Jenis-Jenis Gaya Bahasa Gaya Bahasa

laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Cara menulisnya lain daripada kebanyakan orang”, “Cara jalannya lain dari yang lain”, yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian”, “gaya menulis” dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. 13 Selanjutnya, pengertian mengenai gaya bahasa juga dipaparkan oleh Diah Erna Triningsih. Beliau menyatakan, “Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis pemakai bahasa.” 14 Sementara itu, Abd. Rohman memaparkan persoalan gaya bahasa dalam istilah Arab. Beliau menyatakan, Dalam bahasa Arab gaya bahasa disebut dengan istilah uslub, yang secara etimologis berarti jalan di antara pepohonan, seni, bentuk, madzhab, dan seterusnya. Adapun secara terminologis, kata uslub diartikan dengan istilah metode pengungkapan yang dipilih pengarang dalam menyusun ujaran serta memilih kosa kata yang diungkapkannya. 15 Berdasarkan berbagai pemaparan mengenai gaya bahasa di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan cara seseorang menggunakan bahasa, yang kemudian menjadi ciri khas orang tersebut yang membedakan dengan orang lain, dan digunakan untuk memberikan efek-efek tertentu dalam setiap kalimatnya.

b. Jenis-Jenis Gaya Bahasa

Banyak ahli yang menyatakan pendapatnya mengenai jenis-jenis gaya bahasa, sehingga gaya bahasa banyak jenisnya. Pada bagian ini, penulis telah melakukan pendataan terhadap jenis-jenis gaya bahasa 13 Keraf, Ibid., h. 113. 14 Diah Erna Triningsih, Gaya Bahasa dan Peribahasa dalam Bahasa Indonesia, Klaten: PT Intan Pariwara, 2009, h. 8. 15 Abd. Rohman, Komunikasi dalam Alquran: Relasi Ilahiyah dan Insaniyah, Malang: UIN Malang Press, 2007, h. 71. yang dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah Gorys Keraf, Henry Guntur Tarigan, Okke Kusuma Sumantri Zaimar, dan Ayu Basoeki Harahap. Adapun klasifikasi gaya bahasa menurut Gorys Keraf, terbagi menjadi gaya bahasa berdasarkan segi nonbahasa dan gaya bahasa berdasarkan segi bahasa, yang terdiri atas gaya bahasa berdasarkan pemilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. 16 Sementara itu, klasifikasi gaya bahasa menurut Henry Guntur Tarigan terbagi menjadi gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan. 17 Selanjutnya, klasifikasi gaya bahasa menurut Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap terbagi menjadi majas berdasarkan persamaan makna, majas berdasarkan perbandingan makna, majas berdasarkan oposisi makna, majas berdasarkan pertautan makna berkat kedekatan acuan, dan majas yang mengambil bentuk majas lain. 18 Pada bagian ini, penulis akan memfokuskan pembahasan mengenai penggunaan gaya bahasa dilihat dari segi linguistiknya. Berdasarkan hasil pembacaan terhadap buku-buku ahli yang membahas mengenai jenis-jenis gaya bahasa, secara keseluruhan gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi 51 jenis. Berikut penulis paparkan mengenai penjelasan jenis-jenis gaya bahasa tersebut. 1. Klimaks Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan- gagasan sebelumnya. Contoh: Kesengsaraan membuahkan kesabaran, kesabaran harapan, dan pengalaman harapan. 19 16 Keraf, Op. Cit., h. 116-117. 17 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, Bandung: Angkasa, 1985, h. 6. 18 Zaimar, Op. Cit., h. 163-176. 19 Keraf, Op. Cit., h. 124. 2. Antiklimaks Antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting ke gagasan yang kurang penting. Contoh: Ketua pengadilan negeri itu merupakan orang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya. 20 3. Paralelisme Go rys Keraf menyatakan, “Paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi-fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.” Contoh: Baik golongan yang tinggi maupun golongan yang rendah, harus diadili kalau bersalah. Tidak baik: Baik golongan yang tinggi maupun mereka yang rendah kedudukannya, harus diadili kalau bersalah. 21 Sementara itu, Abdul Chaer menyatakan, “Kesejajaran atau paralelisme adalah gaya bahasa yang dibentuk dengan cara membentuk beberapa kalimat dengan unsur-unsur yang mirip atau hampir sama, baik tentang jumlah, isi, maupun pola kata yang digun akan.” 22 Lebih lanjut, Niknik M. Kuntarto menyatakan, “Agar kalimat yang Anda buat terlihat rapi dan bermakna sama, kesejajaran dalam kalimat diperlukan. Kesejajaran adalah penggunaan bentuk- bentuk yang sama pada kata- kata yang berparalel.” 23 Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa paralelisme adalah gaya bahasa yang diwujudkan 20 Keraf, Ibid., h. 125. 21 Ibid., h. 126. 22 Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998, Cet. I, h. 377. 23 Niknik M. Kuntarto, Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013, Cet. XII, h. 177. melalui kesejajaran pemakaian kata-kata dalam bentuk gramatikal yang sama. 4. Antitesis Gorys Keraf menyatakan, “Antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. ” 24 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa Antitesis merupakan perbandingan antara dua antonim kata-kata yang mengandung arti semantik berlawanan. Majas ini menggunakan dua kata yang berlawanan. Contoh: Kelulusan Putri dalam ujian sungguh melegakan dada, tetapi kemampuan membiayainya di perguruan tinggi justru menyesakkan dada mereka. 25 Sementara itu, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, Antitese adalah oposisi antara dua gagasan, dengan menggunakan dua kata bentuk lain yang disandingkan agar lebih jelas dan menonjol kontrasnya. Kedua kata bentuk lain mengandung makna yang berlawanan dan keduanya muncul bersama, jadi tidak bersifat implisit. Contoh:”Besar kecil, tua muda, kaya miskin, semua berlomba-lomba ingin hidup senang. Ketiga kata majemuk yang ditampilkan, mempunyai makna yang berlawanan satu sama lain. ” 26 Berdasarkan pendapat dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung kata-kata atau kelompok kata yang bertentangan. 24 Keraf, Loc. Cit., h. 126. 25 Triningsih, Op. Cit., h. 37. 26 Zaimar, Op. Cit., h. 170. 5. Repetisi Gorys Keraf menyatakan, “Repetisi adalah pengulangan bunyi, suka kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. ” 27 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa repetisi adalah majas yang mengandung perulangan berkali-kali kata atau kelompok kata yang sama. Contoh: Anakku Rajinlah belajar demi masa depan, Rajinlah belajar mengangkat derajat keluarga Rajinlah belajar menuntut ilmu, rajinlah belajar mencapai cita- cita. Rajinlah belajar diiringi doa Bunda, rajinlah belajar anakku, Tuhan selalu bersamamu. 28 Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap menyatakan, “Dalam repetisi pengulangan, seluruh kata atau bentuk lain diulang. Pengulangan ini bisa berupa satu kata saja, dapat berupa satu frasa, satu klausa, bahkan satu kalimat. ” 29 Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa repetisi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan pengulangan bunyi, kata, atau beberapa kata yang dianggap penting. 6. Aliterasi Aliterasi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan bunyi konsonan yang sama. Misalnya: Takut titik lalu tumpah. Keras-keras kerak kena air lembut juga. 30 27 Keraf, Op. Cit., h. 127. 28 Triningsih, Op. Cit., h. 46. 29 Zaimar, Op. Cit., h. 163. 30 Keraf, Op. Cit., h. 130. Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa aliterasi merupakan majas yang memanfaatkan kata-kata yang memiliki persamaan bunyi pada awal kata permulaan kata, bukan perulangan konsonan yang sama seperti yang dikemukakan oleh Gorys Keraf. Contoh: Kalau kanda kala kacau Biar bibir biduan bicara 31 Berdasarkan pendapat dua ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa aliterasi. 7. Asonansi Asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud pengulangan bunyi vokal yang sama. Misalnya: Ini muka penuh luka siapa punya Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. 32 8. Anastrof Anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar. 33 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut anastrof dengan istilah inversi. Inversi merupakan gaya bahasa yang mementingkan bagian kalimat selain subjek sehingga bagian yang dipentingkan itu 31 Triningsih, Op. Cit., h. 44-45. 32 Keraf, Loc. Cit., h. 130. 33 Ibid. berada sebagai subjek. Contoh: Sungguh nyaman dan damai lebaran tahun ini. 34 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan membalikkan susunan kata yang biasa dalam kalimat. 9. Apofasis atau Preterisio Gorys Keraf menyatakan pendapatnya mengenai gaya bahasa apofasis atau preterisio. Beliau memaparkan, Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya. Misalnya: Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa Anda pasti membiarkan Anda menipu diri sendiri. Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara. 35 10. Apostrof Apostrof merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara mengalihkan amanat atau pembicaraan, dari hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Misalnya: Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah Kami dari belenggu penindasan ini. Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan. 36 34 Triningsih, Op. Cit., h. 44. 35 Keraf, Op. Cit., h. 130-131. 36 Ibid., h. 131. 11. Asindeton Asindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan pemakaian beberapa kata, frasa atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya: Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa. 37 12. Polisindeton Polisindeton merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan pemakaian beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan dengan menggunakan konjungsi. Misalnya: Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya? 38 13. Kiasmus Kiasmus merupakan gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Misalnya: Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu. 39 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa kiasmus merupakan majas yang berisi perulangan dan sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. 37 Keraf, Ibid., h. 131. 38 Ibid. 39 Ibid., h. 132. Contoh: Apa yang akan terjadi jika pria berlagak seperti wanita dan wanita berlagak seperti pria? Akan tetapi, inilah yang terjadi saat ini. 40 14. Elipsis Elipsis merupakan gaya bahasa yang dilakukan dengan cara menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku. Misalnya: Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis ... 41 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa elipsis merupakan sebuah majas yang dihasilkan dengan cara membuang atau menghilangkan kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa. Contoh: Pada waktu pulang membawa banyak barang berharga serta perabot rumah tangga. penghilangan subjek: mereka 42 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa elipsis adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menghilangkan suatu unsur kalimat. 15. Eufemismus Eufemismus merupakan gaya bahasa berupa ungkapan- ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan- ungkapan yang halus untuk mengantikan acuan-acuan yang mungkin 40 Triningsih, Op. Cit., h. 46. 41 Keraf, Loc. Cit., h. 132. 42 Triningsih, Op. Cit., h. 43. dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Misalnya: Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka = mati Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini = gila Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya = bodoh 43 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut Eufemismus dengan kata Eufemisme. Beliau memaparkan bahwa Eufemisme merupakan ungkapan yang lebih halus yang dipakai untuk mengantikan ungkapan yang dirasa kasar, dianggap merugikan, atau tidak menyenangkan. 44 Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, “Eufemisme adalah ungkapan yang dihaluskan dalam mengemukakan suatu gagasan. Hal ini dilakukan apabila ungkapan gagasan tersebut secara langsung, bisa menimbulkan perasaan yang tidak enak, atau terasa agak kasar.” 45 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa eufimismus adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menggunakan ungkapan yang lebih halus, untuk menggantikan ungkapan yang dirasa kasar. 16. Litotes Gorys Keraf menyatakan, “Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. ” 46 Henry Guntur Tarigan juga memaparkan pendapatnya mengenai litotes. Beliau menyatakan, ”Litotes merupakan majas yang menyatakan 43 Keraf, Loc. Cit., h. 132. 44 Triningsih, Loc. Cit., h. 43. 45 Zaimar, Op. Cit., h. 180. 46 Keraf, Op. Cit., h. 132-133. sesuatu lebih rendah atau dikecilkan dari keadaan yang sebenarnya dengan tujuan untuk merendahkan diri. ” 47 Di pihak lain, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan bahwa litotes berbeda dengan hiperbola, digunakan untuk melemahkan nilai yang dikemukakan atau diungkapkan si pengujar, dengan tujuan bersopan-santun. Contoh: silahkan singgah di gubuk saya. 48 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa litotes adalah penggunaan kata-kata dengan tujuan merendahkan diri. 17. Histeron Proteron Histeron Proteron merupakan gaya bahasa yang dihasilkan dengan cara menampilkan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Misalnya: Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang. Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. 49 18. Pleonasme Pada dasarnya, pleonasme merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme apabila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Misalnya: Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri. Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri. Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya. 47 Triningsih, Op. Cit., h. 39. 48 Zaimar, Op. Cit., h. 178. 49 Keraf, Op. Cit., h. 133. Ungkapan di atas adalah pleonasme karena semua acuan itu tetap utuh dengan makna yang sama, walaupun dihilangkan kata- kata: dengan telinga saya, dengan mata kepala saya, dan yang merah itu. 50 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan, “Pleonasme adalah pengulangan dengan penanda yang berbeda. Sebenarnya komponen makna yang ada pada kata pertama, telah hadir pada wilayah makna kata berikutnya. Orang sering mengatakannya sebagai pemakaian kata yang lewah. ” 51 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa pleonasme adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menggunakan kata-kata yang berlebihan. Jika kata-kata yang berlebihan tersebut dihilangkan, maknanya tetap utuh. 19. Tautologi Pada dasarnya, tautologi sama seperti pleonasme, merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan gagasan. Sebuah acuan disebut tautologi apabila kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung pengulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya: Ia tiba jam 20.00 malam waktu setempat. Globe itu bundar bentuknya. Acuan di atas disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah tercakup dalam jam 20.00, dan bundar sudah tercakup dalam globe. 52 50 Keraf, Ibid., h. 133. 51 Zaimar, Op. Cit., h.164. 52 Keraf, Op. Cit., h. 133-134.

20. Perifrasis

Perifrasis merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perifrasis hampir sama seperti pleonasme, hanya perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Misalnya: Ia telah beristirahat dengan damai = mati, atau meninggal Jawaban dari permintaan sudara adalah tidak = ditolak 53 21. Prolepsis atau antisipasi Prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa dengan mempergunakan kata-kata atau sebuah kata lebih dahulu sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak mengenal orang itu. Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat tu. Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sedan biru. 54 22. Erotesis atau pertanyaan retoris Erotesis atau pertanyaan retoris merupakan pertanyaan yang digunakan baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan, dengan tujuan mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya jawaban. 55 Misalnya: Bukankah kita adalah makhlukNya yang harus beriman dan bertakwa kepadaNya? 53 Keraf, Ibid., h. 134. 54 Ibid. 55 Ibid. 23. Silepsis Silepsis merupakan gaya bahasa yang diwujudkan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar. Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya. 56 24. Zeugma Zeugma merupakan gaya bahasa yang diwujudkan melalui kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya baik secara logis maupun secara gramatikal. Misalnya: Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu. Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami. 57 25. Koreksio atau Epanortosis Koreksio atau epanortosis merupakan gaya bahasa yang mula- mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Misalnya: Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali. 58 26. Hiperbol Gorys Keraf menyatakan, “Hiperbol semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar- besarkan sesuatu hal. ” 59 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan 56 Keraf, Ibid., h. 135. 57 Ibid. 58 Ibid. 59 Ibid. menamakan hiperbol dengan istilah hiperbola. Beliau menyatakan, “Hiperbola merupakan gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat atau meningkatkan kesan dan pengaruh. ” 60 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan, “Hiperbola adalah ucapan ungkapan, pernyataan kiasan yang membesar-besarkan sesuatu berlebih- lebihan. ” 61 Contoh: Citaku kepadamu seluas samudra, hingga tak sanggup aku hidup tanpamu. Jika kau mati, maka akupun akan ikut mati. Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang diwujudkan melalui pemakaian kata yang berlebihan, untuk membesar-besarkan sesuatu hal. 27. Paradoks Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh: Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang melimpah-limpah. 62 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa paradoks merupakan pernyataan yang berlawanan dengan pendapat umum, bisa dianggap aneh atau luar biasa. Bisa juga dikatakan bahwa paradoks merupakan suatu proposisi yang salah sekaligus juga benar. Contoh: Meskipun hatinya sangat panas, kepalanya tetap dingin. 63 60 Triningsih, Loc. Cit., h. 39. 61 Zaimar, Op. Cit., h. 176. 62 Keraf, Op. Cit., h. 136. 63 Zaimar, Op. Cit., h. 170-171. Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan menyajikan gagasan yang bertentangan dari sesuatu yang nyata. 28. Oksimoron Gorys Keraf menyatakan, “Oksimoron merupakan gaya bahasa yang berusaha menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. ” 64 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa oksimoron merupakan majas yang mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata berlawanan dalam frasa yang sama. Contoh: Bahan-bahan nuklir dapat digunakan untuk kesejahteraan manusia, tetapi juga dapat memusnahkannya. 65 29. Persamaan atau Simile Persamaan atau Simile merupakan perbandingan yang bersifat eksplisit. Artinya, perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu hal sama dengan hal yang lain. Untuk itu, perbandingan tersebut memerlukan kata-kata seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misalnya: Kikirnya seperti kepiting batu Bibirnya seperti delima merekah Matanya seperti bintang timur 66 Sementara itu, Diah Erna Triningsih mengemukakan pendapat Henry Guntur Tarigan mengenai simile. Bila Gorys Keraf menyebutnya dengan istilah persamaan, maka Henry Guntur Tarigan lebih memilih istilah perumpamaan . Menurutnya, “Majas Perumpamaan merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlainan, tetapi dianggap sama. Perbandingan tersebut ditandai dengan kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, 64 Keraf, Loc. Cit. 65 Triningsih, Op. Cit., h. 40. 66 Keraf, Op. Cit., h. 138. dan sejenisnya. ” 67 Selanjutnya, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Har ahap menyatakan, “Dalam simile terdapat dua kata atau bentuk lainnya yang masing-masing menampilkan konsep dan acuan yang berbeda.” 68 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa simile adalah gaya bahasa yang diwujudkan dengan membandingkan dua hal atau lebih dengan menggunakan kata-kata seperti laksana, bak, bagaikan, dan seperti. 30. Metafora Gorys Keraf menyatakan, “Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. 69 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa kata metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti „memindahkan‟. Metafora merupakan sebuah analogi yang membandingkan dua benda secara langsung dalam bentuk singkat. Contoh: Kita harus selalu mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur sebagai bunga bangsa. Bunga bangsa= orang berjasa; pemuda Jangan pernah percaya dengan mulut manis lintah darat itu karena ia hanya ingin meraup keuntungan. Lintah darat= orang yang membungakan uang dengan memungut bunga terlalu tinggi. 70 67 Triningsih, Op. Cit., h. 35. 68 Zaimar, Op. Cit., h. 165. 69 Keraf, Op. Cit., h. 139. 70 Triningsih, Loc. Cit., h. 35. Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang singkat. 31. Alegori Gorys Keraf menyatakan, “Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat- sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.” 71 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa alegori adalah cerita yang diceritakan dengan lambang-lambang. Alegori merupakan cerita singkat yang mengandung kiasan dan bertujuan menyampaikan pesan moral. 72 Lebih lanjut, M. Zainal Falah memberikan sebuah contoh mengenai gaya bahasa alegori. Berikut adalah contoh alegori yang dikemukakan M. Zainal Falah dalam buku Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia. Hati-hatilah dalam mengarungi samudra yang penuh bahaya gelombang, topan, dan badai. Apabila nahkoda dan juru mudi senantiasa seia sekata dalam melayarkan bahteranya, niscaya akan tercapai tanah tepian yang menjadi idaman. Kata “samudra” yang dimaksud pengarang adalah kehidupan. 73 32. Parabel Gorys Keraf menyatakan, “Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk 71 Keraf, Op. Cit., h. 140. 72 Triningsih, Op. Cit., h. 36. 73 M. Zainal Falah, Gejala dan Gaya Bahasa Indonesia, Yogyakarta: CV Karyono, 1996, Cet. V., h. 41. menyampaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual.” 74 Sebagai contoh yaitu cerita Kisah Mahabrata dan Kisah Ramayana. 33. Fabel Gorys Keraf menyatakan, “Fabel merupakan suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang- binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. ” 75 Sebagai contoh cerita Anak Katak Hijau yang Nakal dan Kancil Mencuri Mentimun. 34. Personifikasi Gorys Keraf menyatakan, “Personifikasi atau Prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda- benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. 76 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyebut personifikasi dengan istilah penginsanan. Beliau menyatakan, “Personifikasi atau penginsanan merupakan majas yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat manusia dan mampu melakukan tindakan seperti yang dilakukan manusia. ” 77 Lebih lanjut, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap memaparkan bahwa personifikasi merupakan majas yang menyatakan benda mati seolah-olah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia. Contoh: Rani tidur di teras, dibelai angin sepoi- sepoi. 78 Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang menyatakan benda mati seolah bergerak atau memiliki sifat seperti manusia. 74 Keraf, Loc. Cit., h. 140. 75 Ibid. 76 Ibid. 77 Triningsih, Loc. Cit., h. 36. 78 Zaimar, Op. Cit., h. 168. 35. Alusi Gorys Keraf menyatakan bahwa alusi merupakan acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Misalnya dulu sering dikatakan bahwa Bandung adalah Paris Jawa. Demikian dapat dikatakan: Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya. 79 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa alusi merupakan majas yang menunjuk pada suatu peristiwa atau tokoh secara tidak langsung, berdasarkan praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca untuk menangkap acuan tersebut. Contoh: Dapatkah kau membayangkan perjuangan KAMI dan KAPI pada tahun 1966 menentang rezim Orde Lama dan menegakkan keadilan di tanah air ini? 80 Berdasarkan pemaparan dari dua ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa alusi. 36. Eponim Gorys Keraf menyatakan,”Eponim adalah suatu gaya bahasa yang diwujudkan dengan penggunaan nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya: Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan; Hellen dari Troya untuk menyatakan kecantikan. ” 81 79 Keraf, Op. Cit., h. 141. 80 Triningsih, Op. Cit., h. 42-43. 81 Keraf, Loc. Cit. 37. Epitet Epitet merupakan gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Misalnya: Lonceng pagi untuk ayam jantan Puteri malam untuk bulan Raja rimba untuk singa, dan sebagainya. 82 38. Sinekdoke Mengenai sinekdoke, Gorys Keraf menyatakan, Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan pars pro toto atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian totum pro parte. 83 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan menyatakan bahwa Sinekdoke merupakan majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan pars pro toto atau menyebutkan keseluruhan sebagai pengganti nama sebagian totem pro parte. Contoh: Bagaimana kita dapat hidup dengan tenang jika belum memiliki lantai tempat menetap di Jakarta? Indonesia memenangkan kejuaraan bulu tangkis tingkat internasional. 84 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa dalam sinekdoke adanya kedekatan acuan yang disebabkan karena acuan yang pertama merupakan bagian dari acuan yang kedua pars pro toto atau acuan yang pertama mencakup acuan yang kedua totem pro parte. Contoh: Telah lama ia tak 82 Keraf, Ibid., h. 141. 83 Ibid., h. 142. 84 Triningsih, Op. Cit., h. 42. nampak batang-hidungnya. sebagian menggantikan keseluruhan dan Italia mengalahkan Inggris dengan telak. keseluruhan untuk sebagian 85 39. Metonimia Metonimia merupakan gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Contoh: Ia membeli sebuah chevrolet. Saya minum satu gelas, ia dua gelas. Ialah yang menyebabkana air mata yang gugur. Pena lebih berbahaya dari pedang. Ia telah memeras keringat habis-habisan. 86 Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa metonimia merupakan majas yang menggunakan nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya. Contoh: Ayah baru saja membeli Honda dengan harga lima belas juta rupiah. 87 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa dalam metonimi yang menjadi landasan adalah hubungan kontiguitas acuan. Hubungan-hubungan itu dapat bersifat parsial, seperti contoh: “Gedung putih itu telah mengumumkan perang.”, bersifat temporal, seperti contoh “Mingguan itu berisi 85 Zaimar, Op. Cit., h. 175. 86 Keraf, Loc. Cit., h. 142. 87 Triningsih, Op. Cit., h. 41-42. gosip saja.”, dan bersifat kausal, seperti contoh “Paman Hamzah adalah seorang kuli tinta .” 88 Berdasarkan pemaparan empat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai gaya bahasa metonimia. 40. Antonomasia Antonomasia merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menggantikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan. Misalnya: Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu. 89 41. Hipalase Hipalase merupakan gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu digunakan untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata lain. Misalnya: Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya. 90 42. Ironi Ironi atau sindiran gaya bahasa yang mengatakan sesuatu hal dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Misalnya: Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat 91 Sementara Itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa ironi merupakan sebuah ungkapan yang menyatakan sindiran atau ejekan 88 Zaimar, Op. Cit., h. 173-174. 89 Keraf, Loc. Cit., h. 142. 90 Ibid. 91 Ibid., h. 143. secara halus, tetapi cukup menyinggung perasaan orang lain. Contoh: Aku bangga dengan sikap hematmu, hingga uang tabungan ini terkuras habis hanya untuk berfoya-foya. 92 Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Basoeki Harahap memaparkan bahwa dalam ironi, pengujar menyampaikan sesuatu yang sebaliknya dari apa yang ingin dikatakan. Perlu diingat bahwa dalam ironi selalu ada sasaran bulan-bulanan, yaitu yang dituju oleh ujaran ironis tadi. Selain itu, pemahaman ironi sangat tergantung dari konteks. 93 Berdasarkan pemaparan dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan maksud yang berlainan dari serangkaian kata-katanya. 43. Sinisme Sinisme merupakan suatu sindiran yang berbentuk kesangsian, mengandung ejekan. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Misalnya: Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini. 94 44. Sarkasme Sarkasme merupakan gaya bahasa yang lebih kasar dari ironi dan sinisme, mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Misalnya: Mulut kau harimau kau Lihat sang Raksasa itu Maksudnya si Cebol Kelakuanmu memuakkan saya. 95 92 Triningsih, Op. Cit., h. 40. 93 Zaimar , Op. Cit., h. 171. 94 Keraf, Loc. Cit., 143. 95 Ibid., h. 143-144. 45. Satire Satire merupakan gaya bahasa yang menggunakan ungkapan untuk menertawakan atau menolak sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia, dengan tujuan agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. 96 46. Inuendo Inuendo merupakan sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Inuendo merupakan sebuah kritik secara tidak langsung dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati bila dilihat sambil lalu. Misalnya: Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum. Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi jabatannya. 97 47. Antifrasis Antifrasis merupakan sebuah ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi. Misalnya: Lihatlah sang Raksasa telah tiba maksudnya si Cebol 98 48. Pun atau Paronomasia Pun atau paronomasia merupakan kiasan dengan menggunakan kemiripan. Pun atau Paronomasia menggunakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Tanggal dua gigi saya tanggal dua “Engkau orang kaya” “Ya, kaya monyet” 99 96 Keraf, Ibid., h. 144. 97 Ibid. 98 Ibid., h. 144-145. 99 Ibid., h. 145. Sementara itu, Henry Guntur Tarigan memaparkan bahwa paronomasia merupakan gaya bahasa yang berwujud penjajaran kata yang berbunyi sama, tetapi berlainan makna atau kata-kata yang memiliki persamaan bunyi, tetapi berbeda maknanya. Contoh: Ketika saya sibuk mengukur kelapa di dapur, burung balam tetangga terdengar sedang mengukur bersahut-sahutan. 100 49. Gradasi Gradasi merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian dan urutan kata yang secara sintaksis bersamaan memiliki satu atau beberapa ciri semantik secara umum dan di antaranya paling sedikit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif. Contoh: Jasmani dan rohani yang diberikan Tuhan; Tuhan Yang Maha Pengasih. 101 50. Depersonifikasi Depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi. Gaya bahasa ini menampilkan manusia sebagai binatang, benda-benda alam, atau benda lainnya. Contoh: Aku heran melihat Tono mematung. 102 51. Paralipsis Paralipsis merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan hal yang tersirat dalam kalimatnya. Contoh: 100 Triningsih, Loc. Cit., h. 40. 101 Ibid., h. 44. 102 Zaimar, Op. Cit., h. 168. Pak guru sering memuji anak itu, yang maafkan saya saya maksud memarahinya. 103 Berdasarkan hasil penggabungan jenis-jenis gaya bahasa dari para ahli, penulis dapat menyimpulkan bahwa gaya bahasa banyak jenisnya, lebih dari lima puluh gaya bahasa. Masing-masing para ahli mempunyai kategori pengklasifikasian jenis gaya bahasa yang berbeda-beda. Pada skripsi ini, penulis lebih memilih pengklasifikasian gaya bahasa menurut Gorys Keraf, karena lebih lengkap dan disertai contoh yang mudah dipahami, untuk diterapkan dan dijadikan acuan dalam kegiatan analisis data. Selain itu, Gorys Keraf menggunakan istilah “gaya bahasa” bukan “majas”. Hal tersebut, lebih sesuai dengan judul penelitian yang dilakukan penulis.

2. Fonologi, Sintaksis, Semantik, dan Pragmatik