Hubungan Antar Organisasi Organisasi dan Manajemen

35 hal-hal yang benar doing “right” things, misalnya menetapkan target yang benar untuk mencapai keseluruhan tujuan, sedangkan efisiensi dikatakan sebagai melakukan hal-hal dengan benar doing things “right”, misalnya dengan cara yang terbaik dan paling ekonomis. Kinerja performance, di sisi lain, dalam konteks pengembangan organisasi organizational development dinyatakan sebagai seberapa besar hasil yang dicapai dibandingkan dengan hasil yang diinginkan actual results vs desired results. Level analisis dilihat dari dua dimensi yaitu locus of analysis dan focus of analysis . Lokus yang dimaksud adalah tempat di mana efektivitas diukur, sedangkan fokus adalah subyek yang diukur efektivitasnya, misalnya, individu pegawai, sub unit organisasi, organisasi tunggal, beberapa organisasi, dan level- level pemerintahan. Pengukuran persepsi mencakup ukuran obyektif dan ukuran subyektif. Ukuran obyektif biasanya dibangun dari catatan-catatan dan arsip-arsip, sedangkan ukuran subyektif dibangun dari respon survei yang diperoleh dari para anggota organisasi ataupun dari luar organisasi. Young Lee dan Whitford 2008 menjelaskan bahwa telah banyak penelitian mengenai kriteria bagi kinerja, tetapi sedikit sekali penelitian mengenai kriteria pengukuran efektivitas, apalagi bagi efektivitas organisasi pemerintah. Penelitian yang dilakukan Young Lee dan Whitford tersebut adalah dalam konteks perbandingan efektivitas pemerintah dari berbagai negara. Substansi dari empat isu yang digunakan tersebut dalam banyak hal tampaknya tidak dapat diterapkan untuk penelitian tentang efektivitas organisasi pemerintah di satu negara seperti yang akan penulis lakukan, tetapi beberapa hal, termasuk gagasan mengenai empat isu tersebut, dapat diadopsi dalam penelitian ini. Muhammad 2004 dan Kasim 1993 menyatakan bahwa organisasi yang efektif adalah organisasi yang mengidentifikasi dan mengembangkan suatu pengertian yang jelas dan tegas nilai-nilaikepercayaan, prioritas, dan arahan sedemikian rupa sehingga setiap orang paham dan dapat berkontribusi. Penilaian terhadap efektivitas organisasi dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Kasim 1993 menilai organisasi dengan menggunakan empat model sebagai landasannya yaitu: model tujuan rasional rational goal model, model hubungan 36 manusia human relation model, model sistem terbuka open system model, dan model proses internal internal process model. Pengukuran efektivitas organisasi memang tidak mudah dan butuh klarifikasi tentang efektivitas yang diacu yakni efektif dalam hal apanya, apakah dalam hal pencapaian pendapatan tahunan, kemampuan bekerja sama dengan yang lain dan sebagainya. Majalah Fortune Kreitner dan Kinicki 1992 dalam survei tahunan untuk Most Admired Corporation menerapkan 8 kriteria efektivitas, yaitu kualitas manajemen, kualitas produkjasa, keinovativan innovativeness, nilai investasi jangka panjang, kondisi finansial, kemampuan untuk menarik minat, mengembangkan dan mempertahankan orang-orang berbakat, tanggung jawab kepada masyarakatlingkungan, dan penggunaan aset- aset perusahaan. Kreitner dan Kinicki 1992 memberikan panduan berupa empat pendekatan untuk mengukur efektivitas organisasi yang meliputi 1 pencapaian tujuan, yakni seberapa besar organisasi mencapai tujuan-tujuan yang telah dinyatakan sebelumnya, 2 akuisisi sumberdaya, yakni seberapa besar organisasi mampu menarik atau mendapatkan faktor-faktor produksi atau sumber daya yang diperlukan, 3 proses internal atau disebut pendekatan sistem-sistem yang sehat healthy systems, di mana sebuah organisasi dinyatakan sehat jika informasi mengalir dengan baik, pegawainya loyal, terdapat komitmen, kepuasan kerja dan kepercayaan, atau dengan perkataan lain, organisasi memiliki konflik disfungsional dan manufer politik merusak yang kecil, dan 4 kepuasan para pengikut strategis strategic constituencies, yaitu organisasi dapat memberikan kepuasan setidak-tidaknya pada level terendah kepada mereka yang terlibat di dalam organisasi, seperti misalnya para penyedia kebutuhan organisasi dan para pemakai produkjasa organisasi. Tanpa arahan yang lebih rinci pada masing- masing pendekatan tersebut membuatnya tidak mudah untuk menerapkannya. Pengukuran efektivitas organisasi yang tampaknya cukup baik untuk diterapkan pada organisasi pemerintah adalah yang diajukan oleh Philbin dan Mikush 2008. Mereka menekankan pentingnya visi, nilai dan misi yang dikatakan sebagai jantungnya sebuah organisasi the heart of an organization. Efektivitas sebuah organisasi bergantung pada suatu pemahaman dan komitmen 37 bersama terhadap visi, nilai-nilai dan misi. Inilah komponen inti dari efektivitas organisasi. Komponen-komponen lainnya adalah: Governance tata pemerintahan, Strategic Thinking and Planning pemikiran dan perencanaan strategis, Program Development and Implementation pengembangan dan pelaksanaan program, Evaluation, Learning and Accountability evaluasi, pembelajaran dan akuntabilitas, Human Resource Management manajemen sumberdaya manusia, Organizational Culture budaya organisasi, Management Systems and Structures sistem dan struktur manajemen, Legal Compliance, Fiscal Management and Public Accountability kepatuhan terhadap hukum, manajemen fiskal dan akuntabilitas publik, Resource Development pengembangan sumberdaya, Constituent Relationships hubungan konstituen, dan Collaboration kolaborasi. Penilaian efektivitas organisasi berarti penilaian terhadap komponen- komponen tersebut, dan hal tersebut sangat sulit dilakukan. Philbin dan Mikush 2008 menyarankan bahwa dalam berbagai keterbatasan yang ada, penilaian dapat dilakukan terhadap beberapa komponen saja. Hal yang terpenting adalah komponen intinya yaitu visi, nilai-nilai dan misi. Organisasi akan efektif dan sehat jika orang-orang di dalam organisasi memahami dan memegang teguh nilai-nilai, visi dan misi organisasi tersebut. Komponen lain yang juga sangat penting menurut Philbin dan Mikush 2008 adalah manajemen sumber daya manusia SDM. Organisasi yang efektif mengembangkan para staf, pimpinan dan relawan yang memegang teguh dan mendukung nilai-nilai, visi dan misi organisasi. Organisasi yang efektif mengembangkan sistem dan struktur bagi tata pemerintahan, SDM, manajemen dan teknologi informasi, komunikasi, finansial, pelatihan, perencanaan dan evaluasi dan lain-lain. Organisasi yang efektif mempunyai rencana yang jelas tentang pengembangan sumberdaya dan kapasitas SDM untuk melaksanakan rencana tersebut. Rencana menggambarkan pengembangan sumberdaya pada jangka pendek tahunan dan jangka panjang yang mencakup rencana pengadaan, penganggaran, staf yang terampil, dan sistem pencatatan, komunikasi, evaluasi dan pelaporan yang efektif. Aspek lain dari efektivitas organisasi yaitu kolaborasi dengan organisasi-organisasi lain. 38 Organisasi yang efektif ditunjukkan oleh terbangunnya jaringan kerja kolaboratif secara lokal, provinsi, nasional dan internasional. Organisasi di masa depan tidak lagi menjadi entitas yang berdiri sendiri yang beroperasi pada lingkungan yang relatif stabil, melainkan merupakan bagian dari suatu sistem keterkaitan dan saling berhubungan yang berada pada suatu keadaan yang terus dinamis. Oleh karena itu, organisasi masa kini dan masa depan harus sehat Beckhard 1997. Ia menyarankan 15 kriteria tentang organisasi yang sehat, di antaranya yaitu organisasi tersebut mendefinisikan diri sebagai sebuah sistem, beroperasi dalam suatu mode “bentuk mengikuti fungsi” yang berarti pekerjaan yang akan dilakukan menentukan struktur dan mekanisme untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, dan secara eksplisit menghargai inovasi dan kreativitas serta memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan gaya berpikir. Berdasarkan beberapa uraian mengenai efektivitas organisasi di atas, terutama komponen-komponen yang dikemukakan Philbin dan Mikush 2008 dan standar good governance dari OPM CIPFA 2004 dirangkum beberapa kriteria bagi efektivitas organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Memiliki visi dan misi yang dinyatakan dengan jelas yang mencakup pandangannya tentang terkendalinya kebakaran hutanlahan di masa depan; 2. Memiliki struktur organisasi yang menggambarkan fungsi-fungsi pengendalian kebakaran hutanlahan yang mencakup pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran serta dukungan manajemennya; 3. Memiliki sumber daya manusia yang memadai dalam kuantitas dan kualifikasi untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan serta sistem pengembangan sumber daya manusia yang selalu mendorong motivasi untuk bekerja lebih baik; 4. Memiliki sarana dan prasarana dalam jenis dan jumlah yang memadai untuk menjalankan fungsi-fungsi manajemen pengendalian kebakaran; 5. Memiliki mekanisme kerja organisasi, baik mekanisme kerja internal maupun eksternal, terutama dalam pembuatan kebijakan dan keputusan-keputusan organisasi. 39 Kriteria tersebut di atas digunakan untuk menilai efektivitas organisasi secara internal. Jika organisasi yang diamati telah memenuhi kriteria tersebut di atas, maka organisasi tersebut dapat dikatakan efektif secara internal. Hal ini bermakna bahwa organisasi tersebut sebenarnya telah memiliki sumber daya yang memadai untuk dapat mencapai tujuannya. Seandainya organisasi ternyata belum dapat mencapai tujuannya, terdapat kemungkinan adanya faktor-faktor dari luar organisasi yang mempengaruhi keberhasilan organisasi tersebut. Penelitian ini akan mengkaji kriteria internal tersebut, sedangkan faktor-faktor eksternal dikaji tersendiri, namun di dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut turut dilihat melalui pengamatan terhadap peranan yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan dan mekanisme hubungan kerja eksternal. Pengukuran kelima kriteria tersebut di atas sesuai dengan petunjuk dari Young Lee dan Whitford 2008 dilakukan secara obyektif dari profil organisasi dan catatan-catatan serta arsip-arsip yang ada dan secara subyektif dari respon survei yang diperoleh dari para anggota organisasi ataupun dari luar organisasi.

2.3. Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran HutanLahan di Indonesia dan Beberapa Negara

Kebakaran hutanlahan di Indonesia menurut sejarah telah dikelola sejak masa sebelum kemerdekaan. Direktorat Perlindungan Hutan dan Kebun 2003 mencatat bahwa berbagai peraturan mengenai siaga di musim kemarau dan penggunaan api telah diterbitkan di masa pemerintah kolonial Belanda tahun 1927 dan di awal kemerdekaan. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan kemudian mulai dibangun sejak berdirinya Departemen Kehutanan pada tahun 1983 dengan adanya Seksi Kebakaran Hutan eselon IV pada Direktorat Perlindungan Hutan. Peningkatan level organisasi terjadi pada tahun 1994 dengan dibentuknya Sub Direktorat Kebakaran Hutan eselon III di bawah Departemen Kehutanan dan tahun 2000 dengan dibentuknya Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Kebun di Departemen Kehutanan dan Direktorat Pengendalian Kebakaran di Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup KLH. Pada tahun 2002 organisasi yang berada di bawah 40 KLH dihapus dan organisasi yaang berada di Departemen Kehutanan diubah namanya menjadi Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Dit. PKH. Kebakaran hutanlahan di Indonesia secara nasional dikelola oleh beberapa instansi atau organisasi menurut status kawasannya. Kebakaran di kawasan hutan dikelola oleh Departemen Kehutanan yakni secara struktural oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan sebagai pelaksana di lapangan dibentuk lembaga tersendiri menurut Pasal 22 PP No. 45 Tahun 2004 yaitu Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni. Brigade tersebut dibentuk tahun 2002 sebelum terbitnya PP No. 45 Tahun 2004 dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam DJ-PHKA No. 21KptsDJ- IV2002. Keputusan DJ-PHKA tersebut sampai saat ini belum diubah untuk menyesuaikan dengan PP No. 45 tersebut. Brigade tersebut lebih ditujukan untuk pengendalian kebakaran di kawasan konservasi, sedangkan untuk pengendalian kebakaran di kawasan hutan yang lain diserahkan kepada pemangku kawasan sesuai dengan kebijakan otonomi daerah. Selain itu, Pasal 24 PP No. 45 Tahun 2004 tersebut juga memerintahkan pembentukan Pusat Pengendalian Operasi Kebakaran Hutan untuk koordinasi dan mobilisasi. Departemen Kehutanan pada Februari 2008 membentuk satu organisasi baru lagi yaitu Tim Koordinasi Pengendalian Kebakaran HutanLahan. Kebakaran di lahan pertanian dan perkebunan dikelola oleh Departemen Pertanian, tetapi tidak ada lembaga yang secara eksplisit menangani kebakaran lahan pertanian dan perkebunan. Kebakaran perkebunan ditangani sebagai bagian dari tugas dan fungsi pada tingkat eselon terendah eselon IV yakni Seksi Penanggulangan Gangguan Usaha. Kebakaran di lahan untuk fungsi-fungsi lainnya yang dikelola oleh pengelola lahan yang bersangkutan. Pembagian kewenangan pengelolaan kebakaran menurut skala kebakarannya berdasarkan pada PP No. 4 Tahun 2001 dan PP No. 45 Tahun 2004. Pemangku kawasan bertanggung jawab atas pengelolaan kebakaran di unit kawasan pengelolaannya, sedangkan pada tingkat kabupaten oleh bupati dan pada tingkat provinsi oleh gubernur. Jika skala kebakaran atau dampaknya terjadi lintas provinsi dan lintas batas negara, maka kewenangan menurut kedua PP tersebut ada pada Menteri Kehutanan. Sementara itu, UU No 24 Tahun 2007 memasukkan