Kerangka Pemikiran Organizing system of forest and land fire control organization in Indonesia

14 Adinugroho et al. 2005 sebagai akar permasalahan atau penyebab mendasar underlying causes, atau primary causes kebakaran hutanlahan meliputi: 1. Penguasaan lahan, di mana pembakaran dipandang sebagai suatu cara untuk menunjukkan klaim atas lahan; 2. Kebijakan alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat, tidak adil, dan tidak terkoordinasi. Hal ini sebagai kebalikan dari butir 1 di atas, di mana pembakaran digunakan untuk mengusir penguasa lahan yang sudah ada yang dianggap tidak sah pemilikannya; 3. Insentif dan disinsentif ekonomi, di mana pembakaran dipandang sebagai cara yang mudah dan murah untuk konversi hutan menjadi non-hutan; 4. Degradasi hutan dan lahan yang mengakibatkan peningkatan kepekaan hutan dan lahan terhadap bahaya kebakaran; 5. Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan, di mana peningkatan jumlah penduduk akibat tingginya tingkat migrasi mendorong pembukaan hutan dan lahan dengan cara membakar; 6. Lemahnya kapasitas kelembagaan pada para pemangku kawasan hutan mengakibatkan lemahnya insentif bagi masyarakat untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran. Bappenas 1999 yang mencatat dari berbagai literatur menyatakan adanya pergeseran dalam hal penyebab prinsip dari kejadian-kejadian kebakaran hutanlahan, di mana pada masa lalu penyebab prinsip kebakaran adalah perorangan dan sekarang bergeser pada perusahaan-perusahaan besar. Penyebab prinsip kebakaran pada tahun 1982-1983 sampai dengan 1987 adalah para spekulator lahan dan para peladang berpindah, sedangkan pada tahun 1991 – 1994 adalah kelalaian penggunaan api dalam penyiapan lahan-lahan pertanian dan pada tahun 1997-1998 sampai dengan sekarang penyebabnya lebih didominasi oleh pembakaran untuk konversi hutan menjadi lahan-lahan perkebunan besar terutama karet dan kelapa sawit. 15 2.1.3. Dampak Kebakaran hutanlahan Kajian terhadap dampak kebakaran hutanlahan cukup banyak. Dampak tersebut dapat mengenai pada berbagai aspek, antara lain aspek ekonomi dan aspek lingkungan Suprayitno Syaufina 2008, nilai estetis dan nilai ilmiah serta politik dan sosial Hasoloan 2001. Dampak kebakaran terhadap aspek ekonomi dapat berupa kerugian dari berkurang atau hilangnya sumber daya ekonomi, biaya penanganan kebakaran dan dampaknya, dan terganggunya fungsi sosial ekonomi hutan dan lahan bagi masyarakat. Sementara itu, dari aspek lingkungan, kebakaran hutanlahan dapat berdampak terhadap: a sifat fisik tanah antara lain struktur dan porositas tanah, b sifat kimia tanah melalui pelepasan mineral, perubahan mikroklimat, dan dekomposisi mineral liat dan penyederhanaan struktur organik menjadi bahan inorganik, c sifat biologi tanah berupa perubahan populasi organisme dan mikro- organisme tanah, d air melalui gangguan terhadap intersepsi atau peresapan air ke dalam tanah melalui kanopi tumbuhan dan serasah; evapotranspirasi berupa penguapan dari permukaan tanah, vegetasi, maupun badan-badan air; infiltrasi atau masuknya air ke dalam tanah karena meningkatnya densitas tanah dan menurunnya porositas tanah; dan simpanan air tanah baik dalam kuantitas maupun kualitasnya, e vegetasi berupa kematian tumbuhan dan kerusakan bagian-bagian tumbuhan, f udara berupa peningkatan suhu udara dan perubahan komponen-komponen kimia di atmosfer. Kebakaran hutanlahan yang terjadi di Indonesia juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Perhitungan kerugian akibat kebakaran hutanlahan memang masih bersifat pendekatan baik dari data luasan kebakarannya maupun metode penghitungannya. Kebakaran di Kalimantan Timur pada tahun 1982-1983, misalnya, menurut perkiraan Goldammer et al. 1996, diacu dalam Qadri 2001 16 mencapai luasan lima juta hektar dan menimbulkan kerugian total sekitar US 9,1 juta, sedangkan perkiraan Barber dan Schweithelm 2000 luasan tersebut sekitar 3,2 – 3,6 juta hektar. Kebakaran hutanlahan tahun 1997-1998 yang juga terkenal karena luasnya cakupan dampak asapnya dicatat dengan angka yang berbeda- beda. The Singapore Center for Remote Imaging, Sensing and Processing CRISP berdasarkan citra satelit SPOT Sisteme Pour L’observation de la Terre mencatat luas kebakaran hutanlahan tahun 1997 sekitar 1,5 juta ha di Sumatera dan tiga juta ha di Kalimantan, sedangkan kebakaran tahun 1998 tercatat 2,5 juta ha di Kalimantan Timur. Sementara WWF Indonesia menghitung antara 1,97 juta dan 2,3 juta ha terbakar di Kalimantan antara Agustus – Desember 1997 Barber Schwithelm 2000. Proyek kerja sama Dep. Kehutanan dengan Uni Eropa di Sumatera Selatan Forest Fire Prevention and Control ProjectFFPCP menghitung luas kebakaran tahun 1997 berdasarkan citra satelit seluas 2,3 juta ha hanya untuk Sumatera Ramon Wall 1998. Mayell 2001 menyatakan bahwa hasil pengamatan dengan citra satelit dan survei udara di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kebakaran yang terjadi pada tahun 1998 di provinsi tersebut menghanguskan sekitar lima juta hektar konsesi hutan, perkebunan dan lahan konversi pertanian. Berdasarkan data tersebut, CIFOR Center for International Forestry Research memperkirakan kerugian ekonomi bagi Indonesia mencapai US sembilan miliar. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari jumlah yang diperkirakan Qadri 2001. Qadri berdasarkan pendugaan melalui distribusi spasial terhadap kawasan-kawasan yang terbakar pada tahun 1997-1998 memperkirakan jumlah kerugian secara keseluruhan hanya US enam milyar. Kerugian dihitung dari luasan yang terbakar yaitu enam juta hektar di Kalimantan, lebih dari 1,5 hektar di Sumatera, sekitar satu juta hektar di Irian Jaya, 400 ribu hektar di Sulawesi dan 100 ribu hektar di Jawa, serta dari luasan tersebut 4,65 juta ha di antaranya adalah kawasan hutan. BAPPENAS 1999 yang menghimpun data dari berbagai sumber melalui proyek Perencanaan Pencegahan Kebakaran dan Pengelolaan Kekeringan di BAPPENAS yang didanai oleh bantuan teknis dari Asian Development Bank ADB pada tahun 1999 membukukan nilai-nilai kerugian yang berkisar antara