Kapasitas Organisasi Organizing system of forest and land fire control organization in Indonesia

169 Tabel 19 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi tingkat kabupatenkota di Provinsi Riau No. Organisasi VM SO SDM SP MK 1 Distanbunhut Kota Dumai 46,83 46,37 57,78 47,64 50,00 2 KLH Kota Dumai 45,24 39,13 52,23 35,73 48,76 3 Dishutbun Kab. Inhu 44,76 45,21 53,78 43,50 52,26 4 BLHD Kab. Inhu 45,24 38,41 47,40 39,07 53,33 Rata-rata 45,52 42,28 52,80 41,48 51,09 Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja; Tabel 20 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi tingkat kabupatenkota di Provinsi Kalimantan Barat No. Organisasi VM SO SDM SP MK 1 Dishut Kab. Ketapang 50,63 42,41 41,34 42,18 59,59 2 Disbun Kab. Ketapang 49,38 38,22 46,32 39,97 55,36 3 BLHD Kab. Ketapang 55,67 47,20 48,20 51,40 58,38 4 Dishutbun Kab. Kubu Raya 45,51 42,98 52,78 41,73 52,53 5 BLHD Kab. Kubu Raya 41,90 36,31 48,50 40,87 54,91 Rata-rata 48,43 42,22 47,71 44,04 56,35 Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja; Semua kondisi tersebut, baik cuaca yang sulit diatasi maupun pembukaan lahan dan faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kebakaran sebenarnya dapat diprediksi dan dikelola dengan kesiapan organisasi-organisasi yang bertanggung jawab atas masalah tersebut, terutama yang berkaitan dengan pengendalian kebakaran. Permasalahannya adalah apakah organisasi-organisasi yang menangani masalah kebakaran sudah memiliki kapasitas yang memadai dan sudah efektif. Jika melihat kondisi efektivitas organisasi tersebut di atas, terutama di tingkat kabupatenkota maka tampaknya masih terdapat masalah pada masing-masing organisasi tersebut sehingga organisasi-organisasi tersebut belum mampu mengatasi kebakaran hutanlahan sampai tuntas. Berikut adalah analisis terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan komponen-komponen efektivitas organisasi dan kapasitas organisasi. 170 1. Visi dan Misi Visi dan misi merupakan komponen efektivitas organisasi yang penting dan bahkan beberapa pakar menyatakannya sebagai komponen terpenting dalam pengembangan organisasi. Visi dan misi menurut Philbin dan Mikush 2008 merupakan inti atau jantungnya sebuah organisasi the heart of an organization dan sebagai komponen utama dalam standar dari good governance OPM CIPFA 2004. Para responden pakar pun berpendapat serupa dengan memberikan bobot terbesar pada visi dan misi Bv. Setiap organisasi atau instansi yang diamati telah memiliki pernyataan visi dan misi secara tertulis. Organisasi di tingkat nasional yang secara jelas menyatakan visinya mengenai pengendalian kebakaran adalah hanya Dit. PKH. Visi dari organisasi-organisasi lainnya tidak secara jelas menunjukkan kaitan dengan kebakaran hutanlahan. Visi Dit. Linbun misalnya menyatakan tentang perlindungan perkebunan, tetapi misinya lebih berfokus pada perlindungan terhadap organisme penganggu tanaman OPT, bukan pada perlindungan dari kebakaran. Visi dan misi organisasi-organisasi di tingkat provinsi dan kabupatenkota juga tidak menggambarkan keterkaitannya dengan pengendalian kebakaran hutanlahan, kecuali untuk BLH Provinsi Riau yang salah satu misinya secara jelas menyebutkan pengendalian kebakaran hutanlahan. Pengetahuan dan pemahaman dari pimpinan dan anggota organisasi terhadap visi dan misi organisasinya tampaknya juga masih relatif rendah. Hal ini terlihat antara lain dari sedikitnya atau rata-rata kurang dari 30 dari jumlah responden di setiap organisasi yang menyebutkan dengan benar visi dan misi organisasinya. Padahal organisasi akan efektif jika terdapat pemahaman yang jelas dan tegas terhadap nilai-nilai, prioritas dan arahan-arahan sehingga setiap orang paham dan dapat berkontribusi Muhammad 2004; Kasim 1993. Hasil wawancara menunjukkan bahwa para personil organisasi tidak begitu peduli dengan ada tidaknya visi dan misi. Visi dan misi belum menjadi nilai dan jiwa serta motivasi bagi setiap personil organisasi. Beberapa alasan mungkin menyebabkan hal tersebut. Pertama, pernyataan visi dan misi masih keliru. Pernyataan visi dan misi mission 171 statement belum berfokus pada apa yang dapat dilakukan dan dicapai oleh organisasi tersebut Drucker; 1990, sehingga setiap orang dalam organisasi belum dapat berkata, “inilah kontribusi saya kepada tujuan tersebut.” Sebagai contoh, Puspitojati 2008 menyatakan dengan tegas bahwa rencana strategis berbagai dinas kehutanan provinsi tidak jelas, bahkan untuk Dishut Provinsi Kalbar rumusan tujuan tidak sesuai dengan pengertiannya dan rumusan strateginya juga tidak menjelaskan ide atau konsep serta cara terbaik untuk mencapai tujuan. Selain itu, visi dan misi harus sederhana dan jelas Drucker 1990. Setiap organisasi memiliki kompetensi, tetapi tidak mungkin, bahkan tidak perlu, memiliki keseluruhan kompetensi atau total competence Mulford Klonglan 1982. Oleh sebab itu, visi dan misi organisasi harus sesuai dengan kompetensinya. Hampir semua organisasi yang diamati menyatakan visi dan misi yang belum memenuhi kriteria tersebut. Sebagai contoh, Dit. PKH memiliki visi dan misi yang berbunyi: “Terwujudnya kondisi masyarakat yang terlindungi dari berbagai ancaman jiwa, raga, dan harta benda serta terbebas dari pencemaran asap.” Dilihat dari kriteria Drucker 1990 tersebut di atas, pernyataan tersebut baru sekadar keinginan baik, karena untuk mewujudkan visi dan misi tersebut diperlukan total competence dan Dit. PKH hanya memiliki sebagian kecil kompetensi tersebut. Sebagai contoh, pencemaran asap dapat berasal dari berbagai sumber selain kebakaran hutanlahan antara lain kendaraan bermotor dan kebakaran struktur. Dit PKH tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menangani semua sumber pencemaran tersebut, maka visi tersebut seharusnya membatasi diri, misalnya, pada pencemaran asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan. Kedua, visi dan misi hanya dibuat untuk level tertinggi organisasi, sedangkan level-level di bawahnya tidak memiliki visi dan misi tersendiri. Pada setiap organisasi dalam studi ini, visi dan misi hanya ada pada level eselon II, dan belum ada di level eselon III dan IV serta di setiap personil. Ketiga, belum semua personil mengetahui, memahami dan hafal pernyataan visi dan misi tersebut. Hal ini disebabkan oleh sangat minimnya upaya sosialisasi visi dan misi terhadap 172 personil organisasi. Padahal, untuk membangun organisasi yang efektif setiap orang di dalam organisasi harus memahami tujuan dan sasaran organisasi. Tindakan yang harus dilakukan oleh organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan agar lebih efektif dan efisien adalah merekayasa ulang reengineering organisasi antara lain melalui pemahaman terhadap visi organisasi dan komitmen untuk mencapainya Bennis Mische 1996, meningkatkan pemahaman dan antusiasme orang-orang di dalam organisasi terhadap nilai-nilai organisasi, terutama yang mengedepankan hasil atau commitment to results dengan memandang pelanggan sebagai raja atau customers are kings Hammer 1997, dan meningkatkan motivasi pelayanan publik Moynihan Pandey 2007. Dalam konteks kebakaran hutanlahan, kebutuhan utama pelanggan adalah tidak adanya kebakaran hutanlahan. Pada tingkat operasional, visi dan misi tersebut juga belum dapat memberikan arahan yang semestinya. Ketika organisasi-organisasi tersebut ditunjuk untuk suatu posisi dan peranan tertentu di dalam pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan, seharusnya mereka menunjukkan tanggung jawab akan posisi dan peranan tersebut dalam bentuk memasukkan urusan penanganan kebakaran hutanlahan sebagai prioritas ke dalam rencana strategis dan rencana kerjanya agar dapat memperoleh anggarannya. Jika memang organisasi-organisasi tersebut sulit untuk memasukkan urusan kebakaran hutanlahan ke dalam rencananya, maka mungkin lebih baik bila pengendalian kebakaran hutanlahan ditangani oleh sebuah organisasi tersendiri yang tidak melibatkan organisasi-organisasi yang ada tersebut. 2. Struktur Organisasi Permasalahan utama dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang berlaku sekarang dari sisi struktur organisasi adalah belum masuknya secara formal urusan kebakaran hutanlahan ke dalam struktur organisasi dari organisasi-organisasi yang terlibat, kecuali pada Dit. PKH dan Asdep PKHL. Pada Dit. PKH semua level di struktur organisasinya adalah mengenai pengendalian kebakaran hutan, dan di struktur organisasi Asdep PKHL urusan kebakaran ada pada level eselon IV. 173 Pada organisasi-organisasi lainnya di tingkat nasional yang sebelumnya dianggap ikut secara langsung menangani kebakaran hutanlahan ternyata urusan kebakaran tidak ada di dalam struktur organisasinya. Dit Linbun, misalnya, tidak memasukkan urusan kebakaran di dalam uraian tugas. Demikian pula di Dit. TD maupun BNPB, sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008, urusan kebakaran hutanlahan sama sekali tidak disebut bahkan di dalam uraian tugas seluruh jabatan yang ada. Unsur Pengarah yang anggotanya adalah pejabat pemerintah eselon I pun tidak memasukkan pejabat dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian yang selama ini dianggap sebagai organisasi yang wilayah kerjanya dan tugasnya berkaitan dengan kebakaran hutanlahan. Hal ini dapat dimaklumi karena BNPB menangani semua jenis bencana, namun demikian dalam uraian tugas yang semestinya rinci, urusan kebakaran tetap tidak disebutkan secara tersendiri sebagai bagian dari urusan yang secara formal harus ditangani organisasi tersebut. Di tingkat provinsi, sesuai dengan Perda mengenai organisasi dan tata kerja masing-masing provinsi Riau dan Kalbar, kebakaran hutanlahan masuk dalam struktur organisasi pada level eselon IV Seksi di Dishut dan Disbun. Namun sesuai dengan wilayah kerjanya, kedua organisasi tersebut hanya menangani kebakaran di kawasan hutan dan di kawasan perkebunan, sedangkan untuk kebakaran di fungsi lahan lainnya tidak ada yang menanganinya. Dinas Tanaman Pangan yang semestinya menangani urusan-urusan di lahan pertanian, di dalam struktur organisasinya tidak terdapat jabatan yang mengurusi kebakaran lahan, bahkan tidak ada seorang staf pun yang ditugasi untuk menangani urusan tersebut. Di tingkat kabupatenkota, pengendalian kebakaran hutanlahan juga belum mendapat prioritas memadai. Sebagai contoh, di Kota Dumai, menurut Perda nomor 13 tahun 2005, semua urusan pertanian, perkebunan, dan kehutanan masing-masing berada pada level jabatan eselon III, dengan masing-masing terdiri atas 2 jabatan eselon IV yang tidak mencakup urusan kebakaran. Urusan kebakaran hutanlahan ditangani hanya oleh seorang staf non-eselon. Sementara itu, pada organisasi-organisasi lain yang terkait dengan kebakaran, yaitu kebakaran kota, juga ditangani hanya di level eselon IV seksi pada Satpol PP. 174 Struktur organisasi merupakan pengaturan orang-orang dan tugas-tugas untuk mencapai tujuan organisasi Dubrin Ireland 1993. Dengan tidak tercantumnya penanganan kebakaran hutanlahan pada struktur organisasi, maka tidak ada komponen-komponen terkait seperti SDM, sarana dan prasarana serta anggaran yang didedikasikan khusus untuk kebakaran hutanlahan, sehingga organisasi tidak mungkin mencapai tujuan pengendalian kebakaran hutanlahan secara efektif. 3. Sumber Daya Manusia Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia SDM merupakan isu yang sangat penting dalam pengembangan organisasi. Oleh sebab itu, manajemen SDM menjadi sangat penting dalam setiap organisasi Rivai 2004, karena pengembangan SDM merupakan salah satu ciri dari organisasi yang efektif Philbin Mikush 2008. Salah satu aspek SDM dalam organisasi adalah kompetensi. Data profil organisasi menunjukkan bahwa semua organisasi yang diamati baik di tingkat nasional, tingkat provinsi maupun tingkat kabupatenkota memiliki kurang dari 25 jumlah SDM yang pernah mengikuti pelatihan kebakaran hutanlahan. Sementara itu, di dalam rencana strategis maupun rencana kerja organisasi tidak terdapat program manajemen SDM yang jelas. Dengan tingkat kompetensi seperti itu, sulit diharapkan bagi organisasi-organisasi tersebut untuk efektif dan berkinerja tinggi dalam pengendalian kebakaran hutanlahannya. Organisasi-organisasi tersebut belum menyadari pentingnya manajemen SDM. Padahal manajemen SDM merupakan salah satu program penting bagi organisasi untuk meningkatkan kontribusi produktif orang-orang yang ada dalam organisasi melalui sejumlah cara yang bertanggung jawab secara strategis, etis dan sosial Rivai 2004. Tujuan akhirnya adalah peningkatan efisiensi, peningkatan efektivitas, peningkatan produktivitas, rendahnya tingkat perpindahan pegawai, rendahnya tingkat absensi, tingginya kepuasan kerja karyawan, tingginya kualitas pelayanan, rendahnya komplain dari pelanggan, dan meningkatnya bisnis organisasi. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan perlu berfokus pada kebijakan SDM. Organisasi-organisasi tersebut 175 harus membantu personilnya memperoleh ketrampilan dan kemampuan diri untuk menghadapi lingkungan baru, menemukan keamanan dan dukungan untuk menghadapi tantangan yang terus meningkat Kanter 1997. Hal ini memang ditujukan untuk organisasi swasta yang sangat memungkinkan adanya pemecatan pegawai, namun pada organisasi pemerintah pun sebenarnya hal serupa bisa terjadi dalam konteks persaingan untuk memperoleh jabatan, promosi, dan kepercayaan atasan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan dalam proses reformasi birokrasi melalui perampingan organisasi para pegawai akan tersingkir jika tidak memiliki kompetensi yang diperlukan organisasi. Organisasi masa depan harus belajar untuk menangkap modal intelektual pegawainya, karena modal intelektual merupakan aset yang paling dihargai dalam organisasi Ulrich 1997. Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang efektif mensyaratkan adanya manajemen SDM yang berfokus pada kebijakan yang menjadikan modal intelektual sebagai aset yang berharga. Program rekrutmen harus berdasarkan persyaratan penerimaan pegawai yang ketat. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas pegawai melalui pendidikan dan pelatihan juga harus dikelola secara sistematis dengan mempertimbangkan sistem karir yang jelas. Pemahaman individu-individu dalam organisasi mengenai kebakaran hutanlahan relatif masih rendah. Hal ini dapat diindikasikan oleh sangat rendahnya persentase responden, yakni rata-rata baru 12, yang pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan kebakaran hutanlahan. Rendahnya tingkat pemahaman tersebut dapat menjadi penyebab rendahnya bukan hanya kapasitas dari masing- masing organisasi tersebut melainkan juga kapasitas dari sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan. Pelibatan banyak organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan memerlukan saling memahami dan saling menerima di antara organisasi-oganisasi yang terlibat. Kesamaan pengertian dan persepsi di antara organisasi-organisasi tersebut tentang berbagai hal berpengaruh positif di dalam hubungan antar organisasi dalam mencapai keberhasilan bersama termasuk dalam persoalan kebakaran hutanlahan. Oleh sebab itu, sesuai dengan konsep organizational receptivity Nieminen 2005, setiap organisasi yang terlibat harus membina setiap individu, terutama yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab atau sebagai kontak dalam hubungan antar organisasi untuk 176 secara sendiri-sendiri atau terutama bersama-sama antar organisasi mengembangkan diri dalam pemahaman mengenai pengendalian kebakaran hutanlahan agar lebih terjalin saling pengertian di antara organisasi-organisasi tersebut. Setiap organisasi yang terlibat harus memiliki program pengembangan SDM yang mendorong para pimpinan dan stafnya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pengendalian kebakaran hutanlahan, baik diadakan sendiri ataupun mengikutkan pada pendidikan dan pelatihan yang ada. 4. Sarana dan Prasarana Organisasi-organisasi yang diamati pada umumnya menyatakan bahwa mereka tidak memiliki cukup sarana dan prasarana untuk pengendalian kebakaran hutanlahan. Hasil wawancara memperoleh fakta bahwa keterlibatan organisasi mereka dalam pengendalian kebakaran selalu dimaksudkan sebagai keterlibatan di dalam operasi pemadaman kebakaran sehingga sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hampir selalu diartikan sebagai sarana dan prasarana pemadaman. Ketika dijelaskan bahwa sarana dan prasarana yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan bidang tugasnya, beberapa organisasi di tingkat nasional, provinsi maupun kabupatenkota ternyata telah memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Semua organisasi telah memiliki sarana dan prasarana yang mencukupi untuk menjalankan tugas-tugas di kantornya terutama tugas-tugas administratif. Sarana dan prasarana yang dianggap kurang, baik jenis maupun jumlahnya, adalah yang dipergunakan di lapangan untuk operasi pencegahan, pemadaman, maupun penanganan pasca-kebakaran. Sebagai contoh, perangkat komputer dengan fasilitas internet telah tersedia dan operasional di setiap organisasi tersebut untuk memperoleh data dan informasi titik panas, namun GPS dan alat transportasi untuk pengecekan titik panas tersebut ke lapangan pada umumnya belum cukup tersedia. Sejauh ini belum ditemukan hasil studi mengenai standar kebutuhan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutanlahan, sehingga masih sulit untuk menyatakan cukup atau tidaknya sarana dan prasarana tersebut. Namun demikian, penilaian subyektif dapat menyatakan bahwa sarana dan prasarana terutama untuk 177 operasi pemadaman yang meliputi peralatan pemadaman, perlengkapan logistik, perlengkapan medis, dan sebagainya belum memadai di semua organisasi tersebut. Oleh sebab itu beralasan bila intensitas penanganan kebakaran hutanlahan masih relatif rendah. 5. Mekanisme Kerja Setiap organisasi organisasi yang diamati telah membangun mekanisme kerja internal di mana tata hubungan antar bagian dalam struktur organisasi telah didefinisikan dan dijalankan. Mekanisme hubungan antar organisasi juga sebenarnya telah terbentuk. Di tingkat nasional, tata hubungan tersebut pernah terbangun melalui TKN-PKHL dan masih dipraktekkan pada masa sekarang. Sementara itu di era Reformasi sekarang mekanisme secara formal belum ada. BNPB yang diberi mandat oleh UU nomor 24 tahun 2007 untuk mengorganisasikan pengendalian kebakaran hutanlahan memang telah menyusun tata kerja dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008, namun tata kerja hanya untuk unsur pelaksana, sedangkan tata kerja untuk unsur pengarah yang melibatkan beberapa kementerian belum disusun. Seperti disebutkan di atas, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian tidak termasuk baik dalam unsur pelaksana maupun dalam unsur pengarah. Ketika terjadi kebakaran hutanlahan, keterlibatan BNPB masih ditentukan oleh status keadaan bencananya. Jika skala kebakaran dianggap belum sampai pada tahap bencana, maka penanganannya oleh Kementerian Kehutanan. Hal ini mengindikasikan masih diberlakukannya tata kerja menurut aturan tak tertulis seperti yang berlaku pada masa sebelum era reformasi. Hal serupa terjadi di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota di mana tata hubungan antar organisasi di beberapa daerah masih mengikuti tata hubungan yang pernah dijalin di masa sebelum era Reformasi. Tata hubungan antar organisasi yang menyesuaikan dengan perubahan struktur pemerintahan di era Reformasi baru dilakukan oleh beberapa daerah. Provinsi Riau dan Provinsi Kalbar termasuk daerah yang telah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Perubahan struktur pemerintahan di daerah telah mengubah hubungan antar organisasi antar tingkat pemerintahan. Otonomi daerah telah membalikkan 178 kosmopolitanisme imperial menuju micro-politics dengan desentralisasi dan otonomi yang menjadi gerak utama Dhakidae 2010. Hubungan antara kementerian di tingkat nasional dengan lembaga teknis di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota bukan lagi hubungan komando langsung. Lembaga- lembaga teknis berupa dinas-dinas dan badan daerah dibentuk dengan peraturan daerah dan bertanggung jawab kepada pimpinan daerah. Komando dari kementerian tidak lagi langsung kepada dinas-dinas dan badan daerah tersebut melainkan melalui pimpinan daerah gubernur atau bupatiwalikota. Dalam konteks pengendalian kebakaran hutanlahan, Riau dan Kalbar telah menyusun prosedur tetap pengendalian kebakaran hutanlahan tingkat provinsi. Di Provinsi Riau, prosedur yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur nomor 91 tahun 2009, mengatur mekanisme kerja dalam pencegahan dan pemadaman kebakaran. Di dalam prosedur tersebut, hubungan secara formal antara kabupatenkota dengan provinsi dilakukan hanya oleh bupatiwalikota dengan gubernur, bukan oleh pimpinan dinas-dinas dan lembaga teknis daerah karena sesuai PP nomor 41 tahun 2007, mereka berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur atau bupatiwalikota. Prosedur tersebut tidak mengatur hubungan antara provinsi dengan tingkat nasional. Peraturan gubernur tersebut juga hanya mengatur prosedur-prosedur teknis dan tidak mengatur prosedur pendanaan dan pembiayaannya, terutama dalam hal sumber pendanaan untuk menjalankan prosedur teknis tersebut. Prosedur pengawasan keuangan diatur yakni mengikuti aturan yang berlaku pada pengawasan anggaran negara pada umumnya. Masalah utamanya adalah dalam hal penyediaan anggaran. Sebagaimana dijelaskan di bab terdahulu bahwa pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di daerah baik provinsi maupun kabupatenkota dilakukan dengan membentuk sebuah organisasi yang melibatkan berbagai instansi pemerintahan daerah. Organisasi yang dibentuk tersebut masih dianggap bukan merupakan satuan kerja perangkat daerah SKPD sehingga tidak dapat mengusulkan anggaran tersendiri. Anggaran dibebankan kepada masing- masing instansi yang terlibat, tetapi sebagaimana disampaikan di atas, urusan kebakaran hutanlahan tidak masuk di dalam struktur organisasi sehingga instansi 179 tidak dapat mengusulkan anggaran untuk kebakaran hutanlahan. Hanya instansi yang struktur organisasinya mencakup urusan kebakaran seperti dinas kehutanan dan dinas perkebunan provinsi maupun kabupatenkota yang dapat mengusulkan anggaran untuk kebakaran hutanlahan. Namun demikian, karena level yang menangani kebakaran hutanlahan hanya pada eselon terbawah maka jumlah anggaran yang teralokasikan juga relatif rendah.

5.5. Rancang Bangun Sistem Pengorganisasian

5.5.1. Pertimbangan dalam perancangan Tujuan pokok penelitian ini adalah merancang sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia berdasarkan kajian terhadap posisi dan peranan organisasi, hubungan antar organisasi, kapasitas organisasi, dan contoh pengorganisasian di negara-negara lain yang memiliki permasalahan kebakaran hutanlahan. Beberapa negara yang menjadi bahan kajian dan pertimbangan adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Thailand dan Malaysia. Analisis posisi dan peranan organisasi mendapatkan beberapa hal yang menjadi pertimbangan perancangan model sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan. Pertama, meskipun terjadi role discrepancy atau perilaku organisasi yang menjalankan peranan tidak seperti yang diharapkan Brown Harvey 2006, organisasi-organisasi yang menangani kehutanan baik di tingkat nasional, tingkat provinsi maupun tingkat kabupatenkota di samping karena profilnya, juga memperoleh kepercayaan dan harapan role expectation para praktisi dari organisasi-organisasi lain dan para pakar untuk memegang posisi utama dan berperanan sebagai koordinator dalam bidang-bidang pengendalian kebakaran hutanlahan. Kedua, masih terdapat role ambiguity atau kekurangpahaman terhadap peranan yang diharapkan Brown Harvey 2006 dari organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran karena belum jelasnya batasan-batasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing organisasi tersebut. Ketiga, masih rendahnya public service motivation atau keinginan untuk melayani 180 kepentingan publik Moynihan Pandey 2007 dari organisasi-organisasi tersebut, dan keempat, sebenarnya telah terjadi integrative coordination Bolland Wilson 1994 dan policy integration Meijers Stead 2004 secara vertikal antar tingkatan, tetapi hal tersebut masih kurang secara horizontal. Penyerahan peranan sebagai network coordinator Wehmeyer 2001 kepada organisasi- organisasi tertentu untuk membangun kedua keterpaduan tersebut perlu disertai dengan kejelasan tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing aktor organisasi tersebut. Analisis hubungan antar organisasi mencatat beberapa hal penting dan memberikan bukti-bukti empiris mengenai masih lemahnya koordinasi di antara organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan baik pada satu tingkatan maupun antar tingkatan. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa departementasi pada struktur organisasi Pusdalkarhutla yang berdasarkan pada bidang-bidang dari pengendalian kebakaran hutanlahan memberikan gambaran pola hubungan yang relatif lebih “akrab” antar organisasi- organisasi yang terlibat. Kedekatan hubungan secara psikologis antara pimpinan organisasi masih mendominasi alasan dalam memrioritaskan bantuan layanan. Role assignment Malone et al. 1999 yang belum tertuang dengan jelas di dalam struktur dan uraian tugas organisasi-organisasi tersebut dan masih adanya pemahaman yang keliru mengenai konsep kerja sama Mulford Klonglan 1982 dan konsep kapabilitas Ulrich 1997 menyebabkan organisasi-organisasi tersebut tidak terpacu untuk mengembangkan kapasitas organisasinya. Analisis hubungan antar organisasi juga mendapatkan gambaran bahwa organisasi yang menangani kehutanan dan yang menangani lingkungan hidup mempunyai hubungan yang relatif paling baik atau akrab dengan organisasi- organisasi lain. Dengan demikian, kedua organisasi tersebut yang dapat memperoleh prioritas untuk berperan sebagai koordinator jejaring network coordinator. Analisis efektivitas organisasi mendapatkan bahwa BNPB dan Kemenhut merupakan instansi yang memiliki kapasitas terbesar untuk dapat menangani pengendalian kebakaran hutanlahan. Kapabilitas BNPB untuk dapat 181 mengerahkan sumber daya dari berbagai pihak di seluruh Indonesia dan bahkan dari internasional dapat menjadi pertimbangan bagi ditunjuknya organisasi tersebut sebagai koordinator. Kajian terhadap sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang berlaku di berbagai negara Sukrismanto et al. 1998 memperoleh beberapa pelajaran yang dipertimbangkan dalam rancang bangun sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia. Amerika Serikat mempunyai instansi-instansi pengendalian kebakaran hutanlahan di tingkat nasional, negara bagian, dan distrik yang beroperasi di bawah payung sebuah struktur komando dan pengendalian nasional yaitu National Interagency Fire Center NIFC. Instansi yang berperan penting di setiap tingkatan adalah instansi yang menangani kehutanan yakni forest service. Di Canada hampir serupa, tetapi tanggung jawab utama ada di provinsi, sedangkan instansi di tingkat nasional yaitu Canadian Interagency Foret Fire Center CIFFC bertindak sebagai perantara dalam mobilisasi sumber daya antar provinsi yang didasarkan atas kesepakatan saling menguntungkan untuk berbagi sumber daya Mutual Aid Resource Sharing. Di Australia, kebakaran hutanlahan menjadi tanggung jawab penuh provinsi dengan sumber daya pemadaman sebagian besar terdiri dari relawan yang dikelola oleh sekumpulan profesional karir. Instansi di tingkat nasional hanya berfungsi untuk mengoordinasikan mobilisasi sumber daya lintas negara. Di Rusia tanggung jawab penuh pengendalian kebakaran hutanlahan pada tingkat nasional oleh dinas kehutanan federal Federal Forest Service of Russia dengan rantai komando tunggal dari tingkat nasional sampai ke tingkat lokal. Sementara itu, di Thailand, kebakaran hutanlahan secara nasional ditangani oleh satu divisi di bawah satu departemen yaitu Forest Fire Control Division FFCD di bawah National Park, Wildlife and Plant Conservation Department. Hal penting yang dapat dipelajari dari berbagai negara tersebut adalah bahwa pengendalian kebakaran hutanlahan harus ditangani dalam kesatuan komando dan kontrol yang jelas clear unity of command and control. Kesatuan komando dan rantai komando chain of command merupakan prasyarat prinsip di 182 dalam pengorganisasian organizing yang efektif dan efisien Hasibuan 2008; ensklopedia manajemen 7 Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan di Indonesia pada saat ini tampaknya juga menerapkan prinsip kesatuan komando dan kendali, tetapi belum konsisten. Hal tersebut dapat dikaji dari beberapa hal. Pertama, masih terjadinya role ambiguity Brown Harvey 2006 berupa ketidakjelasan fungsi, maksud dan tujuan dari pihak-pihak yang terlibat dalam rantai komando. Landasan hukum pembentukan Pusdalkarhutla di tingkat provinsi dan Satlakdalkarhutla di tingkat kabupatenkota tidak menyebutkan hubungan komando antara kedua level pengorganisasian tersebut. Hal ini dapat dilihat juga misalnya pada landasan hukum pembentukan Satlakdalkarhutla yang dalam konsideran ‘Mengingat’ tidak menyebutkan satupun produk hukum dari tingkat provinsi. Masing-masing berdiri sendiri, bahkan karena di tingkat nasional belum . Di samping itu, di semua negara tersebut pengendalian kebakaran hutanlahan tetap menjadi urusan pemerintah baik di tingkat nasional, provinsi atau negara bagian, maupun tingkat kabupatenkota atau distrik, tetapi operasional di lapangan dapat dilaksanakan bersama oleh sumber daya pemerintah dan non- pemerintah termasuk relawan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Negara-negara tersebut telah menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah di mana kawasan hutan dan lahan telah ditetapkan pengelolaannya. Di Amerika Serikat, misalnya, kawasan hutan federal dikelola oleh US-Forest Service, sedangkan di hutan negara bagian oleh State Forest Service. Dengan demikian, jika terjadi kebakaran di kawasan hutan negara bagian maka State Forest Service dari negara bagian yang bersangkutan yang bertanggung jawab. Jika State tersebut tidak mampu lagi, maka State-FS akan meminta bantuan ke NIFC melalui National Interagency Coordinating CenterNICC. Keadaan serupa terjadi di Indonesia, di mana kawasan hutan konservasi masih di bawah pemerintah pusat, sedangkan kawsan hutan produksi dan hutan lindung di bawah pemerintah daerah. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip tersebut menjadi pertimbangan di dalam perancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan ini. 7 http:www.enotes.commanagement-encyclopediaorganizing, [25 Mar 2010] 183 ada pengorganisasian yang formal, maka rantai komando sebenarnya terputus- putus antar tingkatan. Kedua, konsep dasar otonomi daerah menyatakan bahwa sistem otonomi adalah tidak bertingkat artinya tidak ada hubungan hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenkota, maka hubungan antara provinsi dan kabupatenkota bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan Rasyid 2009. Konsep tersebut menganut intergrated prefectoral system di mana gubernur memiliki dual role yakni sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat Hoessein 2009. Namun demikian, penerapan sistem tersebut yang terbatas di tingkat provinsi sesuai UU nomor 32 tahun 2004, menurut Hoessein, menyebabkan terputusnya rantai komando dan tidak terciptanya akuntabilitas manajerial managerial accountability dari bupatiwalikota ke gubernur hingga presiden. Konsep hubungan semacam itu sepertinya tidak lagi mengijinkan adanya perintah atau komando gubernur kepada bupatiwalikota dan pimpinan instansi provinsi kepada pimpinan instansi kabupatenkota seperti atasan kepada bawahan. Hal semacam itu menjadi pertimbangan dalam perancangan sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang tentunya juga mengambil bentuk hubungan antar organisasi antar tingkatan berupa koordinasi. Bentuk hubungan koordinasi tersebut mengharuskan terpenuhinya beberapa syarat agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Koordinasi memerlukan kepastian yang terkait dengan informasi, karena kepastian atau ketidakpastian uncertainty mengubah mekanisme atau mode yang digunakan oleh suatu organisasi untuk mengoordinasikan operasi-operasinya Fenema et al. 2004. Uncertainty menurut Fenema et al. 2004 merupakan perbedaan antara jumlah informasi yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dengan jumlah informasi yang sudah dimiliki oleh organisasi. Organisasi yang terlibat dalam sistem pengorganisasi pengendalian kebakaran hutanlahan harus memiliki dan mengelola informasi yang memadai. Hasil analisis hubungan antar organisasi dan efektivitas organisasi tersebut di atas menggambarkan bahwa organisasi- organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran hutanlahan belum memiliki cukup informasi. Sebagai contoh, hampir semua organisasi yang diamati belum memiliki informasi mengenai sumber daya pemadaman, baik manusia 184 maupun sarana dan prasarana. Ketidakpastian tersebut dapat dikurangi melalui investasi pada sistem informasi atau meningkatkan kontak di antara unit-unit kerja atau organisasi Femena et al. 2004. Prasyarat lain yang harus dipenuhi bagi koordinasi yang efektif dan efisien adalah kejelasan mengenai saling ketergantungan interdependence di antara organisasi-organisasi yang terlibat. Dalam konteks pengendalian kebakaran hutanlahan, koordinasi terjadi dalam satu tingkatan dan antar tingkatan. Bentuk ketergantungan yang mungkin terjadi adalah team interdependence atau saling ketergantungan tim di mana beberapa organisasi bekerja bersama-sama untuk menangani suatu tugas yang sama Fenema et al. 2004, misalnya dalam operasi pemadaman kebakaran. Bentuk koordinasi tersebut dinyatakan Fenema et al. 2004 sebagai bentuk yang sulit dan memakan biaya costly. Untuk itu, pembagian peranan dengan batasan-batasan yang jelas harus dilakukan dan diberitahukan serta disepakati oleh semua pihak yang terlibat. Koordinasi yang efektif dan efisien juga harus memerhatikan kompleksitas, yakni konektivitas yang kompleks intricate connectivity di antara tugas-tugas dan aktor-aktor Fenema et al. 2004. Dalam konteks sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan, kompleksitas menyangkut berapa banyak atau besar tugas-tugas yang akan dilaksanakan dan berapa banyak organisasi yang akan dilibatkan untuk menjalankan tugas-tugas tersebut. Secara garis besar, tugas yang dilaksanakan mencakup pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran, sedangkan untuk mengurangi kompleksitas koordinasi, maka pelibatan organisasi diusahakan sesedikit mungkin, bahkan jika perlu tidak perlu pelibatan organisasi lain. Hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan jumlah organisasi yang perlu dilibatkan adalah kapasitas dan kapabilitas organisasi tersebut. Jika memerhatikan hasil analisis mengenai kapasitas organisasi, maka dapat disimpulkan bahwa hanya beberapa organisasi, terutama yang menangani kehutanan dan perkebunan, yang telah memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjalankan tugas-tugas pengendalian kebakaran hutanlahan. Namun, kapasitas dan kapabilitas tersebut pun masih relatif sangat kecil jika melihat sumber daya 185 yang tersedia, terutama manusia, sarana dan prasarana serta dana. Oleh sebab itu, dari sisi ini, sistem pengorganisasian yang dirancang lebih cenderung pada pembentukan organisasi baru, kemudian menarik semua sumber daya yang tersebar di berbagai organisasi lain untuk menjadi modal awal organisasi yang baru dibentuk tersebut. Setelah organisasi terbentuk, kemudian dilakukan peningkatan kapasitas dan kapabilitas. Penegasan mengenai koordinasi sebagai bentuk dari hubungan antar organisasi tampaknya juga akan dapat mengatasi kerancuan di dalam pengaturan hubungan antar organisasi antar tingkatan dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah. Kesan mengenai masih berlakunya komando atau perintah dari level pemerintah di atas terhadap pemerintah di bawahnya menurut hasil wawancara masih dirasakan oleh para responden, terutama di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota, karena dalam prakteknya hal tersebut masih ada. Sementara menurut pemahaman mereka, hal tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi, sejak berlakunya desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga seringkali pimpinan instansi di tingkat kabupatenkota tidak bersedia memenuhi perintah atau komando tersebut. Hal inilah yang terkadang menimbulkan ketidakserasian atau disharmoni hubungan antara pusat dan daerah, karena menurut Sanit 2009 masih banyak pihak yang terlibat, terutama para elit atau pimpinan organisasi pemerintah, baik di tingkat nasional maupun di daerah, yang kurang pemahamannya terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Sebagian para elit pimpinan organisasi pemerintah masih memiliki persepsi yang keliru tentang desentralisasi dan otonomi daerah La Bakry 2009. Otonomi seharusnya dipahami sebagai kesetaraan kedudukan antara kabupatenkota dengan provinsi. Masing-masing daerah otonom memang memiliki kedudukan mandiri. Hubungan antara provinsi dengan kabupatenkota tidak bersifat hirarki dan para pejabat di kabupatenkota tidak dapat dianggap berada pada posisi bawahan dari para pejabat provinsi. Namun hal tersebut seharusnya tidak berhenti di sini. Asas desentralisasi dan dekonsentrasi di provinsi menempatkan gubernur pada posisi dua peranan dual role yakni sebagai kepala daerah dan sebagai wakil pemerintah. Dalam posisi sebagai wakil pemerintah inilah hubungan antara gubernur dan bupatiwalikota bersifat hirarki, subordinasi, di mana pemerintahan 186 kabupatenkota menjalankan fungsi pemerintahan pusat terhadap kabupatenkota. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah provinsi campur tangan terhadap kewenangan pemerintah kabupatenkota, melainkan memberi kedudukan kepada pemerintah provinsi untuk menjalankan tugas dan wewenang pembinaan, pengawasan, dan koordinasi atas jalannya pemerintahan daerah dan tugas perbantuan sebagai aspek-aspek pemerintahan umum. Sinyalemen mengenai masih kuatnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat akibat dari penerapan sistem perencanaan terpusat central planning pada masa lalu yang sangat lama Rasyid 2009, tampaknya terkoreksi. Hasil wawancara dengan para pimpinan organisasi pemerintah provinsi maupun kabupatenkota mengindikasikan bahwa sistem perencanaan sekarang tidak lagi terpusat melainkan sudah berada di masing-masing daerah. Tahapan-tahapan perencanaan sudah dimulai di tingkat pemerintahan terbawah yakni kabupatenkota dengan dilaksanakannya Musrenbangda musyawarah perencanaan pembangunan daerah kabupatenkota di mana usulan program dan anggaran dari setiap SKPD kabupatenkota dibahas. Program-program yang anggarannya diusulkan kepada level di atasnya provinsi atau nasional juga disiapkan dan dibahas di tingkat kabupatenkota. Selanjutnya, di tingkat provinsi, setiap SKPD, di samping mengusulkan program dan anggarannya sendiri, juga menjaring usulan program dan anggaran dari SKPD jajarannya di tingkat kabupatenkota melalui forum Rakorenbangda rapat koordinasi perencanaan pembangunan daerah. Usulan-usulan program yang memang didanai oleh anggaran provinsi, perencanaannya berhenti di tingkat provinsi, sedangkan yang akan dimintakan dananya ke pusatnasional diteruskan oleh pemerintah provinsi ke tingkat nasional. Pada kondisi inilah ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dipandang masih kuat terutama dalam hal anggaran di sisi penerimaan Basri 2009. Pengendalian kebakaran hutanlahan pada umumnya belum mendapatkan porsi anggaran yang memadai karena masih kalah prioritas dibandingkan program-program lain di setiap SKPD, baik di provinsi maupun kabupatenkota. Keberadaan Pusdalkarhutlada dan Satlakdalkarhutla yang bukan SKPD masih terpinggirkan. Di Kalimantan Barat masih relatif beruntung karena adanya unit