82 Persentase keberadaan hotspot yang lebih besar di luar kawasan hutan
tampaknya tidak diimbangi oleh kinerja organisasi-organisasi pemerintah yang memangku lahan. Hal ini dapat dilihat dari persentase rata-rata luasan kebakaran
yang ternyata lebih besar untuk kebakaran di kawasan hutan daripada kebakaran lahan, yakni 57,94 : 42,06 Tabel 4. Menurut pengamatan langsung dan
penjelasan responden di lapangan, memang instansi yang menangani kehutanan di tiap tingkatan, baik kabuaptenkota, provinsi maupun nasional, relatif lebih aktif
dalam menangani kebakaran hutanlahan dan aktivitas tersebut ditunjukkan oleh lebih tingginya persentase luasan kebakaran yang dicatat instansi-instansi tersebut.
Instansi-instansi pemangku lahan pada umumnya belum memiliki kapasitas untuk melakukan pengendalian kebakaran. Hasil analisis terhadap kapasitas organisasi
di daerah penelitian akan diuraikan pada sub bab 5.4.
Gambar 7 Grafik jumlah akumulasi hotspot di kawasan hutan dan lahan di luar kawasan hutan seluruh Indonesia tahun 2006 – 2010. Sumber: Dit.
PKH 2011.
Data jumlah titik panas hotspot, luasan kawasan terbakar dan korelasi- korelasi tersebut di atas serta kecenderungan jumlah hotspot yang masih
meningkat menurut data sepuluh tahun terakhir menggambarkan bahwa permasalahan kebakaran hutanlahan ke depan masih ada dan perlu mendapat
83 perhatian lebih serius. Sementara itu, kecenderungan dalam lima tahun terakhir
yang memperlihatkan arah menurun kemungkinan merupakan indikasi adanya pengaruh positif dari sistem pengorganisasian yang dibentuk di daerah pada lima
tahun terakhir setelah sempat terhenti pada lima tahun pertama awal era Reformasi. Detail mengenai keterkaitan pembentukan sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutanlahan tersebut dengan kecenderungan jumlah hotspot dan luasan kebakaran masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Tabel 4 Luas kebakaran di kawasan hutan dan lahan seluruh Indonesia
Peruntukan 2005
2006 2007
2008 2009
2010 Rata2
Kawasan Hutan
Ha 5,503 32,199
7,078 6,793
9,791 3,493 10,809 40.04
57.27 63.01
42.10 59.48
85.72
57.94
Lahan Ha
8,240 24,020 4,155
9,344 6,671 582 8,835
59.96 42.73
36.99 57.90
40.52 14.28
42.06
Jumlah Ha
13,742 56,219 11,233 16,137 16,462 4,075
Sumber: Dit.PKH 2011
Hasil kajian tersebut di atas mendukung pendapat yang ada sekarang ini bahwa faktor alam relatif kurang berpengaruh dan faktor yang sangat berpengaruh
adalah manusia, yaitu orang-orang atau masyarakat yang masih memanfaatkan pembakaran dalam kegiatan penyiapan lahannya untuk berbagai kepentingan.
Oleh sebab itu, pengendalian kebakaran hutanlahan perlu diarahkan pada penghentian atau pengurangan sampai ke titik terendah penggunaan api atau
pembakaran tersebut. Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan hasil penelitian ini memberi kejelasan mengenai organisasi atau
instansi pemerintah yang berwewenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan faktor manusia tersebut prioritas pada bidang pencegahan kebakaran, dengan
penguatan kapasitas organisasi di tingkat bawah yang memungkinkan pelaksanaan secara optimal program-program pengawasan kawasan dan peningkatan kesadaran
masyarakat mengenai kebakaran hutanlahan.
84
5.2. Posisi dan Peranan Organisasi
Posisi dan peranan organisasi di dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan pada penelitian ini dianalisis dari tiga sisi
yaitu a profil organisasi, b persepsi dari responden praktisi, dan c persepsi responden pakar.
5.2.1. Posisi dan peranan menurut profil organisasi
Analisis dimaksudkan untuk mengetahui posisi dan peranan organisasi pada saat ini dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Hasil identifikasi terhadap
organisasi-organisasi di tingkat nasional,tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota menunjukkan bahwa berdasarkan profilnya, organisasi-organisasi
yang secara jelas menyebutkan kebakaran hutanlahan dalam profilnya adalah sebagai berikut:
• Tingkat nasional ada tiga organisasi, yaitu Dit. PKH, Asdep PKHL, dan BNPB;
• Tingkat provinsi untuk Riau ada tiga organisasi yaitu: Dishut, Disbun, dan BLHD, sedangkan untuk Kalimantan Barat terdapat hanya 1 satu organisasi
yaitu Dishut. • Tingkat kabupatenkota tidak ada satupun organisasi di empat kabupatenkota
yang diamati yang profilnya secara tegas menyebutkan kebakaran hutanlahan. Uraian tentang profil masing-masing organisasi tersebut di atas yang
menunjukkan keterlibatannya dalam pengendalian kebakaran hutanlahan adalah sebagai berikut.
1. Dit. PKH, Kementerian Kehutanan Dit PKH sesuai dengan namanya sudah menyebutkan secara eksplisit
keterlibatannya dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Hal tersebut secara jelas tertulis di dalam pernyataan visi dan misi, struktur organisasi,
maupun uraian tugas jabatan di dalam organisasi tersebut. Struktur organisasi
85 yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.13Menhut-
II2005 mencakup empat jabatan eselon III yaitu Subdit Program dan Evaluasi, Subdit Pencegahan dan Penanganan Pasca, Subdit Tenaga dan
Sarana, dan Subdit Pemadaman, dan sembilan jabatan eselon IV yaitu Seksi Program, Seksi Evaluasi, Seksi Pencegahan, Seksi Penanganan Pasca, Seksi
Tenaga, Seksi Sarana, Seksi Pemadaman Wilayah I, Seksi Pemadaman Wilayah II, dan Sub Bagian Tata Usaha.
2. Asdep PKHL, Kementerian Negara Lingkungan Hidup Asdep PKHL berperan dalam pengendalian kebakaran hutanlahan
sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Permeneg LH No. 4 Tahun 2005 berupa indikator bagi kegiatan
pengendalian kerusakan hutan dan lahan. Di dalam struktur organisasinya sesuai dengan Permeneg LH No. 1 Tahun 2005, Asdep PKHL berada di
bawah Deputi III Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Asdep PKHL, disebut juga Asisten
Deputi 4III, mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan, pengawasan penataan, analisis, evaluasi dan laporan di bidang peningkatan
konservasi dan pengendalian kerusakan hutan dan lahan. Di bawahnya terdapat tiga bidang yaitu: 1 Bidang Pengelolaan Kawasan Non Budidaya,
2 Bidang Pengendalian Kebakaran hutanlahan, dan 3 Bidang Pengendalian Kawasan Budidaya. Peranan dalam pengendalian kebakaran hutanlahan
tergambar dari sub bidang yang ada pada Bidang 2 yaitu Sub Bidang Deteksi dan Advokasi, dan Sub Bidang Pengawasan dan Mitigasi. Uraian tugas
masing-masing sub bidang tersebut cukup jelas diuraikan di dalam Permeneg LH No. 1 Tahun 2005 tersebut.
3. BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana Posisi dan peranan BNPB dalam pengendalian kebakaran hutanlahan menjadi
lebih penting daripada sebelumnya ketika masih bernama Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Bakornas PB sejak terbitnya UU No. 24
Tahun 2007 yang memasukkan kebakaran hutanlahan sebagai salah satu dari jenis bencana dan BNPB merupakan organisasi yang diberi mandat untuk
86 mengelolanya. BNPB menangani semua jenis bencana dan struktur
organisasinya menurut Peraturan Presiden RI No. 8 Tahun 2008 dan Peraturan Kepala BNPB No. 1 Tahun 2008 disusun bukan berdasarkan jenis bencana
yang ditangani melainkan berdasarkan fungsi-fungsi pengelolaan bencana, yang meliputi pencegahan dan kesiapsiagaan, penanganan darurat, rehabilitasi
dan rekonstruksi, logistik dan peralatan, serta informasi dan hubungan masyarakat.
BNPB dalam pengendalian kebakaran hutanlahan dapat dikatakan berada pada posisi utama dengan peranan pada semua tahapan pengendalian
kebakaran. Namun demikian, pada prakteknya terutama terhadap kebakaran hutanlahan, posisi dan peranan BNPB berubah sesuai tahapan penanganan
bencananya. Pada tahapan tidak terjadi bencana yakni pencegahan dan kesiapsiagaan serta rehabilitasi dan rekonstruksi BNPB lebih berposisi sebagai
pendukung dengan posisi utama pada organisasi yang tugas dan fungsi utamanya memangku kawasan di mana kebakaran dapat terjadi. Dalam hal ini,
untuk kawasan hutan adalah Kementerian Kehutanan, dan untuk lahan perkebunan dan tanaman hortikultura adalah Kementerian Pertanian. Jika
terjadi kebakaran hutanlahan, sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2007, PP No. 21 Tahun 2008, maupun PP No. 22 Tahun 2008, tanpa pengecualian untuk
kebakaran hutanlahan seharusnya BNPB langsung mengambil komando untuk operasi pemadamannya, tetapi dalam prakteknya BNPB masih
menerapkan kesepakatan tidak tertulis di antara organisasi-organisasi yang menangani kebakaran hutanlahan, yang dibuat di masa masih Bakornas PB
bahwa Bakornas PB, dan sekarang BNPB, hanya memantau situasi dan tidak terlibat langsung dalam operasi pemadaman kebakaran sampai dengan situasi
kebakaran hutanlahan dinyatakan sebagai bencana. Pernyataan status bencana nasional kebakaran hutanlahan sampai saat ini belum pernah ada dan
demikian pula peraturan atau kesepakatan tertulis mengenai kriteria dan indikator bagi bencana kebakaran hutanlahan yang menjadi landasan bagi
dinyatakannya situasi kebakaran hutanlahan sebagai bencana.
87 4. Dinas Kehutanan Dishut Provinsi Riau
Dishut Provinsi Riau dibentuk dengan Perda Riau No. 9 Tahun 2008 yang menyebutkan secara eksplisit dalam struktur organisasinya sebagai organisasi
yang menangani penanggulangan kebakaran hutan. Hal tersebut tercantum di dalam Pasal 47 Ayat 1 yang menyatakan adanya Seksi Penanggulangan
Kebakaran Hutan di bawah Bidang Perlindungan Hutan. Namun demikian, uraian tugasnya secara rinci belum disusun. Dishut Provinsi Riau di dalam
Pusdalkarhutla ditunjuk sebagai Koordinator Bidang Operasi Penanggulangan Pemadaman dan Pemulihan.
5. Badan Lingkungan Hidup Daerah BLHD Provinsi Riau BLHD Provinsi Riau dibentuk dengan Peraturan Gubernur Pergub Riau No.
16 Tahun 2009. Kebakaran hutanlahan menjadi salah satu tugas dari Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan, khususnya Sub Bidang Pengendalian
Kerusakan Ekosistem Darat sebagaimana tersebut pada Pasal 14 Ayat 1 Butir c dan d. BLHD Provinsi Riau menurut Pergub Riau No. 6 Tahun 2006
bertindak sebagai Koordinator Sekretariat Bersama Pusdalkarhutla Provinsi Riau.
6. Dinas Perkebunan Disbun Provinsi Riau Disbun Provinsi Riau dibentuk dengan Perda Provinsi Riau No. 9 Tahun 2008.
Organisasi ini bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan perkebunan. Hal ini tercermin dalam struktur organisasinya sesuai dengan Pasal 44 Ayat 1 di
mana terdapat Seksi Penanggulangan Kebakaran Kebun pada Bidang Perlindungan Perkebunan. Di dalam Pusdalkarhutla Disbun Provinsi Riau
ditugasi sebagai Koordinator Bidang DeteksiPeringatan Dini, Pemantauan dan Pencegahan.
7. Unit Pelaksana Teknis Daerah Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Unit pelaksana teknis daerah penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
UPT-PKHL di Kalimantan Barat dibentuk di tingkat provinsi dengan Peraturan Gubernur nomor 35 tahun 2009. UPT tersebut dibentuk sesuai
dengan amanat di dalam Peraturan Gubernur nomor 54 tahun 2008 mengenai
88 uraian tugas pokok dan fungsi Dishut Provinsi Kalimantan Barat untuk
melaksanakan tugas-tugas teknis operasional penanggulangan kebakaran hutanlahan.
Berdasarkan profil tersebut terlihat bahwa penanganan kebakaran hutanlahan di tingkat nasional terpecah di tiga organisasi yakni Kemenhut, KLH,
dan BNPB. Selanjutnya, di antara ketiga organisasi tersebut, Kemenhut memiliki struktur yang relatif lengkap untuk menangani bidang-bidang pengendalian
kebakaran hutanlahan yaitu pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca- kebakaran. Hal ini akan menjadi pertimbangan nanti di dalam rancang bangun
sistem pengorganisasian pada akhir bab ini. Ketiga organisasi di tingkat nasional tersebut ternyata belum berbagi
peranan secara formal, di mana pada saat ini, belum ada sebuah sistem yang mengoordinaskan peranan-peranan dari ketiga organisasi tersebut. Sistem
pengorganisasian yang berlaku adalah hasil kesepakatan tidak tertulis di antara organisasi-organisasi di tingkat nasional. Kesepakatan tersebut didasarkan pada
pengaturan yang pernah ada berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor Kep-40MENLH0997 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Nasional Kebakaran Hutan dan Lahan TKN-KHL, yang membagi posisi dan peranan organisasi-organisasi pemerintah di tingkat nasional terutama pada
bidang pemadaman. Keputusan tersebut belum dicabut, tetapi juga tidak lagi menjadi landasan acuan, hanya kandungan aturannya yang tampaknya masih
dipegang sebagai kesepakatan. Kesepakatan tersebut mengatur bahwa pencegahan dilakukan oleh masing-masing organisasi penanggung jawab kawasan, Kemenhut
bertanggung jawab atas pemadaman pada level bukan bencana, Bakornas PB yang kemudian menjadi BNPB bertanggung jawab atas pemadaman ketika kebakaran
dinyatakan sebagai bencana, dan KNLH yang menjadi KLH bertanggung jawab atas penanganan pasca kebakaran, terutama yustisi, serta departemen-departemen
lainnya sebagai pendukung sesuai dengan bidang tugas dan wewenang yang dimilikinya. Pengaturan tersebut kemudian diperkuat dengan PP nomor 4 tahun
2001 yang memberi mandat kepada Menteri Kehutanan untuk menangani pemadaman kebakaran lintas provinsi dan lintas batas negara.
89 Hasil identifikasi peranan organisasi pada tingkat provinsi di Riau dan
Kalimantan Barat berdasarkan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang ada terdapat perbedaan, yakni pada departementasi dalam
struktur organisasinya. Departementasi pada Pusdalkarhutla di Riau berdasarkan pada bidang-bidang dari pengendalian kebakaran yang meliputi bidang
deteksiperingatan dini, pemantauan dan pencegahan, bidang operasi penanggulangan dan pemulihan, dan bidang evaluasi dan penegakan hukum,
sedangkan di Kalimantan Barat departementasi disusun menurut sektor-sektor yaitu kehutanan, perkebunan, pertanian, kehewanan dan peternakan, tenaga kerja
dan kependudukan, dan kesehatan. Perbedaan departementasi tersebut berimplikasi pada wilayah pertanggung-
jawaban di mana organisasi atau instansi yang ditunjuk sebagai penanggung jawab bidang di Riau bertanggung jawab atas penyelenggaraan bidang tersebut di
semua status kawasan. Sebaliknya, di Kalimantan Barat, sektor-sektor tersebut mewakili status kawasan sehingga organisasi atau instansi yang menjadi
penanggung jawab suatu sektor akan bertanggung jawab atas seluruh bidang pengendalian kebakaran di kawasan sektornya. Sebagai contoh, Dishut Provinsi
Kalimantan Barat bertanggung jawab atas pengendalian kebakaran baik pencegahan, pemadaman maupun penanganan pasca kebakaran di seluruh
kawasan hutan. Dalam prakteknya di Kalimantan Barat, meskipun organisasi pemangku
kawasan yang seharusnya bertanggung jawab atas kebakaran di kawasan pangkuannya, ternyata ketika terjadi kebakaran, peranan tersebut tidak
dilaksanakan dengan benar. Hal ini disebabkan oleh ketidaksiapan organisasi- organisasi tersebut dengan sumber daya pengendalian kebakarannya.
Ketidaksiapan tersebut karena tidak tersedianya anggaran akibat dari tidak adanya urusan kebakaran hutanlahan di dalam struktur organisasinya. Ketersediaan
anggaran sangat ditentukan oleh bidang tugas yang tercermin di dalam struktur organisasi. Sementara itu, di sisi lain, Pusdalkarhutla tidak juga memiliki
anggaran sendiri karena sesuai dengan mekanisme anggaran, Pusdalkarhutla yang dianggap bukan satuan kerja perangkat daerah SKPD tidak dapat mengelola
anggaran sendiri.
90 Untungnya, di Kalimantan Barat telah dibentuk UPTD-PKHL yang
merupakan SKPD sehingga meskipun hanya pada level eselon III yang pembinaan teknisnya di bawah Dishut Provinsi, organisasi tersebut dapat mengelola anggaran
sendiri. Peranan UPTD tersebut menurut penjelasan Kepala UPTD terutama adalah pada bidang pemadaman, sedangkan bidang pencegahan ditangani oleh
masing-masing organisasi pemangku kawasannya dan bidang penanganan pasca- kebakaran, terutama yustisi ditangani oleh pemegang otoritas penegakan hukum
yaitu Polri, kejaksanaan, dan pengadilan, sesuai dengan tugas dan fungsi yang tercantum di dalam Pusdalkarhutla.
Kondisi tersebut hanya berlaku di tingkat provinsi, sedangkan di tingkat kabupatenkota di Kalimantan Barat adalah serupa dengan kondisi yang ada di
tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota di Riau. Peranan pengendalian kebakaran hutanlahan yang ada pada Pusdalkarhutla maupun Satlakdalkarhutla di
di Riau maupun Kalimantan Barat menghadapi problema yang serupa yakni tidak tersedianya anggaran tersendiri untuk menjalankan peranan tersebut karena alasan
serupa yaitu kedua organisasi tersebut bukan SKPD. Di samping organisasi-organisasi yang profilnya secara jelas menyebut
kebakaran hutanlahan, terdapat beberapa organisasi yang selama ini berperan dalam pengendalian kebakaran hutanlahan, meskipun profilnya tidak menyatakan
secara eksplisit hal tersebut. Polri dan Kejagung dapat dimasukkan ke dalam posisi utama dalam peranan yustisi karena tugas dan fungsi pokok kedua
organisasi tersebut memang di bidang yustisi yang mencakup semua jenis pelanggaran pidana, termasuk pidana pada kebakaran hutanlahan. Posisi Dit.
PKH dan Asdep PKHL sebagai pendukung dalam yustisi dilakukan baik dalam penyediaan data dan informasi sebagai bahan dan keterangan baket bagi proses
yustisi maupun dalam penyediaan tenaga penyidik, yakni penyidik pegawai negeri sipil PPNS yang mendampingi penyidik Polri dan Kejagung.
Kementerian Kesehatan juga memiliki organisasi yang berkaitan dengan penanganan keadaan darurat yaitu Pusat Penanggulangan Krisis PPK. Organisasi
tersebut dapat mendukung kegiatan pengendalian kebakaran, terutama dari segi penanganan medis. PPK dibentuk dengan
Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
91 1575SKXI2005. Tugas utama PPK adalah melaksanakan perumusan kebijakan
teknis penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PPK melaksanakan fungsi: 1 penyusunan rancangan kebijakan umum penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 2 penyiapan rumusan
kebijakan pelaksanaan dan perumusan kebijakan teknis dalam penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 3 koordinasi pelaksanaan bimbingan dan
pengendalian di bidang pemantauan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 4 mobilisasi sumber daya dalam penanggulangan krisis dan masalah
kesehatan lain, 5 mengumpulkan data, menganalisa dan menyajikan informasi yang berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 6
evaluasi pelaksanaan kebijakan, peraturan dan standar dan program yang berkaitan dengan penanggulangan krisis dan masalah kesehatan lain, 7
pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Berdasarkan tugas dan fungsi tersebut, PPK dapat mengambil posisi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan
sebagai pendukung dengan peranan sebagai penyedia layanan kesehatan baik bagi korban kebakaran maupun bagi pelaksana pengendalian kebakaran hutanlahan.
Keterlibatan organisasi-organisasi lain pada umumnya adalah juga dalam operasi pemadaman kebakaran. Kementerian Luar Negeri terlibat sebagai
pendukung terutama dalam fasilitasi keimigrasian ketika terjadi pengerahan sumber daya pemadaman dari luar negeri dan fasilitasi bagi penyebarluasan
informasi pengendalian kebakaran ke dunia internasional. Kementerian Keuangan berperan dalam fasilitasi bea dan cukai bagi masuknya barang-barang dalam
mobilisasi bantuan internasional untuk kepentingan operasi pemadaman. Kementerian Dalam Negeri Kemdagri terlibat sebagai pendukung dalam
pencegahan dan pemadaman kebakaran karena adanya Direktorat Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana di bawah Direktorat Jenderal
Pemerintahan Umum yang dibentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 130 tahun 2003 dan diperbarui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41
tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri. Salah satu sub direktorat menangani pencegahan dan penanggulangan kebakaran, tanpa
merinci jenis kebakaran yang dimaksud. Uraian tugas sub direktorat tersebut