Tingkat KabupatenKota Organizing system of forest and land fire control organization in Indonesia
77 hotspot sebenarnya mewakili sebuah luasan 1,1 km
2
. Hal ini tidak berarti bahwa sebuah hotspot kemudian menunjukkan adanya kebakaran hutanlahan seluas 1,1
km
2
Tahun
karena sebuah hotspot muncul atau tertangkap oleh citra satelit ketika suatu area di permukaan bumi mengalami panas permukaan sampai suatu suhu tertentu
yang sudah ditetapkan pada sensor di satelit. Suhu tersebut dapat dicapai meskipun luas kebakaran kurang dari 1,1 km dan begitu pula dapat terjadi situasi
Tabel 2 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutanlahan seluruh Indonesia
ΣHotspot Luas Karhutla
2000 11.583
43.648,08 2001
21.137 17.968,79
2002 69.765
45.527,93 2003
44.262 3.545,45
2004 65.693
42.806,99 2005
40.197 13.739,01
2006 146.264
56.218,65 2007
37.909 11.233,46
2008 30.616
16.137,49 2009
39.463 49.253,58
Sumber: Dit. PKH 2010
Gambar 5 Grafik jumlah hotspot dan luas kebakaran hutanlahan seluruh Indonesia Sumber: Dit. PKH 2010.
78 di mana pada waktu yang sama di dalam luasan 1,1 km2 terdapat lebih dari satu
kebakaran dan secara kumulatif suhu yang ditimbulkan mencapai suhu ambang tersebut, sehingga beberapa kebakaran tertangkap sebagai sebuah hotspot Hiroki
Prabowo, 2003. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa sebuah hotspot mewakili sebuah titik kebakaran hutanlahan. Belum ada data yang rinci mengenai
frekuensi kejadian kebakaran yang dapat digunakan untuk menghitung korelasi antara jumlah hotspot dengan jumlah kejadian kebakaran hutanlahan.
5.1.2. Korelasi antara jumlah hotspot dengan curah hujan
Data hotspot dari Dit. PKH menunjukkan jumlah akumulasi hotspot di seluruh Indonesia selama 10 tahun 2000 – 2009 berkisar antara 11.583 titik
sampai dengan 146.264 titik seperti ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 6 tersebut di atas. Jumlah rata-rata per tahun titik panas selama 10 tahun tersebut
adalah 50.689 titik. Jika dilihat per lima tahun, maka tampak bahwa jumlah akumulasi titik panas pada lima tahun pertama 2000 – 2004 cenderung
meningkat sedangkan pada lima tahun terakhir 2005-2009 tampak menurun. Sementara itu, untuk wilayah Provinsi Riau jumlah akumulasi titik panas juga
berfluktuasi dengan rata-rata sekitar 7.900 titik per tahun, dan di Provinsi Kalbar rata-rata sekitar 9.200 titik per tahun seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
Fluktuasi jumlah hotspot tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor pertama yang sering dianggap sangat berpengaruh adalah kondisi cuaca.
BAPPENAS 1999 menyatakan bahwa 26 dari 28 tahun-tahun kekeringan di Indonesia sejak 1887 berkaitan dengan El Nino South Oscillation ENSO dan hal
ini sejalan dengan terjadinya kebakaran hutanlahan besar. Kebakaran besar tahun 1997-1998, misalnya, juga diduga dipengaruhi oleh terjadinya ENSO yang terkuat
di abad tersebut abad ke-20. Pendapat tersebut terus berkembang sehingga sistem peringatan dan deteksi dini kebakaran fire early warning and detection
systems maupun peramalan kebakaran fire forecasting yang dikembangkan di Indonesia berdasarkan pada perhitungan kondisi cuaca.
79
Analisis hotspot pada penelitian ini menemukan hasil yang cukup mengejutkan di mana korelasi antara jumlah titik panas dengan salah satu
parameter cuaca yaitu curah hujan ternyata relatif kecil berdasarkan data curah hujan rata-rata dan jumlah titik panas selama 10 tahun . Korelasi antara jumlah
hotspot dengan curah hujan pada Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat dan Kabupaten Inderagiri Hulu, Riau adalah negatif - yang artinya semakin tinggi
curah hujan, maka akan semakin rendah jumlah titik panas. Korelasi tersebut logis, tidak seperti yang terjadi di Kabupaten Ketapang di mana korelasi tersebut
positif + yang artinya semakin tinggi curah hujan semakin banyak jumlah titik panas. Tingkat korelasinya pun relatif rendah yakni 0,7 untuk Kab. Kubu Raya,
39 untuk Kab. Inderagiri Hulu, dan 1,12 untuk Kab. Ketapang. Jika dilhat dari tingkat korelasi yang relatif rendah tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa curah hujan kurang signifikan pengaruhnya terhadap jumlah hotspot. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan pendapat yang berkembang selama
ini bahwa kebakaran hutanlahan sangat dipengaruhi oleh cuaca, terutama curah hujan. Hal tersebut tentu masih perlu dikonfirmasikan dengan kajian yang lebih
mendalam terhadap, misalnya, korelasi antara titik panas dengan curah hujan bulanan, periode atau bulan-bulan terjadinya kebakaran, dan sebagainya. Namun
demikian, hasil analisis tersebut juga setidaknya mengisyaratkan bahwa pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir terdapat faktor-faktor lain yang lebih
berpengaruh terhadap terjadinya hotspot titik panas. Penelitian ini tidak Gambar 6 Jumlah akumulasi titik panas hot spot tahunan di Provinsi Riau
dan Provinsi Kalimantan Barat sumber: Dit. PKH 2010.
80 mengkaji lebih mendalam faktor-faktor tersebut, tetapi membahasnya berdasarkan
hasil kajian dari berbagai pustaka. Berbagai studi menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutanlahan
terutama di Sumatera dan Kalimantan adalah penggunaan api atau pembakaran yang disengaja di dalam kawasan hutan atau lahan karena berbagai alasan.
Bompard dan Guizol 1999 mencatat beberapa tindakan penggunaan api secara sengaja di Sumatera Selatan, yang kondisinya relatif serupa dengan kondisi di
lokasi penelitian, untuk alasan-alasan antara lain: 1 penyiapan lahan untuk permukiman transmigrasi, 2 merangsang pertumbuhan pakan bagi hewan
peliharaan, 3 merangsang pertumbuhan pakan bagi satwa buru, dan 4 sebagai pernyataan ketidakpuasan oleh masyarakat setempat terhadap konsesi hutan yang
mewakili suatu administrasi hutn yang mengabaikan hak-hak mereka atas lahan dan sumber daya hutan. Di samping itu, Bompard dan Guizol 1999 menegaskan
bahwa sebuah tradisi budidaya pertanian di daerah rawa-rawa yang disebut sonor merupakan sumber utama kebakaran lahan di berbagai wilayah di Sumatera.
Sonor adalah sebuah bentuk budidaya padi rawa swamp-rice yang diterapkan hanya setelah adanya periode tiga bulan kering di mana vegetasi sepanjang sungai
rawa benar-benar terpapar matahari dan cukup kering untuk dibakar akhir September – Oktober.
Pendapat serupa dinyatakan oleh Adinugroho et al. 2005 yang menyebutkan bahwa kebakaran hutanlahan di Indonesia disebabkan 99,9 oleh
manusia dan Saharjo 1999 yang memberikan angka 99 untuk penyebab oleh manusia. Aktivitas penyiapan lahan untuk hutan tanaman industri dan perkebunan
di kedua wilayah tersebut kemungkinan juga berfluktuasi cukup tinggi sebagaimana diprediksi oleh Casson 2003. Pembukaan lahan baru untuk
perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan meningkat tajam setelah tahun 1967 dan sempat melambat di awal-awal reformasi sekitar tahun 1997 –
1999, namun kemudian diprediksi akan terus berkembang lagi. Penyiapan lahan perkebunan tersebut pada umumnya menggunakan cara dengan pembakaran
sehingga berkembangnya usaha perkebunan dapat pula meningkatkan frekuensi kebakaran hutanlahan seperti diungkapkan Resosudarmo dan Colfer 2003.
Kegiatan-kegiatan penyiapan lahan tersebut pada umumnya dilakukan pada awal
81 dan akhir musim hujan di mana masih terdapat hari-hari hujan. Hal ini pula
barangkali yang menyebabkan koefisien korelasi yang positif di Kab. Ketapang. Semua penyebab tersebut di atas pada dasarnya berada di bawah kendali
pemerintah, sehingga jumlah hotspot dapat menjadi indikator dari kinerja pemerintah. Jumlah hotspot yang masih relatif tinggi, sementara korelasi yang
rendah antara jumlah titik panas dengan kondisi alam yang diwakili oleh curah hujan dapat menggambarkan bahwa kendali organisasi pemerintah yang
berwewenang terhadap aktivitas-aktivitas penyebab kebakaran hutanlahan tersebut masih relatif lemah. Hasil analisis pada sub bab-sub bab berikut akan
membuktikan hal tersebut. Data titik panas yang sudah memisahkan antara hotpot yang berada di
kawasan hutan dan yang di luar kawasan hutan lahan menunjukkan bahwa persentase dari jumlah akumulasi hotspot di luar kawasan hutan selalu lebih
banyak daripada yang di kawasan hutan Tabel 3 dan Gambar 7. Sayangnya masih sulit untuk memperoleh data yang rinci mengenai jumlah hotspot dan
luasan kebakaran pada masing-masing fungsi kawasan hutan dan jenis peruntukan lahannya. Sebagai gambaran, perbandingan rata-rata persentase jumlah hotspot
antara yang berada di kawasan hutan dengan yang berada di lahan adalah 24,61: 75,39 Tabel 3
Tabel 3 Jumlah hotspot menurut peruntukan hutan dan lahan seluruh Indonesia
Peruntukan 2006
2007 2008
2009 2010
Rata
2
Kawasan Hutan
Titik 48.481 10.083 5.631 8.654 2.270 15.024
33,15 26,60
18,39 21,93
22,98
24.61
Lahan Titik
97.783 27.826 24.985 30.809 7.610 37.803 66,85
73,40 81,61
78,07 77,02
75.39
Jumlah Hotspot
146.264 37.909 30.616 39.463 9.880 52.827 Sumber: Dit. PKH 2011
82 Persentase keberadaan hotspot yang lebih besar di luar kawasan hutan
tampaknya tidak diimbangi oleh kinerja organisasi-organisasi pemerintah yang memangku lahan. Hal ini dapat dilihat dari persentase rata-rata luasan kebakaran
yang ternyata lebih besar untuk kebakaran di kawasan hutan daripada kebakaran lahan, yakni 57,94 : 42,06 Tabel 4. Menurut pengamatan langsung dan
penjelasan responden di lapangan, memang instansi yang menangani kehutanan di tiap tingkatan, baik kabuaptenkota, provinsi maupun nasional, relatif lebih aktif
dalam menangani kebakaran hutanlahan dan aktivitas tersebut ditunjukkan oleh lebih tingginya persentase luasan kebakaran yang dicatat instansi-instansi tersebut.
Instansi-instansi pemangku lahan pada umumnya belum memiliki kapasitas untuk melakukan pengendalian kebakaran. Hasil analisis terhadap kapasitas organisasi
di daerah penelitian akan diuraikan pada sub bab 5.4.
Gambar 7 Grafik jumlah akumulasi hotspot di kawasan hutan dan lahan di luar kawasan hutan seluruh Indonesia tahun 2006 – 2010. Sumber: Dit.
PKH 2011.
Data jumlah titik panas hotspot, luasan kawasan terbakar dan korelasi- korelasi tersebut di atas serta kecenderungan jumlah hotspot yang masih
meningkat menurut data sepuluh tahun terakhir menggambarkan bahwa permasalahan kebakaran hutanlahan ke depan masih ada dan perlu mendapat