7 Penelitian ini menemukan beberapa hal baru dalam pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, antara lain:
1. Metode untuk analisis hubungan antar organisasi yang masih relatif langka
terutama yang dapat menggambarkan interaksi antar organisasi dalam perencanaan atau agenda setting, pertukaran sumber daya, dan membantu
pencapaian tujuan organisasi. Penelitian ini mengadaptasi metode yang digunakan oleh Bolland dan Wilson 1994 dengan membuat analogi
prosedurnya untuk penelitian mengenai pengorganisasian di bidang pengendalian kebakaran hutanlahan. Hal yang sama mungkin dapat
dilakukan untuk penelitian-penelitian mengenai pengorganisasian di bidang- bidang yang lain;
2. Metode pengukuran efektivitas organisasi pemerintah yang masih relatif
terbatas. Metode yang tersedia pada umumnya adalah untuk mengukur efektivitas organisasi yang berorientasi laba profit organizations atau
perusahaan-perusahaan komersial dan organisasi nirlaba non-profit organizations
. Kedua kategori organisasi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dari organisasi pemerintah, yang tidak berorientasi laba dan
tidak mengumpulkan dana dari sumbangan-sumbangan untuk membiayai kegiatannya. Metode untuk pengukuran efektivitas organisasi yang
berkaitan dengan pemerintahan sudah ada, namun penerapannya bukan untuk organisasi secara individual melainkan pemerintah secara keseluruhan
dalam kaitannya dengan perbandingan efektivitas pemerintahan antar negara. Penelitian ini menyusun sebuah metode pengukuran efektivitas
organisasi pemerintah secara individual, namun penerapannya masih terbatas pada bidang pengendalian kebakaran hutanlahan. Penerapan untuk
bidang-bidang yang lain masih memerlukan pengkajian lebih lanjut. 3.
Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia terutama di tingkat nasional dan hubungannya dengan tingkat provinsi dan
tingkat kabupatenkota sampai dengan penelitian ini berjalan belum terbangun secara sistematis. Penelitian ini menghasilkan sebuah model
pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang memadukan
8 ketiga tingkatan tersebut dan diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pembangunan sistem tersebut khususnya di Indonesia agar penanganan pengendalian kebakaran hutanlahan dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
1.6 Kerangka Pemikiran
Gambar 1 menunjukkan konsep pemikiran mengenai kebakaran hutanlahan yang mencakup tiga hal pokok yaitu dampak, penyebab, dan indikator. Namun
penelitian ini berfokus pada penyebab kebakaran dengan memperhatikan indikator kebakaran yaitu titik panas hotspots.
Akumulasi titik panas yang masih relatif tinggi menjadi indikator masih tingginya frekuensi kebakaran hutanlahan. Hal ini dapat disebabkan secara teknis
oleh kurang terkendalinya unsur-unsur penyebab kebakaran hutanlahan yang dikenal sebagai segitiga api yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas. Kurang
terkendalinya unsur-unsur tersebut di samping disebabkan oleh faktor alam, menurut berbagai studi juga disebabkan terutama oleh faktor manusia, dan hal
tersebut berkaitan dengan lemahnya pranata atau kelembagaan. Indikator kebakaran berupa titik panas menggambarkan kondisi unsur-unsur
dari segitiga api di lapangan. Gambaran kondisi fisik lapangan tersebut dianalisis untuk memahami skala kebakaran pada masa lalu, masa kini dan kecenderungan
di masa yang akan datang serta kaitannya dengan faktor-faktor yang memengaruhinya. Di samping pengaruh dari faktor-faktor teknis yang berkaitan
dengan segitiga api dan metode pengendaliannya, kondisi kebakaran tersebut juga akan memberikan gambaran mengenai kinerja dari faktor non-teknis berupa
kelembagaan pengendalian kebakaran. Kondisi kelembagaan dapat dikaji dari dua sisi yakni peraturan dan
organisasi Kartodihardjo 2006. Penelitian ini menitikberatkan analisis terhadap organisasi. Organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan melibatkan banyak
organisasi pemerintah baik di tingkat nasional, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupatenkota. Keterlibatan banyak organisasi tersebut memerlukan suatu sistem
pengorganisasian Hasibuan 2008; Siswanto 2009. Kajian terhadap kondisi sistem pengorganisasian dapat dilakukan dengan analisis terhadap tiga hal yaitu
9 posisi dan peranan organisasi Wehmeyer et al. 2001; Colman Han 2005;
Hasibuan 2008; McNamara 2010, jaringan koordinasi antar organisasi Ulrich 1997; Wehmeyer et al. 2001; Hasibuan 2008, dan efektivitas organisasi Brown
Harvey 2006; Philbin Mikush 2008. Kondisi kebakaran hutanlahan sampai sekarang yang mengindikasikan adanya kelemahan sistem pengorganisasian
mungkin disebabkan oleh masih belum optimalnya ketiga komponen pengorganisasian tersebut. Penelitian ini menganalisis masing-masing dari ketiga
komponen tersebut. Hasil analisis terhadap posisi dan peranan organisasi, jaringan koordinasi
antar organisasi dan efektivitas organisasi tersebut selanjutnya digunakan untuk merancang bangun sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan
cocok untuk Indonesia. Di samping itu, perancangan sistem pengorganisasian tersebut juga memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
hasil analisis terhadap sistem-sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang berlaku di beberapa negara lain.
Selanjutnya, penerapan sistem pengorganisasian yang dirancang tersebut tentunya memerlukan beberapa langkah integrasi dan koordinasi serta strategi-
strategi untuk menjalankannya. Harapannya adalah bahwa dengan sistem pengorganisasian yang dirancang oleh penelitian ini kebakaran hutanlahan di
Indonesia dapat dikendalikan dengan baik sehingga tidak menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kehidupan seluruh makhluk baik di tingkat lokal,
nasional maupun global. Kerangka berfikir tersebut di atas secara skematis digambarkan seperti pada Gambar 1 di halaman berikut.
10
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Sumber: Wehmeyer et al. 2001; Ulrich 1997; Philbin Mikush 2008.
1.7. Hipotesis
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran HutanLahan
Kebakaran hutan dan lahan merupakan istilah yang relatif baru di Indonesia yakni tahun 1995 setelah terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
188Kpts-II1995 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional Pusdalkarhutnas. Salah satu butir dari Keputusan Menteri Kehutanan
tersebut adalah perintah kepada gubernur untuk membentuk pusat pengendalian kebakaran hutan daerah di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten. Para gubernur
kemudian membentuk organisasi yang dimaksud, tetapi dengan memasukkan kata ‘lahan’ sehingga terbentuk pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan daerah
pusdalkarhutlada di hampir setiap provinsi. Sejak itulah istilah kebakaran hutan dan lahan digunakan, yang di dalam disertasi ini disebut kebakaran hutanlahan
sesuai dengan istilah di dalam Penjelasan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007. Pembacaannya adalah “kebakaran hutan dan lahan.”
2.1.1. Pengertian dan Tren Kebakaran HutanLahan
Istilah kebakaran hutanlahan digunakan secara eksklusif di Indonesia. Istilah tersebut digunakan untuk menegaskan perbedaan lokasi terjadinya
kebakaran yaitu di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Suprayitno dan Syaufina 2008 membedakan kebakaran hutan dari kebakaran lahan berdasarkan
lokasi terjadinya di mana kebakaran hutan merupakan kebakaran biomas yang terdapat di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran
yang terjadi di ladang atau lahan masyarakat atau lahan berhutan. Beberapa negara seperti Thailand, Amerika Serikat dan Kanada menggunakan istilah
kebakaran hutan forest fire atau kebakaran lahan liar wildland fire, sedangkan Australia menggunakan istilah kebakaran semak bush fire.
Kebakaran hutanlahan dalam pengertian umum menurut Gaylor 1974 dan Saharjo 2003 mencakup dua macam yaitu kebakaran liar atau yang tidak
diinginkan wildfire atau unwnated fire dan kebakaran yang diinginkan atau