Analisis Deskriptif Kecerdasan Emosional Pada Kisah-Kisah Al-Quran Dan Upaya Pengembangannya Pada Anak Usia 6 Sampai 9 Tahun

(1)

ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASAN

EMOSIONAL PADA KISAH-KISAH AL-QURAN

DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA ANAK

USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Oleh:

Lia Widyawati

NIM: 107011000241

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASAN

EMOSIONAL

PADA

KISAH.KISAH AL.QURAN

DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA

ANAK

USIA6SAMPAI 9TAHUN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I)

Oleh: Lia Widvawati

NIM: 107011000241

Dibawah Bimbingan :

NIP: 1971 103 191998032001

JURUSAN

PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM

FAKULTAS

ILMU

TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014

M


(3)

LEMBAR

PENGESAHAN

UJIAN MUNAQASAH

Skipsi

berjudul

"ANALISIS

DESKRIPTIF

KECERDASAN

EMOSIONAL

PADA

KISAH.KISAH AL.QURAN

DAN

UPAYA

PENGEMBANGANNYA

PADA

ANAK USIA

6

SAMPAI

9

TAHUN"

disusun oleh Lia Widyawati Nomor Induk Mahasiswa 107011000241, diajukan

kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 03 Juli

2014 dihadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar

Sarjana S1 (S.Pd.D dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, Juli20l4

Panitia Uj ian Munaqasah Tanggal Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)

Dr. H. Abdul Maiid Khon. M.Ae

NIP. 19580707 198703 1 005 Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Marhamah Saleh

NIP. 19720313 200801 2010

Penguji I

Siti 4hadiiah. MA

NrP. 19700727 199703 2 004 Penguji II

Dra. Elo AL Busis. M.As NrP. 19560119 t99403 2 001

MA. :1)

f:r?!1

Lc

2p4

Mengetahui:

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

rl,

t,o11

"'r'T"""""""'

Tanda Tangan


(4)

: Lia Widyawati

:1070I1000241

: Pendidikan Agama Islam

: Jl. H" Sulaiman No. 12 Bedahan Kec. Sawangan Kota Depok Nama

NIM

Jurusan

Alamat

Nama Pembimbing

NIP

JurusanlProgram Studi

:Dr.Sururin, MA.

:1971103191998032001

: Pendidikan Agama Islam Dengan ini menyatakan :

Bahwa skripsi yang berjudul Analisis Deskriptif Kecerdasan Emosional Pada

Kisah-Kisah Al-Qru'an Dan Pengembangannya Pada Anak Usia

6

Sampai 9 Tahun adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen:

Demikian surat prnyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap

rrenerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya

sendiri.

Iakarta,03 Juli 2014

Yang Menyatakan

Lia Widyawati

MM.

107011000241


(5)

ABSTRAK

Lia Widyawati, NIM. 107011000241, Skripsi Analisis Deskriptif Kecerdasan Emosional Pada Kisah-kisah Al-Qur’an Dan Upaya Pengembangannya Pada Anak Usia 6 sampai 9 Tahun, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Juli 2014.

Skripsi ini membahas tentang konsep kecerdasan emosional bertujuan untuk mengenalkan kepada manusia atau masyarakat betapa pentingnya mengembangkan kecerdasan emosional sejak dini. Karena kecerdasan emosional merupakan aspek pendukung dalam mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ). Selain itu, ia juga menjelaskan tentang perkembangan emosi anak usia 6 sampai 9 tahun dalam merealisasikan kecerdasan emosionalnya tersebut. Adapun metode yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif, melalui pendekatan deskriptif dalam menemukan jawaban yang terkait dengan permasalahan yang ada pada skripsi ini.

Dalam mencapai hasil perkembangan yang baik, terdapat lima kecakapan atau kemahiran yang perlu dikembangkan dalam kecerdasan emosional ini, yaitu kemahiran mengenali emosi diri, kemahiran pengaturan diri, kemahiran empati, dan kemahiran memotivasi emosi diri, serta kemahiran dalam membina hubungan dengan orang lain. Kelima kecakapan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika ada salah satu dari kelima kecakapan tersebut yang tidak berkembang dengan baik, maka kecerdasan emosional seorang itu dapat dikatakan belum sempurna dan sulit untuk mengembangkannya ketika ia telah tumbuh dewasa.

Dalam mengembangkan kecerdasan emosional dibutuhkan sarana yang tepat yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam. Oleh karenanya, dalam pembahasan ini dikaitkan dengan kisah-kisah Nabi yang terkandung dalam Al-Quran. Ada tiga kisah tentang Nabi yang berhubungan dengan perkembangan emosi anak, yaitu kisah kedua putra Nabi Adam as., Nabi Nuh as., dan Kisah kelahiran Nabi Musa as. Di dalam ketiga kisah tersebut terdapat berbagai macam hikmah yang dapat diambil untuk diteladani dalam perkembangan pribadi seorang anak.


(6)

Lia Widyawati, NIM. 107011000241, “Skripsi”, Analysis Of Descriptive Of Emotional Intelligence In Quran Histories And The Effort Of Achievement In Child Of 6 To 9 Years Old. Islamic Department, July 2014.

This “Skripsi” explains about the concept of emotional intelligence that aims to introduce human being or people how it is important to develop the emotional intelligence in early age because it is one of many aspects needed in developing the intelligence intellectual (IQ). Besides, it also explains about the developing the child emotion in 6 and 9 years old in realizing that. The method

used in this “skripsi” is the descriptive method, through the descriptive approach

finding the solution and answer related to the problem which is discussed.

In achieving the result of good development, there are five accomplishments or skills which have to be developed in this emotional intelligence, those are the skill of recognizing the emotion, the competence of self-regulation, empathy skills, the skills of motivating ourselves, and the skills of leading the other relationships. The five skills mentioned cannot be separated from each other. If one of these skills is not good, the emotional intelligence will not complete and difficult to develop when he grows up.

In developing the emotional intelligence, it needs the proper things which are related to the Islamic education. Therefore, this discussion is associated with the prophet storiesin the Quran. There are three prophet stories related to the development of the child emotion, namely the story of two Adam’s sons, Noah, and the birth of Musa. There are many lessons which can be learned from those stories to be applied in developing the child character.


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah, kata yang dapat saya ucapkan kepada Tuhan yang Maha Agung dan Bijaksana, yakni Allah SWT. karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini yang berjudul

“ANALISIS DESKRIPTIF KECERDASAN EMOSIONAL PADA

KISAH-KISAH AL-QUR’AN DAN UPAYA PENGEMBANGANNYA PADA ANAK

USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN”.

Shalawat teriring salam tidak lupa penulis sampaikan kepada sang rahmatan

lil ‘alamin Nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya, para sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Beliau yang menjadi tauladan bagi penulis untuk terus berusaha menyelesaikan skripsi ini yang menjadi sebuah kewajiban bahwa menuntut ilmu pengetahuan wajib hukumnya bagi setiap muslim.

Penulis sampaikan rasa terima kasih yang begitu besar kepada kedua orang tua yang telah menyayangi, membiayai, serta senantiasa mendoakan penulis agar menjadi sukses dan bermanfaat setelah menempuh perjuangan masa kuliah di universitas ini.

Salam ta’zim penuh khidmat penulis kepada Ibu Dr. Sururin, MA. yang telah memberikan waktu luang kepada penulis dalam membimbing sehingga terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih atas semua kebaikan Ibunda semoga Allah membalas dengan berlipat ganda. Amin.

Karya skripsi ini merupakan hasil perjuangan panjang yang penulis tempuh selama mengenyam pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyelesaian ini tidak lepas dari motivasi dan dukungan orang-orang yang berhati luhur, dengan segala gormat penulis sampaikan terima kasih kepada:

1. Dra. Nurlena Rifa’i, MA. Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

3. Marhamah Saleh, Lc. MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Sururin, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan pengarahan secara berkala kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Segenap Dosen yang ada di Jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya dari semester pertama hingga semester terakhir penulis.

6. Kedua orang tua penulis, Bapak H. Bacheroni dan Ibu Hj. Rohimah serta yang senantiasa membimbing dan memotivasi baik secara moril maupun materil.

7. Suami penulis tercinta, Ahmad Syarif, S,Pd.I beserta buah hati tersayang, Faazat Faradina Syarief yang selalu memberikan inspirasi dan penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Untuk rekan-rekan seperjuangan, Jurusan PAI angkatan 2007 khususnya kelas A yang telah memberikan warna selama menempuh studi kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Karya skripsi ini bukanlah akhir dari kesempurnaan pemikiran penulis, masih banyak kekurangan dan kesalahan yang penulis lakukan dalam penyusunan karya ini. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa diharapkan guna penyempuraan di masa mendatang.

Jakarta, 02 Juni 2014 Penyusun


(9)

DAFTAR ISI

JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Kegunaan Penelitian... 9

G. Metode Penelitian... 9

1. Sumber Data ... 10

a. Sumber Data Primer ... 10

b. Sumber Data Sekunder ... 11

2. Pendekatan Penelitian ... 11

3. Teknik Penulisan ... 12

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL A. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 13

1. Pengertian Emosi... 13

2. Pengertian Kecerdasan Emosional... 16

B. Kecakapan-kecakapan Utama Kecerdasan Emosional ... 19

1. Mengenali Emosi Diri... 19

2. Mengelola Emosi Diri... 20

3. Memotivasi Diri Sendiri ... 22


(10)

D. Sasaran Kecerdasan Emosional... 29

BAB III KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN ... 32

A. Pengertian Kisah Al-Quran ... 32

1. Pengertian Kisah ... 32

2. Pengertian Kisah Al-Quran ... 35

B. Macam-macam Kisah dalam Al-Quran ... 36

C. Kisah-kisah Nabi dalam Al-Quran ... 38

1. Kisah Dua Putra Nabi Adam as.: Qabil dan Habil ... 39

2. Kisah Nabi Nuh as. ... 42

3. Kisah Kelahiran Nabi Musa as. ... 47

BAB IV ANALISIS KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN MENGENAI KECERDASAN EMOSIONAL PADA PERKEMBANGAN ANAK USIA 6 – 9 TAHUN ... 53

A. Aspek-aspek Kemahiran Kecerdasan Emosional pada Perkembangan Anak Usia 6 – 9 Tahun melalui Kisah-kisah Al-Quran ... 53

1. Kemahiran Mengenali Emosi Diri ... 53

2. Kemahiran Mengelola Emosi Diri ... 57

3. Kemahiran Memotivasi Emosi Diri ... 61

4. Kemahiran Mengenali Emosi Orang Lain ... 67

5. Kemahiran Membina Hubungan Dengan Orang Lain .. 71

B. Upaya Penerapan Kecerdasan Emosional pada Anak Usia 6 – 9 Tahun ... 75

BAB V PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran-saran ... 80


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam dunia pendidikan saat ini, banyak dari masyarakat yang menganggap bahwa anak yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (Intelligence Qoutient) yang tinggi, maka anak tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar dibanding dengan anak-anak yang lain. Apabila melihat kenyataan yang terjadi pada saat ini, banyak sarjana yang belum sukses dalam pekerjaannya, mirisnya lagi bahkan masih ada yang menjadi pengangguran. Namun seringkali orang yang memiliki pendidikan formal lebih rendah, justru sebaliknya mereka banyak yang berhasil.1

Orangtua adalah guru pertama bagi anak-anaknya, untuk itu orangtua harus mengetahui kecerdasan apa yang pertama-tama patut dimiliki seorang anak. Muhammmad Muhyidin mengatakan bahwa kecerdasan yang

1

Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, (Jakarta: Arga, 2001), h. 41.


(12)

tama patut dimiliki seorang anak adalah kecerdasan emosional, sebelum anak memiliki kecerdasan-kecerdasan yang lain.2

Daniel Goleman, yang telah berjasa mempopulerkan kecerdasan emosional (Emotional Qoutient) pada akhir tahun 1995, menjelaskan bahwa ada patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang selain IQ (Intelligence Quotient). Ia berpendapat bahwa keberhasilan kita tidak hanya ditentukan oleh IQ semata tetapi juga kecerdasan emosional.3 Selanjutnya ia juga telah membuktikan bahwa tingkat emosional manusia ternyata lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.

Mengadaptasi dari definisi Peter Salovey, Daniel Goleman membagi kecakapan Kecerdasan emosional dalam lima ranah utama yaitu ; mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan.4

Kecerdasan emosional dengan beberapa kecakapan utamanya ini, tidaklah mudah diperoleh karena ia tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba atau langsung jadi. Sebaliknya, kemampuan tersebut harus dipelajari sejak dini. Kecerdasan emosional tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Anggapan masyarakat untuk menekankan kecerdasan intelektual (Intelligence Qoutient) pada anak saja tidak cukup untuk menjamin kesuksesannya, hal ini harus diimbangi dengan menanamkan kecerdasan emosional (Emotional Qoutient). Pentingnya penanaman kecerdasan emosional ini salah satunya dapat dilihat dalam sebuah riset keterbatasan peranan IQ.

2

Muhammmad Muhyidin, Manajemen ESQ Power, (Jogjakarta: DIVA Press, 2007), h. 180.

3

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi; Untuk mencapai Puncak Prestasi, Terj. dari buku,

Working with Emotional Inteligence,oleh Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), Cet. 6, h. 512.

4

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence, oleh T. Hermaya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 59.


(13)

3

Riset di Macaussets, Amerika. Riset ini meneliti kondisi 450 bayi hingga 40 tahun kemudian. 2/3 anak berasal dari keluarga berpenghasilan terbatas dan hidup dengan bantuan-bantuan lembaga-lembaga sosial. IQ 1/3 anak berada dibawah 90. Meskipun demikian, penelitian itu membuktikan bahwa IQ memberikan pengaruh yang tidak begitu penting bagi mereka dalam menjalankan pekerjaannya dan hidupnya. Sementara pengaruh terbesar diberikan oleh kemampuan sederhana yang mereka dapatkan diwaktu kecil, seperti kemampuan mernyikapi kegagalan, tidak tercapainya harapan, mengendalikan perasaan-emosi, dan kemampuan hidup berdampingan dengan orang lain.5

Dengan melihat hasil riset tersebut menunjukkkan EQ mempunyai peran yang penting dalam menciptakan kemampuan dan keterampilan untuk keberhasilan anak dimasa yang akan datang. Untuk itu diperlukan barbagai cara untuk menerapkan kecerdasan emosional pada anak sejak dini, karena kecerdasan emosional tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba atau langsung jadi.

Terdapat berbagai cara untuk menanamkan dan membentuk kecakapan-kecakapan emosional pada anak. Salah satunya adalah dengan menggunakan cerita-cerita atau kisah keteladanan. Shapiro berpendapat bahwa kisah-kisah keteladanan bisa menjadi cara yang paling baik untuk mengajarkan keterampilan emosional, entah dibacakan dari buku yang sudah ada atau di karang sendiri.6

Dunia anak merupakan dunia yang pasif ide, maka untuk menunjang menyesuaikan diri membutuhkan rangsangan yang cocok dengan jiwa mereka. Dengan mendengarkan kisah-kisah keteladanan dapat dijadikan bekal

5

Makmun Mubayidh, Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj dari Adz-Dzaka’ Al -Athifi wa Ash-Shihhah Al--Athifiyah, oleh. Muhammad Muchson Anasy, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 16.

6

Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, oleh. Alex Tri Kantjono, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 98.


(14)

untuk menghadapi dunia yang akan ditempuhnya tanpa merasa dijejali. Apa yang dibaca seseorang di masa kecil sangat membekas dan berpengaruh pada emosi, perilaku, dan pemikirannya saat ia dewasa kelak.7 Ketika seorang anak berhadapan dengan hal yang baru, maka mereka akan menyikapinya secara langsung dengan meniru apa yang telah didengar. Hal ini yang menjadikan pentingnya pengaruh kisah-kisah dalam menerapkan kecakapan-kecakapan emosional pada diri anak.

Kisah yang yang dapat menggambarkan emosi dan perasaan anak dapat dilakukan dengan penyajian tokoh-tokoh dalam kisah. Hal ini dapat membantu anak memahami diri mereka sendiri, memahami orang lain, dan memahami lingkungan tempat hidupnya serta anak dapat mengidentifikasi diri dengan tokoh dalam kisah.8

Anak pada usia 6 sampai 9 tahun merupakan masa mendongeng atau berkisah karena pada usia ini anak gemar sekali dengan kisah-kisah kehidupan yang menyajikan tokoh-tokoh. Masa ini bertepatan dengan perkembangan anak ke arah kenyataan.9 Sehingga cocok untuk menanamkan kecerdasan emosional pada usia ini.

Sebagai pendidik, baik itu orangtua maupun guru secara teliti harus dapat memilih kisah-kisah manakah yang dapat memberikan keteladanan kepada anak usia 6 sampai 9 tahun. Seringkali anak pada masa itu hanya dijejali dengan kisah-kisah yang hanya berisi kekerasan tanpa memberikan bimbingan, sehingga anak tumbuh dewasa dengan rasa takut atau sebaliknya cenderung beringas. Dengan demikian kesesuaian kisah-kisah yang mengandung nilai-nilai keteladanan merupakan dasar untuk menerapkan kecakapan-kecakapan emosional kepada mereka.

7

Makmun mubayidh, Kecerdasan Dan Kesehatan Emosional Anak (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2006) h. 247.

8

Makmun mubayidh, Kecerdasan Dan Kesehatan Emosional Anak, h. 249.

9


(15)

5

Salah satu sumber kisah yang baik untuk diajarkan pada anak adalah Al-Quran. Al-Quran telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah Al-Quran dikatakan menarik karena di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan rinci yang mencangkup semua sisi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat, tentang karakter kehidupan, alam semesta dan dimensi kejiwaan. Dimensi kejiwaan ini dibahas dalam banyak ayat-ayat, khususnya ayat-ayat yang membahas tentang cerita atau kisah.

Namun sekarang ini banyak masyarakat yang kurang perhatian terhadap manfaat yang terkandung dalam kisah-kisah Al-Quran. Mereka cenderung meniru kehidupan barat, dengan menceritakan kisah-kisah yang belum deketahui kebenarannya. Allah telah menceritakan kepada manusia kisah-kisah Nabi dan menyifati kisah-kisah-kisah-kisah ini sebagai kisah-kisah yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Allah juga menyifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang terbaik (Ahsanul Qashash), sebagaimana firman Allah sebagai berikut:







Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukannya) adalah orang-orang yang belum mengetahui

(Q.S. Yusuf: 3)10

Allah telah memerintahkan agar meneladani orang-orang baik (shalihin) dan penganjur kebaikan (muslihin ) dari orang-orang terdahulu, yang kisah-kisah mereka telah dipaparkan serta telah diperlihatkan metode mereka dalam dakwah, perbaikan (ishlah), perlawanan terhadap musuh musuh Allah,

10

Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), h. 348.


(16)

perjuangan jihad, kesabaran dan keteguhan.11 Sehingga tidak diragukan lagi bahwa kisah-kisah Nabi dalam Al-Quran yang perlu untuk disampaikan kepada anak dalam rangka menerapkan kecerdasan emosi kepada mereka.

Dalam perkembangan tafsir tematik (maudhu’i), akan terdapat berbagai tafsir, salah satunya tafsir kejiwaan secara umum dan tafsir emosi secara khusus. Ayat-ayat yang berkaitan dengan emosi yang membahas tokoh-tokoh misalkan kedua putra Nabi Adam as., Nabi Nuh as., Nabi Musa as., dan lain-lain.

Pengamatan sementara peneliti mendapatkan bahwa masyarakat masih asing dengan masalah kecerdasan emosional dan mereka cenderung mengabaikan manfaat kisah-kisah dalam Al-Quran sebagai alat untuk menerapkankan kecerdasan emosional kepada anak. Untuk itulah maka penulis berusaha menjabarkan betapa pentingnya kisah-kisah dalam Al-Quran sebagai alat untuk menerapkan kecerdasan emosional pada anak melalui

penulisan skripsi ini, dengan judul “ANALISIS DESKRIPTIF

KECERDASAN EMOSIONAL PADA KISAH-KISAH AL-QURAN DAN UPAYA PENGEEMBANGANNYA PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 9 TAHUN” .

B. Identifikasi Masalah

Seperti yang di paparkan dalam latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian kali ini sebagai berikut:

1. Dalam pendidikan untuk anak, mayoritas masyarakat cenderung lebih menekankan kecerdasan intelektual daripada kecerdasan emosional, sehingga kecerdasan emosional kurang ditekankan.

2. Perlunya cara penanaman kecerdasan emosional anak sejak dini, karena kecerdasan emosional tidak hadir dan dimiliki secara tiba-tiba.

11

Shalah Al-Khalidy, Kisah-kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu, Terj. dari


(17)

7

3. Pentingnya penyajian kisah-kisah pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun dalam penanaman kecerdasan emosional.

4. Mayoritas masyarakat belum mengetahui kisah-kisah yang mengandung kecerdasan emosional untuk perkembangan anak. 5. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hikmah atau pelajaran

yang terdapat di dalam kisah Al-Quran yang mengandung kecerdasan emosional.

6. Kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun dapat diterapkan melalui kisah-kisah dalam Al-Quran, seperti Kisah Kedua Putra Nabi Adam as., Nabi Nuh as., dan Nabi Musa as.

C. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti agar pembahasan ini nantinya lebih terarah, spesifik, dan sistematis. Untuk menghindari terlalu luas dan melebarnya pembahasan, maka dalam penelitian ini dibuat suatu batasan. Ruang lingkupnya dibatasi pada kecerdasan emosional teori Daniel Goleman pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun yang terkandung dalam kisah Kedua Putera Nabi Adam as. dalam surat Al-Maidah ayat 27-32, Nabi Nuh as. dalam surat Al-Ankabut ayat 14, dan Nabi Musa as. dalam surat Thaha ayat 37-40 dan Al-Qashash ayat 1-13.

1. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan Emosional atau Emotional Intelligence merrujuk kepada kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain. Kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri serta dalam hubungannya dengan orang lain.12

12


(18)

Adapun pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada pembentukan lima kecakapan utama kecerdasan emosional yang meliputi:

a. Kemahiran mengenali emosi diri b. Kemahiran mengelola emosi diri c. Kemahiran memotivasi emosi diri d. Kemahiran mengenali emosi orang lain

e. Kemahiran membina hubungan dengan orang lain. 2. Cerita-cerita dalam Al-Quran

Yang dimaksud dengan cerita-cerita dalam Al-Quran disini adalah cerita-cerita yang bersumber dari kitab suci Al-Quran kisah-kisah para Nabi.

Dalam masalah ini, akan dibahas pengertian, macam-macam, dan hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari kisah-kisah dalam Al-Quran, yaitu kisah kedua putera Nabi Adam as. dalam surat Al-Maidah ayat 27-32, Nabi Nuh as. dalam surat Al-Ankabut ayat 14, dan Kelahiran Nabi Musa as. dalam surat Thaha ayat 37-40 dan Al-Qashash ayat 1-13.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kecerdasan emosional yang terkandung pada kisah-kisah Al-quran dalam surat Al-Maidah ayat 27-32, surat Al-Ankabut ayat 14, surat Thaha ayat 37-40 dan Al-Qashash ayat 1-13.?

2. Bagaimana pengembangan kecerdasan emosional anak usia 6 sampai 9 tahun melalui kisah-kisah Al-Quran?


(19)

9

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang didasarkan atas perumusan masalah di atas, tujuan tersebut yaitu mengetahui:

1. Untuk mengetahui kecerdasan emosional yang harus dimiliki oleh anak usia 6 sampai 9 tahun.

2. Untuk memahami hikmah dan pelajaran yang terdapat di dalam Al-Quran yang mengandung kecerdasan emosional.

F. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini dapat memperlancar proses pengambangan ilmu yang diperoleh sebagai alternatif pelaksanaan salah satu Tri Darma Perguruan yaitu penelitian.

2. Sebagai masukan bagi pendidik baik orangtua maupun guru supaya menjadi bahan pertimbangan bahwa dalam proses pembelajaran tidak hanya berorientasi pada perkembangan intelektual siswa semata, akan tetapi kecerdasan emosional anak juga perlu dikembangkan secara lebih maksimal.

3. Bagi universitas, menambah khazanah ilmiyah di kalangan akademis khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan diharapkan menjadi sumbangsih gagasan dan sebuah tawaran solusi terhadap tantangan globalisaasi.

G. MetodePenelitian

Penulisan skripsi ini bersifat kualitatif (Qualitative research). Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang diajukan untuk mendskripsikan dan menganalisis fenomena, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi


(20)

pemikiran orang secara individual maupun kelompok.13 Penelitian pada skripsi ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun melalui kisah-kisah Al-Quran.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah dengan menggunakan metode Deskriptif, yaitu metode pembahasan masalah dengan cara memaparkan atau menguraikan pokok masalah secara teoritis, kemudian menganalisanya dalam rangka mendapatkan suatu kesimpulan yang tepat.14 Adapun yang dimaksud pada penelitian skripsi ini dengan menggunakan pendekatan deskriptif, adalah ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun melalui kisah-kisah Al-Quran.

1. Sumber Data

Penulisan menggunakan metode penelitian berupa penelitian kepustakaan (Library research) adalah penelitian yang dilakukan di perpustakaan sebagai tempat penelitian dimana objek penelitiannya adalah bahan-bahan perpustakaan. 15 Sumber data yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi:

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber-sumber yang dijadikan bahan pokok dalam penulisan skripsi ini. Adapun yang dijadikan sumber pokok dalam penulisan skripsi ini adalah :

1) Yang berhubungan dengan kecerdasan emosional: - Buku Emotional intelligence karya Daniel Goleman.

13

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet.3, h. 60.

14

Nana Syaodih Sukmadinata, ibid., h. 72

15

Nuraida dan halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Tangerang: Islamic Research Publising, 2009), C.1, h.20.


(21)

11

-Working with Emotional Intelligence karya Daniel Goleman. 2) Yang berhubungan dengan kisah-kisah dalam Al-Quran:

-Al-Quran .

-Buku-buku tentang kisah-kisah dalam Al-Quran.

-Kitab MabahitsFi ulumil Qur’ankarangan Mana’ul Qathan. b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber-sumber yang dapat menunjang bagi pembahasan skripsi ini. Sumber-sumber sekunder ini antara lain berupa buku-buku kecerdasan emosional, kitab-kitab tafsir yang terkait dengan permasalahan yang dibahas, artikel, karya ilmiah, dan buku-buku lainnya yang menunjang penulisan skripsi ini.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitaian ini dengan menggunakan pendekatan data kualitatif yang bersifat induktif. Dalam proses mencari data dengan menginventarisasi seluruh data yang berhubungan dengan kecerdasan emosional teori Daniel Goleman dan kisah-kisah Nabi dari berbagai sumber. Kemudian kisah-kisah Nabi dikategorisasikan pada lima kecakapan kecerdasan emosional pada perkembangan anak usia 6 sampai 9 tahun. Usia 6 sampai 9 tahun merupakan masa dimana seorang anak menyukai sebuah cerita atau kisah mengenai sesuatu hal sehingga kecakapan kecerdasan emosional yang terdapat pada perkembangan anak tersebut melalui kisah-kisah dalam Al-Quran akan mudah terbentuk.

Dengan merujuk pada objek penelitian maka pendekatan yang digunakan dalam kisah Al-Quran ini menggunakan pendekatan tafsir

maudhu’i. Yaitu, menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik


(22)

masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut.16

3. Teknik Penulisan

Adapun untuk teknik penulisan dalam menulis skripsi ini penulis menggunakan buku panduan dari UIN Syarif Hidayatullah yakni, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis oleh tim penulis: Kadir, Sururin dkk, tahun 2011, yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

16

Al-Farmawi, Metode Tafsir mawdhu’iy, Terj. dari Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Mawdhu’iy,


(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL

A. Pengertian Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.1

Menurut Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf dalam bukunya Executive EQ, kata emotion bisa didefinisikan dengan gerakan (movement), baik secara metaforis maupun literal, kata emotion adalah kata yang menunjukkan perasaan. Dengan begitu, menurut mereka,

1

Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi; Untuk mencapai Puncak Prestasi, Terj. dari buku, Working with Emotional Inteligence,oleh Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), Cet. 6, h. 411


(24)

kecerdasan emosionallah yang lebih memotivasi kita untuk mencarin potensi kita sendiri, untuk mencapai tujuan unik kita yang mengaktifkan nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi kita yang paling dalam dari apa yang kita pikirkan.2

Sedangkan menurut Zikri Neni Iska, emosi adalah setiap keadaan diri seseorang yang disertai dengan warna yang efektif, baik pada tingkat yang lemah maupun pada tingkat yang kuat. Namun ada pendapat lain yang memberikan definisi emosi adalah reaksi yang kompleks yang mengandung aktifitas dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan dalam kejasmanian serta berkaitan dengan perasaan yang kuat.3

Ahli psikologi memandang manusia adalah makhluk yang secara alami memiliki emosi. Menurut James, emosi adalah keadan jiwa yang menampakan diri dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh. Emosi setiap orang adalah mencerminkan keadaan jiwanya, yang akan tampak secara nyata pada perubahan jasmaninya.4

Pada dasarnya emosi manusia bisa dibagi menjadi dua kategori umum jika dilihat dari dampak yang ditimbulkannnya. Ketegori pertama adalah emosi positif yang memberikan dampak yang menyenangkan dan menenangkan. Macam dari emosi positif ini seperti tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru dan senang.

Kategori kedua adalah emosi negatif yang menberikan dampak tidak menyenangkan atau menyusahkan. Macam dari emosi negatif ini

2

Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful Intelegence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 176-177

3

Zikri Neni Iska, Psikologi pengantar pemahaman diri dan lingkungan, (Jakarta: KIZI BROTHER’S, 2006),h. 104

4

Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 11


(25)

15

diantaranya, sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dendam dan masih banyak lagi.5

Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas: Desire (hasrat),

Hate (benci), Sorrow (sedih), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy

(kegembiraan).6 Sedangkan JB Watson mengemukakann tiga macam emosi, yaitu: Fear (ketakutan), Rage (kemarahan), Love (cinta).7 Dan menurut F. Wundi ada tiga pasang kutub emosi, yaitu: Lust-Unlust

(senang-tak senang), Spanning-Losung (tegang-tak tegang), Eerregung-berubigung (semangat-tenang).8

Daniel Goleman mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan ketiga tokoh diatas, yaitu:

1) Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati.

2) Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa.

3) Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri.

4) Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga.

5) Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih sayang.

6) Terkejut: terkesiap, terkejut, takjub, terpana. 7) Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka. 8) Malu: malu hati, kesal, sesal, hina.

5

Triantoro Safaria dan Nofrans Eka Saputra, Manajemen Emosi,h. 13 6

Netty Hartati, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. 1, h. 100

7

Netty Hartati, dkk., Ibid., h. 94 8


(26)

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (efek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun luar dirinya.

2. Pengertian kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan istilah yang belum lama dikenal baik di dunia psikologi dan sosial pada umumnya. Sebagai sandingan IQ, aspek terpenting Kecerdasan emosional berada pada mental dan emosi. Topik tentang Kecerdasan emosional menjadi ramai dibicarakan oleh masyarakat luas setelah terbitnya buku karya Daniel Goleman pada tahun 1995 yang berjudul Emotional Intelligence.

Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Yale University dan John Mayer dari University of New Hampshire. Sebuah model pelopor lain untuk kecerdasan emosi diajukan dalam tahun 1980-an oleh Reuven Bar-On, seorang psikolog Israel. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan.9

Mengutip pendapat Cooper dan Sawaf dalam buku Revolusi Kecerdasan Abad 21 mendefinisikan Kecerdasan Emosional nsebagaimana dibawah ini:

“Emotional Intellegence is the ability to sense, un derstand, and effectively apply the power and acumen of emotions as a source of human energy, information, connection, and influence. (kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara

9


(27)

17

efektif mengaplikasikan kekuatan serta kecerdasan emosi sebagai

energy manusia, informasi, hubungan dan pengaruh)”.10

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan emosional, tidak bersifat menetap, dan dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orangtua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.

Gardner mengemukakan kecerdasan emosional sebagai kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata.11

Dalam buku Frame Of Mind, Gardner menyatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spectrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu naturalistik, linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.12

Menurut Gardner, “Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain : apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu-membahu dengan mereka. Tenaga-tenaga penjualan yang sukses , para guru, dokter dan pemimpin keagamaan semuanya orang-orang yang mempunyai tingkat kecerdasan pribadi yang tinggi. Kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan korelatif, tetapi terarah. Ke dalam kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk model diri sendiri yang diteliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan

secara efektif”13

.

10

Iskandar, Psikologi Sebuuah Orientasi baru, (Ciputat: gaung Persada Press, 2009),

h. 53 11

Ibid.

12

Daniel Goleman,Kecerdasan Emosional ,Terj dari Emotinal Intellegence oleh T. Hermaya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Cet. 7 h. 50-53

13


(28)

Dalam rumusan lain Gadner mencatat bahwa inti kecerdasan

antarpribadi itu mencangkup “kemampuan untuk membedakan dan

menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi dan hasrat

orang lain”. Dalam kecerdasan antarpribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan -perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah

laku”.14

Kedua jenis kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner ini jelas memperlihatkan kaitan yang erat dengan pengertian kecerdasan emosional sebagaimana yang dikemukakan oleh Salovey dan Mayer. Hanya saja di sini terdapat perbedaan di antara keduanya, yaitu dalam hal ini Gardner serta rekan-rekannya tidak mengejar secara lebih terperinci peran perasaan dalam kecerdasan, mereka lebih memfokuskan pada pemahaman tentang perasaan dan dari sudut pandang bagaimana kognisi melihat emosi. Fokus ini barangkali secara tidak sengaja menyebabkan belum terjelajahinya lautan emosi yang begitu kaya dan yang membuat kehidupan batin dan hubungan-hubungan menjadi begitu kompleks.15

Sedangkan kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.16

Orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia. Mereka adalah pemimpin-pemimpin alamiah, orang yang mampu

14

Ibid., h. 53 15

Ibid., h. 53 16


(29)

19

menyuarakan perasaan kolektif serta merumuskannya dengan jelas sebagai penduan bagi kelompok untuk meraih sasaran. Mereka adalah jenis orang yang disukai oleh orang disekitarnya karena secara emosional mereka menyenangkan. Mereka membuat orang lain merasa tenteram, dan menimbulkan, komentar, “menyenangkan sekali bergaul dengannya.”17

Dalam penelitian ini penulis memilih pada pendekatan yang digunakan oleh Daniel Goleman, yang lebih mengarah kepada peranan emosi dalam pembentukan kecerdasan emosional antara lain, kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

B. Kecakapan-kecakapan Utama Kecerdasan Emosional

Dalam definisi yang dikemukakan oleh Salovey dan Mayer serta Daniel Goleman, disebutkan beberapa kemampuan utama yang harus dimiliki yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Kemampuan-kemampuan tersebut mencakup lima wilayah utama kecerdasan emosional yaitu:

1. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri merupakan dasar kecerdasan emosional. kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosi akan berusaha menyadari emosinya ketika emosi itu menguasai dirinya. Melalui kesadaran diri tersebut, seseorang dapat mengetahui dan memahami emosinya. Namun kesadaran diri ini tidak berarti bahwa seseorang itu hanyut terbawa dalam arus emosinya tersebut sehingga suasana hati

17


(30)

itu menguasai dirinya sepenuhnya. Sebaliknya kesadaran diri adalah keadaan ketika seseorang dapat menyadari emosi yang sedang menghinggapi fikirannya akibat permasalahan-permasalahan yang dihadapi untuk selanjutnya ia dapat menguasainya. Orang yang keyakinannya lebih dan menguasai perasaannya dengan baik dapat diibaratkan pilot yang andal bagi kehidupannya, karena ia mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya.18

Kesadaran emosi dimulai dengan penyelarasan diri terhadap aliran perasaan yang terus ada dalam diri seseorang, kemudian mengenali bagaimana emosi-emosi ini membentuk persepsi, fikiran dan perbuatannya. Seseorang yang unggul dalam kecakapan ini selalu sadar tentang emosinya bahkan sering dapat mengenali kehadiran emosi-emosi itu dan merasakannya secara fisik. Ia dapat mengartikulasikan perasaan-perasaan itu, selain menunjukkan ekspresi sosialnya yang sesuai.19

2. Mengelola Emosi Diri

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Dengan kata lain pengendalian emosi oleh diri sendiri berarti berupaya untuk meredam atau menahan gejolak nafsu yang sedang berlaku agar emosi tidak terekspresikan secara berlebihan sehingga seseorang tidak sampai dikuasai sepenuhnya oleh arus emosinya.

Namun demikian pengendalian emosi diri tidak berarti pengendalian secara berlebihan, sebab kendali diri yang berlebihan dapat mendatangkan kerugian baik fisik maupun mental. Orang yang

18

Daniel Goleman, op. cit., h. 58 19


(31)

21

mematikan perasaannya, terutama perasaan negatif yang kuat, menyebabkan meningkatnya denyut jantung sekaligus naiknya tekanan darah. Mereka yang memendam emosi akan mendapatkan sejumlah kerugian. Mereka mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda yang kelihatan bahwa mereka sedang mengalami pembajakan emosi, tetapi sebagai gantinya mereka menderita kehancuran internal seperti; pusing-pusing, mudah tersinggung, terlalu banyak merokok dan minum, sulit tidur dan sebagainya. Dan mereka mempunyai resiko yang sama dengan mereka yang mudah meledak emosinya.20

Menangani perasaan agar dapat terungkapkan secara pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Emosi muncul secara tiba-tiba dan cepat sekali tanpa dapat kita duga. Misalnya, emosi marah akan menjadi aktif dan bertindak dengan cepat sekali tanpa kita duga, ketika mendapat rangsangan emosi seperti apabila hak kita dirampas, dicemooh orang ataupun ketika merasa disakiti baik secara fisik maupun psikis. Dalam situasi seperti ini orang mempunyai waktu yang sangat terbatas untuk dapat mengendalikan emosi tersebut. Semakin cepat ia dapat menentukan dan mengidentifikasi emosi ini maka akan semakin berpeluang untuk dapat mengendalikannya, sehingga emosi akan tersalurkan secara tepat, dan orang itu akan terhindar dari melampiaskan emosi ini secara berlebihan.

Terdapat lima kemampuan utama yang berhubungan dengan pengaturan diri sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel Goleman yaitu: pengendalian diri, dapat dipercaya, kehati-hatian, adaptabilitas, dan inovatif.21

20

Daniel Goleman, op. cit., h. 129 21


(32)

3. Memotivasi Diri Sendiri

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis, dan keyakinan diri.

Dalam salah satu definisi kecerdasan emosional di muka telah disebutkan bahwa kecerdasan emosional adalah mengetahui bagaimana untuk meraih dari emosi yang negatif menjadi positif. Dalam hal ini Motivasi diri adalah komponen utama untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan memotivasi emosi negatif yang sedang dirasakan. Melalui motivasi diri emosi negatif tersebut diarahkan kepada hal-hal yang baik.

Emosi dapat dijadikan alat untuk meningkatkan prestasi fikiran kognitif dengan cara-cara tertentu. Di antaranya adalah dengan cara menumbuhkan harapan dalam diri seseorang itu. Harapan, menurut penelitian modern, lebih bermanfaat daripada memberikan sedikit hiburan di tengah kesengsaraan..22 Apabila seseorang mempunyai harapan, maka segala kebimbangan, keputusasaan dan kesedihan yang dialami dapat diredakan karena segala masalah dapat diatasi. Segala pekerjaan yang diiringi dengan harapan akan dibantu perasaan gembira dan bersemangat untuk melaksanakannya. Dan orang yang memiliki harapan yang tinggi, menurut penemuan Snyder, memiliki ciri-ciri tertentu, di antaranya adalah mampu memotivasi diri, merasa cukup banyak akal untuk menemukan cara meraih tujuan, tetap memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa segala sesuatunya akan beres ketika sedang menghadapi tahap sulit, cukup luwes untuk

22


(33)

23

menemukan cara alternatif agar sasaran tetap tercapai atau untuk mengubah sasaran jika sasaran semula musykil dicapai.23

Adapun yang termasuk dalam kecakapan motivasi diri yang diungkapkan oleh Daniel Goleman antara lain : Dorongan prestasi, Komitmen, Inisiatif dan Optimisme.24

4. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Daniel Goleman, kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orng lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Seseorang yang mau membaca emosi orang lain haruslah berempati. Empati berbeda dengan simpati. Simpati hanya sekedar memahami masalah atau perlakuan seseorang. Empati lebih dari itu, empati bukan hanya memahami masalah orang lain tetapi juga merasakan apa yang dirasakan orang tersebut. Misalnya, seseorang memahami masalah yang dihadapi temannya yang sedang tertimpa musibah, tetapi ia tidak ikut merasakan perasaan temannya, maka orang itu hanya bersimpati. Jika orang tersebut berempati terhadap temannya, maka ia tidak sekedar memahami masalah yang dihadapi temannya, tetapi meletakkan dirinya dalam kedudukan temannya untuk merasakan perasaan temannya itu.

Rosenthal dalam openelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca dan isyarat non verbal lebih mampu

23

Ibid., h. 120 24


(34)

membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah bergaul dan lebih peka.25 Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.26

Kemampuan empati sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Tanpa empati akan menyebabkan seseorang sulit untuk bergaul dan membina persahabatan yang erat dengan orang lain. Namun empati atau memahami sudut pandang atau perspektif seseorang -tahu mengapa mereka merasakan demikian- tidak berarti kita juga harus mengalaminya.27 Setelah berempati barulah kita dapat membantu dengan cara yang lebih rasional dan positif.

5. Membina Hubungan dengan Orang Lain

Kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.28 Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapat apa yang

25

Ibid., h. 136 26

Ibid., h. 172 27

Ibid., h. 232 28


(35)

25

diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.

Keterampilan berhubungan dengan orang lain merupakan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan sesame. Tidak dimilikinya kecakapan ini akan membawa pada ketidakcakapan dalam dunia sosial, atau berulangnya bencana antar-pribadi. Karena tidak dimiliki keterampilan-keterampilan inilah, orang-orang yang paling pintar otaknya dapat gagal dalam membina hubungan mereka. Sebab, penampilan mereka angkuh, mengganggu, atau tidak berperasaan. Kemampuan sosial ini memungkinkan orang untuk membentuk hubungan, menggerakkan dan mengilhami orang-orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman.29

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang yang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancer pada orang lain. Orang-orang ini popular dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi. Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

29


(36)

C. Karakteristik Perkembangan Kecerdasan Emosional Pada Anak Usia 6 Sampai 9 Tahun

Peran kematangan emosi berkembang seiring dengan perkembangan intelektual anak, yang menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama dan memutuskan ketegangan emosi pada satu objek. Demikian pula dengan kemampuan mengingat dan menduga mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian anak-anak menjadi lebih reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda. Kelenjar endokrin mempengaruhi kematangan perilaku emosional selama rentang kehidupan seseorang, sejak lahir sampai usia matang secara seksual. Pengaruh kelenjar ini membesar pada fase sampai anak berusia 5 tahun, kemudian pembesarannya melambat pada usia 5-11 tahun, dan membesar kembali bahkan lebih pesat sampai anak berusia 16 tahun. Pengaruhnya penting terhadap keadaan emosional pada masa kanak-kanak.30

Beriikut adalah karakteristik perkembangan emosional anak khususnya dalam rentang 6-9 tahun. Hal ini disesuaikan dengan pembatasan pada penelitian ini. Pada masa ini anak sudah menyadari bahwa anak tidak dapat menyatakan dorongan dan emosinya begitu saja tanpa pertimbangan lingkungan. Anak mulai belajar mengungkapkan perasaannya dalam perilaku yang dapat diterima secara sosial. Tumbuhnya kesadaran ini bergantung dari bagaimana sikap orangtua dan pendidik dalam mengajarkan perilaku sosial pada anak. Melalui permainan dan olahraga dimungkinkan anak dapat mengeluarkan emosinya secara wajar. Dalam hal perkembangan sosial, keinginan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok makin besar. penerimaan oleh kelompok teman sebaya begitu berarti bagi anak.

30

Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Terj. dari Developmental psicology, oleh. Istiwidayanti dan Soedjarwo, (Jakarta: Erlangga, 1998), h.213


(37)

27

Rentang usia 6-10 tahun merupakan masa kritis bagi anak-anak untuk mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa anak mampu berkarya dan bereksplorasi. Erik Erikson yang mengemukakan tentang perkembangan emosi, menyatakan bahwa anak-anak di usia ini memasuki masa Industry vs. Inferiory (berkarya/etos kerja vs. minder). Pada masa ini seharusnya anak terlihat antusias dalam belajar dan berimajinasi, sehingga mereka tumbuh dengan sikap ingin berkarya, bermotivasi tinggi dan beretos kerja. Sangat

penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri bahwa “aku bisa”, “aku kuat” atau “aku anak yang baik”, apabila ini tidak tumbuh, maka akan timbul

perasaan rendah diri atau minder, seperti “aku gagal” atau “aku tidak dapat berkarya”. Usia ini anak paling kritis dalam membentuk kepribadian anak yang akan menentukan masa depannya. 31

Nurani mengemukakan tentang karakteristik perkembangan emosional anak usia 6-8 tahun, sebagai berikut: emosi cenderung meninggi bila anak sedang sakit atau lelah, misalnya cepat marah, rewel dan susah untuk dihadapi. Anak suka beradaptasi dengan pekerjaan orang dewasa, seperti membantu pekerjaan orangtuanya. Anak belajar membina persahabatan dengan anak lain. Menerima kelainan-kelainan pada teman dan menghargai akan kebutuhan-kebutuhannya. Menunjukkan rasa setia kawan yang besar terhadap teman sebayanya. Suka menolong dan membantu orang lain dalam kesusahan. Berperilaku sayang pada semua ciptaan Tuhan, karena pada usia ini kemapuan berempati sudah muncul. Menghargai pendapat orang lain saat berinteraksi.32

Pada usia sekolah ini anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh

31

Ratna Megawati, Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan, (Bogor: Indonesia heritage Foundation. 2004), h. 12

32

Yuliani Nuraini, kurikulum Alternatif Berbasis Kompetensi Anak Usia Dini,


(38)

karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan).

Dalam proses peniruan, kemampuan orangtua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh, apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosinya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Akan tetapi, apabila kebiasaan orangtua dalam mengepresikan emosinya kurang stabil atau kurang control (seperti: marah-marah, mudah mengeluh, kecewa dan pesimisdalam menghadapi masalah), maka perkembangan emosi anak, cenderung kurang stabil atau tidak sehat.33

Menurut Aliah, anak pada usia tujuh sampai dua belas tahun menunjukkan keterampilan regulasi diri dengan variasi yang lebih luas. Kecanggihan dalam memahami dan menunjukkan tempilan emosi yang sesuai dengan aturan sosial meningkat pada tahap ini. Anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial. Anak lebih sensitif terhadap isyarat lingkungan sosial yang mengatur keputusan dalam mengontrol emosi negatif. Berbagai faktor mempengaruhi keputusan perilaku, termasuk termasuk jenis emosi yang telah dialami, hubungan dengan orang yang melibatkan emosi, usia anak dan jenis kelamin. Anak juga sudah membentuk serangkaian harapan tentang hasil dari ekspresi emosinya kepada orang lain. Secara umum, anak juga lebih banyak mengatur kemarahan dan kesedihannya kepada teman-temannya daripada orangtuanya. Karena mereka mengharap emosi negative dari teman-temannya, sepeti ejekan atau cemoohan.

33


(39)

29

Anak pada usia ini juga mendemonstrasikan keterampilan kognitif dan perilaku untuk mengatasi emosinya, seperti rasionalisasi atau kejadian yang tidak mereka sukai. Selama masa kanak-kanak pertengahan, anak mulai memahami keadaan emosi orang lain tidak sesederhana yang mereka perkirakan, dan seringkali merupakan hasil dari penyebab yang rumit dan terkadang tidak jelas. Mereka juga memahami bahasa sesorang mungkin merasakan lebih dari satu waktu, walaupun kemampuan ini terbatas dan berkembang perlahan. Tampilan empati juga lebih sering pada tahap ini. Anak dengan keluarga yang sering mendiskusikan kompleksitas emosi lebih siap menghadapi hal ini daripada keluarga yang biasa menghindarinya. Orangtua yang terbiasa memberikan aturan yang jelas dan lebih banyak memperhatikan oranglain, lebih dapat menghasilkan anak yang empatik daripada orangtua yang kasar dalam membatasi perilaku.34

D. Sasaran Kecerdasan Emosional

Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu kecerdasan emosional perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Upaya penanaman kecerdasan emosional dapat dilakukan oleh orang tua dan para guru di sekolah dengan cara-cara tertentu. Untuk itu, orang tua dan guru sebagai pendidik emosi harus mengetahui dan memahami sasaran-sasaran yang terkandung di dalam setiap kecakapan-kecakapan emosional. Dengan demikian, arah serta tujuannya akan menjadi jelas dan terancang.

Adapun sasaran-sasaran di dalam lima komponen utama kecakapan emosional, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daniel Goleman, adalah sebagai berikut

34

Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi perkembangan Islami, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 169-170


(40)

1. Kesadaran emosi diri :

a. Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri. b. Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul. c. Mengenali perbedaan perasaan dan tindakan.

2. Mengelola emosi :

a. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah.

b. Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas.

c. Lebih mampu memngungkapkan amarah dengan tepat tanpa berkelahi.

d. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.

e. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga.

f. Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa.

g. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan. 3. Memotivasi diri :

a. Lebih bertanggung jawab.

b. Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian.

c. Kurang impulsif, lebih menguasai diri. 4. Empati (membaca emosi) :

a. Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.

b. Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. c. Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.

5. Membina hubungan dengan orang lain :

a. Meningkakan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan.


(41)

31

b. Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan persengketaan.

c. Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan.

d. Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi.

e. Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman sebaya.

f. Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya.

g. Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa.

h. Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok.

i. Lebih suka berbagi rasa, bekerja keras,dan suka menolong. j. Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.35

Sasaran-sasaran dalam lima komponen utama kecerdasan emosional itu jelas mengarah pada pembentukan kecerdasan emosional. Kecakapan-kecakapan tersebut tidak mudah diperoleh kecuali dengan adanya pendidikan dan pelatihan emosi sejak dini. Dan hal ini adalah tugas utama bagi orang tua dan para guru untuk mewujudkannya. Pendidikan emosi yang teratur dan terancang dengan baik akan dapat membina anak-anak untuk memiliki kecakapan-kecakapan emosional sebagaimana yang tersebut di atas. Salah satu cara untuk membentuk kecakapan-kecakapan ini pada anak-anak adalah dengan menggunakan cerita-cerita keteladanan, terutama cerita-cerita yang ada dalam Al-Quran yang begitu kaya akan hikmah dan pelajaran hidup. Pendekatan ini sangat baik digunakan oleh orang tua dan guru, diberikan kepada anak-anak atau murid-muridnya agar berhasil sebagai manusia yang seimbang perkembangan intelek, emosi dan rohaninya.

35


(42)

BAB III

KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN A. Pengertian Kisah Al-Quran

1. Pengertian Kisah

Dalam percakapan sehari-hari seseorang sering mendengarkan kata-kata kisah. Ketika manusia mendengar kata-kata kisah tersebut yang terlintas dalam fikirannya adalah suatu cerita yang berkenaan dengan suatu kejadian pada masa lampau tentang seseorang atau masyarakat tertentu.

Kata “kisah” berasal dari akar kata “al-qassu” yang berarti mencari

atau mengikuti jejak. Kata al-qasas adalah bentuk masdar. 1 Menurut al-Khalidy al-qasas berarti cerita-cerita yang dituturkan (kisah).

Kisah dengan arti-arti tersebut di atas, dipergunakan juga dalam Alquran, antara lain;

1

Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘ulumil Al-Quran, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996), h. 305.


(43)

33

a) Al-qashash berarti mengikuti jejak sebagaimana firman Allah SWT.







Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Al-Kahfi: 64)







Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia". (Al-Qashash: 11)

b) Al-qashash berarti cerita-cerita yang dituturkan (kisah), seperti dalam surat Ali Imran ayat 62 dan surat Al-Qashash ayat 25 dan surat Yusuf ayat 3.



“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar…”(Ali Imran: 62)



“Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut.”(Al-Qashash: 25)

Secara terminologi kisah dalam kesusteraan bahasa Indonesia atau Melayu dapat diartikan dengan cerita, penuturan tentang suatu peristiwa, suatu kejadian atau seseorang.2

Pada tataran terminologi ini para pakar dan ulama pun banyak sekali memberikan defenisi tentang pengertian kisah ini diantaranya menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menyebutkan kisah adalah upaya mengikuti jejak peristiwa yang benar-benar terjadi atau imajinatif, sesuai

2

AG Pringgo Digdo dan Hasan Syadily, Ensiklopedi Umun, (Yogyakarta: Ofset Kanissus, 1997), h. 567


(44)

dengan urutan kejadiannya dan dengan jalan menceritakannya satu episode atau episode demi episode. Al-Quran tidak selalu menggunakan kata tersebut dalam arti mengisahkan satu kisah, tetapi ia juga digunakan dalam arti memberi tuntutan, baik tuntutan tersebut merupakan kisah maupun hanya pesan singkat.3

Adapun Muhammad Khalafullah mendefinisikan kisah sebagai suatu karya kesusastraan yang merupakan hasil khayal pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku yang sebenarnya tidak ada, atau dari seorang pelaku yang benar-benar ada, tetapi peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak benar-benar terjadi. Ataupun, peristiwa-peristiwa itu terjadi atas diri pelaku, tetapi dalam kisah tersebut disusun atas dasar seni yang indah, di mana sebagian peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dibuang, atau terhadap peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-lebihkan penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari kebenaran

yang biasa dan sudah menjadi para pelaku khayali”.4

Selain itu, Al-Syiba’i al-Bayumi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kisah adalah setiap tulisan yang bersifat kesusasteraan dan indah. Yang keluar dari seorang penulis dengan maksud untuk menggambarkan suatu keadaan tertentu dengan suatu cara dimana penulis melepaskan diri dari perasaan dan pikirannya, sehingga pribadinya tercermin dalam penggambaran itu yang dapat mengadakan dari orang lain yang mempunyai tulisan yang sama.5

Dari beberapa definisi mengenai kisah di atas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan kisah adalah sebuah cerita atau peristiwa yang telah terjadi pada masa sebelumnya mengenai perubahan

3

M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah vol 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 363

4

A. Hanafi. MA., Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al-Qur’an, 0(Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984), h. 14.

5


(45)

35

alam ataupun kehidupan manusia baik bersumber dari ucapan turun temurun maupun tulisan-tulisan yang ditemukan dari generasi ke generasi.

2. Pengertian Kisah Al-Quran

Al-Quran banyak sekali memuat keterangan-keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri, dan peninggalan atau jejak setiap umat. Semua keadaan ini diceritakan dan disampaikan dengan cara yang menarik dan mempesona para pembaca maupun pendengarannya. Untuk itu semua ini Al-Quran memaknai istilah kisah Al-Quran.

Manna Al-Qattan dalam bukunya Studi ilmu-ilmu Al-Quran menyatakan bahwa Qasas Al-Quran adalah pemberitaan Al-Quran tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.6 Hasby al-Shiddieqy juga memberikan definisi yang tidak jauh berbeda, bahwa yang dimaksud dengan Qasasul Quran ialah kabar-kabar Al-Quran tentang keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa terdahulu, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Quran melengkapi tentang keterangan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, keadaan negeri-negeri serta menerangkan bekas-bekas dari kaum terdahulu tersebut.7

Dari definisi yang telah diberikan oleh pakar-pakar ilmu Al-Quran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kisah Al-Quran adalah kabar atau keterangan tentang hal dan ihwal umat atau suatu komunitas yang telah lalu ataupun yang akan datang, yang menjadi gambaran sebuah peristiwa, untuk dapat mengambil manfaat dan

6

Manna’ Al-Qaththan, Ibid, h. 305.

7

Hasby Al-Shidieqy, Ilmu-Ilmu Al-Quran Media Pokok Dalam Penafsiran Al-Quran,


(46)

pelajaran bagi generasi yang akan datang. Semua ini disampaikan dengan gaya bahasa khas dan khusus sehingga dapat menarik perhatian.

B. Macam-Macam Kisah Dalam Al-Quran

Di dalam Alquran banyak dikisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari Alquran dapat diketahui beberapa kisah yang pernah dialami oleh orang-orang terdahulu. Al-Quran juga telah menceritakan beberapa peristiwa yang terjadi di zaman Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad Saw. Di samping itu kisah selain nabi, seperti kisah tentang orang-orang Yahudi, Majusi dan Nasrani serta kisah orang mukmin dan musyrik juga banyak dimuat dalam Alquran.

Untuk mengungkap macam-macam kisah dalam Alquran, terdapat tiga pendekatan antara lain:

1) Tinjauan waktu (timing)

Ditinjau dari segi waktunya, kisah-kisah dalam Alquran dapat di kategorikan dalam tiga bagian yaitu:

a) Kisah-kisah gaib tentang masa lampau, Contohnya:

1) Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah di bumi sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Baqarah: 30-34.

2) Kisah tentang penciptaan alam semesta sebagaimana terdapat dalam QS Al- Furqan: 59., Qaf: 38.

3) Kisah tentang penciptaan Nabi Adam dan kehidupannya ketika di syurga sebagaimana terdapat dalam QS Al-A’raf: 11-25.

b) Kisah tentang hal gaib yang terjadi masa kini, Contohnya :

1) Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam lailatul Qadar seperti diungkapkan dalam QS Al-Qadar:1-5.


(47)

37

2) Kisah-kisah tentang kehidupan makhluk-makhluk gaib seperti setan, jin atau iblis seperti diungkapkan dalam QS Al-A’raf: 13 -14.

3) Kisah hal gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang, contohnya:

a. Kisah tentang akan datangnya hari kiamat seperti dijelaskan dalam Alquran surat Al-Qari’ah, surat Al-Zalzalah dan lainnya. b. Kisah tentang Abi Lahab kelak di akhirat seperti diungkapkan

dalam surat Al-Lahab.

c. Kisah tentang kehidupan orang-orang di surga dan orang-orang yang hidup di dalam neraka seperti diungkapkan dalam Alquran surat Al-Ghasyiah dan lainnya. 8

4) Pendekatan kedua, dari sudut isi (matter), setidaknya untuk pendekatan ini terbagi menjadi tiga bagian juga yaitu:

a) Kisah-kisah yang menyangkut para rasul dan para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya; kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa dan sebagainya.

b) Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang-orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah talut dan jalut, dua orang putra Nabi Adam, penghuni gua, Zulkarnain,

8


(48)

Qarun, Ashabus Sabti, Maryam, Ashabul Ukhdud, dan Ashabul Fil dan sebagainya.

c) Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surat At-Taubah, perang akhzab dalam surat Al-Ahzab, hijrah, isra’, dan lain sebagainya. 9

5) Dari segi jenisnya, kisah-kisah Alquran terbagi menjadi dua macam yaitu: a) Kisah yang dibawa oleh Alquran. Kisah ini terdiri dari kisah tentang para nabi dan rasul terdahulu berikut sikap dan kesabarannya menghadapi aneka ragam tanggapan dan tingkah laku kaumnya. Para nabi dan rasul itu didustakan dan disakiti oleh kaum yang menentang, tetapi pada akhirnya mereka memperoleh kemenangan atas izin Allah, dan kaum kafir itu mendapatkan siksaan karena perbuatannya sendiri. Dengan kisah semacam ini, dimaksudkan oleh Allah agar Nabi Muhammad Saw. memiliki keteguhan hati dalam mengajarkan agama Islam.

b) Kisah yang mengundang turunnya Alquran. Kisah ini berisi kasus-kasus, fenomena-fenomena, masalah-masalah dan problem-problem yang mendapat tanggapan Alquran, baik tanggapan positif seperti pelajaran, pengarahan, maupun tanggapan negatif seperti pengungkapan rahasia kejahatan, kekufuran, kemunafikan dan lain sebagainya. Kisah jenis kedua inilah yang oleh para ahli ilmu-ilmu Alquran diistilahkan sebagai Asbabun Nuzul. 10

9

Manna’ Al-Qaththan., op.cit., h. 306

10

Ahmad Muhammad Jamal, Koreksi Al-Quran Terhadap Ummat, (Alih bahasa; Jamaluddin Kafie), (Jakarta: Media Da’wah, tt), h. 1.


(1)

80

3. Proses penyampaian tentang kisah-kisah dapat berjalan efektif jika diterapkan pada anak usia 6 sampai 9 tahun. Karena pada usia tersebut seorang anak mulai menyukai dongeng atau cerita-cerita yang menarik. Pada usia itulah seorang anak mulai merasakan apa yang ada pada dirinya maupun disekitarnya, serta mencoba mengembangkan sesuatu untuk dijadikan sebuah teladan dalam dirinya.

4. Kisah tentang kedua putra Nabi Adam as. merupakan sebuah kisah tentang dua sosok seorang anak yang memiliki karakter atau perilaku yang bertentangan, yaitu yang baik yakni Habil, dan yang buruk yakni Qabil. Seorang anak yang cerdas dalam mengenali emosinya akan mengambil sosok Habil, bukan Qabil. Dan dalam membina hubungan yang baik dengan orang lain, anak-anak akan meneladani Nabi adam as. yang mampu memecahkan masalah dalam persoalan kedua anaknya.

5. Kisah Nabi Nuh as. menceritakan tentang kehidupan seorang Nabi Nuh as. yang senantiasa bersabar dalam berdakwah terhadap kaumnya. Ia selalu mendapat hinaan atas dakwah yang telah disampaikan kepada mereka, termasuk anaknya sendiri, yakni Kan’an. Seorang anak yang cerdas emosinya tidak akan meneladani sikap Kan’an yang buruk terhadap bapaknya sendiri. Maka anak yang memahami kisah tersebut mampu untuk mengelola emosi diri.

6. Kisah Kelahiran Nabi Musa as. menceritakan tentang kehidupan Nabi Musa as. di masa kecilnya yang pada masa bayi telah dipisahkan oleh ibu kandungnya. Allah SWT. senantiasa memberikan kesabaran dan keteguhan hati kepada ibunya untuk menjaga rahasia anaknya tersebut kepada Fir’aun yang disertai pemenuhan janji untuk dipertemukan kembali keduanya dengan ia menyusuinya, yakni nabi Musa as. anak yang cerdas emosinya akan merasakan betapa besarnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya dan akan memotivasi dirinya ddengan senantiasa berbakti kepadanya.


(2)

7. Dalam menyampaikan sebuah cerita atau kisah dibutuhkan teknik atau cara yang tepat agar mendapatkan suatu hasil yang diharapkan. Diantara teknik penyampaian dalam berkisah itu yang sangat ditekankan adalah pada segi intonasi suara, ekspresi wajah dan gerak tubuh. Karena kedua hal tersebut dapat membuat seorang anak yang sedang mendengarkan sebuah kisah dapat tertarik dan terbawa ke alam yang menyenangkan, serta dapat lebih memahami alur dari kisah tersebut. Selain itu dapat dilakukan dengan memutar media ataupun menggunakan gambar-gambar, sehingga memudahkan anak mengimajinasikan cerita.

B. Saran-saran

1. Setiap orang perlu memahami konsep kecerdasan emosional yang telah dipaparkan oleh Daniel Goleman dalam rangka mengembangkan kepribadian seorang anak, khususnya pada anak usia 6 sampai 9 tahun. Karena mayoritas manusia lebih banyak menekankan pada kecerdasan intelektual dibanding kecerdasan emosional yang pada dasarnya merupakan langkah awal sebelum mengembangkan kecerdasan intelektual.

2. Orang tua merupakan orang yang dekat dengan anaknya. Oleh karena itu, pendidikan informal atau keluarga sangat penting dalam hal mengembangkan kecerdasan emosional anaknya. Dengan banyak berkomunikasi yang baik serta berkelakuan baik ataupun menyampaikan sebuah cerita yang baik, semuanya akan menjadi teladan bagi anak tersebut. Orang tua adalah sebuah figur yang akan membentuk kepribadian sang anak menjadi baik atau buruk.

3. Pendidikan formal juga merupakan suatu hal yang sangat penting disamping pendidikan informal. Karena pendidikan formal atau sekolah adalah pendidikan lanjutan daripada pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua. Dalam pendidikan sekolah ini yang ditekankan adalah seorang guru. Guru yang dapat mendidik dengan


(3)

82

baik adalah guru yang mempunyai nilai seni dalam menyampaikan pelajaran, khususnya dalam menyampaikan sebuah cerita atau kisah dari tokoh atau peristiwa tertentu. Dengan demikian, seorang anak atau murid akan senang kepada guru tersebut, serta dapat dijadikan teladan untuknya.

4. Setiap lapisan masyarakat berkewajiban mendukung program Pendidikan Islam. Program pendidikan tersebut bukan hanya terdapat di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan masyarakat seperti majlis ta’lim, TPQ, dan sebagainya. Tanpa dukungan tersebut maka program Pendidikan Islam yang ada di lingkungan mereka akan terhambat untuk berkembang bahkan dapat tertinggal dan lambat-laun akan ditinggalkan. Oleh karenanya, program tersebut perlu adanya sebuah sistem atau teknik dalam penyampaiannya kepada pendengar atau anak-anak baik mengenai sebuah pelajaran maupun kisah tertentu.


(4)

83

Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan

Spiritual ESQ. Jakarta: Arga, 2001.

Al-Farmawi. Metode Tafsir mawdhu’iy, Terj. dari Al-Bidayah Fi Tafsir

al-Mawdhu’iy, oleh. Suryan A. Jamrah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1994.

Al-Khalidy, Shalah. Kisah-kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu, Terj. dari Qoshosul Qur’an, oleh. Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘ulumil Al-Quran. Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996.

Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi Juz VI. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Al-Shidieqy, Hasby. Ilmu-Ilmu Quran Media Pokok Dalam Penafsiran

Al-Quran. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

Ash-Shabuniy, Muhammad Ali. Kenabian dan Para Nabi, Terj. Dari an

Nubuwwah wal Anbiya’oleh Arifin Jamian Maun. Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1993.

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Bahjat, Ahmad. Nabi-nabi Allah. Jakarta: Qisthi Press, 2007.

Digdo, AG Pringgo dan Syadily, Hasan. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta: Ofset Kanissus, 1997.

Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful

Intelegence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.

El Fikri, Syahruddin. Situs-Situs Dalam Al-Quran (Dari Banjir Hingga Bukit

Tursina). Jakarta: Republika, 2010.

Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosi; Untuk mencapai Puncak Prestasi, Terj. dari buku, Working with Emotional Inteligence, oleh Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.


(5)

84

Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional, Terj. dari Emotional Intellegence, oleh T. Hermaya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Hanafi, A. MA. Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-kisah Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1984.

Hartati, Netty, dkk. Islam dan Psikologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003.

Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi perkembangan Islami. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Hilali, Salim bin Ied. Kisah Shahih Para Nabi, Terj dari Shahiih Qishashil

Anbiya’ oleh M. Abdul Goffar. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’I, 2009.

Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. Terj. dari Developmental

psicology, oleh. Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga, 1998.

Iska, Zikri Neni. Psikologi pengantar pemahaman diri dan lingkungan. Jakarta: KIZI BROTHER’S, 2006.

Iskandar. Psikologi Sebuuah Orientasi baru. Ciputat: Gaung Persada Press, 2009. Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori, Muhammad. Shohih Bukhori Juz 3. Beirut: Dar

al-Hadist, 1987.

Jamal, Ahmad Muhammad. Koreksi Al-Quran Terhadap Ummat. Alih bahasa; Jamaluddin Kafie. Jakarta: Media Da’wah, tt.

Megawati, Ratna. Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan. Bogor: Indonesia heritage Foundation. 2004.

Mubayidh, Makmun. Kecerdasan dan Kesehatan Emosional Anak, Terj dari

Adz-Dzaka’ Al-Athifi wa Ash-Shihhah Al-Athifiyah, oleh. Muhammad Muchson

Anasy. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Muhyidin, Muhammmad. Manajemen ESQ Power. Jogjakarta: DIVA Press, 2007. Nuraida dan Alkaf, Halid. Metodologi Penelitian Pendidikan. Tangerang: Islamic

Research Publising, 2009.

Nuraini, Yuliani. Kurikulum Alternatif Berbasis Kompetensi Anak Usia Dini. Jakarta: Pusdiani Press, 2002.

RI, Depag. Al-Quran dan Terjemahnya. Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994.


(6)

RI, Depag. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Dipenogoro, 2008.

Safaria, Triantoro dan Saputra, Nofrans Eka. Manajemen Emosi. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Shapiro, Lawrence E. Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak, oleh. Alex Tri Kantjono. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Misbah vol. 6. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Syihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah vol 8. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Shihab, M. Quraish Tafsir Al-Misbah vol. 10. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.

Syadali, Ahmad. Ulumul Al-Quran II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.

Yogyakarta, Tim Pendongeng SPA. Teknik Bercerita. Yogyakarta : PT. Kurnia Kalam Semesta, 2010.

Yusuf, Syamsu. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali, 2011. Zulkifli. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.