Kapasitas Organisasi Organizing system of forest and land fire control organization in Indonesia
169 Tabel 19 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada
organisasi tingkat kabupatenkota di Provinsi Riau
No. Organisasi
VM SO
SDM SP
MK
1 Distanbunhut Kota Dumai
46,83 46,37
57,78 47,64
50,00 2
KLH Kota Dumai 45,24
39,13 52,23
35,73 48,76
3 Dishutbun Kab. Inhu
44,76 45,21
53,78 43,50
52,26 4
BLHD Kab. Inhu 45,24
38,41 47,40
39,07 53,33
Rata-rata 45,52
42,28 52,80
41,48 51,09
Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja;
Tabel 20 Persentase skor perolehan terhadap skor maksimum per komponen pada organisasi tingkat kabupatenkota di Provinsi Kalimantan Barat
No. Organisasi
VM SO
SDM SP
MK
1 Dishut Kab. Ketapang
50,63 42,41
41,34 42,18
59,59 2
Disbun Kab. Ketapang 49,38
38,22 46,32
39,97 55,36
3 BLHD Kab. Ketapang
55,67 47,20
48,20 51,40
58,38 4
Dishutbun Kab. Kubu Raya 45,51
42,98 52,78
41,73 52,53
5 BLHD Kab. Kubu Raya
41,90 36,31
48,50 40,87
54,91 Rata-rata
48,43 42,22
47,71 44,04
56,35
Keterangan: VM = visi dan misi; SO = struktur organisasi; SDM = sumber daya manusia; SP = sarana dan prasarana; MK = mekanisme kerja;
Semua kondisi tersebut, baik cuaca yang sulit diatasi maupun pembukaan lahan dan faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kebakaran sebenarnya dapat
diprediksi dan dikelola dengan kesiapan organisasi-organisasi yang bertanggung jawab atas masalah tersebut, terutama yang berkaitan dengan pengendalian
kebakaran. Permasalahannya adalah apakah organisasi-organisasi yang menangani masalah kebakaran sudah memiliki kapasitas yang memadai dan sudah efektif.
Jika melihat kondisi efektivitas organisasi tersebut di atas, terutama di tingkat kabupatenkota maka tampaknya masih terdapat masalah pada masing-masing
organisasi tersebut sehingga organisasi-organisasi tersebut belum mampu mengatasi kebakaran hutanlahan sampai tuntas. Berikut adalah analisis terhadap
masalah-masalah yang berkaitan dengan komponen-komponen efektivitas organisasi dan kapasitas organisasi.
170 1.
Visi dan Misi Visi dan misi merupakan komponen efektivitas organisasi yang penting dan
bahkan beberapa pakar menyatakannya sebagai komponen terpenting dalam pengembangan organisasi. Visi dan misi menurut Philbin dan Mikush 2008
merupakan inti atau jantungnya sebuah organisasi the heart of an organization dan sebagai komponen utama dalam standar dari good governance OPM
CIPFA 2004. Para responden pakar pun berpendapat serupa dengan memberikan bobot terbesar pada visi dan misi Bv.
Setiap organisasi atau instansi yang diamati telah memiliki pernyataan visi dan misi secara tertulis. Organisasi di tingkat nasional yang secara jelas
menyatakan visinya mengenai pengendalian kebakaran adalah hanya Dit. PKH. Visi dari organisasi-organisasi lainnya tidak secara jelas menunjukkan kaitan
dengan kebakaran hutanlahan. Visi Dit. Linbun misalnya menyatakan tentang perlindungan perkebunan, tetapi misinya lebih berfokus pada perlindungan
terhadap organisme penganggu tanaman OPT, bukan pada perlindungan dari kebakaran. Visi dan misi organisasi-organisasi di tingkat provinsi dan
kabupatenkota juga tidak menggambarkan keterkaitannya dengan pengendalian kebakaran hutanlahan, kecuali untuk BLH Provinsi Riau yang salah satu misinya
secara jelas menyebutkan pengendalian kebakaran hutanlahan. Pengetahuan dan pemahaman dari pimpinan dan anggota organisasi
terhadap visi dan misi organisasinya tampaknya juga masih relatif rendah. Hal ini terlihat antara lain dari sedikitnya atau rata-rata kurang dari 30 dari jumlah
responden di setiap organisasi yang menyebutkan dengan benar visi dan misi organisasinya. Padahal organisasi akan efektif jika terdapat pemahaman yang jelas
dan tegas terhadap nilai-nilai, prioritas dan arahan-arahan sehingga setiap orang paham dan dapat berkontribusi Muhammad 2004; Kasim 1993. Hasil
wawancara menunjukkan bahwa para personil organisasi tidak begitu peduli dengan ada tidaknya visi dan misi.
Visi dan misi belum menjadi nilai dan jiwa serta motivasi bagi setiap personil organisasi. Beberapa alasan mungkin menyebabkan hal tersebut. Pertama,
pernyataan visi dan misi masih keliru. Pernyataan visi dan misi mission
171 statement belum berfokus pada apa yang dapat dilakukan dan dicapai oleh
organisasi tersebut Drucker; 1990, sehingga setiap orang dalam organisasi belum dapat berkata, “inilah kontribusi saya kepada tujuan tersebut.” Sebagai
contoh, Puspitojati 2008 menyatakan dengan tegas bahwa rencana strategis berbagai dinas kehutanan provinsi tidak jelas, bahkan untuk Dishut Provinsi
Kalbar rumusan tujuan tidak sesuai dengan pengertiannya dan rumusan strateginya juga tidak menjelaskan ide atau konsep serta cara terbaik untuk
mencapai tujuan. Selain itu, visi dan misi harus sederhana dan jelas Drucker 1990. Setiap
organisasi memiliki kompetensi, tetapi tidak mungkin, bahkan tidak perlu, memiliki keseluruhan kompetensi atau total competence Mulford Klonglan
1982. Oleh sebab itu, visi dan misi organisasi harus sesuai dengan kompetensinya. Hampir semua organisasi yang diamati menyatakan visi dan misi
yang belum memenuhi kriteria tersebut. Sebagai contoh, Dit. PKH memiliki visi dan misi yang berbunyi: “Terwujudnya kondisi masyarakat yang terlindungi dari
berbagai ancaman jiwa, raga, dan harta benda serta terbebas dari pencemaran asap.” Dilihat dari kriteria Drucker 1990 tersebut di atas, pernyataan tersebut
baru sekadar keinginan baik, karena untuk mewujudkan visi dan misi tersebut diperlukan total competence dan Dit. PKH hanya memiliki sebagian kecil
kompetensi tersebut. Sebagai contoh, pencemaran asap dapat berasal dari berbagai sumber selain kebakaran hutanlahan antara lain kendaraan bermotor dan
kebakaran struktur. Dit PKH tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menangani semua sumber pencemaran tersebut, maka visi tersebut seharusnya
membatasi diri, misalnya, pada pencemaran asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan.
Kedua, visi dan misi hanya dibuat untuk level tertinggi organisasi, sedangkan level-level di bawahnya tidak memiliki visi dan misi tersendiri. Pada
setiap organisasi dalam studi ini, visi dan misi hanya ada pada level eselon II, dan belum ada di level eselon III dan IV serta di setiap personil. Ketiga, belum semua
personil mengetahui, memahami dan hafal pernyataan visi dan misi tersebut. Hal ini disebabkan oleh sangat minimnya upaya sosialisasi visi dan misi terhadap
172 personil organisasi. Padahal, untuk membangun organisasi yang efektif setiap
orang di dalam organisasi harus memahami tujuan dan sasaran organisasi. Tindakan yang harus dilakukan oleh organisasi-organisasi yang terlibat
dalam pengendalian kebakaran hutanlahan agar lebih efektif dan efisien adalah merekayasa ulang reengineering organisasi antara lain melalui pemahaman
terhadap visi organisasi dan komitmen untuk mencapainya Bennis Mische 1996, meningkatkan pemahaman dan antusiasme orang-orang di dalam
organisasi terhadap nilai-nilai organisasi, terutama yang mengedepankan hasil atau commitment to results dengan memandang pelanggan sebagai raja atau
customers are kings Hammer 1997, dan meningkatkan motivasi pelayanan publik Moynihan Pandey 2007. Dalam konteks kebakaran hutanlahan,
kebutuhan utama pelanggan adalah tidak adanya kebakaran hutanlahan. Pada tingkat operasional, visi dan misi tersebut juga belum dapat
memberikan arahan yang semestinya. Ketika organisasi-organisasi tersebut ditunjuk untuk suatu posisi dan peranan tertentu di dalam pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutanlahan, seharusnya mereka menunjukkan tanggung jawab akan posisi dan peranan tersebut dalam bentuk memasukkan urusan
penanganan kebakaran hutanlahan sebagai prioritas ke dalam rencana strategis dan rencana kerjanya agar dapat memperoleh anggarannya. Jika memang
organisasi-organisasi tersebut sulit untuk memasukkan urusan kebakaran hutanlahan ke dalam rencananya, maka mungkin lebih baik bila pengendalian
kebakaran hutanlahan ditangani oleh sebuah organisasi tersendiri yang tidak melibatkan organisasi-organisasi yang ada tersebut.
2. Struktur Organisasi
Permasalahan utama dalam sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang berlaku sekarang dari sisi struktur organisasi adalah
belum masuknya secara formal urusan kebakaran hutanlahan ke dalam struktur organisasi dari organisasi-organisasi yang terlibat, kecuali pada Dit. PKH dan
Asdep PKHL. Pada Dit. PKH semua level di struktur organisasinya adalah mengenai pengendalian kebakaran hutan, dan di struktur organisasi Asdep PKHL
urusan kebakaran ada pada level eselon IV.
173 Pada organisasi-organisasi lainnya di tingkat nasional yang sebelumnya
dianggap ikut secara langsung menangani kebakaran hutanlahan ternyata urusan kebakaran tidak ada di dalam struktur organisasinya. Dit Linbun, misalnya, tidak
memasukkan urusan kebakaran di dalam uraian tugas. Demikian pula di Dit. TD maupun BNPB, sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008,
urusan kebakaran hutanlahan sama sekali tidak disebut bahkan di dalam uraian tugas seluruh jabatan yang ada. Unsur Pengarah yang anggotanya adalah pejabat
pemerintah eselon I pun tidak memasukkan pejabat dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian yang selama ini dianggap sebagai organisasi yang
wilayah kerjanya dan tugasnya berkaitan dengan kebakaran hutanlahan. Hal ini dapat dimaklumi karena BNPB menangani semua jenis bencana, namun demikian
dalam uraian tugas yang semestinya rinci, urusan kebakaran tetap tidak disebutkan secara tersendiri sebagai bagian dari urusan yang secara formal harus ditangani
organisasi tersebut. Di tingkat provinsi, sesuai dengan Perda mengenai organisasi dan tata kerja
masing-masing provinsi Riau dan Kalbar, kebakaran hutanlahan masuk dalam struktur organisasi pada level eselon IV Seksi di Dishut dan Disbun. Namun
sesuai dengan wilayah kerjanya, kedua organisasi tersebut hanya menangani kebakaran di kawasan hutan dan di kawasan perkebunan, sedangkan untuk
kebakaran di fungsi lahan lainnya tidak ada yang menanganinya. Dinas Tanaman Pangan yang semestinya menangani urusan-urusan di lahan pertanian, di dalam
struktur organisasinya tidak terdapat jabatan yang mengurusi kebakaran lahan, bahkan tidak ada seorang staf pun yang ditugasi untuk menangani urusan tersebut.
Di tingkat kabupatenkota, pengendalian kebakaran hutanlahan juga belum mendapat prioritas memadai. Sebagai contoh, di Kota Dumai, menurut Perda
nomor 13 tahun 2005, semua urusan pertanian, perkebunan, dan kehutanan masing-masing berada pada level jabatan eselon III, dengan masing-masing terdiri
atas 2 jabatan eselon IV yang tidak mencakup urusan kebakaran. Urusan kebakaran hutanlahan ditangani hanya oleh seorang staf non-eselon. Sementara
itu, pada organisasi-organisasi lain yang terkait dengan kebakaran, yaitu kebakaran kota, juga ditangani hanya di level eselon IV seksi pada Satpol PP.
174 Struktur organisasi merupakan pengaturan orang-orang dan tugas-tugas
untuk mencapai tujuan organisasi Dubrin Ireland 1993. Dengan tidak tercantumnya penanganan kebakaran hutanlahan pada struktur organisasi, maka
tidak ada komponen-komponen terkait seperti SDM, sarana dan prasarana serta anggaran yang didedikasikan khusus untuk kebakaran hutanlahan, sehingga
organisasi tidak mungkin mencapai tujuan pengendalian kebakaran hutanlahan secara efektif.
3. Sumber Daya Manusia
Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia SDM merupakan isu yang sangat penting dalam pengembangan organisasi. Oleh sebab itu, manajemen SDM
menjadi sangat penting dalam setiap organisasi Rivai 2004, karena pengembangan SDM merupakan salah satu ciri dari organisasi yang efektif
Philbin Mikush 2008. Salah satu aspek SDM dalam organisasi adalah kompetensi. Data profil organisasi menunjukkan bahwa semua organisasi yang
diamati baik di tingkat nasional, tingkat provinsi maupun tingkat kabupatenkota memiliki kurang dari 25 jumlah SDM yang pernah mengikuti pelatihan
kebakaran hutanlahan. Sementara itu, di dalam rencana strategis maupun rencana kerja organisasi tidak terdapat program manajemen SDM yang jelas. Dengan
tingkat kompetensi seperti itu, sulit diharapkan bagi organisasi-organisasi tersebut untuk efektif dan berkinerja tinggi dalam pengendalian kebakaran hutanlahannya.
Organisasi-organisasi tersebut belum menyadari pentingnya manajemen SDM. Padahal manajemen SDM merupakan salah satu program penting bagi
organisasi untuk meningkatkan kontribusi produktif orang-orang yang ada dalam organisasi melalui sejumlah cara yang bertanggung jawab secara strategis, etis dan
sosial Rivai 2004. Tujuan akhirnya adalah peningkatan efisiensi, peningkatan efektivitas, peningkatan produktivitas, rendahnya tingkat perpindahan pegawai,
rendahnya tingkat absensi, tingginya kepuasan kerja karyawan, tingginya kualitas pelayanan, rendahnya komplain dari pelanggan, dan meningkatnya bisnis
organisasi. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam pengendalian kebakaran
hutanlahan perlu berfokus pada kebijakan SDM. Organisasi-organisasi tersebut
175 harus membantu personilnya memperoleh ketrampilan dan kemampuan diri untuk
menghadapi lingkungan baru, menemukan keamanan dan dukungan untuk menghadapi tantangan yang terus meningkat Kanter 1997. Hal ini memang
ditujukan untuk organisasi swasta yang sangat memungkinkan adanya pemecatan pegawai, namun pada organisasi pemerintah pun sebenarnya hal serupa bisa
terjadi dalam konteks persaingan untuk memperoleh jabatan, promosi, dan kepercayaan atasan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan dalam proses reformasi
birokrasi melalui perampingan organisasi para pegawai akan tersingkir jika tidak memiliki kompetensi yang diperlukan organisasi. Organisasi masa depan harus
belajar untuk menangkap modal intelektual pegawainya, karena modal intelektual merupakan aset yang paling dihargai dalam organisasi Ulrich 1997.
Sistem pengorganisasian pengendalian kebakaran hutanlahan yang efektif mensyaratkan adanya manajemen SDM yang berfokus pada kebijakan yang
menjadikan modal intelektual sebagai aset yang berharga. Program rekrutmen harus berdasarkan persyaratan penerimaan pegawai yang ketat. Peningkatan
kapasitas dan kapabilitas pegawai melalui pendidikan dan pelatihan juga harus dikelola secara sistematis dengan mempertimbangkan sistem karir yang jelas.
Pemahaman individu-individu dalam organisasi mengenai kebakaran hutanlahan relatif masih rendah. Hal ini dapat diindikasikan oleh sangat
rendahnya persentase responden, yakni rata-rata baru 12, yang pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan kebakaran hutanlahan. Rendahnya tingkat pemahaman
tersebut dapat menjadi penyebab rendahnya bukan hanya kapasitas dari masing- masing organisasi tersebut melainkan juga kapasitas dari sistem pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutanlahan. Pelibatan banyak organisasi dalam pengendalian kebakaran hutanlahan memerlukan saling memahami dan saling
menerima di antara organisasi-oganisasi yang terlibat. Kesamaan pengertian dan persepsi di antara organisasi-organisasi tersebut tentang berbagai hal berpengaruh
positif di dalam hubungan antar organisasi dalam mencapai keberhasilan bersama termasuk dalam persoalan kebakaran hutanlahan. Oleh sebab itu, sesuai dengan
konsep organizational receptivity Nieminen 2005, setiap organisasi yang terlibat harus membina setiap individu, terutama yang diberi tugas, wewenang dan
tanggung jawab atau sebagai kontak dalam hubungan antar organisasi untuk
176 secara sendiri-sendiri atau terutama bersama-sama antar organisasi
mengembangkan diri dalam pemahaman mengenai pengendalian kebakaran hutanlahan agar lebih terjalin saling pengertian di antara organisasi-organisasi
tersebut. Setiap organisasi yang terlibat harus memiliki program pengembangan SDM yang mendorong para pimpinan dan stafnya untuk mengikuti pendidikan
dan pelatihan pengendalian kebakaran hutanlahan, baik diadakan sendiri ataupun mengikutkan pada pendidikan dan pelatihan yang ada.
4. Sarana dan Prasarana
Organisasi-organisasi yang diamati pada umumnya menyatakan bahwa mereka tidak memiliki cukup sarana dan prasarana untuk pengendalian kebakaran
hutanlahan. Hasil wawancara memperoleh fakta bahwa keterlibatan organisasi mereka dalam pengendalian kebakaran selalu dimaksudkan sebagai keterlibatan di
dalam operasi pemadaman kebakaran sehingga sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hampir selalu diartikan sebagai sarana dan prasarana pemadaman.
Ketika dijelaskan bahwa sarana dan prasarana yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan bidang tugasnya, beberapa organisasi di tingkat nasional,
provinsi maupun kabupatenkota ternyata telah memiliki sarana dan prasarana yang memadai.
Semua organisasi telah memiliki sarana dan prasarana yang mencukupi untuk menjalankan tugas-tugas di kantornya terutama tugas-tugas administratif.
Sarana dan prasarana yang dianggap kurang, baik jenis maupun jumlahnya, adalah yang dipergunakan di lapangan untuk operasi pencegahan, pemadaman, maupun
penanganan pasca-kebakaran. Sebagai contoh, perangkat komputer dengan fasilitas internet telah tersedia dan operasional di setiap organisasi tersebut untuk
memperoleh data dan informasi titik panas, namun GPS dan alat transportasi untuk pengecekan titik panas tersebut ke lapangan pada umumnya belum cukup
tersedia. Sejauh ini belum ditemukan hasil studi mengenai standar kebutuhan sarana
dan prasarana pengendalian kebakaran hutanlahan, sehingga masih sulit untuk menyatakan cukup atau tidaknya sarana dan prasarana tersebut. Namun demikian,
penilaian subyektif dapat menyatakan bahwa sarana dan prasarana terutama untuk
177 operasi pemadaman yang meliputi peralatan pemadaman, perlengkapan logistik,
perlengkapan medis, dan sebagainya belum memadai di semua organisasi tersebut. Oleh sebab itu beralasan bila intensitas penanganan kebakaran
hutanlahan masih relatif rendah. 5.
Mekanisme Kerja Setiap organisasi organisasi yang diamati telah membangun mekanisme
kerja internal di mana tata hubungan antar bagian dalam struktur organisasi telah didefinisikan dan dijalankan. Mekanisme hubungan antar organisasi juga
sebenarnya telah terbentuk. Di tingkat nasional, tata hubungan tersebut pernah terbangun melalui TKN-PKHL dan masih dipraktekkan pada masa sekarang.
Sementara itu di era Reformasi sekarang mekanisme secara formal belum ada. BNPB yang diberi mandat oleh UU nomor 24 tahun 2007 untuk
mengorganisasikan pengendalian kebakaran hutanlahan memang telah menyusun tata kerja dengan Peraturan Kepala BNPB nomor 1 tahun 2008, namun tata kerja
hanya untuk unsur pelaksana, sedangkan tata kerja untuk unsur pengarah yang melibatkan beberapa kementerian belum disusun. Seperti disebutkan di atas,
Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian tidak termasuk baik dalam unsur pelaksana maupun dalam unsur pengarah. Ketika terjadi kebakaran
hutanlahan, keterlibatan BNPB masih ditentukan oleh status keadaan bencananya. Jika skala kebakaran dianggap belum sampai pada tahap bencana,
maka penanganannya oleh Kementerian Kehutanan. Hal ini mengindikasikan masih diberlakukannya tata kerja menurut aturan tak tertulis seperti yang berlaku
pada masa sebelum era reformasi. Hal serupa terjadi di tingkat provinsi dan tingkat kabupatenkota di mana
tata hubungan antar organisasi di beberapa daerah masih mengikuti tata hubungan yang pernah dijalin di masa sebelum era Reformasi. Tata hubungan antar
organisasi yang menyesuaikan dengan perubahan struktur pemerintahan di era Reformasi baru dilakukan oleh beberapa daerah. Provinsi Riau dan Provinsi
Kalbar termasuk daerah yang telah menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Perubahan struktur pemerintahan di daerah telah mengubah hubungan antar
organisasi antar tingkat pemerintahan. Otonomi daerah telah membalikkan
178 kosmopolitanisme imperial menuju micro-politics dengan desentralisasi dan
otonomi yang menjadi gerak utama Dhakidae 2010. Hubungan antara kementerian di tingkat nasional dengan lembaga teknis di tingkat provinsi dan
tingkat kabupatenkota bukan lagi hubungan komando langsung. Lembaga- lembaga teknis berupa dinas-dinas dan badan daerah dibentuk dengan peraturan
daerah dan bertanggung jawab kepada pimpinan daerah. Komando dari kementerian tidak lagi langsung kepada dinas-dinas dan badan daerah tersebut
melainkan melalui pimpinan daerah gubernur atau bupatiwalikota. Dalam konteks pengendalian kebakaran hutanlahan, Riau dan Kalbar telah
menyusun prosedur tetap pengendalian kebakaran hutanlahan tingkat provinsi. Di Provinsi Riau, prosedur yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur nomor 91
tahun 2009, mengatur mekanisme kerja dalam pencegahan dan pemadaman kebakaran. Di dalam prosedur tersebut, hubungan secara formal antara
kabupatenkota dengan provinsi dilakukan hanya oleh bupatiwalikota dengan gubernur, bukan oleh pimpinan dinas-dinas dan lembaga teknis daerah karena
sesuai PP nomor 41 tahun 2007, mereka berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur atau bupatiwalikota. Prosedur tersebut tidak mengatur
hubungan antara provinsi dengan tingkat nasional. Peraturan gubernur tersebut juga hanya mengatur prosedur-prosedur teknis
dan tidak mengatur prosedur pendanaan dan pembiayaannya, terutama dalam hal sumber pendanaan untuk menjalankan prosedur teknis tersebut. Prosedur
pengawasan keuangan diatur yakni mengikuti aturan yang berlaku pada pengawasan anggaran negara pada umumnya. Masalah utamanya adalah dalam
hal penyediaan anggaran. Sebagaimana dijelaskan di bab terdahulu bahwa pengorganisasian
pengendalian kebakaran hutanlahan di daerah baik provinsi maupun kabupatenkota dilakukan dengan membentuk sebuah organisasi yang melibatkan
berbagai instansi pemerintahan daerah. Organisasi yang dibentuk tersebut masih dianggap bukan merupakan satuan kerja perangkat daerah SKPD sehingga tidak
dapat mengusulkan anggaran tersendiri. Anggaran dibebankan kepada masing- masing instansi yang terlibat, tetapi sebagaimana disampaikan di atas, urusan
kebakaran hutanlahan tidak masuk di dalam struktur organisasi sehingga instansi
179 tidak dapat mengusulkan anggaran untuk kebakaran hutanlahan. Hanya instansi
yang struktur organisasinya mencakup urusan kebakaran seperti dinas kehutanan dan dinas perkebunan provinsi maupun kabupatenkota yang dapat mengusulkan
anggaran untuk kebakaran hutanlahan. Namun demikian, karena level yang menangani kebakaran hutanlahan hanya pada eselon terbawah maka jumlah
anggaran yang teralokasikan juga relatif rendah.