Kebaruan Novelty Organizing system of forest and land fire control organization in Indonesia
12 direncanakan atau pembakaran terkendali controlled burning atau prescribed
burning. Kejadian kebakaran hutanlahan di Indonesia berkaitan erat dengan kondisi
lingkungan, terutama cuaca. Beberapa kejadian kebakaran besar atau yang tersebar luas terjadi bersamaan dengan terjadinya fenomena El-Nino. Qadri
2001 menjelaskan fenomena El-Nino sebagai suatu fenomena periodik yang berkaitan dengan kondisi lautan di mana penghangatan yang kuat dan meluas
terjadi di lautan tropis bagian atas Pasifik timur. El-Nino berpengaruh pada penguatan suatu arus hangat lautan, yang disebut arus balik ekuator di Pasifik
tengah, yang menyebabkan terganggunya mekanisme cuaca keseluruhan. Kejadian El-Nino berkaitan dengan suatu perubahan dalam tekanan atmosfer yang
dikenal sebagai Southern Oscillation, dan oleh sebab itu fenomena tersebut secara bersama-sama disebut sebagai El-Nino Southern Oscillation atau ENSO. ENSO
inilah yang menyebabkan musim kering yang lebih panjang bagi sebagian besar wilayah Indonesia.
Musim kering yang lebih panjang memicu lebih banyaknya kejadian kebakaran hutanlahan. Qadri 2001 dan Suratmo 2003 mencatat bahwa El-
Nino yang terjadi pada tahun-tahun 1982-1983, 1994, dan 1997-1998 telah mengakibatkan kebakaran yang relatif lebih luas dari pada kebakaran di luar
kondisi El-Nino. Hal ini dapat dilihat dari data yang disampaikan Bappenas 1999 bahwa luas kebakaran di luar kondisi El-Nino rata-rata di bawah satu juta
hektar, sedangkan pada kondisi El-Nino jauh di atas satu juta, seperti data berikut: 1983 seluas 3,2 juta hektar, 1987 seluas 66 ribu hektar, 1991 seluas 500 ribu
hektar, 1994 seluas 4,87 juta hektar, dan 19971998 seluas 9,5 juta hektar. Frekuensi dan intensitas El-Nino menurut para ilmuwan cenderung
meningkat. Pada abad ke-19, El-Nino muncul rata-rata setiap tujuh setengah tahun dan pada abad ke-20 sekitar setiap lima tahun, sedangkan sekarang terjadi setiap
kurang dari lima tahun. Alasan terjadinya peningkatan frekuensi El-Nino tersebut belum jelas Qadri 2001. Peningkatan frekuensi terjadinya El-Nino tersebut dapat
mengindikasikan pula tren kenaikan frekuensi terjadinya kebakaran besar. Tren kejadian kebakaran hutanlahan di luar kondisi El-Nino pun beberapa tahun ke
13 depan tampaknya masih meningkat sejalan dengan meningkatnya faktor-faktor
penyebab kebakaran. Indikasi terjadinya kebakaran hutanlahan dapat pula dilihat dari hasil
pantauan titik-titik panas hotspots. Hiroki dan Prabowo 2003 menjelaskan titik panas sebagai hasil penginderaan jauh sistem termal dengan menggunakan citra
NOAA-AVHRR National Oceanic and Atmospheric Administration – Advance Very High Resolution Radiometer, sebuah satelit lingkungan yang bernaung di
bawah NESDIS National Environmental Satelitte Data and Information Services, Department of Commerce, Amerika Serikat. Titik-titik panas dipantau
melalui satelit tersebut pada saluran 3 dengan panjang gelombang 3,55 µ m – 3,92 µ m, saluran 4 dengan panjang gelombang 10,3µ m – 11,3µ m, dan saluran 5
dengan panjang gelombang 11,5 µ m – 12,5µ m, di mana pancaran energi termal dari benda-benda yang bersuhu antara 550K – 1800K akan terekam. Titik panas
memang tidak selalu berarti kebakaran hutanlahan Hiroki Prabowo 2003, namun titik-titik tersebut dapat menjadi indikasi terjadinya kebakaran Suprayitno
Syaufina 2003.