Tingkat Nasional Tingkat Provinsi

72 Rengat dan terbagi atas 9 kecamatan, yakni: Rengat, Rengat Barat, Seberida, Pasir Penyu, Kelayang Peranap, Batang Cenaku, Batang Gansal, dan Lirik. Wilayahnya terdiri dari daerah rawa, dataran rendah dan dataran tinggi dengan elevasi antara 5 m sampai dengan 400 m. Wilayah Kabupaten Indragiri Hulu beriklim tropis dengan suhu udara rata- rata berkisar antara 21,4 o C dan 32,8 o C dan curah hujan rata-rata 2.449 mm per tahun. Hal yang menarik terkait dengan kebakaran hutan dan lahan adalah bahwa daerah tersebut mengalami dua periode bulan kering setiap tahun yakni bulan Februari dan bulan Juni-Juli. Hal ini tampaknya turut berperan membuat periode kejadian kebakaran di Provinsi Riau biasanya dua kali dalam setahun yakni sekitar Februari dan sekitar Juni dan Juli. Tabel 1. Curah hujan rata-rata di Kabupaten Indragiri Hulu 2005 - 2009 Bulan Curah Hujan Mm Hari Hujan Hari Januari 267,00 15 Februari 91,00 9 Maret 155,20 10 April 282,20 15 Mei 133,00 9 Juni 87,20 8 Juli 95,60 6 Agustus 167,60 9 September 208,75 8 Oktober 260,33 12 November 411,66 15 Desember 289,40 12 Jumlah 2.448,94 128 Sumber: Pemerintah Daerah Kab. Inderagiri Hulu http:www.inhu.go.idiu_iklim.php, 2010 Penduduk Kabupaten Indragiri Hulu pada tahun 2002 berjumlah 279.495 jiwa, terdiri dari 139.717 laki-laki dan 139.778 perempuan, dengan kepadatan rata-rata 34,09 jiwakm2. Jumlah tersebut meningkat di tahun 2006 menjadi 295.291 jiwa dengan kepadatan rata-rata 38,47 jiwakm 2 . Mata pencaharian penduduknya terutama adalah pertanian, yang memberikan sumbangan terbesar 73 kepada produk domestik regional bruto PDRB setiap tahunnya sekitar 30, dengan kontribusi terbesar dari subsektor perkebunan yakni sekitar 20. Kabupaten Inderagiri Hulu merupakan salah satu daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Pengelolaan kebakaran selama ini menjadi tugas dan tanggung jawab melekat pada Dinas Kehutanan Kabupaten Inderagiri Hulu dan secara operasional untuk pemadaman kebakarannya dilaksanakan oleh Manggala Agni Daerah Operasi Rengat. Saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Inderagiri Hulu sedang menyiapkan peraturan daerah yang mengatur pengendalian kebakaran hutan dan lahan. 4.3.3. Kabupaten Ketapang Kabupaten Ketapang merupakan kabupaten terluas di Provinsi Kalimantan Barat Kalbar dengan luas wilayah 35.809 km 2 . Secara geografis wilayahnya berada di antara garis 0 o 19’ 00” – 3 o 05’ 00” LS dan 108 o 42’ 00” – 111 o 16’ 00” BT. Daerahnya memanjang dari utara ke selatang sepanjang pantai barat Kalimantan berupa dataran berawa-rawa dengan topografi relatif datar, kecuali di daerah hulu yang berbukit-bukit. Iklimnya tropis dengan suhu udara rata-rata 23,70 o C – 26,70 o C dan pada siang hari mencapai 30,80 o Jumlah penduduk pada tahun 2004 sebanyak 473.880 jiwa tersebar di 24 kecamatan. Penduduknya berasal dari berbagai etnis atau suku, terutama Dayak, Melayu dan Tionghoa. Pendapatan utama berasal dari bisnis kehutanan dan perkebunan. C. Curah hujan rata-rata 3.696,1 mmtahun dengan hari hujan rata-rata 214 hari per tahun. Kondisi iklim yang panas dan masih tingginya pengembangan perkebunan menjadikan Kabupaten Ketapang salah satu daerah rawan kebakaran di Kalbar. Pengelolaan kebakaran hutan dan lahan menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Kehutanan Kabupaten Ketapang dalam rangka pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan dan Hasil Hutan. 74 4.3.3. Kabupaten Kubu Raya Kabupaten Kubu Raya merupakan kabupaten baru di Kalimantan Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Pontianak berdasarkan Undang-undang Nomor 35 tahun 2007. Wilayah Kabupaten Kubu Raya terletak di selatan Kota Pontianak dan secara geografis berada pada 108°35’-109°58’BT dan O°44’LU 1°01’LS. Kabupaten ini memiliki beriklim tropis dengan suhu udara tinggi berkisar antara 28o – 32o C dan kelembaban udara antara 53 - 99,58 serta memiliki curah hujan yang juga relatif tinggi yaitu antara 3000 – 4000 mmtahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 15 hari per bulan. Luas keseluruhan wilayah kabupaten tersebut adalah 6.985,20 Km² yang secara administratif terbagi atas 9 kecamatan, 101 desa dan 370 dusun. Penduduknya pada tahun 2006 tercatat berjumlah 480.938 jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk adalah 68.85Km². Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah di sektor pertanian yang mencakup perkebunan, perikanan dan peternakan. Kabupaten Kubu Raya dengan daerahnya yang didominasi oleh lahan gambut termasuk daerah yang rawan kebakaran lahan. Kebakaran disebabkan terutama oleh kegiatan penyiapan lahan pertanian dengan pembakaran. Pengelolaan kebakaran hutan dan lahan sementara masih ditangani oleh Pos Komando Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Poskolak Dalkarhutla di bawah koordinasi Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan Kabupaten Kubu Raya bekerja sama dengan Manggala Agni Daerah Operasi Pontianak. Poskolak Dalkarhutla tersebut merupakan organisasi di tingkat kecamatan yang berada di bawah Pusdalkarhutlada Provinsi Kalimantan Barat dan Satlak Dalkarhutla Kabupaten Pontianak. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Situasi Kejadian Kebakaran HutanLahan

Situasi kejadian kebakaran hutanlahan di Indonesia tergambarkan oleh dua macam data yaitu data jumlah titik panas hotspots dan data luasan kebakaran. Kedua macam data tersebut diperoleh dari Dit. PKH, Kementerian Kehutanan. Data hotspot diperoleh Dit. PKH melalui hasil pemantauannya terhadap citra satelit dari stasiun pemantauan di Kantor Dit. PKH, Gedung Pusat Kementerian Kehutanan Jakarta. Data hotspot lebih sering dijadikan indikator kebakaran hutanlahan oleh berbagai pihak baik para pengamat dan penulis mengenai kebakaran hutanlahan maupun pemerintah, karena data tersebut dianggap relatif lebih lengkap dalam serial waktu, tersedia dan dapat diperoleh dengan relatif mudah di berbagai media informasi terutama di internet, dan mencakup data pada lokasi-lokasi yang terpencil. Data kejadian kebakaran hutanlahan yang faktual dari lapangan sulit diperoleh pada organisasi-organisasi yang seharusnya mengelolanya sesuai dengan kawasan yang dikelolanya. Di tingkat nasional, hanya Dit. PKH yang memiliki data faktual tersebut, sementara di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota data yang diminta tersebut tidak dapat disediakan. Namun demikian, data dari Dit. PKH tersebut juga dinyatakan kurang mewakili kondisi sebenarnya di lapangan. Alasan utamanya adalah tidak setiap kejadian kebakaran hutanlahan ada laporannya. Ketiadaan laporan tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain 1 tidak setiap kejadian kebakaran hutanlahan diketahui lokasinya oleh organisasi penanggung jawabnya, 2 tidak setiap kebakaran dilakukan penanganan atau pemadaman, termasuk pengukuran luasannya, 3 belum ada standar pengukuran luasan kebakaran di lapangan sehingga luasan kebakaran yang dilaporkan masih belum jelas apakah mencakup seluruh kawasan yang terbakar sampai api padam ataukah hanya luasan kebakaran yang dipadamkan oleh tim pemadam yang melaporkan. Oleh karena tidak adanya data luasan kebakaran yang 76 faktual, data kebakaran hutanlahan selalu berdasarkan pada jumlah titik panas hotspot. 5.1.1. Korelasi antara jumlah hotspot dengan luasan kebakaran hutanlahan Jumlah hotspot, seperti disampaikan di atas, selama ini dijadikan sebagai indikator kebakaran hutanlahan. Penggunaan hotspot sebagai indikator juga masih beragam yakni sebagai indikator untuk luasan kebakaran atau indikator untuk jumlah kejadian kebakaran. Jika memahami makna hotspot yang sebenarnya, maka penggunaan bagi kedua maksud tersebut sebenarnya masih kurang tepat, bahkan penggunaan sebagai indikator adanya kebakaran hutanlahan pun sebenarnya masih perlu memenuhi beberapa persyaratan. Keberadaan titik panas hotspot tidak selalu berarti adanya kebakaran hutanlahan, bergantung pada suhu ambang threshold temperature pengukuran yang ditetapkan, namun untuk kepentingan pencegahan kebakaran, informasi hotspot dapat menjadi indikator terjadinya kebakaran hutan Hiroki Prabowo 2003; Suprayitno Syaufina 2008. Studi ini menguji kelayakan penggunaan hotspot sebagai indikator kebakaran hutanlahan dengan menghitung koefisien korelasi secara linier antara jumlah akumulasi hotspot dengan luasan kebakaran hutanlahan. Hasil perhitungan statistik berdasarkan data pada kurun waktu 10 tahun n=10 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif sebesar 0,53 atau 53 antara jumlah hotspot dengan luasan kebakaran hutanlahan seluruh Indonesia. Hal ini berarti penggunaan jumlah hotspot sebagai indikator kebakaran hutanlahan masih dapat diterima. Data pada Tabel 2 dan diagram pada Gambar 5 memperlihatkan bahwa trend line dari kedua data tersebut menunjukkan kecenderungan yang relatif sama. Namun demikian, koefisien korelasi yang relatif rendah tersebut juga sekaligus memberikan peringatan untuk tidak serta merta menyatakan bahwa jumlah hotspot yang tinggi berarti terdapat kebakaran hutanlahan yang luas. Jumlah hotspot kurang dapat menggambarkan luasan kebakaran karena sebuah 77 hotspot sebenarnya mewakili sebuah luasan 1,1 km 2 . Hal ini tidak berarti bahwa sebuah hotspot kemudian menunjukkan adanya kebakaran hutanlahan seluas 1,1 km 2 Tahun karena sebuah hotspot muncul atau tertangkap oleh citra satelit ketika suatu area di permukaan bumi mengalami panas permukaan sampai suatu suhu tertentu yang sudah ditetapkan pada sensor di satelit. Suhu tersebut dapat dicapai meskipun luas kebakaran kurang dari 1,1 km dan begitu pula dapat terjadi situasi Tabel 2 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutanlahan seluruh Indonesia ΣHotspot Luas Karhutla 2000 11.583 43.648,08 2001 21.137 17.968,79 2002 69.765 45.527,93 2003 44.262 3.545,45 2004 65.693 42.806,99 2005 40.197 13.739,01 2006 146.264 56.218,65 2007 37.909 11.233,46 2008 30.616 16.137,49 2009 39.463 49.253,58 Sumber: Dit. PKH 2010 Gambar 5 Grafik jumlah hotspot dan luas kebakaran hutanlahan seluruh Indonesia Sumber: Dit. PKH 2010.