Membina Hubungan dengan Orang Lain

Rentang usia 6-10 tahun merupakan masa kritis bagi anak-anak untuk mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa anak mampu berkarya dan bereksplorasi. Erik Erikson yang mengemukakan tentang perkembangan emosi, menyatakan bahwa anak-anak di usia ini memasuki masa Industry vs. Inferiory berkaryaetos kerja vs. minder. Pada masa ini seharusnya anak terlihat antusias dalam belajar dan berimajinasi, sehingga mereka tumbuh dengan sikap ingin berkarya, bermotivasi tinggi dan beretos kerja. Sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri bahwa “aku bisa”, “aku kuat” atau “aku anak yang baik”, apabila ini tidak tumbuh, maka akan timbul perasaan rendah diri atau minder, seperti “aku gagal” atau “aku tidak dapat berkarya”. Usia ini anak paling kritis dalam membentuk kepribadian anak yang akan menentukan masa depannya. 31 Nurani mengemukakan tentang karakteristik perkembangan emosional anak usia 6-8 tahun, sebagai berikut: emosi cenderung meninggi bila anak sedang sakit atau lelah, misalnya cepat marah, rewel dan susah untuk dihadapi. Anak suka beradaptasi dengan pekerjaan orang dewasa, seperti membantu pekerjaan orangtuanya. Anak belajar membina persahabatan dengan anak lain. Menerima kelainan-kelainan pada teman dan menghargai akan kebutuhan-kebutuhannya. Menunjukkan rasa setia kawan yang besar terhadap teman sebayanya. Suka menolong dan membantu orang lain dalam kesusahan. Berperilaku sayang pada semua ciptaan Tuhan, karena pada usia ini kemapuan berempati sudah muncul. Menghargai pendapat orang lain saat berinteraksi. 32 Pada usia sekolah ini anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh 31 Ratna Megawati, Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan, Bogor: Indonesia heritage Foundation. 2004, h. 12 32 Yuliani Nuraini, kurikulum Alternatif Berbasis Kompetensi Anak Usia Dini, Jakarta: Pusdiani Press, 2002, h. 82 karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan pembiasaan. Dalam proses peniruan, kemampuan orangtua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh, apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosinya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Akan tetapi, apabila kebiasaan orangtua dalam mengepresikan emosinya kurang stabil atau kurang control seperti: marah-marah, mudah mengeluh, kecewa dan pesimisdalam menghadapi masalah, maka perkembangan emosi anak, cenderung kurang stabil atau tidak sehat. 33 Menurut Aliah, anak pada usia tujuh sampai dua belas tahun menunjukkan keterampilan regulasi diri dengan variasi yang lebih luas. Kecanggihan dalam memahami dan menunjukkan tempilan emosi yang sesuai dengan aturan sosial meningkat pada tahap ini. Anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial. Anak lebih sensitif terhadap isyarat lingkungan sosial yang mengatur keputusan dalam mengontrol emosi negatif. Berbagai faktor mempengaruhi keputusan perilaku, termasuk termasuk jenis emosi yang telah dialami, hubungan dengan orang yang melibatkan emosi, usia anak dan jenis kelamin. Anak juga sudah membentuk serangkaian harapan tentang hasil dari ekspresi emosinya kepada orang lain. Secara umum, anak juga lebih banyak mengatur kemarahan dan kesedihannya kepada teman-temannya daripada orangtuanya. Karena mereka mengharap emosi negative dari teman-temannya, sepeti ejekan atau cemoohan. 33 Syamsu Yusuf, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rajawali, 2011, h. 63-64 Anak pada usia ini juga mendemonstrasikan keterampilan kognitif dan perilaku untuk mengatasi emosinya, seperti rasionalisasi atau kejadian yang tidak mereka sukai. Selama masa kanak-kanak pertengahan, anak mulai memahami keadaan emosi orang lain tidak sesederhana yang mereka perkirakan, dan seringkali merupakan hasil dari penyebab yang rumit dan terkadang tidak jelas. Mereka juga memahami bahasa sesorang mungkin merasakan lebih dari satu waktu, walaupun kemampuan ini terbatas dan berkembang perlahan. Tampilan empati juga lebih sering pada tahap ini. Anak dengan keluarga yang sering mendiskusikan kompleksitas emosi lebih siap menghadapi hal ini daripada keluarga yang biasa menghindarinya. Orangtua yang terbiasa memberikan aturan yang jelas dan lebih banyak memperhatikan oranglain, lebih dapat menghasilkan anak yang empatik daripada orangtua yang kasar dalam membatasi perilaku. 34

D. Sasaran Kecerdasan Emosional

Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu kecerdasan emosional perlu ditanamkan kepada anak-anak sejak dini. Upaya penanaman kecerdasan emosional dapat dilakukan oleh orang tua dan para guru di sekolah dengan cara-cara tertentu. Untuk itu, orang tua dan guru sebagai pendidik emosi harus mengetahui dan memahami sasaran-sasaran yang terkandung di dalam setiap kecakapan-kecakapan emosional. Dengan demikian, arah serta tujuannya akan menjadi jelas dan terancang. Adapun sasaran-sasaran di dalam lima komponen utama kecakapan emosional, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daniel Goleman, adalah sebagai berikut 34 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi perkembangan Islami, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, h. 169-170