Hubungan Antar Organisasi Organizing system of forest and land fire control organization in Indonesia

142 Gambar 33 Diagram hubungan administratif pencapaian tujuan antar organisasi pada tingkat nasional. Secara umum, baik di Riau maupun di Kalbar, telah terjadi hubungan administratif antar tingkatan, meskipun baru terjadi antar beberapa organisasi, bahkan di Kalbar hanya Asdep PKHL yang memiliki hubungan tersebut. Di Riau, hubungan administratif antara provinsi dengan kabupatenkota telah terjalin, sedangkan di Kalbar tidak terdapat hubungan tersebut. Hubungan yang digambarkan pada kedua diagram di atas adalah hubungan yang mutualistik, dan tidak berarti bahwa hanya organisasi-organisasi tersebut yang saling berhubungan. Organisasi-organisasi lainnya juga berhubungan tetapi derajat hubungannya tidak sampai pada level terkonfirmasi. Matriks yang disajikan pada Lampiran 12 dapat memperlihatkan hubungan-hubungan yang terjadi. Setiap hubungan yang memiliki angka 1 menunjukkan adanya pengakuan oleh responden tentang adanya hubungan tersebut. Hubungan dinyatakan mutualistik jika angkanya adalah 1,1, dan tidak ada hubungan sama sekali jika angkanya adalah 0,0. Hasil analisis dengan matriks tersebut menunjukkan bahwa Asdep PKHL merupakan organisasi yang paling banyak memiliki komposisi 1,1 yakni sebanyak 25 dan paling sedikit memiliki komposisi 0,0 yakni hanya 6. Hal ini 143 berarti bahwa Asdep PKHL merupakan organisasi yang paling banyak berhubungan secara mutualistik dengan organisasi-organisasi lain. Di tingkat provinsi, Disbun dan BLHD Provinsi Riau adalah organisasi yang mempunyai hubungan mutualistis terbanyak, sedangkan di tingkat kabupatenkota, Dishut Gambar 34 Diagram hubungan administratif antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupatenkota Provinsi Riau. 144 merupakan organisasi yang terbanyak hubungan mutualistiknya. Kondisi tersebut akan turut menentukan dalam pemilihan organisasi yang dapat ditunjuk sebagai koordinator jejaring network coordinator atau pemegang posisi utama dalam sistem pengorganisasian yang akan dibangun. Gambar 35 Diagram hubungan administrasi antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupatenkota di Provinsi Kalimantan Barat. 145 Koordinasi merupakan pengelolaan saling ketergantungan antar aktivitas untuk mencapai tujuan Malone et al. 1999 dan adanya hubungan administrasi menunjukkan adanya saling ketergantungan dalam bentuk transaksi sumber daya untuk mencapai tujuan Bolland Wilson 1994. Tidak adanya hubungan tersebut mengindikasikan tidak adanya transaksi atau pertukaran sumber daya di antara organisasi-organisasi tersebut, padahal tindakan-tindakan pengendalian kebakaran memerlukan sumber daya dan masing-masing organisasi tersebut belum memiliki sumber daya yang memadai untuk bertindak sendirian. Transaksi atau pertukaran atau aliran sumber daya tidak terjadi karena belum jelasnya tujuan bersama yang akan dicapai oleh pihak-pihak atau aktor-aktor yang bertransaksi Malone et al. 1999. Menurut teori koordinasi, aktor di dalam organisasi-organisasi menghadapi masalah koordinasi yang timbul dari ketergantungan yang menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas-tugas Malone Crowston 1994. Dalam konteks pengendalian kebakaran hutanlahan, terlihat jelas bahwa meskipun telah dilakukan pembagian tugas di dalam Pusdalkarhutla maupun Satlakdalkarhutla, baik menurut bidang-bidang pengendalian kebakaran maupun menurut wilayah kerja, para pimpinan organisasi aktor masih menggantungkan diri pada organisasi-organisasi lain. Mereka, para aktor tersebut, memang tidak mengakui hal tersebut baik dalam mengisi angket maupun dalam wawancara, tetapi tidak adanya usaha, bahkan rencana, untuk memiliki sumber daya yang memadai bagi pelaksanaan tugasnya dapat menunjukkan bahwa ketergantungan tersebut memang terjadi. Sikap saling bergantung tersebut sayangnya juga tidak dinyatakan secara terbuka kepada pihak-pihak lain yang sebenarnya juga saling bergantung, sehingga masalahnya menjadi tidak terselesaikan. Langkah yang seharusnya dilakukan adalah seperti yang disarankan Malone dan Crowston 1994 yakni melakukan aktivitas tambahan yang disebutnya sebagai coordination mechanisms. Mekanisme koordinasi tersebut dapat dilakukan dengan jalan seluruh organisasi yang terlibat, terutama yang berada dalam satu bidang tugas, misalnya pemadaman, pertama kali harus membahas dan menyepakati tujuan bersamanya. Masalahnya adalah bahwa para pimpinan organisasi masih kurang perduli dengan 146 tujuan organisasi. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya responden yang mengisi salah atau sama sekali tidak mengisi baris isian pada angket untuk visi dan misi organisasinya Gambar 36. Kondisi bahwa responden masih kurang mengetahui tujuan organisasinya serupa dengan ketika ditanyakan tentang visi dan misi pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan atau visi dan misi Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla. Visi dan misi yang merupakan tujuan jangka panjang juga belum didefinisikan lebih lanjut menjadi tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran jangka pendek. Oleh sebab itu, untuk meperbaiki mekanisme koordinasi, seluruh organisasi yang terlibat dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan harus menyepakati tujuan bersama tersebut. Langkah selanjutnya adalah membagi tugas, mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, mengidentifikasi sumber daya mana saja yang harus dimiliki atau disediakan oleh organisasi mana, dan bagaimana prosedur untuk memobilisasinya ketika diperlukan. Hal ini harus dilakukan ketika sistem pengorganisasian melibatkan banyak organisasi dan anggaran untuk penyediaan sumber daya berada di masing-masing organisasi yang terlibat tersebut, seperti yang terjadi sekarang di mana Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla masih dianggap sebagai bukan satuan kerja perangkat daerah atau SKPD sehingga tidak dapat mengusulkan anggarannya sendiri. Gambar 36 Komposisi responden dalam tentang pengetahuannya terhadap visi dan misi organisasinya. 147 Di samping itu, kendala-kendala institusional yang pernah, sedang dan mungkin akan dihadapi dalam manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan, misalnya tentang ketersediaan anggaran harus diidentifikasi dan disepakati bersama untuk berkomitmen untuk menyelesaikannya. Pengendalian kebakaran masih dianggap sebagai kegiatan konsumtif yang hanya menghabiskan anggaran, sementara masih banyak kegiatan lain yang dinilai lebih produktif sehingga dalam keterbatasan kemampuan penyediaan anggaran bagi daerah, pengendalian kebakaran hutanlahan belum mendapatkan cukup prioritas. Hal ini dapat dimaklumi pada kondisi keuangan daerah sekarang ini, di mana porsi belanja atau pengeluaran daerah 22 masih jauh lebih besar daripada porsi penerimaannya 7 dari keseluruhan penerimaan negara Basri 2009. Porsi penerimaan daerah dari pemerintah pusat yang sangat rendah tersebut menurut Basri 2009 juga telah mendorong usaha daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah PAD-nya. Usaha tersebut antara lain berupa peningkatan pembangunan pertanian, perkebunan, pertambangan, dan permukiman yang dalam penyiapan lahannya biasanya menggunakan pembakaran. Kondisi tersebut menjadi salah satu faktor penyebab masih kurang efektifnya pengendalian kebakaran hutanlahan. 3. Perencanaan agenda setting Hasil analisis terhadap angket mengenai agenda setting menunjukkan bahwa telah terjadi cukup saling mengenal di antara pimpinan dari organisasi-organisasi yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutanlahan, baik pada satu tingkatan maupun antar tingkatan. Hal ini terlihat dari diagram hubungan antar organisasi dari aspek perencanaan pada Gambar 37. Diagram tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat nasional hubungan saling mengenal antar organisasi relatif baik. Hubungan tersebut di Provinsi Riau Gambar 37 juga sudah relatif terjalin baik pada satu tingkatan maupun antar tingkatan dari tingkat nasional, provinsi, sampai dengan kabupatenkota, bahkan terdapat pula hubungan dari tingkat nasional langsung ke tingkat kabupatenkota. Di Kalimantan Barat, hubungan antar tingkatan terjadi hanya antara tingkat 148 nasional dengan tingkat provinsi, dan tidak terjadi antara tingkat provinsi dengan tingkat kabupatenkota Gambar 38. Kondisi di mana saling mengenal di antara para pimpinan organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan masih sedikit tersebut berdasarkan tuturan responden disebabkan antara lain oleh: a organisasi responden jarang melakukan kontak atau terlibat dalam pertemuan-pertemuan dengan organisasi-organisasi lain dalam konteks kebakaran hutanlahan, b responden baru beberapa waktu menduduki jabatan di organisasinya yang dianggap terkait dengan pengendalian kebakaran hutanlahan dan selama masa Gambar 37 Diagram hubungan perencanaan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupatenkota, di Provinsi Riau. 149 tersebut belum pernah atau jarang sekali mengikuti pertemuan atau kontak dengan organisasi-organisasi lain, c responden tidak selalu ditunjuk untuk mengadakan kontak atau pertemuan dengan orang-orang dari organisasi- organisasi lain dalam konteks kebakaran hutanlahan karena tidak jelasnya kaitan antara uraian tugas responden dengan urusan kebakaran hutanlahan sehingga sering terjadi penugasan terhadap pejabat atau staf berubah-ubah setiap kali kontak atau pertemuan dengan organisasi-organisasi lain. Gambar 38 Diagram hubungan perencanaan antar organisasi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupatenkota, di Provinsi Kalimantan Barat. 150 Pengamatan terhadap hubungan saling mengenal antar organisasi antar tingkatan menunjukkan bahwa pada umumnya organisasi-organisasi tersebut saling mengenal hanya pada jajarannya di tingkatan-tingkatan lain. Sebagai contoh, organisasi yang menangani kehutanan mengenali orang-orang dari organisasi di tingkatan lain yang juga menangani kehutanan. Hal ini menggambarkan bahwa hubungan antar organisasi antar tingkatan terjadi terutama pada organisasi-organisasi yang berada dalam jajaran yang sama. Tabel 11 Jumlah organisasi yang pimpinannya dikenali dan yang mengenali pimpinan-pimpinan organisasi lain No. Organisasi Organisasi yang dikenali Organisasi yang mengenali Total Total 1 Asdep PKHL 14 35.90 7 17.95 2 Dit. PKH 3 7.69 4 10.26 3 Dit. TD-BNPB 2 5.13 2 5.13 4 BMKG 3 7.69 3 7.69 5 Dishut Prov. Riau 2 5.13 4 10.26 6 Disbun Prov. Riau 4 10.26 4 10.26 7 BLHD Prov. Riau 4 10.26 4 10.26 8 Dishut Prov. Kalbar 3 7.69 4 10.26 9 Disbun Prov. Kalbar 1 2.56 3 7.69 10 Distanbunhut Kota Dumai 4 10.26 1 2.56 11 Dishut Kab. Ketapang 2 5.13 2 5.13 Saling mengenal di antara orang-orang yang terlibat dalam suatu organisasi atau pengorganisasian sangat penting, terutama untuk membina komunikasi. Hal ini terkait dengan keterlibatan emosi di dalam manajemen organisasi dan orang- orang Everaert 1997. Everaert menegaskan hubungan atau kedekatan emosional adalah sangat penting untuk menjaga tingkat produktivitas atau kinerja yang tinggi dalam organisasi masa depan. Hasil penelitian ini menguatkan sinyalemen Everaert 1997 bahwa organisasi-organisasi masa kini yang telah meninggalkan aspek emosional ternyata banyak yang gagal dalam mencapai tujuannya. Pada 151 bagian hubungan bantuan layanan di atas disebutkan bahwa respon permintaan bantuan dipengaruhi oleh kedekatan emosional pemimpin organisasi. Kemampuan untuk saling mengenal juga penting dalam mekanisme untuk membangun sistem sosial dan saling mengenal tersebut didasarkan pada level saling mempercayai Janssen 2005. Kondisi hubungan saling mengenal yang masih relatif rendah seperti yang terjadi pada pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan sekarang ini dengan demikian menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan. Salah satu kelemahan dalam manajemen pengendalian kebakaran hutanlahan adalah masih lemahnya aturan-aturan dan oleh sebab itu untuk membangun manajemen pengendalian kebakaran yang baik diperlukan penguatan aturan-aturan. Aturan-aturan, menurut Jenssen 2005, dibuat, dipilih, disimpan, ditegakkan, diubah, dan dihapuskan, untuk itu penguatan aturan-aturan pengendalian kebakaran hutanlahan yang dimaksud haruslah mencakup kapabilitas untuk membuat, memilih, menyimpan, menegakkan, mengubah, dan menghapus aturan-aturan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi kebakaran hutanlahan. Keberhasilan tindakan-tindakan terhadap aturan-aturan tersebut bergantung pada modal sosial social capital, yang terdiri antara lain hubungan- hubungan kepercayaan relations of trust, hubungan timbal-balik reciprocity, aturan-aturan, norma-norma dan sanksi-sanksi, dan keterkaitan connectedness di dalam institusi Pretty 2001 diacu dalam Jenssen 2005. Kondisi saling mengenal di antara organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan tersebut dapat menggambarkan kondisi tentang masih sulitnya menjalankan tindakan-tindakan terhadap aturan-aturan dalam pengendalian kebakaran. Perencanaan atau agenda setting bersama tampaknya masih sulit dikarena hubungan antar orang-orang dari organisasi- organisasi tersebut belum akrab, bahkan banyak yang belum saling mengenal. Alasan yang mungkin dari kondisi tersebut antara lain adalah frekuensi pertemuan danatau komunikasi antar organisasi tersebut kemungkinan besar masih sangat kurang, dan belum adanya penunjukan orang-orang tertentu dari masing-masing organisasi sebagai kontak contact persons yang tetap. Kondisi hubungan antar 152 organisasi seperti ini pula yang tampaknya membuat penanganan kebakaran hutanlahan di semua tingkatan masih belum optimal. Analisis terhadap pola hubungan antar organisasi berdasarkan dari ketiga aspek tersebut di atas dapat memperoleh kesimpulan sementara bahwa integrative coordination Bolland Wilson 1994 belum terpenuhi. Di sisi lain, integrasi kebijakan Meijers Stead 2004 masih sulit dibangun karena konsep keterpaduan integrated atau “kemenyeluruhan” comprehensiveness belum menjadi acuan bagi organisasi-organisasi yang terlibat tersebut. Putusnya hubungan antar tingkatan di hampir seluruh dari ketiga aspek hubungan antar organisasi tersebut di atas masih menjadi kendala dalam penanganan pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia. 5.3.2. Tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap mekanisme hubungan antar organisasi Hasil analisis terhadap angket penelitian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari organisasi-organisasi yang diamati di tingkat nasional, provinsi dan kabupatenkota pada dasarnya telah mengetahui adanya mekanisme hubungan internal organisasinya. Mekanisme hubungan internal tersebut telah ditetapkan dalam bentuk tata hubungan kerja tahubja yang mengikuti struktur dari organisasi yang bersangkutan. Sebagian besar organisasi, terutama di tingkat nasional dan provinsi, pada umumnya telah relatif berkembang, dalam arti bahwa aktivitas-aktivitas di dalam organisasi telah direncanakan dengan baik, telah mengembangkan suatu mekanisme dalam bentuk prosedur-prosedur yang mengatur aliran tugas, tanggung jawab, informasi, dan lain-lain dari satu bagian ke bagian lain Brown Harvey 2006. Sebaliknya, oganisasi-organisasi yang belum memiliki mekanisme hubungan internal terutama adalah di tingkat kabupatenkota. Hal ini disebabkan antara lain oleh belum mantapnya organisasi dalam menetapkan visi dan misi, struktur organisasi, sumber daya manusia, maupun sarana dan prasarana di dalam organisasi. Organisasi-organisasi tersebut baru dibentuk mengikuti terbentuknya kabupatenkota baru hasil pemekaran danatau struktur pemerintahan baru yang 153 otonom, seperti di Kota Dumai, Riau dan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Penggabungan tiga organisasi pemerintah daerah di Kota Dumai yaitu Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan menjadi satu yaitu Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan telah mengubah mekanisme hubungan antar ketiga organisasi yang sebelumnya bersifat eksternal untuk mencapai visi yang berbeda-beda menjadi hubungan internal untuk mencapai satu visi bersama. Sementara itu, di Kubu Raya yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak, pada saat penelitian ini dilakukan pemerintah daerahnya masih disibukkan oleh penataan elemen-elemen organisasi, terutama sumber daya manusia dan sarana dan prasarana organisasi. Pada tingkat nasional, hanya sekitar separuh dari jumlah responden yang menyatakan bahwa organisasinya telah memiliki mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan, dan seperempat dari jumlah responden masih meragukan adanya mekanisme tersebut Gambar 39. Ketika hal tersebut dikonfirmasi dengan hasil wawancara terhadap beberapa responden, semuanya menyatakan bahwa mekanisme hubungan tersebut masih berupa suatu kesepakatan tidak tertulis di antara organisasi-organisasi tersebut. Hampir semua responden yang menyatakan telah adanya mekanisme hubungan tersebut adalah berasal dari organisasi-organisasi yang memang aktif terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan yaitu Dit. PKH, Asdep PKHL, dan Ditlinbun. Keragu-raguan dan ketidaksetujuan responden mengenai sudah adanya mekanisme hubungan antar organisasi di tingkat nasional tersebut beralasan karena ternyata pada tingkat nasional belum terbentuk secara formal sistem pengorganisasian untuk pengendalian kebakaran hutanlahan. Sistem pengorganisasian yang berlaku sekarang hanyalah merupakan kesepakatan tidak tertulis untuk menjalankan sistem pengorganisasian yang pernah ada yaitu berupa organisasi yang bernama Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional Pusdalkarhutnas. Organisasi tersebut dibentuk dengan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 188Kpts-II1995 dan berlaku di jajaran Departemen Kehutanan, sedangkan sistem pengorganisasian yang melibatkan organisasi- organisasi pemerintah lainnya di tingkat nasional adalah Tim Koordinasi Nasional 154 Penanggulangan Kebakaran Hutanlahan TKN-PKHL yang dibentuk oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995. Kedua organisasi tersebut tidak pernah dibubarkan tetapi juga dianggap sudah tidak berlaku lagi sejak era reformasi tahun 19981999. Mekanisme hubungan di tingkat nasional yang belum tertulis tersebut tampaknya yang membuat para responden di tingkat provinsi baik di Riau maupun Kalimantan Barat menyatakan ketidaktahuan mereka mengenai adanya mekanisme tersebut. Namun mereka di tingkat kabupatenkota di kedua provinsi tersebut sebagian besar menjawab setuju mengenai sudah adanya mekanisme tersebut di tingkat nasional. Hasil wawancara terhadap beberapa responden di tingkat kabupatenkota mengenai hal tersebut memperoleh gambaran tentang keyakinan mereka bahwa di tingkat nasional pasti sudah ada mekanisme tersebut karena selama ini instansi pemerintah pusat nasional dianggap cepat dalam merespon laporan kejadian kebakaran dari kabupatenkota. Para responden di tingkat provinsi sendiri sebagian besar juga menyatakan bahwa provinsinya belum memiliki mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Gambar 40 merupakan contoh proporsi jumlah responden di Provinsi Riau dan gambaran serupa bagi Kalimantan Barat Gambar 39 Pendapat responden di tingkat nasional tentang adanya mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat nasional. 155 dengan 16,67 menyatakan sangat tidak setuju dan 50 tidak setuju bahwa provinsinya telah memiliki mekanisme tersebut. Gambar 40 Pendapat responden di Provinsi Riau tentang adanya mekanisme hubungan antar organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Pendapat responden dari kabupatenkota di kedua provinsi terhadap mekanisme hubungan antar organisasi tersebut di tingkat provinsi sama dengan pendapat mereka untuk tingkat nasional. Mereka percaya bahwa mekanisme tersebut telah ada dengan alasan yang sama yaitu dapat mengalirnya respon dari tingkat nasional ke kabupatenkota melalui provinsi karena sudah adanya mekanisme di tingkat provinsi. Pada kenyataannya, mekanisme yang baku di masing-masing level maupun antar level belum terbentuk secara formal. Ketiadaan mekanisme tersebut jelas menghambat proses pengerahan sumber daya untuk pengendalian kebakaran, terutama terkait dengan penyediaan anggaran untuk penanganan kejadian kebakaran. Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan menurut lebih dari separuh responden baik di tingkat nasional, di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupatenkota bukan hanya kalau dibutuhkan melainkan sudah melekat di dalam bidang tugas. Persentase jumlah responden yang menyatakan hal tersebut pada tingkat nasional adalah sekitar 66 Gambar 41, di Provinsi Riau dan Provinsi Kalimantan Barat, masing-masing 70 dan 88, dan di tingkat kabupatenkota di Riau dan Kalimantan Barat masing-masing 67 dan 70 Gambar 42. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan banyaknya responden yang memiliki pengetahuan mengenai adanya prosedur tetap kerja sama dalam 156 pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkatannya masing-masing yakni sebanyak 68 responden di tingkat nasional, 90 di Provinsi Riau, 93 di Provinsi Kalimantan Barat, 66 di kedua kabupaten dan kota di Riau dan 58 di kedua kabupaten di Kalimantan Barat. Gambar 41 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat nasional dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Gambar 42 Alasan keterlibatan organisasi di tingkat provinsi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Hasil wawancara memperoleh gambaran bahwa para responden tersebut sekadar mengetahui adanya dokumen yang mengatur tentang kerja sama berbagai organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan, tetapi mereka tidak mengetahui rincian tentang bagaimana mekanisme hubungan kerja sama tersebut. Responden mengetahui tentang hubungan kerja sama tersebut juga hanya pada tingkatan di mana organisasi mereka berada dan antar tingkatan nasional, 157 provinsi, dan kabupatenkota, sedangkan mengenai hubungan dengan organisasi internasional sebagian besar 60 menyatakan belum tahu. Keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan menurut sebagian besar responden baik di tingkat nasional, di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupatenkota ditentukan oleh ketersediaan sumber daya, terutama ketersediaan sarana dan prasarana dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi yang bersangkutan Gambar 41 dan Gambar 42 . Ketersediaan dana atau anggaran dari organisasi sendiri menjadi pertimbangan berikutnya. Hal ini berarti bahwa organisasi akan terlibat atau mengirimkan bantuan dalam pengendalian kebakaran, terutama dalam pemadaman kebakaran hutanlahan jika mereka memiliki peralatan dan personil. Namun demikian, pengerahan bantuan yang sebenarnya, akan terjadi jika organisasi tersebut memiliki cukup dana untuk itu, sedangkan ketersediaan dana dari luar organisasi kurang menjadi pertimbangan. Hal ini yang menjadi salah satu alasan organisasi-organisasi tersebut tidak segera bertindak mengerahkan sumber dayanya ketika ada kebakaran karena ternyata anggaran atau dana yang ada pada organisasinya sendiri tidak ada atau sangat sedikit sedangkan dana dari luar organisasi juga belum jelas mekanismenya. Mekanisme baku mengenai perbantuan sumber daya antar organisasi sejauh ini belum ada. Upaya untuk membangun kesepakatan antar organisasi untuk menciptakan mekanisme tersebut juga belum ada. Kekosongan mekanisme perbantuan sumber daya antar organisasi tersebut belum menjadi agenda dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupatenkota, sehingga penanganan pengendalian kebakaran hutanlahan berjalan sendiri-sendiri oleh masing-masing organisasi. Keterlibatan dalam pengendalian kebakaran juga dipengaruhi oleh keterkaitan dengan tanggung jawab terhadap status kawasan yang terbakar, sebagaimana dinyatakan oleh 62,50 responden di tingkat nasional, 85,71 di tingkat provinsi Riau, 55,50 di tingkat provinsi Kalimantan Barat, 54,55 di Kota Dumai, 44,40 di Kabupaten Inderagiri Hulu, 76,47 di Kabupaten Ketapang, dan 52,50 di Kabupaten Kubu Raya. Hal ini berarti bahwa 158 keterlibatan organisasi dalam operasi pengendalian kebakaran, baik dalam bidang pencegahan, penanganan pasca-kebakaran, maupun terutama pemadaman kebakaran, sangat ditentukan oleh lokasi di mana kegiatan dilaksanakan. Dishut, misalnya, akan dengan segera merespon permintaan bantuan jika kebakaran terjadi di kawasan hutan. Demikian pula halnya dengan Disbun yang akan memberikan prioritas respon kepada permintaan bantuan untuk penanganan kebakaran di kawasan perkebunan. Kedekatan hubungan antara organisasi yang meminta bantuan dengan organisasi yang dimintai bantuan turut menjadi pertimbangan juga. Di tingkat nasional, komposisi antara sangat tidak setuju dan tidak setuju dengan setuju dan sangat setuju adalah 29,16 dengan 41,67, dan 29,17 ragu-ragu, yang berarti organisasi akan mengirimkan bantuan jika organisasi yang memintanya dianggap dekat secara psikologis. Di Provinsi Riau, komposisinya relatif serupa yaitu 57,14 setuju dan 23,81 tidak setuju, sementara di Provinsi Kalimantan Barat terjadi sebaliknya yaitu 50 tidak setuju dan 23, 20 setuju. Hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan departementasi pada struktur organisasi Pusdalkarhutlada di mana di Riau pembagian tugas berdasarkan pada bidang- bidang pengendalian kebakaran sehingga batas-batas kawasan pemangkuan kurang menjadi perhatian, sementara di Kalimantan Barat pembagian tugas berdasarkan tanggung jawab pada kawasan sehingga apapun yang terjadi di kawasan yang menjadi tanggung jawabnya adalah benar-benar menjadi tugas dan tanggung jawabnya dengan kurang mengharapkan bantuan dari organisasi lain yang sudah memiliki tanggung jawab di kawasannya sendiri. Hal serupa terjadi pada tingkat kabupatenkota, di mana di kabupatenkota di Riau persentase responden yang tidak setuju dengan yang setuju adalah sama yaitu 44,44, sedangkan di kedua kabupaten di Kalimantan Barat komposisinya adalah 58,82 tidak setuju dan 29,41 setuju. Alasan untuk hal tersebut juga tampaknya serupa karena pembagian tugas pada Pusdalkarhutlada di tingkat provinsi dan Satlakdalkarhutla di tingkat kabupatenkota di provinsi yang sama juga serupa. 159 Hasil analisis data menunjukkan bahwa kurang dari separuh jumlah responden menjawab pertanyaan di bagian tersebut. Hal ini ketika dikonfirmasi kepada beberapa responden yang tidak menjawab angket tersebut diperoleh dua alasan pokok. Pertama, responden merasa tidak mengetahui atau kurang yakin mengenai hubungan organisasinya dengan organisasi-organisasi lain yang ada di dalam daftar angket tersebut dalam hal-hal yang dipertanyakan. Sebagai contoh, mengenai pertukaran bantuan, responden merasa kurang yakin mengenai adanya saling memberi dan menerima bantuan antara organisasinya dengan organisasi lain. Bantuan yang dimaksud sebenarnya tidak terbatas pada bantuan dalam konteks pengendalian kebakaran hutanlahan saja melainkan bantuan dalam berbagai bidang. Hal ini memang tidak dijelaskan di dalam angket penelitian dan peneliti juga tidak memberikan penjelasan ketika melakukan wawancara dan konfirmasi tersebut karena peneliti beranggapan bahwa responden adalah pejabat atau pimpinan organisasi yang dianggap telah mampu memahami makna yang tersurat maupun tersirat dari kalimat-kalimat di dalam angket penelitian. Namun demikian, hal tersebut juga dapat mengindikasikan bahwa responden yang terdiri dari para pimpinan organisasi tersebut pada dasarnya belum memahami hubungan atau keterkaitan antara organisasinya dengan organisasi-organisasi lain di berbagai hal. Kekurangpahaman responden mengenai bantuan layanan yang diberikan organisasinya ataupun yang diterima oleh organisasinya juga dapat mengindikasikan bahwa organisasi-organisasi tersebut masih lebih banyak bekerja atau berjalan secara sendiri-sendiri dan masih kurang bekerja sama baik dalam bentuk koordinasi ataupun kolaborasi dengan organisasi-organisasi lain. Kedua, responden merasa bahwa angket tersebut terlalu rumit dan sulit mengisinya karena kurangnya petunjuk pengisian. Kerumitan dan kesulitan dalam pengisian angket tersebut ternyata berkaitan dengan alasan pertama setelah peneliti mengonfirmasi alasan kedua tersebut. Peneliti tidak melakukan perubahan terhadap angket tersebut karena angket tersebut merupakan satu bentuk adaptasi metode yang sedang diujicobakan melalui penelitian ini. Di samping itu, peneliti melihat alasan utama tampaknya adalah keengganan responden untuk mengisi semua pertanyaan dalam angket karena dari pemantauan peneliti terhadap beberapa responden, mereka sepertinya sengaja melewatkan bagian dari angket 160 yang memerlukan perhatian lebih serius dan yang mengharuskan responden menuliskan jawaban, bukan sekadar mencontreng. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi peneliti sendiri maupun para peneliti lain ketika membuat angket penelitian serupa agar dapat memperoleh tingkat yang lebih tinggi dalam pengisian angket yang disebarkan. Kondisi seperti itu dapat terjadi antara lain karena kurang jelas dan rincinya prosedur atau mekanisme hubungan antar organisasi di dalam dokumen pembentukan organisasi pengendalian kebakaran hutanlahan tersebut. Di tingkat nasional, hubungan dalam bentuk perbantuan antar organisasi belum didefinisikan dengan jelas. Salah satu landasan hukum yang menjelaskan hubungan antar organisasi adalah Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang di dalamnya mengamanatkan adanya unsur pengarah yang melibatkan berbagai instansi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat 2. Aturan tersebut kemudian diuraikan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2008 di mana unsur pengarah tersebut melibatkan 10 sepuluh organisasi Pemerintah. Peraturan Presiden tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut peranan dari masing-masing organisasi tersebut yang seharusnya menjadi alasan dilibatkannya mereka dalam BNPB. Ketiadaan uraian tentang peranan, tugas, fungsi, dan tanggung jawab dari masing-masing organisasi tersebut serta tidak adanya kejelasan mekanisme perbantuan dari dan oleh organisasi-organisasi tersebut dapat membuat penanganan bencana menjadi tidak optimal. Hal serupa juga terjadi di tingkat provinsi dan kabupatenkota di mana dokumen pembentukan Pusdalkarhutla dan Satlakdalkarhutla juga tidak menguraikan dengan jelas bentuk-bentuk layanan yang harus disediakan oleh masing-masing organisasi yang terlibat serta mekanisme penyediaan dan penerimaan layanan-layanan tersebut. Seharusnya, masing-masing organisasi tersebut didefinisikan bentuk-bentuk layanan yang harus disediakan dan yang diterima sehingga ketika diperlukan, organisasi-organisasi tersebut dengan sendirinya dapat segera menyediakan layanan-layanan sesuai dengan kewajibannya. 161 Jika mengacu pada hasil angket penelitian, dari jawaban yang diberikan responden terlihat komposisi perbantuan layanan terbagi atas empat situasi, yaitu: 1 situasi di mana responden tidak mendefinisikan bentuk perbantuan layanan atau menganggap bahwa organisasinya tidak ada hubungan perbantuan layanan dengan organisasi-organisasi lain, yang dalam hal ini digambarkan dengan susunan 0,0; 2 situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya memberikan bantuan layanan kepada organisasi lain, yang digambarkan dengan susunan 1,0; 3 situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya menerima bantuan layanan dari organisasi lain, yang digambarkan dengan susunan 0,1; dan 4 situasi di mana responden menyatakan bahwa organisasinya memberikan kepada dan juga menerima bantuan layanan dari organisasi lain, yang digambarkan dengan susunan 1,1. Jawaban dari responden secara ringkas dapat direkapitulasi seperti pada Gambar 43. Responden memilih susunan 0,0 sebanyak 90,51, susunan 1,0 sebanyak 2,44, susunan 0,1 sebanyak 3,27, dan susunan 1,1 sebanyak 3,78 dari seluruh susunan yang ada. Hal ini dapat menggambarkan bahwa sebagian besar responden masih menganggap bahwa organisasinya tidak memiliki hubungan dengan organisasi lain dalam hal bantuan layanan. Di samping itu, jika ada hubungan tersebut, responden menyatakan bahwa organisasinya lebih banyak Gambar 43 Hubungan bantuan layanan menurut pendapat responden. 162 menerima 0,1 daripada memberikan 1,0 bantuan. Angket penelitian memang tidak merinci pendapat responden sebagai gambaran kondisi yang sebenarnya ataukah kondisi yang diinginkan responden saat penelitian. Namun demikian dari wawancara dapat diketahui bahwa hal tersebut lebih merupakan keinginan responden yang dilatari oleh kenyataan pada sekarang ini bahwa organisasi mereka memiliki sumber daya yang sangat terbatas sehingga mereka berkeinginan untuk memperoleh bantuan sumber daya, terutama dana, khususnya untuk keterlibatan organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Permasalahan di dalam hubungan antar organisasi terutama dalam perbantuan dan transaksi sumber daya baik dalam satu tingkatan maupun terutama antar tingkatan terkait dengan persoalan-persoalan yang ada dalam penerapan kebijakan otonomi daerah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian pembahasan rancang bangun sistem pengorganisasian di bagian akhir bab ini.

5.4. Kapasitas Organisasi

Kedua sub bab tersebut di atas telah menguraikan aspek-aspek dalam sistem pengorganisasian dari sisi keterkaitan antara organisasi yang terlibat dalam sistem tersebut. Sub bab ini menganalisis kondisi internal dari setiap organisasi yang terlibat langsung dalam pengendalian kebakaran hutanlahan. Analisis dilakukan terhadap efektivitas masing-masing organisasi dan terhadap komponen-komponen dalam organisasi yang menunjukkan kapasitas organisasi-organisasi tersebut. Sebagaimana diuraikan di dalam Bab II, penelitian ini membedakan antara efektivitas dengan kinerja, di mana efektivitas organisasi digunakan untuk menggambarkan kapasitas organisasi sedangkan kinerja organisasi adalah untuk menggambarkan hasil yang dicapai oleh organisasi. Pengukuran efektivitas organisasi dalam penelitian ini menggunakan salah satu pendekatan untuk mengukur efektivitas organisasi yang dikemukakan Kreitner dan Kinicki 1992 yakni pendekatan sistem-sistem yang sehat healthy system. Pendekatan ini meminta ukuran-ukuran efektivitas berupa antara lain adanya aliran informasi yang baik, loyalitas pegawai, komitmen, kepuasan kerja dan kepercayaan. 163 Studi ini mencoba memberikan interpretasi terhadap pendekatan tersebut karena tidak adanya arahan rinci mengenai hal tersebt. Penerapannya di dalam penelitian ini adalah dengan membuat ukuran obyektif dan ukuran subyektif Young Lee Whitford 2008. Ukuran obyektif dibangun dari catatan-catatan atau arsip-arsip, yaitu dokumen-dokumen organisasi yang menunjukkan komponen-komponen pengukuran efektivitas, seperti tertuang dalam prosedur pengukuran efektivitas organisasi pada Lampiran 7. Sebagai contoh, Daftar Urut Kepangkatan DUK digunakan untuk menilai kapasitas sumber daya manusia SDM organisasi dari segi tingkat pendidikan dan keikutsertaan dalam pelatihan- pelatihan yang berhubungan dengan pengendalian kebakaran hutanlahan. Ukuran subyektif dibangun dari respon survei yang diperoleh dari anggota organisasi. Studi ini menggunakan komponen-komponen efektivitas organisasi dalam melihat kapasitas organisasi untuk menjalankan tanggung jawabnya dalam pengendalian kebakaran. Komponen-komponen yang dimaksud, yang dirangkum dari Philbin dan Mikhus 2008 dan standar dari good governance OPM dan CIPFA 2004 meliputi: 1 visi dan misi, 2 struktur organisasi, 3 sumber daya manusia, 4 sarana dan prasarana, dan 5 mekanisme kerja. Formula untuk mengukur efektivitas organisasi pemerintah, terutama dalam pengendalian kebakaran hutanlahan belum ditemukan sampai dilaksanakannya studi ini. Studi ini membuat formula sederhana dengan menjumlahkan skor dari kelima komponen tersebut di atas. Hasil analisis dengan Analytical Hierarchy Process AHP terhadap hasil pengisian angket penelitian oleh para pakar mendapatkan nilai bobot untuk masing-masing dari kelima komponen kapasitas organisasi tersebut dan selanjutnya nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam rumus efektivitas organisasi EO sehingga diperoleh rumus pengukuran efektivitas sebagai berikut: di mana: V = skor visi dan misi S = skor struktur organisasi EO = 0,285V + 0,238S + 0,243D + 0,089P + 0,145M 164 D = skor sumber daya manusia P = skor sarana dan prasarana M = skor mekanisme kerja Nilai-nilai V, S, D, Pdan M diperoleh dari penilaian terhadap kondisi di lapangan yakni profil organisasi, keberadaan dokumen bukti dari komponen- komponen tersebut, dan hasil pengisian kuisioner. Penentuan tingkat efektivitas dilakukan dengan menggunakan rumus tersebut dan memasukkan jumlah skor minimum dan skor maksimum yang dapat diperoleh organisasi yang diamati. Jumlah skor minimum adalah 0 nol, sedangkan jumlah skor maksimum adalah 43. Penilaian efektivitas organisasi dilakukan dengan menempatkan EO hasil pengamatan terhadap organisasi yang bersangkutan ke dalam daftar kisaran pada Tabel 12. Tabel 12 Kisaran untuk penilaian efektivitas organisasi Tingkat Efektivitas Skor Total Tidak efektif 0 sd 10,75 Kurang efektif 10,75 sd 21,50 Efektif 21,50 sd 32,25 Sangat efektif 32,25 sd 43 Pengukuran efektivitas organisasi dengan menggunakan tabel tersebut menghasilkan kondisi efektivitas dari organisasi-organisasi yang di amati di tiap tingkatan seperti ditunjukkan pada Tabel 13 untuk tingkat nasional, Tabel 14 untuk tingkat provinsi dan Tabel 15 untuk tingkat kabupatenkota. Tabel 13 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat nasional No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO 1 Dit. PKH 8.917 5.678 6.275 1.761 3.553 26.184 E 2 Dit. Linbun 7.441 5.210 5.725 1.404 3.625 23.405 E 3 Dit. Lintan 5.288 6.214 6.318 1.859 4.189 23.868 E 4 Dit. TD 6.270 7.164 6.641 2.035 4.205 26.315 E 5 Asdep PKHL 7.553 5.950 6.500 1.780 3.625 25.408 E VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja; ST = skor total; EO = efektivitas organisasi; E = efektif 165 Tabel 14 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat provinsi No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO Provinsi Riau 1 Dishut Prov 6.555 5.474 5.832 1.780 3.335 22.976 E 2 Disbun Prov 5.914 4.701 5.346 1.424 2.900 20.285 KE 3 BLH Prov 7.533 5.543 5.623 1.131 3.128 22.958 E 4 BBKSDA Riau 7.980 5.686 6.128 1.652 3.335 24.781 E Provinsi Kalimantan Barat 1 Dishut Prov 7.233 5.743 5.621 1.424 3.566 23.587 E 2 Disbun Prov 6.726 5.284 6.075 1.355 3.321 22.761 E 3 BLHD Prov 7.664 6.267 6.371 1.711 3.496 25.509 E 4 BKSDA Kalbar 7.980 5.686 6.128 1.652 3.335 24.781 E Keterangan: VM = skor visi dan misi; SO = skor struktur organisasi; SDM = skor sumber daya manusia; SP = skor sarana dan prasarana; MK = skor mekanisme kerja; ST = skor total, EO = efektivitas organisasi; E = efektif Tabel 15 Hasil pengukuran efektivitas organisasi di tingkat kabupatenkota No. Organisasi VM SO SDM SP MK ST EO Kota Dumai 1 Distanbunhut 5.606 5.077 6.318 1.484 2.900 21.385 KE 2 KLH 5.415 4.284 5.711 1.113 2.828 19.351 KE Kab. Inhu 1 Dishutbun 5.358 4.950 5.881 1.355 3.031 20.575 KE 2 BLHD 5.415 4.205 5.183 1.217 3.093 19.113 KE Kab. Ketapang 1 Dishut Kab 6.060 4.643 4.521 1.314 3.456 19.994 KE 2 Disbun Kab 5.911 4.184 5.065 1.245 3.211 19.616 KE 3 BLHD Kab 6.664 5.167 5.271 1.601 3.386 22.089 E Kab. Kubu Raya 1 Dishutbun 5.448 4.705 5.772 1.300 3.047 20.272 KE 2 BLHD Kab 5.015 3.975 5.303 1.273 3.185 18.751 KE Keterangan: VM = skor visi dan misi; SO = skor struktur organisasi; SDM = skor sumber daya manusia; SP = skor sarana dan prasarana; MK = skor mekanisme kerja; ST = skor total, EO = efektivitas organisasi; E = efektif; KE = kurang efektif Hasil tersebut menunjukkan bahwa organisasi-organisasi di tingkat nasional dan provinsi tersebut sudah efektif, sedangkan yang di tingkat kabupatenkota masih kurang efektif. Jika dilihat dari besarnya skor yang diperoleh, yang lebih dekat kepada batas bawah pada tingkat efektif, maka dapat dikatakan bahwa organisasi-organisasi di tingkat provinsi sudah berada pada tingkat efektif tetapi 166 relatif masih rendah, sedangkan di tingkat kabupatenkota, hasil pengukuran menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut masih belum efektif. Efektivitas yang masih relatif rendah atau bahkan belum efektif pada organisasi-organisasi tersebut dapat menunjukkan masih belum terpenuhinya komponen-komponen prasyarat bagi organisasi yang efektif. Seberapa jauh masing-masing organisasi tersebut telah memenuhi komponen-komponen tersebut dapat dilihat dari persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponennya, seperti ditunjukkan untuk organisasi-organisasi di tingkat nasional pada Tabel 16 berikut. Persentase tersebut juga menggambarkan kapasitas dari organisasi yang bersangkutan. Persentase tersebut dihitung dari skor yang diperoleh masing-masing organisasi pada komponen tersebut dibagi dengan skor maksimum kontrol pada komponen tersebut. Persentase tersebut menunjukkan bahwa semua organisasi yang diukur pada umumnya telah mencapai lebih dari 50 dari tingkat efektivitas maksimum, tetapi masih di bawah 75. Persentase tertinggi yang dicapai Dit. PKH pada komponen visi dan misi yakni 74,49 wajar karena hanya organisasi tersebut yang memang visi dan misinya secara eksplisit menyebutkan unsur-unsur dari pengendalian kebakaran hutanlahan. Tabel 16 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi di tingkat nasional No. Organisasi VM SO SDM SP MK 1 Dit. PKH-Kemhut 74,49 51,86 57,38 56,53 61,26 2 Dit. Linbun-Kemtan 62,16 47,59 52,35 45,07 62,50 3 Dit. Lintan-Kemtan 44,18 56,76 57,78 59,68 72,22 4 Dit. TD-BNPB 52,38 65,44 60,73 65,33 72,50 5 Asdep PKHL-KNLH 63,10 54,35 59,44 57,14 62,50 Rata-rata 59,26 55,20 57,53 56,75 66,20 Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja 167 Sementara itu, adalah wajar juga jika Dit. Lintan memperoleh persentase terendah untuk komponen visi dan misi karena dari angket penelitian maupun wawancara dan profil organisasi, organisasi tersebut tidak berurusan dengan kebakaran hutanlahan. Penyiapan lahan yang biasanya menggunakan pembakaran dianggap oleh para responden dari Dit. Lintan sebagai tidak lagi menjadi urusan organisasi tersebut melainkan menjadi urusan dari pemilik atau pemangku kawasan, yaitu para petani sendiri dan pemerintah daerah. Hal serupa juga dinyatakan oleh Dit. Linbun, di mana organisasi tersebut hanya berurusan dengan perlindungan perkebunan dari organisme pengganggu tanaman OPT, sedangkan urusan penyiapan lahan menjadi urusan pemilik atau pemangku kawasan. BNPB memiliki persentase tertinggi di hampir semua komponen, kecuali visi dan misi, dibandingkan dengan keempat organisasi lainnya di tingkat nasional. Skor total bagi organisasi tersebut juga tertinggi, diikuti Dit. PKH dan Asdep PKHL. Hal ini dapat menunjukkan bahwa di antara organisasi-organisasi tersebut, BNPB merupakan organisasi yang paling siap kapasitasnya untuk menangani pengendalian kebakaran hutanlahan. Pada tingkat provinsi, seperti pada Tabel 17 dan Tabel 18, persentase skor perolehan hampir seluruhnya masih di bawah 50. Hal ini menggambarkan suatu kondisi kapasitas organisasi yang masih jauh di bawah kapasitas optimalnya untuk menangani kebakaran. Alasan ketidaksiapan organisasi-organisasi tersebut untuk terlibat dalam pengendalian kebakaran biasanya adalah masih kurangnya sarana dan prasarana. Hal ini memang sangat tampak dari Tabel tersebut. Tabel 17 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi di tingkat provinsi untuk Provinsi Riau No. Organisasi VM SO SDM SP MK 1 Dishut Prov 54,76 50,00 53,33 57,14 57,50 2 Disbun Prov 49,41 42,94 48,89 45,71 50,00 3 BLHD Prov 62,93 50,63 51,42 36,31 53,93 4 BBKSDA 66,67 51,94 56,04 53,03 57,50 Rata-rata 58,44 48,88 52,42 48,05 54,73 Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja. 168 Tabel 18 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi di tingkat provinsi untuk Provinsi Kalimantan Barat No. Organisasi VM SO SDM SP MK 1 Dishut Prov 60,43 52,46 51,40 45,71 61,48 2 Disbun Prov 56,19 48,26 55,56 43,50 57,26 3 BLHD Prov 64,03 57,24 58,26 54,93 60,28 4 BKSDA 66,67 51,94 56,04 53,03 57,50 Rata-rata 61,83 52,38 55,32 49,29 59,13 Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja. Kepemilikan sarana dan prasarana baik untuk kepentingan umum organisasi tersebut maupun untuk pengendalian kebakaran hutanlahan masih relatif rendah. Dishut Provinsi dan Balai KSDA merupakan organisasi yang memiliki sarana dan prasarana relatif terbesar di antara organisasi-organisasi lain. Hal ini terkait dengan tugas pengendalian kebakaran yang melekat pada kedua organisasi tersebut. Dishut Provinsi memang diberi tugas di bidang pemadaman yang memang memerlukan sarana dan prasarana pemadaman, sedangkan Balai KSDA di kedua provinsi tersebut telah memiliki sumber daya pengendalian kebakaran dengan adanya Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Manggala Agni. Komponen lain yang mempunyai persentase besar adalah mekanisme kerja. Pada umumnya organisasi-organisasi di tingkat nasional dan provinsi merupakan organisasi lama dan telah memiliki prosedur-prosedur kerja tertulis tentang tata hubungan kerja antar bagian di dalamnya. Sementara di tingkat kabupatenkota, penggabungan beberapa instansi menjadi satu, seperti di Kota Dumai di mana Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, dan Dinas Kehutanan digabung menjadi satu dan perubahan eselon dari organisasi eselon II Badan Lingkungan Hidup ke eselon III Kantor Lingkungan Hidup membuat organisasi tersebut harus menata diri kembali terutama dalam struktur organisasi dan mekanisme kerjanya. Hal ini terlihat pada Tabel 19 dan Tabel 20 di mana persentase komponen-komponen pada kedua organisasi tersebut masih di bawah 50. 169 Tabel 19 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi tingkat kabupatenkota di Provinsi Riau No. Organisasi VM SO SDM SP MK 1 Distanbunhut Kota Dumai 46,83 46,37 57,78 47,64 50,00 2 KLH Kota Dumai 45,24 39,13 52,23 35,73 48,76 3 Dishutbun Kab. Inhu 44,76 45,21 53,78 43,50 52,26 4 BLHD Kab. Inhu 45,24 38,41 47,40 39,07 53,33 Rata-rata 45,52 42,28 52,80 41,48 51,09 Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja; Tabel 20 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi tingkat kabupatenkota di Provinsi Kalimantan Barat No. Organisasi VM SO SDM SP MK 1 Dishut Kab. Ketapang 50,63 42,41 41,34 42,18 59,59 2 Disbun Kab. Ketapang 49,38 38,22 46,32 39,97 55,36 3 BLHD Kab. Ketapang 55,67 47,20 48,20 51,40 58,38 4 Dishutbun Kab. Kubu Raya 45,51 42,98 52,78 41,73 52,53 5 BLHD Kab. Kubu Raya 41,90 36,31 48,50 40,87 54,91 Rata-rata 48,43 42,22 47,71 44,04 56,35 Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja; Semua kondisi tersebut, baik cuaca yang sulit diatasi maupun pembukaan lahan dan faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kebakaran sebenarnya dapat diprediksi dan dikelola dengan kesiapan organisasi-organisasi yang bertanggung jawab atas masalah tersebut, terutama yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran. Permasalahannya adalah apakah organisasi-organisasi yang menangani masalah kebakaran sudah memiliki kapasitas yang memadai dan sudah efektif. Jika melihat kondisi efektivitas organisasi tersebut di atas, terutama di tingkat kabupatenkota maka tampaknya masih terdapat masalah pada masing-masing organisasi tersebut sehingga organisasi-organisasi tersebut belum mampu mengatasi kebakaran hutanlahan sampai tuntas. Berikut adalah analisis terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan komponen-komponen efektivitas organisasi dan kapasitas organisasi.