Anak  pada  usia  ini  juga  mendemonstrasikan  keterampilan  kognitif  dan perilaku  untuk  mengatasi  emosinya,  seperti  rasionalisasi  atau  kejadian  yang
tidak  mereka  sukai.  Selama  masa  kanak-kanak  pertengahan,  anak  mulai memahami  keadaan  emosi  orang  lain  tidak  sesederhana  yang  mereka
perkirakan,  dan  seringkali  merupakan  hasil  dari  penyebab  yang  rumit  dan terkadang  tidak  jelas.  Mereka  juga  memahami  bahasa  sesorang  mungkin
merasakan  lebih  dari  satu  waktu,  walaupun  kemampuan  ini  terbatas  dan berkembang perlahan. Tampilan empati juga lebih sering pada tahap ini. Anak
dengan  keluarga  yang  sering  mendiskusikan  kompleksitas  emosi  lebih  siap menghadapi  hal  ini  daripada  keluarga  yang  biasa  menghindarinya.  Orangtua
yang terbiasa memberikan aturan yang jelas dan lebih banyak memperhatikan oranglain,  lebih  dapat  menghasilkan  anak  yang  empatik  daripada  orangtua
yang kasar dalam membatasi perilaku.
34
D. Sasaran Kecerdasan Emosional
Sebagaimana dikemukakan di muka bahwa kecerdasan emosional sangat penting  dalam  kehidupan  manusia.  Untuk  itu  kecerdasan  emosional  perlu
ditanamkan  kepada  anak-anak  sejak  dini.  Upaya  penanaman  kecerdasan emosional  dapat  dilakukan  oleh  orang  tua  dan  para  guru  di  sekolah  dengan
cara-cara tertentu. Untuk itu, orang tua dan guru sebagai pendidik emosi harus mengetahui dan memahami sasaran-sasaran  yang  terkandung di  dalam setiap
kecakapan-kecakapan emosional. Dengan demikian, arah serta tujuannya akan menjadi jelas dan terancang.
Adapun  sasaran-sasaran  di  dalam  lima  komponen  utama  kecakapan emosional,  sebagaimana  yang  dikemukakan  oleh  Daniel  Goleman,  adalah
sebagai berikut
34
Aliah  B.  Purwakania  Hasan,  Psikologi  perkembangan  Islami,  Jakarta:  PT  Raja Grafindo Persada, 2008, h. 169-170
1. Kesadaran emosi diri :
a. Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri.
b. Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul.
c. Mengenali perbedaan perasaan dan tindakan.
2. Mengelola emosi :
a. Toleransi  yang  lebih  tinggi  terhadap  frustrasi  dan  pengelolaan
amarah. b.
Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di ruang kelas.
c. Lebih  mampu  memngungkapkan  amarah  dengan  tepat  tanpa
berkelahi. d.
Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri. e.
Perasaan  yang  lebih  positif  tentang  diri  sendiri,  sekolah  dan keluarga.
f. Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa.
g. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
3. Memotivasi diri :
a. Lebih bertanggung jawab.
b. Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
dan menaruh perhatian. c.
Kurang impulsif, lebih menguasai diri. 4.
Empati membaca emosi : a.
Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain. b.
Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. c.
Lebih baik dalam mendengarkan orang lain. 5.
Membina hubungan dengan orang lain : a.
Meningkakan  kemampuan  menganalisis  dan  memahami hubungan.
b. Lebih  baik  dalam  menyelesaikan  pertikaian  dan  merundingkan
persengketaan. c.
Lebih  baik  dalam  menyelesaikan  persoalan  yang  timbul  dalam hubungan.
d. Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi.
e. Lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan
teman sebaya. f.
Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya. g.
Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa. h.
Lebih  memikirkan  kepentingan  sosial  dan  selaras  dalam kelompok.
i. Lebih suka berbagi rasa, bekerja keras,dan suka menolong.
j. Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.
35
Sasaran-sasaran  dalam  lima  komponen  utama  kecerdasan  emosional  itu jelas  mengarah  pada  pembentukan  kecerdasan  emosional.  Kecakapan-
kecakapan tersebut tidak mudah diperoleh kecuali dengan adanya pendidikan dan pelatihan emosi sejak dini. Dan hal ini adalah tugas utama bagi orang tua
dan  para  guru  untuk  mewujudkannya.  Pendidikan  emosi  yang  teratur  dan terancang  dengan  baik  akan  dapat  membina  anak-anak  untuk  memiliki
kecakapan-kecakapan  emosional  sebagaimana  yang  tersebut  di  atas.  Salah satu  cara untuk membentuk  kecakapan-kecakapan ini pada anak-anak adalah
dengan  menggunakan  cerita-cerita  keteladanan,  terutama  cerita-cerita  yang ada  dalam  Al-Quran  yang  begitu  kaya  akan  hikmah  dan  pelajaran  hidup.
Pendekatan  ini  sangat  baik  digunakan  oleh  orang  tua  dan  guru,  diberikan kepada  anak-anak  atau    murid-muridnya  agar  berhasil  sebagai  manusia  yang
seimbang perkembangan intelek, emosi dan rohaninya.
35
Daniel Goleman, op. cit., h. 403
32
BAB III KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN
A. Pengertian Kisah Al-Quran
1. Pengertian Kisah
Dalam  percakapan  sehari-hari  seseorang  sering  mendengarkan  kata- kata kisah. Ketika manusia mendengar kata kisah tersebut  yang terlintas
dalam  fikirannya  adalah  suatu  cerita  yang  berkenaan  dengan  suatu kejadian pada masa lampau tentang seseorang atau masyarakat tertentu.
Kata “kisah” berasal dari akar kata “al-qassu”  yang berarti mencari
atau mengikuti jejak. Kata al-qasas adalah bentuk masdar.
1
Menurut al- Khalidy al-qasas berarti cerita-cerita yang dituturkan kisah.
Kisah  dengan  arti-arti  tersebut  di  atas,  dipergunakan  juga  dalam Alquran, antara lain;
1
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘ulumil Al-Quran, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1996, h. 305.