisasi lainnya di level terakhir. Penempatan KNLH, dalam hal ini Asdep PKHL, di posisi utama dapat ditafsirkan sebagai pemberian mandat kepada organisasi tersebut untuk berperan sebagai pemegang tanggung jawab di tingkat nasional untuk urusan rehabilitasi. Tanggung jawab tersebut mungkin dalam penyusunan program dan kegiatan, penyediaan anggaran, pengarahan, pemantauan, pengawasan, dan pelaporan. Sedangkan posisi Dit. Linbun dan APHI tampaknya mewakili kawasan tempat kejadian kebakaran, di mana Dit. Linbun bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan perkebunan khususnya dan lahan pada umumnya,dan APHI untuk rehabilitasi di kawasan hutan. 1 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 22 2 21 5 129 Pemilihan APHI, yang merupakan organisasi non-pemerintah, menyiratkan suatu harapan bahwa upaya-upaya rehabilitasi kawasan bekas kebakaran sebaiknya menjadi tanggung jawab pengusaha, yang dalam hal ini adalah para pengusaha kehutanan. Para pengusaha kehutanan pada dasarnya telah menerima wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola suatu kawasan hutan, sehingga apapun yang terjadi di dalam kawasannya, termasuk kebakaran hutan dan semua tindakan penanganannya, yang meliputi rehabilitasi bekas kebakaran menjadi tanggung jawabnya. Di tingkat provinsi, Dishut 1, Disbun 2 dan Distan 3 menjadi organisasi yang juga dipandang paling layak untuk mengarahkan upaya rehabilitasi kawasan bekas kebakaran. Ketiga organisasi tersebut yang kawasannya paling banyak terbakar tampaknya menjadi alasan untuk menempatkan ketiganya pada posisi utama meskipun pada level yang berbeda menurut diagram ISM-nya. Hal serupa berlaku pula di tingkat kabupatenkota di mana ketiga organisasi, Dishut, Disbun dan Distan, juga memperoleh skor kekuatan penggerak DP tertinggi. f. Yustisi Kebakaran Kebakaran hutanlahan baik disengaja atau tidak disengaja menurut UU nomor 42 tahun 1999 dan UU nomor 23 tahun 1997 merupakan tindak pidana. Hal ini tampaknya menjadi alasan bagi para responden pakar untuk menempatkan Mabes POLRI 19 dan Kejagung 20 di posisi utama untuk urusan yustisi kebakaran hutanlahan seperti ditunjukkan oleh diagram ISM pada Gambar 28. Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI Gambar 27 Struktur hirarki organisasi-organisasi di tingkat nasional dalam rehabilitasi kawasan bekas kebakaran hutanlahan. 130 Keterangan: 1. Dit. PKH; 2. Dit. Linbun; 3. Dit. Tanaman Pangan; 4. Asdep PKHL; 5. KNLH; 6. Dit TD-BNPB; 7. Bappenas; 8. BMKG;, 9. Basarnas; 10. Bakosurtanal; 11. LAPAN; 12. Depdagri; 13. Deplu; 14. Depsos; 15. Depkes; 16. Dephub; 17. Depkeu; 18. Mabes TNI; 19. Mabes Polri; 20. Kejagung; 21. APHI; 22. GPPI Gambar 28 Struktur hirarki organisasi-organisasi di tingkat nasional dalam yustisi kebakaran hutanlahan. Kedua organisasi tersebut berada pada level yang sama dengan kekuatan penggerak DP tertinggi. Dit. PKH 1 dan KNLH 5 yang berada di level berikutnya adalah untuk mendukung secara teknis kedua organisasi di posisi utama tersebut yang menjalankan proses penanganan perkara pidananya. Mahkamah Agung MA tidak diamati, karena penanganan perkara pidana oleh organisasi tersebut merupakan tingkat penanganan yang terakhir setelah tingkat pengadilan negeri di kabupatenkota dan pengadilan tinggi di tingkat provinsi, sekalipun kasusnya ditangani langsung oleh Mabes Polri dan Kejagung. 3 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 21 22 2 1 5 19 20 131 Hal ini tergambar dari posisi utama untuk yustisi kebakaran di tingkat provinsi yang posisi utamanya pada tiga organisasi penegak hukum yaitu Polda 7, Kejakti 8, dan Pengadilan Tinggi 9 seperti pada diagram ISM Gambar 29. Begitu pula halnya di tingkat kabupatenkota, Polres 7, Kejari 8, dan Pengadilan Negeri 9 merupakan organisasi-organisasi yang mendapat kekuatan penggerak DP tertinggi dan berada pada satu level Gambar 30. Posisi di level berikutnya untuk tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota adalah Dishut 1, Disbun 2 dan Distan 3. Ketiga organisasi tersebut berada di level kedua pada posisi sebagai pendukung dalam upaya penegakan hukum dan penanganan perkara karena kasus-kasus yustisi kebakaran hutanlahan terjadi di kawasan-kawasan yang berada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. a b Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polda;8. Kejati; 9. Pengadilan Tinggi; 10. Kodam; 11. Satpol PP; 12. BapedaldaBLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran. Gambar 29 Matriks DP-D a dan struktur hirarki b organisasi-organisasi di tingkat provinsi dalam yustisi kebakaran hutanlahan. 4 5 6 10 11 13 14 12 1 2 3 7 8 9 132 Hasil pengolahan angket penelitian dari responden pakar dengan ISM selengkapnya disajikan pada Lampiran 9. Rekapitulasi hasil analisis posisi dan peranan organisasi menurut pendapat pakar disajikan pada Tabel 10. Tabel tersebut hanya menyajikan organisasi-organisasi yang menduduki posisi utama pada setiap peranan di setiap tingkatan. Hasil identifikasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 10. Tabel 10 Hasil identifikasi organisasi pemeran utama dalam pengendalian kebakaran hutanlahan menurut pendapat pakar No. Organisasi Peranan Bijak SPDD Gah Dam Yus Rehab

A. Tingkat Nasional

1 Dit. PKH √ √ √ √ √ - 2 Dit. Linbun √ - - - - √ 3 KNLH - - √ - √ √ 4 BNPB √ √ √ √ - - 5 Bappenas √ - - - - - 6 BMKG - √ - - - - 7 Basarnas - - - √ - - 8 Mabes POLRI - - - - √ - 9 Kejagung - - - - √ - 10 APHI - - - - - √ a b Keterangan: 1. Dishut; 2. Disbun; 3. Distan; 4. Distamben; 5. Dinas PU; 6. Dishub; 7. Polres;8. Kejarii; 9. Pengadilan Negeri; 10. Kodim; 11. Satpol PP; 12. BapedaldaBLHD; 13. BMKG; 14. Dinas Pemadam Kebakaran Gambar 30 Matriks DP-D a dan struktur hirarki b organisasi-organisasi di tingkat kabupatenkota dalam yustisi kebakaran hutanlahan. 5 6 11 13 14 3 4 10 12 1 2 7 8 9 133 Tabel 10 Lanjutan No. Organisasi Peranan Bijak SPDD Gah Dam Yus Rehab

B. Tingkat Provinsi

1. Dishut √ √ √ √ - √ 2. Disbun - √ √ √ - √ 3. Distan - - - √ - - 4. Polda - - - - √ - 5. Kejati - - - - √ - 6. Pengadilan Tinggi - - - - √ - 7. BLHD √ √ √ - - - 8. BMKG - √ √ - - - 9. Disdamkar - - - √ - - C. Tingkat KabupatenKota 1. Dishut √ √ √ √ √ - 2. Disbun √ √ √ √ √ - 3. Distan - - - √ - - 4. Polres - - - - - √ 5. Kejari - - - - - √ 6. Pengadilan Negeri - - - - - √ 7. BLHD √ √ - - - - 8. BMKG - √ - - - - Keterangan: Bijak = perumusan kebijakan; SPDD=sistem peringatan dan deteksi dini; Gah= pencegahan; Dam= pemadaman; Yus= yustisi; Rehab= rehabilitasi kawasan bekas terbakar. Analisis terhadap posisi dan peranan organisasi menurut profil organisasi, pendapat responden praktisi dan pendapat pakar tersebut di atas menunjukkan bahwa peranan dalam bidang-bidang dari pengendalian kebakaran hutanlahan masih tersebar di berbagai organisasi. Beberapa peranan dipegang oleh lebih dari satu organisasi, tetapi sejauh ini tidak ada penunjukan kejelasan secara definitif organisasi yang berada di posisi utama dan posisi pendukung untuk masing- masing peranan tersebut. Pada tingkat nasional sebenarnya telah ditetapkan BNPB sebagai organisasi di posisi utama yang mendapat mandat menurut UU nomor 24 tahun 2007, namun dalam pelaksanaannya struktur organisasi BNPB yang melibatkan berbagai organisasi justru tidak memasukkan Kemenhut dan Kementan yang menurut analisis posisi dan peranan tersebut di atas paling banyak berperanan dan seharusnya masuk di dalam struktur BNPB tersebut. 134 Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD provinsi dan kabupatenkota di kedua lokasi penelitian belum termasuk organisasi yang diamati dalam pengumpulan data melalui angket penelitian untuk posisi dan peranan organisasi. BPBD merupakan organisasi yang relatif baru di kedua provinsi. BPBD Kalimantan Barat baru dibentuk pada Mei 2009 dengan Peraturan Gubernur nomor 76 tahun 2009. Seperti halnya di tingkat nasional, BPBD tersebut juga tidak secara eksplisit menyebutkan kebakaran hutanlahan sebagai salah satu bidang tugasnya. Menurut hasil wawancara dengan responden yang terdiri dari pimpinan instansi-instansi penanggung jawab sektor pada Pusdalkarhutla Provinsi Kalimantan Barat diperoleh penjelasan bahwa pada saat ini ada wacana “perebutan” kewenangan dan tanggung jawab pengendalian kebakaran hutanlahan antara Pusdalkarhutla dengan BPBD. BPBD menganggap bahwa urusan kebakaran hutanlahan menjadi bagian dari kewenangannya sesuai dengan UU nomor 24 tahun 2007 sedangkan Pusdalkarhutla beranggapan bahwa akan lebih baik jika penanganan kebakaran hutanlahan dilaksanakan oleh sebuah organisasi tersendiri yang khusus menangani hal tersebut yakni Pusdalkarhutla. Untuk itu, pada saat penelitian ini berjalan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat yang dikoordinasikan oleh BLHD Provinsi sedang mempersiapkan revisi Peraturan Gubernur tentang Pusdalkarhutla untuk mendudukkan posisi dan peranan masing-masing organisasi termasuk BPBD Provinsi serta mekanisme kerjanya dalam penanganan kebakaran hutanlahan. BPBD Provinsi Riau pada saat penelitian ini berjalan belum terbentuk dan sedang dalam proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Raperda tentang pembentukannya. Struktur organisasi BPBD menurut Raperda tersebut serupa dengan struktur organisasi BPBD Provinsi Kalimantan Barat. Pembagian posisi dan peranan antara BPBD dengan Pusdalkarhutla masih belum jelas. BPBD tersebut kelak akan merupakan Satuan Kerja Pemerintah Daerah SKPD dengan kedudukan langsung di bawah Sekretaris Daerah Provinsi Sekdaprov untuk mempermudah koordinasi. 135 Selama BPBD tersebut belum terbentuk, penanganan bencana masih dilakukan oleh Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Satkorlak PBP. Satkorlak PBP Provinsi Riau dibentuk dengan Keputusan Gubernur Riau nomor KPTS.594XIII2002. Gubernur Riau bertindak sebagai Ketua dengan wakil-wakil terdiri dari Komandan Resort Militer Danrem, Kepala Kepolisian Daerah Kapolda, dan Komandan Landasan Udara Danlanud. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat kabupatenkota sebenarnya juga relatif jelas di setiap kabupatenkota yang diamati di mana beberapa peranan dipegang oleh instansi yang menangani kehutanan danatau perkebunan. Pada keempat kabupatenkota yang diamati, kedua urusan tersebut kebetulan ditangani oleh satu organisasi dan organisasi tersebut, yakni Dishutbun atau Distanbunhut, ditunjuk sebagai penanggung jawab bidang-bidang dalam pengendalian kebakaran ataupun sektor-sektor di mana kebakaran hutanlahan dianggap paling banyak terjadi. Namun demikian, pembagian posisi dan peranan tersebut secara definitif, kecuali di Kota Dumai, belum memiliki landasan hukum karena masih mengacu pada pengorganisasian masa lalu sebelum era reformasi yakni Satlakdalkarhutla yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi sejak era Reformasi. Ketiga kabupaten tersebut Inderagiri Hulu di Riau dan Ketapang dan Kubu Raya di Kalimantan Barat belum merevisi Satlakdalkarhutla tersebut.

5.3. Hubungan Antar Organisasi

Sub bab ini membahas hasil penelitian untuk menjawab tujuan penelitian kedua yaitu menganalisis hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di tingkat nasional, provinsi, kabupatenkota dan antar tingkatan. Dua hal yang dianalisis dari hubungan antara organisasi yaitu: 1 pola hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, dan 2 tingkat pengetahuan dan pemahaman para pemangku kepentingan mengenai mekanisme hubungan antar organisasi. Analisis terhadap pola hubungan dilakukan pada tiga aspek yaitu: a bantuan layanan, b administrasi, dan c perencanaan, 136 5.3.1. Pola hubungan antar organisasi Pola hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan dapat dilihat dari tiga aspek yang diadaptasi dari Bolland dan Wilson 1994, yaitu 1 bantuan layanan, yakni hubungan antar organisasi yang diwujudkan dalam bentuk memberi danatau menerima bantuan, 2 administrasi, yakni hubungan antar organisasi dalam bentuk kontribusi suatu organisasi bagi pencapaian tujuan organisasi lain, dan 3 perencanaan, yang diwujudkan dalam bentuk saling mengenal antar orang-orang dari organisasi-organisasi tersebut. Ketiga aspek tersebut dianalisis dari data yang diperoleh melalui angket dengan responden para pimpinan atau pejabat pada organisasi-organisasi yang diamati. Selama ini sering kali dinyatakan bahwa pengendalian kebakaran hutan dan lahan belum efektif disebabkan antara lain oleh kurangnya koordinasi antara instansi-instansi yang terkait. Laporan mengenai kurangnya koordinasi tersebut seringkali tidak tepat menurut Bolland dan Wilson 1994, karena laporan a tanpa dilandasi suatu dasar empiris bagi kesimpulannya, ataupun b tanpa menunjukkan temuan-temuan empiris yang akan diterima sebagai bukti koordinasi. Analisis terhadap ketiga aspek di bawah ini antara lain adalah untuk memberikan gambaran apakah benar bahwa koordinasi antar instansi atau organisasi yang terkait dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia masih kurang. Hasil pengisian angket penelitian dan wawancara menunjukkan bahwa semua responden menyatakan perlunya pelibatan berbagai organisasi pemerintah baik dalam satu tingkatan maupun antar tingkatan dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Pelibatan berbagai organisasi tersebut memungkinkan adanya saling membantu dalam berbagai hal, terutama sumber daya pengendalian kebakaran. Pendapat responden tersebut sesuai dengan teori Muldford dan Klonglan 1982 di mana dalam menghadapai permasalahan masa kini yang kompleks, organisasi tunggal akan sulit jika bekerja sendirian sekalipun ia memiliki sumber daya yang mencukupi. Sejauh mana konsistensi pendapat responden tersebut dikonfirmasi dengan hasil analisis terhadap ketiga aspek tersebut di atas. 137 1. Bantuan layanan client referral Hasil analisis bantuan layanan antar organisasi menunjukkan bahwa hanya sedikit hubungan bantuan layanan yang terkonfirmasi, yang ditandai dengan angka 1 pada matriks di Lampiran 11. Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan diagram baik dalam satu tingkatan maupun antar tingkatan, untuk Provinsi Riau adalah seperti pada Gambar 31 dan untuk Provinsi Kalimantan Barat seperti pada Gambar 32. Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat nasional hanya ada sembilan organisasi yang memiliki hubungan bantuan layanan saling terkonfirmasi. LAPAN dan Bakosurtanal merupakan dua organisasi yang Gambar 31 Diagram hubungan bantuan layanan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupatenkota di Provinsi Riau. 138 memiliki paling banyak hubungan layanan dengan organisasi-organisasi lain. Hal ini terkait dengan jenis layanan yang diberikan kedua organisasi tersebut yaitu informasi yang dibutuhkan oleh organisasi-organisasi lain. BMKG menurut matriks pada Lampiran 11 sebenarnya juga memiliki banyak hubungan bantuan layanan, tetapi hubungan tersebut tidak terkonfirmasi dan lebih banyak organisasi yang menyatakan menerima bantuan layanan BMKG. Hal ini dapat menunjukka n bahwa meskipun BMKG menyediakan layanan informasi kepada banyak organisasi, layanan tersebut pada umumnya tersedia bagi publik dan mudah diakses tanpa memerlukan kontak dengan BMKG. Hubungan bantuan layanan antar organisasi di tingkat provinsi pada kedua daerah, Riau dan Kalbar, menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hubungan bantuan layanan di Riau relatif lebih baik di mana organisasi-organisasi pada satu Gambar 32 Diagram hubungan bantuan layanan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupatenkota di Provinsi Kalimantan Barat. 139 tingkatan maupun antar tingkatan dari tingkat nasional, provinsi sampai dengan kabupatenkota saling memiliki hubungan layanan yang terkonfirmasi. Berbeda halnya dengan di Kalbar, tidak ada satupun hubungan bantuan layanan yang terkonfirmasi baik di tingkat provinsi, kabupatenkota, maupun antar tingkatan. Kondisi hubungan bantuan layanan di kedua daerah tersebut tampaknya berkaitan dengan pembagian peranan yang ditunjukkan oleh departementasi pada struktur organisasi Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla. Departementasi di Riau yang berdasarkan bidang-bidang pengendalian kebakaran mengharuskan dilakukannya kerja sama dengan pola koordinasi integratif sesuai dengan kriteria Bolland dan Wilson 1994. Sebaliknya, pola hubungan yang terjadi di Kalbar dengan departementasi berdasarkan wilayah pemangkuan tidak mengharuskan adanya kerja sama antar organisasi. Di Kalbar, organisasi pemangku kawasan bertanggung jawab atas semua bidang pengendalian kebakaran hutanlahan di kawasannya. Hal ini berarti masing-masing organisasi tersebut harus mengembangkan kapasitas dan kapabilitas sendiri. Bantuan dari pihak lain tidak dapat diharapkan karena masing-masing pihak lain tersebut juga harus mempersiapkan dirinya untuk mengendalikan kebakaran di wilayahnya. Hal tersebut di atas dapat mengindikasikan bahwa sekarang ini aliran bantuan untuk pengendalian, khususnya dalam operasi pemadaman kebakaran hutanlahan sulit untuk mencapai sasaran di lapangan karena lemahnya koordinasi antar tingkatan dari nasional sampai dengan lapangan lokasi kebakaran. Berbagai aspek dari koordinasi masih belum berjalan. Peranan-peranan dalam koordinasi Wehmeyer et al. 2001; Malone et al. 1999 belum terdefinisikan dengan jelas. Sebagai contoh, peranan entry management yang bertanggung jawab atas pengembangan infrastruktur dan pemantapan hubungan antar organisasi belum ditetapkan siapa atau organisasi mana yang berperan, apakah semua organisasi yang terlibat, ataukah ditunjuk satu organisasi untuk memegang peranan tersebut. Peranan ini sebenarnya ada di tangan penanggung jawab bidang untuk di Riau atau wilayah kerja untuk di Kalbar, namun penelitian ini tidak menemukan adanya bukti-bukti bahwa peranan tersebut telah dijalankan, misalnya belum ada rencana pengembangan infrastruktur pengendalian kebakaran dan belum ada langkah-langkah menggalang kesepakatan dengan berbagai pihak. 140 Kesepakatan-kesepakatan dan komitmen untuk saling membantu antar pihak seharusnya sudah dicapai sebelum operasi pengendalian kebakaran Anonim 1998. Hasil angket penelitian dan wawancara memperoleh gambaran baik di Riau maupun di Kalbar bahwa meskipun responden menyatakan kerja sama untuk pengendalian kebakaran hutanlahan adalah keharusan, masih terdapat kesan yang kuat bahwa kerja sama tersebut adalah lebih untuk memperoleh bantuan dari pada berbagi bantuan. Dalam hal ini, Dishut atau organisasi yang menangani kehutanan seperti Balai KSDA atau Balai Taman Nasional, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupatenkota dianggap sebagai organisasi yang menjadi sumber bantuan karena dipandang telah memiliki sumber daya pengendalian pemadaman kebakaran yang relatif paling lengkap. Sementara itu, ketika organisasinya dimintai bantuan, respon terhadap permintaan bantuan tersebut memerlukan beberapa pertimbangan. Keterkaitan dengan tanggung jawab terhadap status kawasan yang terbakar menjadi pertimbangan utama untuk merespon permintaan bantuan, sebagaimana dinyatakan oleh 62,50 responden di tingkat nasional, 85,71 responden di tingkat provinsi di Riau dan 55,50 responden di Kalbar. Alasan lainnya adalah kedekatan hubungan secara psikologis antara pimpinan organisasi, di mana permintaan bantuan oleh “kawan baik” berpeluang lebih besar untuk direspon positif dan lebih cepat dibandingkan jika permintaan bantuan datang dari organisasi yang pimpinannya kurang saling mengenal. Pernyataan tersebut disetujui oleh sebagian besar responden di semua tingkatan, di mana di tingkat nasional 41,67 responden setuju dan 29,16 responden menolak, di tingkat Riau 57,14 responden setuju dan 23,81 menolak dan di Kalbar 50 responden setuju dan 23,20 menolak serta yang lain ragu-ragu. Organisasi-organisasi yang diamati tampaknya kurang memahami konsep kerja sama Mulford Klonglan 1982 maupun konsep kemampuan Ulrich 1997 dalam pengembangan organisasi. Mereka bukannya membangun kapabilitasnya sendiri untuk dapat mengatasi masalahnya sendiri dan baru meminta bantuan kerja sama jika sumber daya atau kapabilitasnya habis, tetapi 141 sejak dari awal sudah mengandalkan bantuan dari organisasi lain. Untuk itu, penetapan tugas atau peranan atau taskrole assignment Malone et al. 1999 seharusnya diperjelas di dalam struktur dan uraian tugas Pusdalkarhutla ataupun sistem pengorganisasian yang akan dibangun. Mekanisme perbantuan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan juga belum jelas tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak yang berhubungan. Kedua hal tersebut harus jelas, tertulis dan disepakati bersama, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat dalam bentuk rencana mobilisasi pemadaman kebakaran fire suppression mobilization planFSMP di tingkat nasional dan di tingkat negara bagian Anonim 1998. Mekanisme semacam itu harus dibangun, dipahami dan dilatih-praktekkan oleh pihak-pihak yang terkait sebelum adanya kejadian kebakaran, sehingga ketika terjadi kebakaran, masing – masing pihak dapat menjalankan peranannya. 2. Pencapaian Tujuan Administrative Hubungan administratif antar organisasi biasanya melibatkan transaksi sumber daya yang memungkinkan organisasi tersebut lebih efektif dalam mencapai tujuannya Bolland Wilson 1994. Hasil analisis untuk aspek administrasi menunjukkan bahwa dari 21 organisasi yang diamati di tingkat nasional, terdapat 15 organisasi yang memiliki hubungan mutualistik dalam pencapaian tujuan organisasi, dan dua di antaranya yang memiliki hubungan mutualistik terbanyak adalah Dit. PKH dan Asdep PKHL Gambar 33. Kondisi hubungan administratif di tingkat provinsi dan kabupatenkota untuk di Riau Gambar 34 dan di Kalbar Gambar 35 menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok di mana hubungan adminsitratif antar organisasi pada satu tingkatan di Riau telah terjalin relatif lebih semarak daripada yang terjadi di Kalbar. Pada tingkat provinsi di Riau, organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan telah saling membantu di dalam pencapaian tujuan organisasi, sedangkan di Kalbar hal tersebut tidak terjadi karena tidak adanya hubungan yang terkonfirmasi dalam pencapaian tujuan. 142 Gambar 33 Diagram hubungan administratif pencapaian tujuan antar organisasi pada tingkat nasional. Secara umum, baik di Riau maupun di Kalbar, telah terjadi hubungan administratif antar tingkatan, meskipun baru terjadi antar beberapa organisasi, bahkan di Kalbar hanya Asdep PKHL yang memiliki hubungan tersebut. Di Riau, hubungan administratif antara provinsi dengan kabupatenkota telah terjalin, sedangkan di Kalbar tidak terdapat hubungan tersebut. Hubungan yang digambarkan pada kedua diagram di atas adalah hubungan yang mutualistik, dan tidak berarti bahwa hanya organisasi-organisasi tersebut yang saling berhubungan. Organisasi-organisasi lainnya juga berhubungan tetapi derajat hubungannya tidak sampai pada level terkonfirmasi. Matriks yang disajikan pada Lampiran 12 dapat memperlihatkan hubungan-hubungan yang terjadi. Setiap hubungan yang memiliki angka 1 menunjukkan adanya pengakuan oleh responden tentang adanya hubungan tersebut. Hubungan dinyatakan mutualistik jika angkanya adalah 1,1, dan tidak ada hubungan sama sekali jika angkanya adalah 0,0. Hasil analisis dengan matriks tersebut menunjukkan bahwa Asdep PKHL merupakan organisasi yang paling banyak memiliki komposisi 1,1 yakni sebanyak 25 dan paling sedikit memiliki komposisi 0,0 yakni hanya 6. Hal ini