Rancang Bangun Sistem Pengorganisasian

186 kabupatenkota menjalankan fungsi pemerintahan pusat terhadap kabupatenkota. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah provinsi campur tangan terhadap kewenangan pemerintah kabupatenkota, melainkan memberi kedudukan kepada pemerintah provinsi untuk menjalankan tugas dan wewenang pembinaan, pengawasan, dan koordinasi atas jalannya pemerintahan daerah dan tugas perbantuan sebagai aspek-aspek pemerintahan umum. Sinyalemen mengenai masih kuatnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat akibat dari penerapan sistem perencanaan terpusat central planning pada masa lalu yang sangat lama Rasyid 2009, tampaknya terkoreksi. Hasil wawancara dengan para pimpinan organisasi pemerintah provinsi maupun kabupatenkota mengindikasikan bahwa sistem perencanaan sekarang tidak lagi terpusat melainkan sudah berada di masing-masing daerah. Tahapan-tahapan perencanaan sudah dimulai di tingkat pemerintahan terbawah yakni kabupatenkota dengan dilaksanakannya Musrenbangda musyawarah perencanaan pembangunan daerah kabupatenkota di mana usulan program dan anggaran dari setiap SKPD kabupatenkota dibahas. Program-program yang anggarannya diusulkan kepada level di atasnya provinsi atau nasional juga disiapkan dan dibahas di tingkat kabupatenkota. Selanjutnya, di tingkat provinsi, setiap SKPD, di samping mengusulkan program dan anggarannya sendiri, juga menjaring usulan program dan anggaran dari SKPD jajarannya di tingkat kabupatenkota melalui forum Rakorenbangda rapat koordinasi perencanaan pembangunan daerah. Usulan-usulan program yang memang didanai oleh anggaran provinsi, perencanaannya berhenti di tingkat provinsi, sedangkan yang akan dimintakan dananya ke pusatnasional diteruskan oleh pemerintah provinsi ke tingkat nasional. Pada kondisi inilah ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dipandang masih kuat terutama dalam hal anggaran di sisi penerimaan Basri 2009. Pengendalian kebakaran hutanlahan pada umumnya belum mendapatkan porsi anggaran yang memadai karena masih kalah prioritas dibandingkan program-program lain di setiap SKPD, baik di provinsi maupun kabupatenkota. Keberadaan Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla yang bukan SKPD masih terpinggirkan. Di Kalimantan Barat masih relatif beruntung karena adanya unit 187 pelaksana teknis daerah UPTD-PKHL yang meskipun secara teknis tanggung jawabnya berada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi, namun tanggung jawab anggaran sudah tersendiri karena termasuk sebagai SKPD dan selaku kuasa pengguna anggaran KPA sendiri. Oleh sebab itu, untuk menjamin berjalannya sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan, organisasi yang mengelola sistem tersebut di daerah harus menjadi SKPD dan KPA. Kalaupun tidak dapat berdiri sendiri dan harus berada di bawah tanggung jawab organisasi lain, hanya tanggung jawab teknisnya saja, seperti UPTD-PKHL Kalimantan Barat tersebut. Penanggung jawab teknis dari organisasi tersebut sesuai dengan pilihan berdasarkan profil organisasi maupun pilihan responden adalah organisasi yang menangani kehutanan. Untuk itu, di tingkat nasional adalah Kementerian Kehutanan, di tingkat provinsi adalah Dinas Kehutanan Provinsi dan di tingkat kabupatenkota adalah Dinas Kehutanan KabupatenKota. Namun dari sisi lain, dengan masuknya kebakaran hutanlahan sebagai salah satu jenis bencana, maka sistem pengorganisasian dapat juga mengacu pada jalur organisasi pengelola bencana yaitu BNPB, BPBD Provinsi dan BPBD KabupatenKota. Pertimbangan lain dalam memberikan kepercayaan kepada organisasi untuk memegang tanggung jawab adalah berdasarkan kapasitas. Peranan hendaknya diberikan kepada organisasi yang memiliki sistem yang sehat yaitu yang memiliki kapasitas yang baik Kreitner Kinicki 1992. Analisis terhadap kapasitas organisasi mendapati bahwa organisasi yang menangani kehutanan memiliki kapasitas terbesar dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain. Kapasitas yang dimaksud tergambarkan dari komponen-komponen efektivitas organisasi yaitu visi dan misi, struktur organisasi, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta mekanisme kerja. Akhirnya, pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah faktor sejarah, di mana pengelolaan pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia sampai sekarang selalu berada pada organisasi pemerintah yang menangani kehutanan baik di tingkat nasional, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupatenkota. Faktor ini penting karena menyangkut kapasitas dan kapabilitas di mana yang terbaik salah satunya ada pada organisasi yang menangani kehutanan tersebut. Oleh sebab 188 itu, organisasi-organisasi kehutanan yang selayaknya diberi peranan, wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola pengendalian kebakaran hutanlahan. Meskipun demikian, terdapat pula fakta bahwa sejak kejadian kebakaran hutanlahan yang relatif besar pada tahun 1997-1998 mulai ada keterlibatan Bakornas PB pada waktu itu, yang sekarang menjadi BNPB, dalam menangani kebakaran hutanlahan yang dianggap menjadi bencana. Berlakunya Undang- Undang nomor 24 tahun 2007 yang memasukkan kebakaran hutanlahan sebagai salah satu jenis bencana dapat memperkuat pertimbangan untuk menjadikan BNPB sebagai alternatif koordinator. Hal serupa juga terjadi di beberapa negara, di mana instansi yang menangani kehutanan diberi kewenangan sebagai koordinator. Di Amerika Serikat yang pengorganisasiannya melibatkan banyak pihak, meskipun kepemimpinan organisasi, NIFC, dipegang secara bergantian di antara instansi-instansi yang terlibat, ketergantungan sumber daya untuk pengendalian kebakaran hutanlahan tetap lebih besar pada dinas kehutanan forest service baik di tingkat federal maupun di negara bagian dan distrik. Demikian pula di Kanada, kebijakan dan pelaksanaan pengendalian kebakaran hutanlahan berada di tangan dewan menteri kehutanan yang beranggotakan para menteri yang menangani kehutanan di tingkat nasional, teritori dan provinsi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka studi ini mengusulkan rancang bangun sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia seperti diuraikan di bawah ini. 5.5.2. Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan Kebakaran hutan dan kebakaran lahan di dalam sistem pengorganisasian yang diusulkan dalam penelitian ini tidak dipisahkan pengelolaannya dan untuk menggambarkan hal tersebut selanjutnya sesuai dengan istilah yang tercantum di dalam UU nomor 24 tahun 2007 ditulis sebagai kebakaran hutanlahan. Tanda “” dibaca “dan” untuk menyatakan tidak ada pembedaan antara kejadian di dalam atau di luar kawasan hutan, kecuali di dalam pelaporan. 189 Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang ada sekarang, seperti ditunjukkan dengan diagram pada Gambar 44, menunjukkan bahwa penanganan kebakaran pada saat ini masih terpisah-pisah berdasarkan fungsi kawasan. Kebakaran di kawasan hutan konservasi dikelola Balai Besar atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam BBKSDABKSDA atau Taman Nasional BBTNBTN dengan garis komando dari tingkat nasional oleh Kemenhut sampai tingkat lapangan pada Seksi Wilayah KSDATN. Kebakaran di kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi serta lahan dikelola di tingkat kabupatenkota oleh Satlakdalkarhutla dan di tingkat provinsi oleh Pusdalkarhutla. Kelemahan dari pengorganisasian yang ada sekarang terutama adalah pada tidak adanya hubungan formal antar tingkatan, baik antara Satlakdalkarhutla dengan Pusdalkarhutla maupun Pusdalkarhutla dengan tingkat nasional. Hal ini terbukti pada hasil analisis hubungan antar organisasi antar tingkatan. Hubungan tersebut kadang dijembatani oleh hubungan baik dan saling mengenal antara pejabat dari tingkat kabupatenkota dengan pejabat dari tingkat provinsi. Hubungan informal semacam ini tentunya tidak tepat untuk perkembangan organisasi yang sehat. Sistem pengorganisasian yang diusulkan oleh penelitian ini akan mengoreksi kelemahan-kelemahan tersebut, terutama dengan menempatkan wewenang dan tanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan pada satu organisasi atau instansi pemerintah dan memperjelas hubungan koordinasi dan komando antar tingkat nasional, provinsi dan kabupatenkota. Sistem pengorganisasian dirancang dengan memadukan temuan-temuan dari studi ini dengan teori-teori organisasi dan pengendalian kebakaran hutanlahan, serta peraturan perundang-undangan yang berlakunya. Hasil analisis mendapatkan bahwa terdapat dua alternatif organisasi yang dipandang tepat untuk ditunjuk sebagai penanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan yaitu organisasi yang menangani kehutanan ataukah yang menangani bencana. Oleh sebab itu, diusulkan tiga alternatif pengorganisasian yaitu 1 menyerahkan seluruh kewenangan dan tanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan kepada instansi pengelola kehutanan, 2 menyerahkan seluruh kewenangan dan tanggung jawab kepada instansi pengelola bencana, dan 3 kombinasi antara 1 dan 2 pada situasi dan kondisi tertentu. 190 Alternatif 1 Alternatif ini memberikan kewenangan dan tanggung jawab manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan kepada instansi yang mengelola kehutanan di tiap tingkatan. Hal ini berarti bahwa seluruh koordinasi dan komando yang saat ini dipegang oleh berbagai organisasi penanggung jawab baik di Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla pada pencegahan dan pemadaman di level sebelum bencana maupun oleh instansi pengelola bencana BNPB dan BPBD untuk pemadaman setelah pada level bencana ditarik seluruhnya dan diserahkan kepada instansi- instansi pengelola kehutanan di tiap tingkatan tersebut. Pemberian wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya kepada instansi kehutanan juga memiliki alasan penting yaitu terkait dengan penanganan dampak kebakaran terhadap ekosistem. Penanganan kebakaran hutanlahan tidak hanya terhadap apinya, melainkan juga terhadap ekosistem beserta isinya. Pemulihan ekosistem setelah terbakar menjadi perhatian utama. Penanganan korban kebakaran hutanlahan tidak hanya terhadap korban manusia tetapi juga korban tumbuhan dan satwa liar yang ada di kawasan kebakaran. Penyelamatan tumbuhan liar dan pengungsian satwa memerlukan penanganan khusus yang dapat dilakukan oleh instansi kehutanan yang memang sudah memiliki sumber daya untuk itu. Wewenang yang diberikan kepada instansi kehutanan di tiap tingkatan dalam pengendalian kebakaran hutanlahan akan mempermudah akses dalam penyelamatan dan pemulihan korban bukan manusia tersebut. Struktur pengorganisasian sesuai dengan alternatif 1 adalah seperti diuraikan di bawah ini. 1. Tingkat nasional a. Kebakaran hutanlahan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah dan dalam hal ini berada di tangan Presiden RI. Untuk itu Presiden RI membentuk sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan Indonesia yang disebut Brigade Pengendalian Kebakaran HutanLahan Indonesia. Brigade tersebut sebaiknya diberi nama Manggala Agni, karena nama tersebut sudah cukup populer di Indonesia dan di ASEAN sebagai nama organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan Indonesia. 191 Pembentukan sistem pengorganisasian tersebut dapat dilakukan dengan Peraturan Presiden. b. Di bawah Presiden, terdapat sebuah Forum Pengendalian Kebakaran HutanLahan FPKHL. Forum ini merupakan pertemuan para menteri dan pimpinan lembaga nasional yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan kebakaran hutanlahan. • Forum ini dipimpin oleh Menteri Kehutanan, dengan keanggotaan tetap terdiri dari Menteri Pertanian, Menteri Perhubungan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Kepala Kepolisian RI Kapolri, Panglima TNI, dan Kepala BNPB. • Forum tersebut dapat mengundang pimpinan lembaga-lembaga lain dari pemerintah di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupatenkota dan jika memandang perlu dapat mengangkat satu atau lebih pimpinan lembaga-lembaga tersebut sebagai anggota tidak tetap untuk jangka waktu tertentu. • Forum juga dapat mengundang tenaga ahli dari lembaga-lembaga atau perorangan jika dipandang perlu nasihatnya untuk hal-hal tertentu. • Forum tersebut memiliki fungsi pembuatan kebijakan dan koordinasi di tingkat nasional dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Tugas pokoknya antara lain: 1 merancang kebijakan nasional untuk diajukan kepada dan ditetapkan oleh Presiden, 2 menetapkan kebijakan operasional pengendalian kebakaran hutanlahan, 3 mengoordinasikan program dan anggaran pengendalian kebakaran hutanlahan, 4 mengkaji dan mengusulkan penetapan status bencana nasional kebakaran hutanlahan, 5 memberikan arahan kepada Pusdalkarhutla Nasional, dan 6 mengoordinasikan mobilisasi sumber daya pemadaman tingkat nasional dan internasional. • Forum mengadakan pertemuan sedikitnya dua kali dalam setahun. c. Untuk menjalankan tugas-tugas operasional harian, dibentuk Pusat Pengendalian Kebakaran HutanLahan Nasional Pusdalkarhutlanas. • Pusdalkarhutlanas merupakan organisasi yang berfungsi mengoordinasikan penyelenggaraan operasional pengendalian 192 kebakaran hutanlahan di tingkat nasional dan antara tingkat nasional dengan tingkat provinsi. Tugas pokoknya antara lain: 1 mengoordinasikan upaya-upaya pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran hutanlahan lintas provinsi dan lintas negara, 2 mengadakan dan memobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran hutanlahan lintas provinsi dan lintas negara. • Pusdalkarhutlanas berkedudukan secara struktural pada Kementerian Kehutanan di bawah Sekretariat Jenderal atau badan yang dibentuk untuk menangani perlindungan hutan dan kebakaran hutanlahan. Pusdalkarhutnas dan dipimpin oleh seorang Kepala Pusdalkarhutlanas. • Struktur organisasi Pusdalkarhutlanas terdiri atas: o Bagian Umum, yang menangani urusan administrasi atau tata usaha, keuangan atau anggaran, pengelolaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran; o Bagian Pencegahan, yang menangani data dan informasi serta program pencegahan, sistem peringatan dan deteksi kebakaran, dan pengerahan bantuan sumber daya pencegahan; o Bagian Pemadaman, yang menangani data dan informasi serta program pemadaman dan pengerahan sumber daya pemadaman; o Bagian Penanganan Pasca Kebakaran, yang menangani data dan informasi serta program penanganan pasca kebakaran dan pengerahan sumber daya pendukung penanganan pasca kebakaran. d. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas tertentu atau khusus, menteri Kehutanan membentuk satuan khusus nasional pengendalian kebakaran hutanlahan, yang disebut Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis SMART dengan kualifikasi tingkat nasional. Satuan khusus tersebut terdiri atas individu-individu terpilih yang telah memperoleh pelatihan tertentu untuk memenuhi kualifikasi tingkat nasional. Satuan ini juga dapat menjadi sumber daya cadangan nasional dan dapat diperbantukan atau di bawah kendali operasi BKO kepada BNPB untuk mendukung penanganan bencana. 193 2. Tingkat provinsi a. Gubernur bertanggung jawab atas kebakaran hutanlahan di provinsinya, dan untuk itu gubernur menunjuk Dinas Kehutanan Provinsi sebagai penanggung jawab operasional pengendalian kebakaran hutanlahan. Jika bukan Dinas Kehutanan Provinsi, maka instansi yang dapat ditunjuk sesuai dengan hasil analisis adalah BPBD Provinsi atau BLHD Provinsi. b. Instansi yang ditunjuk tersebut merupakan organisasi yang berfungsi mengoordinasikan penyelenggaraan operasional pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat provinsi dan koordinasi dengan tingkat nasional maupun dengan tingkat kabupatenkota. Tugas pokoknya antara lain: 1 menyiapkan rancangan kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan tingkat provinsi untuk diajukan kepada dan ditetapkan oleh gubernur, 2 mengoordinasikan upaya-upaya pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran hutanlahan lintas kabupatenkota, 3 mengadakan sumber daya pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat provinsinya, 4 mengoordinasikan mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran hutanlahan lintas kabupatenkota di provinsinya, antara provinsinya dengan provinsi lain di Indonesia dan antara provinsinya dengan Pusdalkarhutlanas menurut perintah gubernur. c. Untuk menangani tugas pokok tersebut, instansi yang ditunjuk harus membentuk unit pelaksana teknis pengendalian kebakaran hutanlahan UPT-PKHL di bawah struktur dan komandonya. UPT-PKHL tersebut dipimpin oleh seorang Kepala UPT-PKHL Provinsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas pertimbangan dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi atau instansi yang ditunjuk. d. UPT-PKHL memiliki struktur yang terdiri atas: • BagianSeksi Umum, yang menangani urusan administrasi atau tata usaha, keuangan atau anggaran, pengelolaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran; • BagianSeksi Pencegahan, yang menangani data dan informasi serta program pencegahan, sistem peringatan dan deteksi kebakaran, dan pengerahan bantuan sumber daya pencegahan; 194 • BagianSeksi Pemadaman, yang menangani data dan informasi serta program pemadaman dan pengerahan sumber daya pemadaman; • BagianSeksi Penanganan Pasca Kebakaran, yang menangani data dan informasi serta program penanganan pasca kebakaran dan pengerahan sumber daya pendukung penanganan pasca kebakaran. e. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas tertentu atau khusus, UPT- PKHL Provinsi memiliki satuan khusus pengendalian kebakaran hutanlahan, yang disebut Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis SMART dengan kualifikasi tingkat provinsi. Satuan khusus tersebut terdiri atas individu-individu terpilih yang telah memperoleh pelatihan tertentu untuk memenuhi kualifikasi tingkat provinsi. Satuan ini dapat menjadi sumber daya cadangan provinsi dan dapat diperbantukan kepada BPBD Provinsi untuk mendukung penanganan bencana. 3. Tingkat kabupatenkota a. BupatiWalikota bertanggung jawab atas kebakaran hutanlahan di kabupatenkotanya, dan untuk itu BupatiWalikota menunjuk Dinas Kehutanan KabKota atau instansi yang menangani kehutanan di KabKota-nya sebagai penanggung jawab operasional pengendalian kebakaran hutanlahan di KabupatenKota. Jika bukan Dinas Kehutanan KabKota atau instansi kehutanan yang ditunjuk, maka instansi lain yang ditunjuk adalah instansi yang menangani bencana BPBD KabKota atau yang menangani lingkungan hidup BLHD KabKota. b. Dinas Kehutanan KabKota atau instansi yang ditunjuk tersebut merupakan organisasi yang berfungsi menyelenggarakan operasional pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat kabupatenkota. Tugas pokoknya antara lain: 1 menyiapkan rancangan kebijakan pengendalian kebakaran hutanlahan tingkat kabupatenkota untuk diajukan kepada dan ditetapkan oleh BupatiWalikota, 2 melakukan upaya-upaya pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran hutanlahan di kabupatenkotanya, 3 mengadakan sumber daya pengendalian kebakaran hutanlahan untuk kabupatenkotanya, 4 mengoordinasikan mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran hutanlahan di 195 kabupatenkotanya dan dengan kabupatenkota lain di provinsinya dan dengan instansi provinsi yang ditunjuk di tingkat provinsi untuk menangani mobilisasi sumber daya ke wilayah-wilayah lain menurut perintah bupatiwalikotanya. c. Dinas Kehutanan KabKota atau instansi yang ditunjuk tersebut membentuk unit pelaksana teknis pengendalian kebakaran hutanlahan UPT-PKHL di bawah struktur dan komandonya. UPT-PKHL KabKota dipimpin oleh seorang Kepala UPT-PKHL KabKota yang diangkat dan diberhentikan oleh BupatiWalikota atas pertimbangan dari Kepala Dinas Kehutanan KabKota atau instansi yang ditunjuk tersebut. d. UPT-PKHL KabKota memiliki struktur yang terdiri atas: • BagianSeksi Umum, yang menangani urusan administrasi atau tata usaha, keuangan atau anggaran, perencanaan dan pengelolaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran; • BagianSeksi Pencegahan, yang menangani data dan informasi serta program pencegahan, sistem peringatan dan deteksi kebakaran, dan pengerahan bantuan sumber daya pencegahan; • BagianSeksi Pemadaman, yang menangani data dan informasi serta program pemadaman dan pengerahan sumber daya pemadaman; • BagianSeksi Penanganan Pasca Kebakaran, yang menangani data dan informasi serta program penanganan pasca kebakaran dan pengerahan sumber daya pendukung penanganan pasca kebakaran. e. Untuk pelaksanaan tindakan pengendalian kebakaran hutanlahan, terutama pencegahan dan pemadaman, dibentuk Satuan Pengendalian Kebakaran HutanLahan Satdal karhutla. • Setiap Satdal tersebut bertanggung jawab atas pencegahan dan pemadaman dalam satu atau lebih kecamatan yang ditetapkan oleh Kepala UPT-PKHL KabKota; • Setiap Satdal terdiri atas regu-regu pengendalian kebakaran hutanlahan, yang jumlahnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi kerawanan kebakaran hutanlahan. Setiap regu terdiri atas seorang kepala regu dan 14 orang anggota regu. 196 f. Untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas tertentu atau khusus, Pusdalkarhutla KabKota memiliki satuan khusus pengendalian kebakaran hutanlahan, yang disebut Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis SMART dengan kualifikasi tingkat kabupatenkota. Satuan khusus tersebut terdiri atas individu-individu terpilih yang telah memperoleh pelatihan tertentu untuk memenuhi kualifikasi tingkat kabupatenkota. Satuan ini dapat menjadi sumber daya cadangan provinsi dan dapat diperbantukan kepada BPBD KabupatenKota untuk mendukung penanganan bencana Sistem pengorganisasian tersebut ditunjukkan dengan diagram model konseptual pada Gambar 45. Keterlibatan berbagai pihak, baik organisasi- organisasi pemerintah yang lain, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan swasta tetap diutamakan, tetapi tanggung jawab tetap berada pada pemerintah. Gambar 44 Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia sekarang. 197 Sebagaimana disebutkan di atas, sistem tersebut memberikan wewenang dan tanggung jawab penuh di tingkat nasional kepada Kemenhut. Wewenang dan tanggung jawab tersebut mencakup pula koordinasi dalam mobilisasi sumber daya pemadaman domestik maupun internasional pada semua tingkat kondisi bencana kebakaran, termasuk pada bencana nasional kebakaran hutanlahan. Hal ini berarti mencabut wewenang dan tanggung jawab BNPB yang ditetapkan oleh UU nomor 24 tahun 2007. Untuk mendukung hal tersebut diperlukan sebuah landasan hukum yang kuat berupa amandemen terhadap UU nomor 24 tahun 2007 tersebut. Gambar 46 dan Gambar 47 menunjukkan model konseptual untuk mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutanlahan. Tahapan mobilisasi dilaksanakan oleh pemerintah dari tingkat kabupatenkota yakni oleh Dinas yang menangani kehutanan, dan jika belum tertangani dengan tuntas karena kurangnya sumber daya, maka dimintakan bantuan sumber daya ke tingkat provinsi melalui bupatiwali kota kepada gubernur. Selanjutnya, gubernur meminta Dinas Kehutanan Provinsi untuk mengerahkan sumber daya provinsi, termasuk sumber daya dari kabupatenkota di provinsi yang bersangkutan. Jika kebakaran belum padam, gubernur dapat meminta dukungan sumber daya nasional melalui Menhut. Dengan kewenangan dari Menhut, Pusdalkarhutla Nasional dapat mengerahkan sumber daya nya dan sumber daya dari provinsi-provinsi lain, bahkan sumber daya dari bantuan internasional. kepada Presiden berlanjut yang berwewenang dan bertanggung jawab pada setiap tingkatan. Para pihak lain yang memiliki sumber daya yang dapat dimobilisasi, baik organisasi pemerintah, swasta, maupun masyarakat, tidak ditampilkan dalam diagram tersebut karena mereka berada di bawah komando dan kendali desa, dinas kehutanan kabupatenkota, dinas kehutanan provinsi, dan Pusalkarhutlanas. Mekanisme untuk memperoleh dan memobilisasi sumber daya kelak akan diatur dan disepakati bersama antara organisasi-organisasi pemerintah dengan para pihak tersebut. Rancang bangun sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan ini juga menampilkan sebuah model konseptual Gambar 47 yang menggambarkan langkah-langkah yang ditempuh oleh organisasi-organisasi yang menjadi koordinator. 198 Gambar 45 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia alternatif 1. 199 Gambar 46 Tahapan mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutanlahan alternatif 1. 200 Gambar 47 Urutan langkah dalam proses pelaporan dan tindakan mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutanlahan. Alternatif 2 Alternatif ini hanya menegaskan keberadaan urusan pengendalian kebakaran hutanlahan pada BNPB dan BPBD. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa selama ini belum ada ketegasan mengenai institusi yang menangani urusan tersebut, seperti tergambarkan pada sistem pengorganisasi saat ini Gambar 44, sehingga masih terjadi saling lempar tanggung jawab ketika timbul kebakaran hutanlahan dan dampak negatifnya. Alternatif ini mencabut kewenangan dan tanggung jawab seluruh manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan dari organisasi-organisasi lain, termasuk dari Kemenhut dan Kementan, yang diberikan oleh Instruksi Presiden nomor 16 tahun 2011, kecuali untuk urusan yustisi, dan meletakkannya di bawah struktur organisasi pengelolaan bencana. Dengan demikian, segala urusan 201 manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan menjadi wewenang dan tanggung jawab BNPB di tingkat nasional dan BPBD di tingkat daerah provinsi dan kabupatenkota baik dalam status normal maupun dalam status darurat. Hal tersebut di atas sebenarnya tidak akan mengubah struktur organisasi pada BNPB dan BPBD karena struktur organisasi BNPB dan BPBD pada prinsipnya telah mencakup semua urusan bencana termasuk pengendalian kebakaran hutanlahan. Namun demikian, karena kebakaran hutanlahan memiliki karakteristik yang khas, yang berbeda dari jenis-jenis bencana lainnya, maka diperlukan penanganan tersendiri. Seperti diuraiakan di atas, kebakaran hutanlahan berdampak terhadap ekosistem alam sehingga memerlukan penanganan khusus, terutama mengenai penyelamatan dan pemulihan korban bukan manusia berupa tumbuhan dan satwa. Terbitnya Inpres nomor 16 tahun 2011 dapat menjadi indikasi mengenai hal tersebut, di mana kebakaran hutanlahan memiliki kekhasan dalam pengelolaannya dan selama ini masih kurang mendapat porsi perhatian yang memadai oleh BNPB dan BPBD, sehingga dirasa perlu mengaturnya secara khusus. Struktur organisasi BNPB dan BPBD sesuai dengan Pasal 11 dan Pasal 19 UU nomor 24 tahun 2007 terdiri atas unsur pengarah dan unsur pelaksana. Pasal 10 dan Pasal 11 dari Peraturan Presiden RI Perpres nomor 8 tahun 2008 dan Pasal 10 dari Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008, pada Ayat 2 menunjukkan bahwa kebakaran hutanlahan belum mendapatkan cukup perhatian. Pejabat Pemerintah Eselon I dari Kemenhut dan Kementan yang berwewenang dan bertanggung jawab atas kawasan kebakaran hutanlahan tidak termasuk di dalam unsur pengarah. Oleh sebab itu, sistem pengorganisasian yang diusulkan ini menghendaki masuknya kedua kementerian tersebut sebagai anggota unsur pengarah. Pembatasan jumlah anggota unsur pengarah sebanyak 10 pejabat seperti disebutkan pada Pasal 11 Perpres nomor 8 tahun 2008 dan Pasal 10 Ayat 1 Peraturan Kepala BNPB tersebut di atas perlu diamandemen dengan mengubah jumlah anggota unsur pengarah tersebut karena batasan jumlah tersebut tidak secara tegas diatur di dalam UU nomor 24 tahun 2007 yang menjadi acuannya. 202 Dengan demikian, diusulkan agar jumlah anggota dari pejabat eselon I ditambah sehingga menjadi 12 orang, yakni masing-masing satu orang dari kedua kementerian tersebut di atas. Unsur pelaksana juga perlu perubahan berupa penambahan jabatan. Penambahan jabatan diusulkan terutama adalah tingkat eselon IV pada hampir setiap eselon I yang ada. Jabatan yang ditambahkan adalah untuk khusus menangani kebakaran hutanlahan sesuai dengan eselon I-nya. Model konseptual dari sistem pengorganisasian alternatif 2 adalah seperti pada Gambar 48. Sedangkan untuk prosedur mobilisasi sumber daya pemadaman kebakaran hutanlahan dapat mengikuti prosedur penanganan bencana lainnya. Gambar 48 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia alternatif 2. 203 Alternatif 3 Alternatif ini memadukan alternatif 1 ke dalam manajemen bencana oleh BNPB dan BPBD ketika kondisi kebakaran hutanlahan ditetapkan sebagai status darurat bencana nasional. Ketika kebakaran hutanlahan berada pada kondisi biasa dan status darurat bencana kabupatenkota maupun provinsi, wewenang dan tanggung jawab pengendalian kebakaran hutanlahan masih berada di tangan bupatiwalikota atau gubernur dan komando tetap dilaksanakan oleh Dishut KabKota atau Dishut Provinsi. Komando di tingkat nasional masih di tangan Kemenhut dan laporan situasi dan kondisi kebakaran dari daerah tetap disampaikan secara berjenjang oleh Dishut KabKota dan Dishut Provinsi kepada Kemenhut Pusdalkarhutlanas. Berdasarkan laporan dari daerah tersebut dan hasil pemantauan serta analisis situasi kebakaran hutanlahan oleh Pusdalkarhutlanas, Menteri Kehutanan Menhut melaporkan situasi tersebut kepada Menko Kesra. Jika situasi kebakaran hutanlahan sudah memenuhi syarat bagi status darurat bencana nasional, maka laporan Menhut tersebut disertai dengan usulan bagi ditetapkannya status darurat bencana nasional. Atas laporan tersebut, Menko Kesra segera mengundang Forum PKHL untuk pertemuan pembahasan usulan penetapan status darurat bencana nasional kepada Presiden dan atau dapat langsung mengusulkan kepada Presiden untuk segera menetapkan status darurat bencana nasional kebakaran hutanlahan. Status darurat bencana kebakaran hutanlahan nasional ditetapkan secara resmi oleh Presiden RI sesuai dengan Pasal 51 UU nomor 24 tahun 2007. Selama status darurat bencana nasional kebakaran hutanlahan belum ditetapkan secara resmi oleh Presiden, wewenang, tanggung jawab dan komando pengendalian kebakaran hutanlahan masih berada pada Menhut. Pada kondisi tersebut, Menhut dapat melakukan koordinasi dan komando kepada semua instansi atau organisasi pemerintah, LSM, maupun swasta di semua tingkatan dalam rangka mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran hutanlahan domestik. Menhut melaporkan perkembangan kondisi terkini kepada Menko Kesra dan BNPB. Menko Kesra jika memandang perlu, dapat mengalihkan 204 wewenang dan tanggung jawab serta komando dari Menhut kepada BNPB meskipun status darurat bencana nasional belum ditetapkan secara resmi oleh Presiden. Hal ini sangat penting untuk kejelasan mengenai kesatuan wewenang, tanggung jawab dan komando. Pengalihan tersebut harus dilakukan Menko Kesra secara formal. Ketika status darurat bencana nasional secara resmi ditetapkan oleh Presiden, wewenang dan tanggung jawab koordinasi dan komando pengendalian kebakaran hutanlahan secara nasional diserahkan oleh Kemenhut kepada Menko Kesra dan selanjutnya dilaksanakan oleh BNPB. Pada kondisi tersebut, status Kemenhut berada di bawah komando operasi BKO BNPB. Tugas Kemenhut adalah mendukung operasi tersebut sesuai dengan komando BNPB, antara lain tetap mengoordinasikan mobilisasi sumber daya yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya sesuai dengan sistem pada alternatif 1 dan bertanggung jawab atas penyelamatan dan pemulihan korban kebakaran berupa tumbuhan dan satwa liar. Model konseptual dari sistem pengorganisasian alternatif 3 adalah seperti pada Gambar 49. 5.5.3. Integrasi dan koordinasi Rancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan tersebut di atas memiliki konsekuensi bagi dilakukannya integrasi dan koordinasi beberapa hal. Langkah-langkah integrasi dan koordinasi yang dimaksud antara lain diuraikan berikut ini. 1. Sistem pengorganisasian yang diusulkan tersebut menghendaki adanya integrasi kebijakan dari tingkat nasional sampai dengan tingkat kabupatenkota dan lapangan desa. Hubungan antara tingkat nasional, tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota berdasarkan sistem prefektoral terpadu Hoessein 2009 adalah koordinasi. Presiden menetapkan kebijakan nasional pengendalian kebakaran hutanlahan yang menjadi acuan bagi gubernur dalam menetapkan kebijakan untuk provinsinya, dan kebijakan nasional dan kebijakan provinsi harus menjadi landasan bagi kebijakan bupatiwalikota. 205 Gambar 49 Model konseptual sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia alternatif 3. 2. Bupatiwalikota bertanggung jawab penuh terhadap kebakaran hutanlahan di wilayahnya sehingga dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat mendukung pelaksanaan tanggung jawab tersebut, namun kebijakan-kebijakannya tidak bertentangan dengan kebijakan provinsi dan kebijakan nasional. Bupatiwalikota tidak menerima perintah dari gubernur dalam pengendalian kebakaran hutanlahan, kecuali pada waktu pemadaman di level provinsi di mana gubernur dapat memerintahkan bupatiwalikota di provinsinya untuk memobilisasi sumber daya dan di bawah kendali operasi BKO kepada bupatiwalikota yang meminta bantuan provinsi. Dalam hal ini, gubernur menggunakan peranan gandanya sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat memantau dan mengawasi bupatiwalikota. 3. Hal tersebut di atas berlaku terhadap gubernur pada tingkat provinsi, dan untuk kepentingan mobilisasi sumber daya nasional dalam operasi 206 pemadaman, Menhut dapat memerintah gubernur secara langsung untuk mememobilisasi sumber daya dari provinsinya ke provinsi yang meminta bantuan. 4. Akuntabilitas bupatiwalikota dalam pengelolaan pengendalian kebakaran hutanlahan adalah langsung kepada publik atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD KabupatenKota atau DPRD Provinsi bagi gubernur. Jika bupatiwalikota atau gubernur dengan UPT-PKHL-nya dinilai tidak melaksanakan tanggung jawabnya, publik atau masyarakat yang menilai dan memberikan sanksi, baik secara moral dengan pernyataan tidak percaya lagi kepada bupatiwalikota atau gubernur tersebut atau melalui mekanisme hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya, penghargaan perlu diberikan pula kepada bupatiwalikota atau gubernur yang telah mengelola dengan baik pengendalian kebakaran hutanlahannya. Penghargaan dapat diberikan oleh masyarakat, DPRD, gubernur bagi bupatiwalikota maupun oleh Presiden bagi gubernur. 5. Hubungan ke atas dari bupatiwalikota kepada gubernur adalah dalam bentuk pelaporan hasil pelaksanaan tanggung jawabnya dalam mengelola pengendalian kebakaran hutanlahannya dan permintaan bantuan sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut jika terjadi kekurangan sumber daya setelah seluruh sumber daya yang dimilikinya sudah dimobilisasi. 6. Mekanisme serupa berlaku pula untuk hubungan gubernur dengan Presiden, di mana gubernur bertanggung jawab atas keseluruhan pengelolaan pengendalian kebakaran hutanlahan di wilayahnya. Hubungan ke atas antara gubernur dengan Presiden adalah dalam bentuk pelaporan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan pengendalian kebakaran hutanlahannya dan permintaan bantuan sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut jika terjadi kekurangan sumber daya setelah seluruh sumber daya yang dimilikinya sudah dimobilisasi. 7. Urusan penanganan pasca kebakaran, terutama yustisi kebakaran hutanlahan, diserahkan sepenuhnya kepada organisasi penegak hukum Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan di setiap tingkatan. Pusdalkarhutnas dan UPT-PKHL di 207 masing-masing tingkatan hanya berperan memantau dan memberikan dukungan yang diperlukan oleh organisasi penegak hukum. Keterlibatan penyidik pegawai negeri sipil PPNS hanya bersifat membantu dan mendukung, terutama ketika pelanggaran hukum terjadi di wilayah kerjanya, serta tetap dalam komando penyidik Polri. 8. Sistem pengorganisasian yang dirancang juga memerlukan penyesuaian status pengelolaan sumber daya pengendalian kebakaran. Pada saat ini, Kementerian Kehutanan telah memiliki sebuah brigade pengendalian kebakaran hutan yang diberi nama Manggala Agni. Nama tersebut disarankan untuk tetap digunakan untuk semua jajaran pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia karena nama tersebut sudah cukup dikenal di dunia sebagai organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan Indonesia. Di dalam sistem pengorganisasian yang dirancang oleh penelitian ini, keberadaan Manggala Agni tersebut tetap diperhatikan, tetapi kedudukannya mengalami sedikit perubahan. Sekarang Manggala Agni berada di bawah UPT-PHKA BalaiBalai Besar KSDA atau Taman Nasional dengan garis komando dari tingkat terbawah pada Daerah Operasi Daops di kabupatenkota, ke atas di tingkat provinsi pada UPT-PHKA dan ke tingkat nasional pada Menteri Kehutanan melalui Direktur Jenderal PHKA. Penunjukan Kementerian Kehutanan sebagai organisasi penanggung jawab pengendaian kebakaran hutanlahan secara otomatis menjadikan Manggala Agni yang sudah ada sebagai modal dasar. Di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota, integrasi dan koordinasi Manggala Agni terhadap sistem pengorganisasian tersebut memiliki tiga alternatif, yaitu: a Manggala Agni tetap dalam komando dan tanggung jawab Kementerian Kehutanan dengan status penempatan atau kepegawaian pada UPT-PHKA dengan tanggung jawab utama pada kawasan konservasi. Jika diperlukan untuk operasi pengendalian kebakaran hutanlahan, pada tingkat kabupatenkota, UPT-PKHL KabKota atas perintah bupatiwalikota dapat meminta langsung kepada Daops Manggala Agni terdekat dan pada tingkat provinsi, UPT-PKHL Provinsi atas perintah gubernur dapat meminta 208 langsung kepada UPT-PHKA setempat atau terdekat sumber daya Manggala Agni tersebut. Selanjutnya, sumber daya Manggala Agni tersebut di bawah kendali operasi BKO UPT-PKHL tersebut dengan tanggung jawab pembiayaan operasional oleh Kementerian Kehutanan melalui Pusdalkarhutnas kepada UPT-PKHL. b Penempatan sumber daya Manggala Agni dan status kepegawaiannya, yang mencakup pembinaan karir, gajiupah, dan berbagai pembiayaan rutin lainnya tetap di bawah Kementerian Kehutanan melalui UPT-PHKA, tetapi komando operasional dan seluruh pembiayaan operasional ditanggung oleh anggaran APBD Provinsi dan APBD KabKota di bawah Dinas Kehutanan atau instansi yang ditunjuk gubernur dan bupatiwalikota UPT-PKHL. c Semua sumber daya Manggala Agni ditempatkan dan di bawah komando serta tanggung jawab UPT-PKHL, termasuk status kepegawaian, pembinaan karir, gajiupah dan seluruh pembiayaan operasionalnya. UPT-PKHL Provinsi bertanggung jawab atas sumber daya Manggala Agni di tingkat provinsi dan UPT-PKHL KabKota bertanggung jawab atas sumber daya Manggala Agni di Daops. Pada alternatif c, Manggala Agni yang sumber dayanya ada di Daops di tingkat kabupatenkota diserahkan kepada UPT-PKHL KabKota, dan dengan demikian status kepegawaiannya serta operasionalnya diserahkan kepada UPT-PKHL KabKota. Alternatif c tersebut memberi UPT-PKHL modal awal berupa sumber daya dari Manggala Agni sehingga langkah ke depannya tinggal meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya untuk mencapai tingkat sesuai dengan kebutuhan setempat, sedangkan alternatif a dan b akan memaksa UPT-PKHL, terutama di kabupatenkota untuk memulai membangun kapasitas sumber dayanya sendiri, karena Manggala Agni tersebut tidak berada di bawah komando langsungnya. Alternatif a akan tetap memberikan beban kepada Pemerintah Pusat, alternatif b akan membagi beban antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah provinsi dan kabupatenkota, sedangkan alternatif c akan memberikan beban pengelolaan sumber daya pengendalian kebakaran hutanlahan pada pemerintah provinsi dan pemerintah 209 kabupatenkota, terutama dalam hal manajemen sumber daya manusia seperti gajiupah, dan manajemen sarana dan prasarana seperti pengadaan, operasional dan pemeliharaan. Pemilihan alternatif tersebut masih memerlukan kajian lebih lanjut, sambil menunggu terbitnya undang-undang tentang kepegawaian sebagai revisi terhadap UU nomor 43 tahun 1999, yang dianggap masih sentralistik dan tidak sesuai lagi dengan semangat dan tujuan desentralisasi Dwiyono 2011. Sumber daya pengendalian kebakaran juga telah dimiliki oleh organisasi-organisasi pemerintah lainnya baik di tingkat nasional, tingkat provinsi maupun tingkat kabupatenkota. Status kepemilikan sumber daya tersebut, baik SDM maupun peralatan pengendalian kebakaran menghadapi tiga alternatif yang serupa dengan yang ada pada Manggala Agni. Sistem pengorganisasian dirancang untuk tetap memberikan tanggung jawab pengelolaan pengendalian kebakaran hutanlahan pada instansi pemangku kawasan hutanlahan. Oleh sebab itu, instansi-instansi tersebut tetap harus memiliki dan mengelola sumber daya untuk pengendalian kebakaran di kawasan pemangkuannya. Rancangan sistem pengorganisasian ini memberikan penegasan mengenai keharusan adanya mekanisme tertulis yang disepakati berupa rencana mobilisasi sumber daya pengendalian kebakaran yang mengatur pengerahan sumber daya yang ada di instansi-instansi tersebut di bawah komando Pusdalkarhutlanas dan UPT-PKHL pada setiap tingkatannya. Di samping itu, keberadaan instansi atau organisasi yang sekarang menangani pengendalian kebakaran hutanlahan yaitu UPTD-PKHL, seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, yang merupakan SKPD dan Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla yang merupakan organisasi tersendiri dan bukan SKPD di setiap provinsi dan kabupatenkota, dalam rancangan sistem pengorganisasian ini harus dilebur ke dalam UPT-PKHL yang berada di dalam instansi yang ditunjuk gubernur dan bupatiwalikota di setiap provinsi dan kabupatenkota. Peleburan tersebut mencakup sumber daya yang ada di organisasi atau instansi tersebut seperti SDM, sarana dan prasarananya 210 maupun anggaran yang statusnya dipindahkan atau dimutasi kepada UPT- PKHL. 9. Peranan para pihak non-pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutanlahan diintegrasikan di dalam sistem pengorganisasian. Hal ini terutama untuk alasan-alasan antara lain: a Meningkatkan akuntabilitas sosial dalam penyelenggaraan pengendalian kebakaran. Keterlibatan masyarakat akan mendorong perbaikan kinerja pemerintah Antlov Watterberg 2010. 8 b Mewujudkan hubungan yang lebih baik antara negara dengan masyarakat state-society relation. Sebelumnya masyarakat kurang mendapat tempat dalam pembuatan kebijakan atau keputusan dan lebih berposisi sebagai obyek dari kebijakan atau keputusan pemerintah, termasuk dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Di era Reformasi hubungan semacam itu bergeser di mana masyarakat mengambil peranan cukup signifikan sebagai bagian dari pembuat kebijakan atau keputusan Hidayat 2010. Keterlibatan masyarakat yang demikian ini akan membuat mereka ikut merasa bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan pengendalian kebakaran hutanlahan. Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan dirancang untuk memberikan peluang bagi keterlibatan masyarakat yang lebih jelas. Peranan utama memang masih dipegang oleh pemerintah dan keterlibatan masyarakat dan lembaga non-pemerintah tidak tergambarkan secara eksplisit di dalam struktur organisasi yang ditawarkan, tetapi sebenarnya masyarakat dengan berbagai disiplin ilmu dan tingkat kapasitas dan kapabilitasnya merupakan bagian dari unsur pendukung di tiap tingkatan. Keterlibatan masyarakat tertampung di dalam Forum PKHL di tingkat nasional maupun UPT-PKHL di setiap tingkatan yang harus memberikan ruang kepada tenaga ahli dan wakil-wakil masyarakat untuk berperan serta di dalam perumusan kebijakan. Di samping itu, masyarakat dan lembaga non-pemerintah berperanan memberikan pemantauan dan pengawasan kepada pemerintah melalui berbagai mekanisme yang ada, baik secara moral maupun secara yuridis. 8 A kuntabilitas sosial adalah kewajiban pemerintah dan DPRD yang diberi kuasa oleh warga untuk menyajikan pertanggungjawaban dan jawaban atas pelaksanaan tanggung jawab kepada mereka yang memberi amanah, yaitu masyarakat. 211 Posisi dan peranan masyarakat sangat penting pada tingkatan di bawah kabupatenkota, terutama di tingkat desa. Prinsip uniformitas struktur yang menyamakan struktur organisasi pemerintahan desa sekarang sudah ditinggalkan dan dengan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desa diberikan kebebasan untuk menyusun struktur organisasi pemerintahannya sendiri sesuai dengan kebutuhan Rasyid 2009. Langkah-langkah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup berupa pembentukan kelompok-kelompok masyarakat peduli api MPA harus lebih ditingkatkan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Australia yang lebih menitikberatkan kekuatan sumber daya pengendalian kebakarannya pada para relawan yang terdiri dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam rancangan ini, MPA menjadi bagian dari struktur Pusdalkarhutla pada sumber daya manusia. Sangat diharapkan bahwa MPA dapat menjadi bagian dari struktur pemerintahan desa atau setidaknya menjadi bagian dari uraian tugas salah satu bagian dari struktur pemerintahan desa tersebut. 5.5.4. Prasyarat Bagi Sistem Pengorganisasian Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang diusulkan penelitian ini akan dapat berjalan dengan baik jika dan hanya jika memenuhi beberapa prasyarat seperti diuraikan di bawah ini. 1 Pemahaman dan persepsi yang tepat tentang desentralisasi dan otonomi daerah Sistem pengorganisasian tersebut di atas memberlakukan hubungan koordinatif antara tingkat nasional, provinsi sampai kabupatenkota karena sistem yang diterapkan dalam desentralisasi dan otonomi daerah tidak memungkinkan lagi diterapkannya komando dari atas ke bawah. Namun demikian, prinsip kesatuan komando tetap harus dipegang untuk menghindarkan kesimpangsiuran. Prinsip tersebut menghendaki kesamaan persepsi bahwa meskipun masing-masing tingkatan diberikan kebebasan menetapkan strategi dan taktik pengelolaan kebakarannya, bukan berarti bahwa masing-masing kemudian bebas melaksanakan atau tidak melaksanakan kebijakan di atasnya. Keberadaan Forum 212 PKHL diharapkan dapat menjadi ajang diskusi untuk mempertemukan kepentingan dari masing-masing tingkatan. Kekhawatiran sementara pimpinan organisasi di provinsi dan kabupatenkota tentang sentralisasi yang membatalkan prinsip-prinsip otonomi daerah, seperti terungkap dalam wawancara, dapat dibicarakan di dalam forum tersebut. Sistem pengorganisasian yang akan dibangun dari hasil penelitian ini tidak akan menentang prinsip-prinsip otonomi di negara kesatuan, yang menurut Hidayat 2010 terutama adalah berupa pembagian wewenang. Hal ini bermakna bahwa rantai komando tetap sesuai dengan prinsip otonomi dan sifat hubungannya adalah hubungan sinergistik. Hubungan sinergistik adalah hubungan kegiatan kooperatif subsistem-subsistem semi independen yang bersama-sama menghasilkan keluaran output total yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah output mereka masing-masing disatukan secara independen Winardi 2005. Kesatuan komando dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan ini tidak berarti bahwa setiap organisasi di level atas dapat seenaknya memerintahkan organisasi-organisasi di level bawahnya, melainkan tetap menghormati hirarki pertanggungjawaban. Sebagai contoh, Direktur PKH di tingkat nasional tidak dapat mengomando langsung Kepala Dinas di provinsi, Dinas Kehutanan sekalipun, apalagi Kepala Dinas di kabupatenkota. Pemahaman bahwa otonomi daerah sebagai pemisahan atau pemberian kewenangan penuh kepada daerah dan pemerintah di atasnya tidak boleh campur tangan kepada pemerintah daerah di bawahnya juga harus diluruskan. Padahal menurut landasan konsepsi mengenai hubungan pusat dan daerah dinyatakan bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah harus melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas capacity building terhadap kabupatenkota yang ada di wilayahnya agar otonomi daerah kabupatenkota tersebut bisa berjalan secara optimal Suwandi 2009. Jika hal tersebut dipahami dan dipersepsi dengan tepat, rancangan sistem pengorganisasi ini pada dasarnya menganut prinsip kesatuan komando dari tingkat nasional 213 sampai kabupatenkota, tetapi memberikan kebebasan kepada provinsi dan kabupatenkota untuk implementasi komando tersebut. Pemahaman dan persepsi yang tepat mengenai prinsip-prinsip otonomi daerah dan berbagai peraturan yang bersangkutan dapat dibangun melalui penyiapan para calon pimpinan dan staf pemerintahan, hal yang tampaknya terlupakan di era Reformasi ini. Penyiapan yang dimaksud adalah adanya persyaratan yang ketat untuk rekrutmen di mana pemahaman dan persepsi yang tepat tersebut menjadi salah satunya, dan sistem pendidikan dan pelatihan yang mampu membekali mereka dengan pemahaman dan persepsi yang tepat tersebut. Pendidikan dan pelatihan kepemimpinan diklatpim dari berbagai tingkat sampai dengan kursus Lemhanas yang memberikan materi berisi berbagai aspek dari desentralisasi dan otonomi daerah harus diberlakukan tidak hanya bagi para calon pimpinan organisasi-organisasi SKPD melainkan juga bagi para calon pimpinan organisasi di tingkat nasional dan para calon kepala daerah sebelum pemilukada. 2 Landasan yang kuat bagi pembangunan sistem pengorganisasian Kelemahan utama sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan sekarang ini adalah belum adanya landasan pembentukan pengorganisasian yang terpadu untuk semua tingkatan. Di tingkat nasional sampai saat ini belum jelas pengorganisasiannya karena memang belum dilakukan pembentukan. Di tingkat provinsi dan kabupatenkota, pengorganisasian dibentuk dengan landasan yang sama di masing-masing tingkatan, yaitu peraturan gubernur di provinsi dan peraturan bupatiwalikota di kabupatenkota. Peraturan gubernur maupun peraturan bupatiwalikota tersebut ternyata tidak memiliki kekuatan untuk menjadikan organisasi yang dibentuk tersebut sebagai SKPD. Untuk itu, penempatan organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan sebagai bagian dari struktur SKPD yang ada secara otomatis menjadikan organisasi tersebut sebagai bagian dari SKPD, sehingga anggaran belanja organisasi dapat disediakan melalui APBD maupun sumber-sumber lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan. Landasan hukum yang kuat juga perlu diberikan kepada organisasi yang diberi wewenang dan tanggung jawab sebagai koordinator di tiap tingkatan agar 214 dapat bergerak bebas dalam pengendalian kebakaran di semua fungsi kawasan hutan dan lahan. Selama ini, instansi kehutanan, baik unit pelaksana teknis UPT Kemenhut yakni Balai BesarBalai KSDA atau TN maupun dinas kehutanan provinsi dan kabupaten berperan lebih besar daripada organisasi pemerintah lainnya dalam pengendalian kebakaran. Hal ini tampak pada persentase kejadian kebakaran yang relatif lebih rendah di kawasan hutan daripada di lahan. Organisasi-organisasi tersebut telah memperoleh kepercayaan dari organisasi pemerintah yang lain maupun masyarakat untuk menangani kebakaran tidak hanya di kawasan hutan, melainkan juga di lahan, tetapi organisasi kehutanan tersebut tidak memiliki landasan hukum untuk secara langsung melakukan pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. Keterlibatan organisasi-organisasi tersebut dalam pengendalian kebakaran di luar kawasan hutan biasanya karena permintaan bantuan oleh instansi pemangku lahan atau karena instuksi gubernur atau bupatiwalikota. Oleh sebab itu, sistem pengorganisasian yang diusulkan perlu memberikan landasan hukum yang mengijinkan organisasi yang ditunjuk dan diberi wewenang dan tanggung jawab sebagai koordinator untuk dapat “memasuki” semua fungsi kawasan hutan dan lahan. 3 Komitmen yang kuat untuk pengembangan organisasi Organisasi di masa kini harus mampu menghadapi perubahan yang begitu cepat kondisi lingkungannya, oleh sebab itu organisasi perlu beradaptasi dengan kondisi lingkungan pasar yang berubah-ubah dan pada saat yang sama perlu mengatasinya dengan pembaruan dan bukan sekadar reaktif Brown Harvey 2006. Organisasi terus-menerus berinteraksi dengan lingkungannya, bukan hanya lingkungan setempat melainkan sampai pada lingkungan global. Kebakaran hutanlahan telah menjadi masalah nasional dan global. Hal ini harus dipahami dan disadari oleh setiap pembuat kebijakan di setiap tingkatan. Para pembuat kebijakan perlu berkomitmen kuat bahwa masalah kebakaran hutanlahan harus ditangani bersama oleh semua tingkatan. Mereka harus memiliki komitmen untuk mengubah orientasi organisasinya kepada orientasi nasional dan global, mengubah dari sentimen kedaerahannya menjadi sentimen 215 nasional dan global. Oleh sebab itu, agar rancangan sistem pengorganisasian tersebut dapat diterapkan diperlukan kemauan para pembuat kebijakan, termasuk para pimpinan organisasi-organisasi yang terkait di semua tingkatan untuk mau mengubah organisasinya dari organisasi yang berjalan biasa-biasa saja menjadi organisasi yang berjalan sesuai dengan kebutuhan lingkungannya, sehat dan efektif. Salah satu wujud dari komitmen tersebut adalah kemauan para pembuat kebijakan untuk melakukan perubahan yang terkait dengan kebutuhan vital organisasi yaitu anggaran. Mereka harus menciptakan suatu mekanisme penyediaan dan penggunaan serta pertanggungjawaban anggaran yang menjamin tersedianya dana dengan cepat pada waktu diperlukan untuk pengendalian kebakaran. Penulis dalam kunjungan ke Markas NIFC di Boise, Idaho, Amerika Serikat pada tahun 1997 memperoleh penjelasan bahwa NIFC memiliki mekanisme penyediaan anggaran yang menjamin tersedianya dana pemadaman kebakaran siap dalam satu-dua jam, sehari, dan beberapa hari ke depan sesuai dengan kebutuhan dan dapat dikeluarkan dengan persetujuan Direktur NIFC. Komitmen lain yang diperlukan dari para pembuat kebijakan, terutama para pembuat peraturan baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan- peraturan teknis, untuk mau membuat kebijakan-kebijakan dan peraturan- peraturan yang rinci. Kebijakan dan peraturan yang akan menjadi landasan kerja organisasi harus dibuat cukup rinci dan jelas, termasuk tafsirannya, sehingga setiap pihak yang berkepentingan dengan pengendalian kebakaran hutanlahan, terutama yang menjalankan organisasi, masing-masing mengetahui dengan jelas batasan-batasan wewenangnya, tanggung jawabnya, tugasnya, fungsinya, hak- haknya, kewajiban-kewajibannya, dan konsekuensi-konsekuensinya. 5.5.5. Kebutuhan Organisasi Setelah Terbentuk Setelah sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan terbentuk dari tingkat nasional sampai dengan kabupatenkota, berbagai hal perlu dilakukan agar organisasi yang terbentuk tersebut dapat berfungsi secara efektif dan efisien. Brown dan Harvey 2006 mengarahkan bahwa organisasi di masa 216 mendatang harus mengembangkan diri. Arahan Brown dan Harvey tersebut memang ditujukan lebih kepada organisasi berorientasi keuntungan profit oriented atau perusahaan, namun prinsip-prinsipnya dapat diadopsi pada organisasi pemerintah. Arahan tersebut adalah bahwa organisasi masa depan perlu melakukan rekayasa ulang reengineering, menyesuaikan kembali strukturnya restructuring, dan memangkas hirarki flattening the hierarchy untuk menghadapi tekanan pasar. Brown dan Harvey 2006 menyarankan bahwa organisasi harus fleksibel dan dapat berubah dalam kerangka waktu tahunan, bulanan, mingguan, atau harian. Saran tersebut tampaknya kurang cocok diterapkan pada organisasi pemerintah, termasuk organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia, yang lebih mengutamakan pelayanan publik Al Gore 1996; Ramses La Bakry 2009. Oleh sebab itu, pengembangan organisasi pemerintah tentunya dilakukan agak berbeda, namun prinsip-prinsip pengembangan organisasi non- pemerintah dapat diadopsi dengan beberapa penyesuaian. Perubahan dalam jangka pendek dapat dilakukan bukan pada sistem pengorganisasian pengendalian kebakarannya tetapi hanya pada pengorganisasian di lokasi kebakaran yang dikenal dengan incident management system IMS yang mencakup mobilisasi sumber daya dan sistem komando kejadian incident command systemICS ketika operasi pemadaman kebakaran hutanlahan. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang dibangun berdasarkan penelitian ini perlu dikembangkan secara sistematis agar efektif dan efisien. Birokrasi yang selama ini dipandang secara negatif karena dipandang lamban, tidak efektif, tidak efisien dan tidak produktif Dwiyanto 2011, harus diperbaiki. Beberapa hal yang perlu dilakukan terhadap pengorganisasian tersebut antara lain adalah seperti diuraikan di bawah ini. 1 Penetapan tujuan dan sasaran organisasi Hampir semua penulis tentang pengembangan organisasi menyarankan bahwa langkah pertama atau utama untuk menjadikan sebuah organisasi itu merupakan organisasi masa depan the organization of the future yang sehat Beckhard 1997, kompetitif dan inovatif Brown Harvey 2006, dan efektif dan 217 efisien Al Gore 1996 langkah utamanya adalah menetapkan tujuan dan sasaran organisasi secara tepat. Pencakupan tujuan tersebut, selain memberikan panduan bagi pengelola organisasi, juga akan memberikan landasan bagi organisasi tersebut untuk dapat memperoleh sumber pendanaan anggaran. Tujuan dan sasaran Pusdalkarhutla di masing-masing tingkatan diwujudkan dalam visi dan misi sesuai tingkatannya, tetapi berada dalam satu alur di mana visi dan misi Pusdalkarhutla di tingkat kabupatenkota diarahkan untuk mencapai visi dan misi tingkat provinsi dan seterusnya visi dan misi di tingkat provinsi harus merupakan jalan menuju tercapainya visi dan misi nasional. Visi dan misi biasanya masih sangat global dan agar dapat dipahami oleh semua pihak terutama yang terlibat dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan, visi dan misi di masing-masing tingkatan harus disusun dalam rencana strategis dan rencana operasional. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa tingkat nasional harus menjadi acuan bagi tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota, maka penetapan tujuan dan sasaran yang jelas harus segera dilakukan di tingkat nasional dan disusul oleh tingkat provinsi sebelum tingkat kabupatenkota. Rencana-rencana tersebut harus secara gamblang menguraikan strategi, program dan kegiatan dari setiap bidang dari pengendalian kebakaran hutanlahan yang meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca-kebakaran. Visi Dit. PKH saat ini sebenarnya bukan hanya visi Dit. PKH melainkan visi negara ini, karena visi tersebut tidak mungkin dilaksanakan sendirian oleh Dit. PKH. Visi tersebut dapat diangkat menjadi visi Pusdalkarhutlanas yang menurut sistem pengorganisasian yang diusulkan penelitian ini mewakili negara karena menjadi organisasi yang menangani kebakaran hutanlahan secara nasional. Namun demikian, agar visi tersebut operasional perlu ditambahkan pembatas yang jelas, sehingga visi tersebut menjadi berbunyi, “Terwujudnya sistem pengendalian kebakaran hutanlahan yang menjamin terlindungnya jiwa, raga dan harta benda masyarakat Indonesia dari kebakaran hutanlahan dan dampak negatifnya.” 2 Struktur organisasi yang lengkap tetapi ramping 218 Bechard 1997 mengarahkan bahwa organisasi yang sehat menetapkan strukturnya dengan mode “form follows function”, artinya struktur dan mekanisme organisasi ditentukan oleh fungsi atau pekerjaan yang akan dilakukan. Organisasi sebaiknya dibuat seramping mungkin Al Gore 1996. Penyusunan struktur organisasi memerhatikan elemen-elemen yang umumnya ada pada organisasi, yaitu: the operating core, the strategic apex, the middle line, the technostructure, dan the supporting staff Winardi 2005. Prinsip dasarnya adalah komando diperpendek jalurnya dari atas ke bawah, ide atau gagasan dari bawah juga diperpendek jalurnya untuk sampai ke atas dan mendapatkan persetujuan. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan struktur organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan sebaiknya adalah kombinasi dari bidang- bidang dalam pengendalian kebakaran, yang mencakup pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca-kebakaran dengan fungsi-fungsi manajemen terutama perencanaan, operasi, dan pengawasan. Bentuk strukturnya seperti dikemukakan di atas adalah kesatuan komando unity of command. Pemilihan model struktur ini mempertimbangkan beberapa hal seperti diarahkan Davis 1979 yaitu tiga dimensi dasar untuk pemilihan struktur yaitu: 1 fungsional, 2 produk, dan 3 wilayah. Organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan bukan organisasi yang menghasilkan suatu produk, sehingga struktur berdasarkan tahapan pembuatan suatu produk dipandang kurang cocok. Wilayah dapat menjadi dimensi dalam menyusun struktur organisasi pengendalian kebakaran, tetapi dimensi ini digunakan pada struktur organisasi pada skala besarnya. Dimensi wilayah digunakan untuk membedakan tingkatan atau hirarki organisasi antar tingkatan pemerintahan yakni nasional, provinsi dan kabupatenkota, sedangkan struktur di masing-masing wilayah lebih cocok menggunakan dimensi fungsional. Fungsi- fungsi yang ada dalam struktur adalah berupa bidang-bidang dalam pengendalian kebakaran dan fungsi-fungsi manajemen. Model struktur organisasi menurut Davis 1979 ada dua macam yaitu unity of command dan balance of power. Balance of power biasanya diterapkan pada dimensi produk dan wilayah, sedangkan unity of command pada fungsional. Model struktur pada sistem pengorganisasian yang dirancang dalam penelitian ini adalah fungsional maka unity of command dianggap yang tepat. 219 Tanggung jawab tertinggi pengendalian kebakaran hutanlahan di masing- masing tingkatan adalah ada pada presiden, gubernur dan bupatiwalikot a, maka kesatuan komando harus dibangun antar ketiga pemimpin tersebut. Jika masing- masing pemimpin tersebut tidak dapat menjalankan komando hari-ke-hari day to day command, maka mereka harus menunjuk satu pemegang komando atas namanya. Penunjukan pemegang komando tersebut dapat dilakukan secara permanen ataupun kasus per kasus, yang terpenting adalah pemberitahuan yang jelas kepada semua pihak yang terlibat agar komando dapat diterima oleh penerima yang tepat dan dituruti. Pusdalkarhutlanas dan UPT-PKHL di masing- masing tingkatan merupakan pemegang komando hari-ke-hari tersebut.. Tahap selanjutnya, yang sering dilupakan adalah membuat uraian tugas dan fungsi serta wewenang dan tanggung jawabnya secara rinci untuk setiap unsur dalam struktur. Uraian tersebut akan menjadi landasan untuk menentukan persyaratan bagi para calon pengisi masing-masing jabatan tersebut, menjadi pedoman mekanisme hubungan antar unsur, dan menjadi kriteria dan indikator keberhasilan masing-masing unsur. Uraian tugas secara rinci tersebut belum dibuat di dalam penelitian ini. 3 Pembangunan kapasitas organisasi Pembangunan kapasitas organisasi yang terkait dengan lingkungan hidup dibedakan menjadi dua hal yaitu capacity building dan capacity development Muller-Glodde 1994. Capacity building dipahami sebagai penciptaan dan penguatan kapasitas individu dan organisasi pada level mikro, sedangkan capacity development lebih menekankan pada proses di mana individu meningkatkan kapasitasnya untuk bertindak dan organisasi atau struktur kelembagaan meningkatkan efisiensinya. Penulis memahami hal tersebut dengan perkataan lain bahwa capacity building merupakan penyiapan “bekal” bagi individu atau organisasi, sedangkan capacity development merupakan kemampuan menggunakan “bekal” tersebut untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi. Kedua-duanya harus dilakukan setiap individu dalam organisasi agar memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan secara bersama-sama membawa organisasi mencapai tujuannya. 220 Dalam konteks pengorganisasian kebakaran hutanlahan, terdapat beberapa kapasitas organisasi yang harus dikembangkan. Sumber daya manusia, sarana dan prasarana, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengembangan jejaring merupakan beberapa kapasitas yang tersebut. Sumber daya manusia SDM pengendalian kebakaran hutanlahan meliputi regu-regu pengendali kebakaran, para pimpinan dan staf administrasi, para ahli dari berbagai disiplin ilmu, personil penegak hukum, dan tenaga pendukung. Sarana dan prasarana pengendalian kebakaran meliputi peralatan dan perlengkapan untuk administrasi dan teknis operasional pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca kebakaran. Ilmu pengetahuan dan teknologi mencakup seluruh disiplin yang terkait dengan kebakaran hutanlahan, bukan hanya ilmu dan teknologi kebakaran, melainkan juga disiplin-disiplin ilmu pendukung seperti sosiologi, antropologi, hukum, ekonomi, sosial, politik, kesehatan, dan sebagainya. Di masa depan, pengembangan organisasi dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan harus mencakup suatu sistem pengembangan sarana dan prasarana maupun sumber daya manusia bagi semua aspek pengendalian kebakaran. Untuk mendukung hal tersebut, maka penelitian dan pengembangan research and development yang menangani sarana dan prasarana serta pendidikan dan pelatihan education and training menjadi bagian penting dalam rancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan. Pada rancangan sistem pengorganisasian yang diusulkan tersebut, keduanya masih tercakup dalam bidang tugas badan-badan yang menanganinya di Kementerian Kehutanan, dengan lebih meningkatkan porsi bagi pengendalian kebakaran hutanlahan. 4 Peningkatan hubungan antar organisasi Kelemahan yang ada dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia sekarang ini adalah kurang dekatnya hubungan antar organisasi-organisasi yang terlibat, sebagaimana ditunjukkan pada analisis hubungan antar organisasi di atas. Kurang dekatnya hubungan tersebut tidak hanya terjadi antara tingkatan, melainkan juga terjadi di dalam satu tingkatan. Salah satu hal yang perlu dibangun dalam sistem pengorganisasian pengendalian 221 kebakaran hutanlahan adalah peningkatan kedekatan hubungan antar organisasi atau instansi yang terlibat baik pada satu tingkatan maupun antar tingkatan. Untuk itu, prasyarat berupa pemahaman dan persepsi yang benar mengenai otonomi daerah benar-benar harus dipenuhi agar hubungan terutama antar tingkatan dapat berjalan dekat dan harmonis. Hubungan antar organisasi sangat penting terutama dalam penyediaan sumber daya pengendalian kebakaran. Sumber daya yang meliputi SDM, sarana dan prasarana, dana, ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi, dan sebagainya mungkin dimiliki oleh organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan dalam jenis dan jumlah yang kurang dari yang dibutuhkan pada suatu waktu diperlukan. Di sisi lain, organisasi-organisasi lain mungkin memiliki sumber daya tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme penggalangan dan pengerahan sumber daya pengendalian kebakaran yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berkaitan, yang disebut Rencana Mobilisasi Sumberdaya Pengendalian Kebakaran Hutanlahan. Hal ini belajar dari Amerika Serikat yang memiliki Fire Suppression Mobilization Plan FSMP, yakni sebuah dokumen yang mengatur mekanisme penggalangan dan pengerahan sumber daya, tetapi khusus untuk pemadaman kebakaran. Diagram model konseptual mobilisasi sumber daya tersebut disajikan pada Lampiran 19. Di samping itu, perlu pula dikembangkan suatu sistem komando yang diterapkan ketika diadakan operasi pengendalian kebakaran, khususnya pemadaman kebakaran, yang disebut sistem komando operasi pemadaman SKOP kebakaran hutanlahan. Sistem komando ini diadopsi dari sistem komando kejadian atau incident command system ICS yang berlaku di negara- negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia. Peningkatan hubungan antar organisasi dapat ditempuh antara lain melalui pelatihan simulasi mobilisasi sumber daya maupun SKOP kebakaran hutanlahan tersebut di atas. Pelatihan tersebut melibatkan berbagai pihak yang terkait, yang sudah tercakup di dalam dokumen-dokumen tersebut. Pelatihan simulasi akan membuat pihak-pihak yang terkait mengetahui, memahami dan mampu serta 222 terbiasa melakukan peranannya dalam suatu operasi pengendalian kebakaran secara benar dan bertanggung jawab. 5 Skema pendanaan Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang ada sekarang berjalan kurang optimal disebabkan antara lain oleh lemahnya anggaran akibat dari tidak jelasnya skema pendanaan. Landasan hukum pembentukan Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla di lokasi penelitian pada amar mengenai pendanaan hanya menyebutkan bahwa anggaran untuk organisasi tersebut dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah APBD dan sumber- sumber lain yang tidak mengikat. Namun demikian, status organisasi yang bukan SKPD tidak memungkinkan organisasi tersebut untuk memperoleh anggaran dari sumber manapun kecuali anggaran yang “disisihkan” oleh instansi-instansi anggotanya. Sistem pengorganisasian yang dirancang oleh penelitian ini menghapus Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla yang ada sekarang dan tidak menggantinya dengan organisasi serupa yang baru antara lain karena pertimbangan sulitnya membentuk SKPD baru. Sistem yang dirancang ini meletakkan organisasi pengelola pengendalian kebakaran hutanlahan ke dalam SKPD yang ada yakni instansi yang menangani kehutanan atau salah satu instansi lain yang ditunjuk oleh gubernur atau bupatiwalikota. Penambahan sub-organisasi pada SKPD tersebut tentu akan membebani SKPD yang bersangkutan dan beban tersebut tentunya harus diikuti dengan penambahan jumlah anggaran. Penambahan jumlah anggaran ini dapat dilakukan dengan skema antara lain sebagai berikut: 1 Penambahan anggaran bagi instansi yang ditunjuk mengelola pengendalian kebakaran hutanlahan di dalam APBD. Pemerintah daerah provinsi dan kabupatenkota harus memiliki komitmen kuat untuk mengalokasikan anggaran bagi pengendalian kebakaran hutanlahan sebagai salah satu wujud kepeduliannya terhadap permasalahan lingkungan hidup. 2 Pengalihan pengelolaan sumber daya, terutama SDM dari Manggala Agni yang sudah ada dan penambahan SDM baru untuk pengendalian kebakaran hutanlahan tentu menambah alokasi dasar untuk gaji atau upah pegawai. 223 Begitu pula halnya dengan pengalihan pengelolaan sarpras pengendalian kebakaran hutanlahan dan pengadaan sarpras baru akan menambah kebutuhan anggaran untuk operasi dan pemeliharaan O M. Hal tersebut pasti meningkatkan kebutuhan fiskal daerah dan tampaknya cukup sulit untuk diimbangi oleh kapasitas fiskal daerah sehingga diperlukan dukungan anggaran dan seperti diatur pada Bagian Ketiga dari UU nomor 33 tahun 2004 dapat diusulkan berupa Dana Alokasi Umum DAU. 3 Program atau kegiatan teknis tertentu, seperti peningkatan kualitas SDM, pengadaan sarpras, dan kebutuhan operasi pengendalian kebakaran hutanlahan dapat dimasukkan ke dalam kriteria teknis sesuai Pasal 40 Ayat 4 UU nomor 33 tahun 2004 oleh Kementerian Kehutanan sehingga instansi yang ditunjuk gubernur atau bupatiwalikota tersebut dapat menerima Dana Alokasi Khusus DAK. 4 Pusdalkarhutlanas bersama-sama UPT-PKHL provinsi maupun kabupatenkota aktif mencari peluang sumber dana dari pihak-pihak lain baik di dalam maupun luar negeri untuk mendanai program atau kegiatan-kegiatan yang mendukung pengembangan pengelolaan pengendalian kebakaran hutanlahan. Program-program yang mendapat peluang untuk memperoleh bantuan dana ataupun bantuan teknis biasanya adalah pendidikan dan pelatihan, penelitian, dan pengadaan sarpras. VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

1. Titik panas hotspot dapat digunakan sebagai indikator kebakaran hutanlahan dengan korelasi 0,53. Berdasarkan hal tersebut, kecenderungan kebakaran hutanlahan di Indonesia meningkat dalam 10 tahun terakhir dengan laju rata-rata 39,26 untuk seluruh Indonesia, 47,15 di Riau dan 111,71 di Kalimantan Barat. 2. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupatenkota menurut profil organisasinya belum semua berperan. Organisasi pemerintah yang menangani kehutanan di setiap tingkatan memegang lebih banyak posisi utama pada peranan-peranan di dalam pengendalian kebakaran hutanlahan dan memperoleh kepercayaan tertinggi untuk mendapat wewenang dan tanggung jawab sebagai koordinator pengelolaan pengendalian kebakaran hutanlahan baik di tingkat nasional, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupatenkota. 3. Koordinasi integratif masih relatif lemah baik pada tiap tingkat nasional, provinsi dan kabupatenkota maupun antar tingkatan. Koordinasi yang relatif baik terjadi hanya di tingkat nasional pada aspek administratif dan perencanaan di antara 70 organisasi. Hal ini juga mengakibatkan kurang terjadinya integrasi kebijakan dan lemahnya pengelolaan pengendalian kebakaran hutanlahan di lapangan. Pertimbangan utama dalam koordinasi adalah keterkaitan status kawasan 85,7 di Riau , 55,5 di Kalbar dan pertemanan 57,1 Riau, 50 Kalbar. 4. Kapasitas organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat nasional dan provinsi relatif sedang, tetapi di tingkat kabupatenkota masih relatif rendah, yang ditunjukkan oleh tingkat efektivitas organisasi yang mencapai 58,99 di tingkat nasional, 52,50 di tingkat provinsi di Riau dan 55,61 di Kalbar, sedangkan di kabupatenkota 222 di Provinsi Riau 46,63 dan di Provinsi Kalbar 47,75 dari kapasitas optimal untuk dapat secara efektif mengelola pengendalian kebakaran hutanlahan. Organisasi yang memiliki kapasitas tertinggi adalah organisasi yang menangani kehutanan, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupatenkota. 5. Berdasarkan hasil analisis terhadap posisi dan peranan, tingkat koordinasi dan kapasitas organisasi serta kriteria antara lain memiliki motivasi pelayanan publik, keterlibatan emosional dengan pihak lain dan obyek yang dikelola, modal sosial, dan sistem yang sehat serta mendapat kepercayaan dan mampu membangun kepercayaan, maka organisasi yang diberi wewenang dan tanggung jawab sebagai koordinator dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan adalah instansi yang menangani kehutanan baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupatenkota sebagai sebuah jejaring yang terpadu dalam koordinasi maupun kebijakan.

6.2. Saran

1. Titik panas hotspot belum dapat menggambarkan kondisi sebenarnya dari kebakaran hutanlahan sehingga tidak dapat digunakan sebagai landasan utama bagi pengelolaan kebakaran hutanlahan. Landasan utama yang seharusnya digunakan adalah kondisi faktual dari kebakaran hutanlahan di lapangan yang dapat diperoleh hanya melalui sistem pencatatan yang akurat oleh sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang kredibel. 2. Pembentukan organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan sesuai dengan rancangan dalam penelitian ini harus dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang kuat, sehingga disarankan pembentukan organisasi tersebut menggunakan peraturan pemerintah atau serendah- rendahnya peraturan Presiden, yang mengintegrasikan semua tingkatan dari nasional sampai denga kabupatenkota. 223 3. Penelitian ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut antara lain tentang kinerja organisasi dalam pendekatan terhadap faktor-faktor penyebab kebakaran, baik faktor alam yang mencakup segitiga api maupun faktor manusia yang mencakup antropologi, sosiologi, ekonomi dan budaya yang berkaitan dengan kebakaran hutanlahan, faktor-faktor eksternal yang memengaruhi kinerja organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran, penyempurnaan formula efektivitas organisasi pengendalian kebakaran yang lebih merinci unsur-unsur dari komponen penilaian, penyusunan standar minimal dan optimal sumber daya pengendalian kebakaran, dan sebagainya. 224 225 DAFTAR PUSTAKA Buku Adinugroho, WC, Suryadiputra INN, Saharjo BH, Siboro L. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut . Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor: Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Al Gore. 1996. A Report to president Bill Clinton The Best Kept Secrets in Government . Washington, DC: U.S. Government Printing Office. Anonim. 1998. California Interagency Mobilization Guide. U. S. Government Printing Office: 1998-683-04266003 Antlov H, Watterberg A. 2010. Masyarakat Sipil, Akuntabilitas Publik, dan Masa Depan Pemerintahan Daerah. Prisma 293: 23-34 Applegate G et al. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Dampak dan Pemecahannya. Di dalam: Resosudarmo IAP, Colfer CJP, editor. Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 258-377. Atmojo SE, editor. 2005. Menyinergikan Pembangunan Lingkungan: Telaah Kritis Begawan Lingkungan . Yogyakarta: PD. Anindya. Bakry L. 2009. Pengaturan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah. Di dalam: Ramses A, La Bakry, editor. Pemerintahan Daerah di Indonesia . Jakarta: MIPI. hlm 264-277. Barber CV, Schweithelm J. 2000. Trial by Fire: Forest Fires and Forestry Policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform . Washington: World Resources Institute. Basri FH. 2009. Reformasi Hubungan Keuangan Pusat-Daerah Menuju Otonomi Penuh. Di dalam: Ramses A, La Bakry, editor. Pemerintahan Daerah di Indonesia . Jakarta: MIPI. hlm. 244-254. Beckhard R. 1997. The Healthy Organization. Di dalam: Hesselbein F, Goldsmith M, Beckhard R, editor. The Organization of the Future. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. hlm. 325-328 Brown AA, Davis KP. 1973. Forest Fire Control and Use. USA: McGraw Hill Book Company, Inc. Brown DR, Harvey D. 2006. En Experiential Approach to Organization Development . New Jersey: Upper Saddle River Bungin B. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya . Jakarta: Kencana 226 Cahayani A. 2003. Dasar-dasar Organisasi dan Manajemen. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia. Casson A. 2003. Politik Ekonomi Subsektor Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Di dalam: Resosudarmo IAP, Colfer CJP, editor. Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 272-300 Chomitz KM et al. 2007. Gambaran Umum Dalam Sengketa?: Perluasan Pertanian, Pengentasan Kemiskinan, dan Lingkungan di Hutan Tropis. Pratama K, penerjemah; Taufik AW, Prabowo GC, editor. Jakarta: Penerbit Salemba Empat; Terjemahan dari: Overview-At Loggerheads?: Agricultural Expansion, Poverty Reduction, and Environment in the Tropical Forests . Colfer Carol J. P. 2003. Sepuluh Usulan untuk Menjelaskan Kebakaran di Kalimantan. Di dalam: Resosudarmo IAP, Colfer CJP, editor. Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm. 378-398 Danim S. 2005. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Davis SM. 1997. Two Models of Organization: Unity of Command versus Balance of Power. Di dalam Webber RA, editor. Management Pragmatics Cases and Readings on Basic Elements of Managing Organizations . Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, Inc. hlm. 287-295 Dhakidae Daniel. 2010. Hubungan Pusat-Daerah dan Kadigwijayan Sepanjang Masa. Prisma 293:70-73 [Ditlinhutbun] Direktorat Perlindungan Hutan dan Kebun. 2003. Kebijaksanaan Pemerintah Indonesia dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan kebun. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan . Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. hlm. 7-36 Djatmiko YH. 2005. Perilaku Organisasi. Bandung: CV. Alfabeta. Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri . Bogor: World Agroforestry Centre ICRAF Drucker PF. 1990. Managing the Non-Profit Organization Practices and Principles . London, GB: Butterworth-Heinemann Ltd. _______. 1997. Introduction Toward the New Organization. Di dalam: Hesselbein F, Goldsmith M, Beckhard R, editor. The Organizaton of the Future. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. 227 Dubrin AJ, Ireland RD. 1993. Management Organization, Ed ke-2. Cincinnati, OH: South-Western Publishing Co. Dwiyanto A. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Fischer AL, Peterson WH. 2004. Natural Resources and Governance: Incentives for Sustainable Resource Use Manual. Eschborn, Germany: Deutsche Gesellschafft fur Technische Zusammenarbeit GTZ GmbH. Gaylor HP. 1974. Wildfires Prevention and Control. Bowie, Maryland: Robert J. Brady Company. Gill J, Johnson P. 2005. Research Methods for Managers. Ed ke-3. London: Sage Publications. Gordon JR, Mondy RW, Sharplin A, Premeaux SR. 1990. Management and Organizational Behavior . Boston, MS: Allyn and Bacon Hasibuan MSP. 2008. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Hidayat S. 2010. Mengurai Peristiwa Meretas Karsa, Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Prisma 293:3-22 Hiroki I, Prabowo D. 2003. Hasil Penggunaan Citra Satelit NOAA-AVHRR dan Himawari untuk deteksi Hot Spot di Stasiun Bumi Satelit NOAA- AVHRRHimawari FFPMP. Di dalam: Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS, editor. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. hlm 259-270 Hoessein B. 2009. Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Konteks Pemerintahan Umum. Di dalam: Ramses A, La Bakry, editor. Pemerintahan Daerah di Indonesia . Jakarta: MIPI. hlm 218-222 Kanter RM. 1997. Restoring People to the Heart of the Organization of the Future. Di dalam: Hesselbein F, Goldsmith M, Bechard R, editor. The Organization of the Future . San Francisco: Jossey-Bass Pusblishers. hlm 139-150 Kartodihardjo H. 2006. Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumberdaya Hutan . Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB. Kasim A. 1993. Pengukuran Efektivitas Dalam Organisasi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. 228 Klimoski S. 1991. Research Methods in Human Resources Management. Cincinnati, OH: South-Westtern Publishing Co. Kreitner R, Kinicki A. 1992. Organizational Behavior. Ed ke-2. Homewood, IL: Richard D. Irwin, Inc. [MA] Millenium Ecosystem Assessment. 2005. Ecosystems and Human Well- Being: A Framework for Assessment . Washington, DC: Island Press McCarthy JJ, Canziani OF, Leary NA, Dokken DJ, White KS. 2001. editor. Climate Change: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. New York: Cambridge University Press. Morris W. 1981. Editor. The American Heritage Dictionary of the English Language . Boston: Houghton Mifflin Company. hlm. 1306. Muhammad A. 2004. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara M ǖller-Glodde H. 1994. The Round Table as a Programme? Institutional Development cought between the Environment and Development – Options and Limitations . Eschborn, Germany: Deutsche Gesellschaft f ǖr Technische Zusammenarbeit GTZ GmbH. Mulyadikrama S, Tamzis F. 1988. Almanak Kepolisian Republik Indonesia. Jakarta: PT. Dutarindo Adv. Nasution MN. 2004. Manajemen Mutu Terpadu Total Quality Management. Bogor: Ghalia Indonesia. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia Refleksi dan Prospek. Bogor: Yayasan Adi Sanggoro. [NIFC] National Interagency Fire Center. 1998. National Interagency Mobilization Guide . Boise, ID: NIFC Nurani TW. 2002. Proses Hierarki Analitik Analytical Hierarchy Process Suatu Model untuk Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan . Bogor: Institut Pertanian Bogor Paton, CV, Sawicki DS. 1993. Basic Methods of Policy Analysis and Planning. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc. Pyne SJ, Andrews PL, Laven RD. 1996. Introduction to Wildland Fire. New York: John Wiley Sons, Inc. Qadri, TS, editor. 2001. Fire, Smoke, and Haze: The ASEAN Response Strategy. Manila: Asian Development Bank.