Pembentukan Multi-Stakeholder Forum. Puskesmas Sumberasih kemudian Gagasan awal

Proses pelaksanaan program 1. Pertemuan awal merupakan langkah awal yang dilakukan oleh LPA Lembaga Perlindungan Anak dengan kepala Puskesmas Sumberasih. Harapan dari pertemuan ini adalah untuk meyakinkan Puskesmas Sumberasih bahwa masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam peningkatan pelayanan kesehatan melalui survei pengaduan. Pengaduan yang berasal dari masyarakat dapat dijadikan dasar bagi Puskesmas untuk memperbaiki mutu pelayanannya. 2. Kepala Puskesmas lalu meyakinkan staf dan karyawan di Puskesmas Sumberasih tentang pentingnya pengaduan dari masyarakat untuk perbaikan layanan kesehatan. Ini dilakukan karena ada staf yang kurang memahami dan kurang menyetujui pelaksanaan survei pengaduan masyarakat.

3. Pembentukan Multi-Stakeholder Forum. Puskesmas Sumberasih kemudian

menginisiasi pembentukan multi-stakeholder forum MSF yang mempunyai peran dan fungsi melakukan pengawasan, mediasi, koordinasi dan advokasi perbaikan pelayanan. Dalam tahap awal sebagai pintu masuk untuk partisipasi, MSF akan melakukan survei pengaduan untuk mengumpulkan dan menganalisa pengaduan dari masyarakat. MSF ini terbentuk pada bulan November 2012, dengan anggota dari tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama serta dari PNS dan anggota dewan, baik laki-laki maupun perempuan. 4. Lokakarya Pengelolaan Pengaduan dan Penyusunan Kuesioner. Sebagai langkah awal pelaksanaan survei pengaduan dilaksanakan lokakarya pengelolaan pengaduan dengan komposisi peserta 80 dari unsur pengguna pelayanan dan 20 dari penyedia layanan. Lokakarya ini ditujukan untuk mengidentifikasi secara bersama pengaduan masyarakat atas pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggara pelayanan publik kesehatan. Hasil akhir dari langkah ini adalah adanya daftar pengaduan yang disepakati antara pemberi dan pengguna layanan. Daftar pengaduan selanjutnya dijadikan bahan untuk menyusun kuesioner yang akan digunakan dalam survei pengaduan masyarakat. Halaman 108 Gambar 2. Pejabat pemerintah di salah satu kabupaten mitra USAID Kinerja ikut menandatangani Janji Perbaikan Layanan. 5. Survei Pengaduan Masyarakat. Puskesmas Sumberasih bekerjasama dengan MSF untuk melakukan survei pengaduan pada Januari 2013. Responden adalah pasien atau pengguna layanan kesehatan ibu dan anak di Puskesmas Sumberasih. 140 orang diwawancarai – semuanya ibu hamil atau ibu yang mempunyai bayi dibawah dua tahun. Dari wawancara tersebut kemudian dibuat sebuah Indeks Pengaduan Masyarakat IPM.

6. Lokakarya Analisis Hasil Survei Pengaduan. Indeks Pengaduan Masyarakat

dianalisir oleh staf Puskesmas Sumberasih dan MSF serta perwakilan pengguna layanan untuk mengetahui penyebab terjadinya pengaduan untuk kemudian dirumuskan rencana tindak nyata untuk memperbaiki pelayanan. 7. Penyusunan dan penandatanganan Janji Perbaikan Layanan dan Rekomendasi Teknis. Rencana tindak nyata untuk memperbaiki pelayanan kemudian dikelompokkan menjadi dua. Rencana tindak nyata yang bisa dilakukan secara internal yaitu di dalam Puskesmas disusun dalam sebuah Janji Perbaikan Layanan. Rencana tindak nyata yang tidak bisa dilakukan secara internal yaitu persoalan dengan solusi di luar kewenangan Puskesmas disusun dalam dokumen Rekomendasi Teknis dan disampaikan secara resmi kepada Kepala Dinas Kesehatan untuk ditindaklanjuti. Kedua dokumen tersebut ditandatangani oleh Kepala Puskesmas Sumberasih dalam acara publik disaksikan oleh Dinas Kesehatan, Bappeda, MSF, dan masyarakat. Kemudian, untuk mendukung transparansi keterbukaan, Janji Perbaikan Layanan dicetak dalam bentuk standing banner yang diletakkan Halaman 109 di ruang tunggu Puskesmas agar semua pengguna layanan bisa melihat dan membacanya. 8. Tindakan perbaikan pelayanan untuk memenuhi Janji Perbaikan Layanan. Berdasarkan Janji Perbaikan Layanan, Puskesmas Sumberasih membuat rencana tindakan perbaikan pelayanan agar semua janji terpenuhi. Tindakan perbaikan ini dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. 9. Monitoring dan evaluasi Janji Perbaikan Layanan dan Rekomendasi Teknis oleh MSF. Langkah ini dilakukan dengan maksud untuk memantau status atas masing-masing janji dan rekomendasi perbaikan pelayanan publik dari Puskesmas Sumberasih. MSF melakukan monitoring status janji dan rekomendasi melalui kunjungan Puskesmas, di mana mereka mengecek apakah tindakan perbaikan sudah dilakukan atau belum. Hasil monitoring ini disampaikan kepada Kepala Puskesmas kalau ada janji yang belum terpenuhi, dan kepada Dinas Kesehatan kalau ada rekomendasi yang belum terpenuhi. 10. Survei pengaduan dan janji perbaikan layanan dilakukan kembali. Puskesmas Sumberasih sudah berencana melakukan survei pengaduan dan membuat janji perbaikan layanan untuk kali kedua dan menjadikannya mekanisme regular yang dilaksanakan secara rutin. Anggaran yang diperlukan Untuk pelaksanaan program perbaikan manajemen Puskesmas Sumberasih, dialokasikan dana melalui APBD sebesar Rp. 25.000.000. Program yang didanai oleh APBD Kabupaten Probolinggo ini secara teknis dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan melalui Puskesmas Sumberasih. Halaman 110 Gambar 3. Janji perbaikan layanan dipasang di salah satu puskesmas mitra. Dukungan pendanaan juga berasal dari Kerjasama Pemerintah Kabupaten Probolinggo dengan Kinerja, akan tetapi dukungan ini lebih banyak diarahkan kepada bantuan teknis berupa pelatihan-pelatihan dan pendampingan. Di samping itu, ada beberapa kegiatan yang secara sasaran cukup efektif dan efisien namun tidak harus disiapkan anggaran secara khusus. Kegiatan ini termasuk pendekatan secara personal Kepala Puskesmas Sumberasih kepada dukun di wilayah Puskesmas untuk menjalin kerjasama kemitraan dengan bidan. Hasilnya, dari tahun ke tahun pendekatan personal Kepala Puskesmas ini telah meningkatkan angka kemitraan bidan dan dukun di wilayah Puskesmas Sumberasih. Kegiatan lain yang tidak memerlukan anggaran secara khusus adalah pengembangan kapasitas untuk tim Puskesmas yang dilakukan secara langsung oleh Kepala Puskesmas. Ini juga bermanfaat untuk membangun kebersamaan tim dalam berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Hasil dan dampak program Saat ini, setelah dua tahun menerapkan mekanisme dengan pola atau pendekatan USAID Kinerja, di Puskesmas Sumberasih telah terlihat adanya beberapa perubahan dalam layanan kesehatan. Sebelum inisiatif perbaikan layanan kesehatan melalui perbaikan manajemen ini diberlakukan, kurang terjalin kerjasama antara masyarakat dan Puskesmas Sumberasih sehingga Puskesmas Sumberasih harus memikirkan sendiri semua permasalahan dan tantangan yang ada, dan masyarakat di sekitar wilayahnya juga tidak begitu mempedulikan kualitas layanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas Sumberasih. Namun sejak program perbaikan manajemen dan janji perbaikan layanan diimplementasikan, masyarakat secara Halaman 111 perlahan-lahan mempunyai rasa kepemilikan dan kepercayaan terhadap layanan kesehatan Puskesmas Sumberasih. Mereka mulai tergerak berpartispasi untuk mendiskusikan cara dan strategi mengatasi tantangan dan permasalahan yang ada di Puskesmas Sumberasih.

a. Peningkatan Cakupan Pelayanan KIA

Sejak program perbaikan manajemen dimulai pada tahun 2012, lebih banyak ibu hamil dan keluarganya mencari pelayanan di Puskesmas Sumberasih. Ada peningkatan yang cukup besar dalam jumlah ibu yang memeriksakan kehamilan di Puskesmas Sumberasih dan fasilitas kesehatan di wilayah pembinaannya; ada juga peningkatan persalinan ditolong tenaga kesehatan, seperti yang terangkum di tabel berikut. Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Persalinan ditolong tenaga kesehatan 926 963 979 K1 1125 1181 1268 K4 860 848 918 Perbaikan manajemen ini juga berdampak pada meningkatnya kemitraan bidan dan dukun; angka kemitraan bidan dan dukun meningkat dari tahun ke tahun, di mana pada tahun 2011 sebanyak 128 dukun yang belum menjalin kemitraan dengan bidan; tahun 2012 ada 28 dukun; tahun 2013 ada 27 dukun; dan pada tahun 2014 hanya tinggal 8 dukun yang belum menjalin kemitraan dengan bidan.

b. Sistem registrasi fingerprint

Salah satu perbaikan manajemen yang banyak mendapatkan apresiasi dari masyarakat pengguna layanan kesehatan Puskesmas adalah penggunanan registrasi fingerprint. Inovasi ini muncul setelah banyak pasien sejumlah 85 orang mengeluh dalam survei pengaduan tentang lama waktu menunggu di loket sampai 30 menit; masyarakat dan Halaman 112 Puskesmas membahas persoalan ini dan menyepakati untuk mengadakan sistem registrasi fingerprint. Adanya sistem fingerprint ini sangat memperpendek waktu antrian, dan mengurangi waktu pendaftaran masuk check-in dari 3 menit menjadi hanya beberapa detik, bahkan meskipun KTP pasien tertinggal di rumah. Pasien hanya perlu memindai jari mereka dan riwayat medis terbaru mereka secara otomatis dipanggil dalam basis data. Meskipun hal ini tampaknya hanya perubahan kecil, hasilnya akan berlipat ganda jika dikalikan dengan hampir 100 pasien yang dilayani setiap hari, sehingga efisiensi yang dicapai sangat berarti. Integrasi dengan program jaminan kesehatan semesta di tingkat nasional telah mulai dilaksanakan pada 1 Januari 2014. “Berdasarkan hasil survei ini, kami ketahui bahwa banyak pasien kami yang merasa kurang puas karena harus lama menunggu. Meskipun kami telah menggunakan basis data pasien secara elektronik, SIMPUSTRONIK, sejak tahun 2007, kami juga menambahkan sistem pengenalan sidik jari dalam proses pendaftaran pasien akibat adanya pengaduan dari masyarakat,” tutur Kepala Puskesmas Sumberasih, Pak Hariawan Dwi Tamtomo.

c. Dampak lain

Untuk mempermudah Puskesmas Sumberasih merespon pengaduan, Puskesmas Sumberasih telah membentuk Tim Khusus yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan puskesmas selama jam buka atau disebut Manager On Duty MOD. Sebuah jadwal kunjungan dokter selama hari libur sudah disusun oleh Kepala Puskesmas Sumberasih sebagai jawaban kepada pengaduan terkait kebutuhan masyarakat untuk dokter. Pelayanan diberikan kepada ibu hamil saat diperiksa bidan sudah diratakan di seluruh wilayah pembinaan Puskesmas Sumberasih. Bidan Puskesmas dan bidan desa diingatkan tentang kewajiban untuk mengikuti prosedur dan standar SOP ANC. Pengarahan tentang IMD dan ASI Eksklusif sekarang juga sudah diberikan setiap kali Halaman 113 diperiksa dan pada kelas ibu hamil; sebuah SOP IMD disusun agar semua bidan wajib melakukan IMD pada saat menolong persalinan, poster IMD dan ASI eksklusif pun sudah dibuat dan dipasang di Puskesmas. Dampak lain dari perbaikan manajemen ini adalah banyaknya prestasi yang telah diraih oleh Puskesmas Sumberasih dan menjadi bukti keberhasilan upaya peningkatan kualitas pelayanan. Prestasi yang telah diraih oleh Puskesmas Sumberasih antara lain pada tahun 2012 menjadi Juara 1 Penilaian Kebersihan Puskesmas Rawat Inap dan Juara 1 Penilaian Kinerja Tingkat Kabupaten Probolinggo. Pada tahun 2014, prestasi Puskesmas Sumberasih lebih tinggi lagi, dengan meraih Juara II Puskesmas Berprestasi Propinsi Jawa Timur, sebuah prestasi yang luar biasa. Monitoring dan evaluasi Monitoring dan evaluasi terhadap program ini dilakukan bersama-sama antara Dinas Kesehatan, staf Puskesmas Sumberasih dan MSF Kecamatan Sumberasih. Monitoring khusus dilakukan sekali setahun oleh anggota MSF bersama staf Puskesmas. Seperti dibahas di bagian 1.3 diatas, MSF melakukan pembuktian status atas setiap janji dan rekomendasi perbaikan pelayanan kesehatan. Monitoring ini dilaksanakan pada saat kunjungan Puskesmas – MSF mewakili masyarakat dan mengecek apakah tindakan perbaikan seperti dijanjikan sudah dilakukan atau belum. Status janji terpenuhi atau belum dicatat dalam formulir monitoring Janji Perbaikan Layanan, serta kegiatan yang sudah dilakukan dan rekomendasi untuk tindak lanjut kalau dibutuhkan. Hasil monitoring ini disampaikan kepada Kepala Puskesmas kalau ada janji yang belum terpenuhi, dan kepada Dinas Kesehatan kalau ada rekomendasi yang belum terpenuhi. Monitoring juga dilakukan secara berkala dengan melihat substansi dari pengaduan masyarakat yang didapatkan dari mekanisme pengaduan seperti kotak saran, kemudian dibahas dalam rapat khusus untuk mencari solusi atau penyelesaiannya. Halaman 114 Dinas Kesehatan Kabupaten Probolinggo juga melakukan evaluasi tahunan terhadap keberhasilan program perbaikan manajemen Puskesmas Sumberasih agar tahu apakah perbaikan manajemen yang telah dilakukan dapat menurunkan AKI dan AKB, meningkatkan pemberian ASI Ekslusif, dan meningkatkan persalinan ditolong tenaga kesehatan. Tantangan yang dihadapi Pelaksanaan awal dari survei pengaduan di Puskesmas Sumberasih mengalami kesulitan dalam implementasinya karena mendapatkan resistensi dari staf dan karyawan Puskesmas. Para staf dan karyawan beranggapan bahwa kritik dari masyarakat akan memberikan citra buruk Puskesmas Sumberasih. Akan tetapi hal ini dapat diatasi setelah Kepala Puskesmas dengan MSF memberikan pemahaman bahwa kritik dari masyarakat justru akan memberikan dampak positif kepala Puskesmas apabila Puskesmas dapat merespon dengan baik. Beliau menjelaskan bahwa kritik dan pengaduan sebenarnya bisa membantu tenaga maupun fasilitas untuk memperbaiki dirinya, karena bisa lebih memahami apa saja yang menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat. Disamping itu, masyarakat yang menjadi responden takut kalau kritik yang mereka sampaikan akan membawa dampak buruk kepada mereka apabila mereka ingin mendapatkan layanan kesehatan di Puskesmas Sumberasih. Namun persepsi yang sudah terlanjur berkembang di masyarakat tersebut mulai berubah pada saat Puskesmas Sumberasih berhasil meyakinkan masyarakat bahwa Puskesmas Sumberasih berkomitmen untuk terbuka dalam pengaduan masyarakat dan berkomitmen tidak akan berpengaruh pada masyarakat yang menggunakan jasa layanan kesehatan Puskesmas Sumberasih. Tantangan lain adalah tidak pernah dilakukan survei pengaduan di Puskesmas Sumberasih ataupun MSFnya, dan tidak ada yang tahu bagaimana cara melakukannya. Ini diatasi melalui pelatihan dan coaching oleh Lembaga Perlindungan Anak serta organisasi mitra pelaksana Kinerja lain. Pemberian contoh dan hasil dampak survei Halaman 115 pengaduan dari daerah lain juga membantu staf Puskesmas dan anggota MSF untuk melakukannya dan menyusun sebuah Janji Perbaikan Layanan. Keberlanjutan dan peluang replikasi Peran serta masyarakat dalam program perbaikan manajemen Puskesmas Sumberasih melalui peran MSF ini menunjukkan adanya potensi keberlanjutan yang cukup kuat. Adanya MSF mencerminkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dengan memberikan dukungan kepada Puskesmas Sumberasih untuk dapat melaksanakan perbaikan manajemen. MSF ini sudah berada dan beraktivitas terus selama dua tahun, dan masih tertarik untuk melanjutkan kegiatan dan gerakannya. Dengan adanya dukungan dari masyarakat ini, diharapkan ada komitmen yang kuat bahwa perbaikan manajemen sebagaimana yang dilakukan oleh Puskesmas Sumberasih dapat terus dilaksanakan. Perbaikan dan penyempurnaan mekanisme perbaikan manajemen Puskesmas terkait perencanaan, pengalokasian anggaran, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi akan selalu dibenahi lebih baik jikalau masyarakat maupun staf Puskesmas terlibat secara aktif. Puskesmas Sumberasih sudah menunjukkan komitmen mereka untuk melanjutkan kerjasama dengan MSF dan wakil masyarakat lain. Inisiatif manajemen layanan Puskesmas untuk peningkatan pelayanan terpadu kesehatan Ibu dan Anak dalam rangka MDGs 2015 secara angka telah mampu dan terbukti bisa menurunkan AKI dan AKB di wilayah Puskesmas Sumberasih, meningkatnya kemitraan Bidan dan Dukun, serta meningkatnya pemberian ASI sehingga secara tidak langsung juga mampu mensinergikan para pemangku kepentingan di Kabupaten Probolinggo dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan daerah. Kondisi ini menjadi contoh penting dalam memperluas program janji perbaikan layanan di seluruh kabupaten. Janji perbaikan layanan seperti dilakukan di Puskesmas Sumberasih yang didukung oleh program Kinerja dan organisasi mitra pelaksananya di 61 Puskesmas dari 20 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, termasuk di Kalimantan, Aceh, Sulawesi, dan Halaman 116 Jawa. Replikasi program janji perbaikan layanan sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah di setiap wilayah mitra Kinerja, dan di sebagian besar daerah, memang sudah direplikasikan. Lebih dari 100 Puskesmas sudah melakukan survei pengaduan dan menyusun janji perbaikan layanan, dan lebih banyak lagi Puskesmas lain yang juga menjadi tertarik kepada kegiatan tersebut. Inisiatif ini bisa direplikasikan di mana saja. Hasil pembelajaran dan evaluasi Hal penting yang dapat diambil sebagai hasil pembelajaran dari serangkaian perbaikan manajemen Puskesmas Sumberasih adalah terjalinnya kesadaran bersama dari pemangku kepentingan atas permasalahan kesehatan dan sinergi untuk mencari solusi pemecahan. Dinas teknis seperti Dinas Kesehatan telah mengalokasikan anggaran melalui kegiatan tahunan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, sementara Multi-Stakeholder Forum MSF melakukan kegiatan-kegiatan terkait dengan perbaikan manajemen Puskesmas yang sesuai dengan kompetensi MSF dalam peningkatan keterlibatan masyarakat. Beberapa hasil pembelajaran yang didapatkan dari pelaksanaan inisiatif ini adalah sebagai berikut: • Survei keluhan dan janji perbaikan layanan dapat menjadi jembatan dalam akses keterbukaan dan merupakan masukan yang sebenarnya atau input real untuk perbaikan manajemen dalam rangka peningkatkan pelayanan Puskesmas. • Teknologi dapat mempercepat pelayanan dan menjadikannnya lebih efisien dan efektif. Teknologi seperti registrasi fingerprint di loket Puskesmas sangat diapresiasi oleh masyarakat karena lebih mudah digunakan dan tidak ada persoalan jika mereka lupa membawa kartu identitas. • Adanya Manager on Duty yang bertugas untuk mengawasi kegiatan Puskesmas dan melaporkannya kepada Kepala Puskesmas adalah upaya yang cukup efektif untuk menanggapi keluhan pasien dengan cepat dan tepat. Halaman 117 • Pendekatan personal dari Kepala Puskesmas dapat sangat berpengaruh dan mendorong dukun untuk bekerjasama dan bermitra dengan bidan setempat agar para ibu hamil dan ibu bersalin lebih aman dan selamat. Lebih dari 100 Puskesmas di seluruh Indonesia, termasuk Puskesmas Sumberasih, sudah melakukan survei pengaduan dan membuat janji perbaikan layanan, dan dampak dari kegiatan ini sangat jelas. Pelayanan maupun manajemen kesehatan ibu dan anak sudah diperbaiki di semua fasilitas ini, tapi bukan hanya ini yang merupakan hasil dari janji perbaikan layanan. Secara umum, sekarang Puskesmas yang mempunyai janji perbaikan layanan sudah lebih bersih dan rapi, pelayanannya lebih jelas dan mengikuti standar, staf lebih ramah dan sopan, dan promosi IMD dan ASI lebih sering dilakukan. Semua ini menyebabkan masyarakat pengguna layanan lebih senang, lebih puas, dan lebih sehat. Direkomendasikan kepada Dinas Kesehatan untuk mewajibkan semua Puskesmas melakukan survei pengaduan dan membuat janji perbaikan layanan serta rekomendasi teknis. Informasi kontak Muntajid Billah Governance Advisor, USAID Kinerja email: mbillahkinerja.or.id Dr Hariawan Dwi Tamtama Kepala Puskesmas Sumberasih telp: 0335 427268 Halaman 118 Program kesehatan USAID Kinerja bekerjasama dengan pemerintah daerah dan puskesmas meningkatkan pelayanan kesehatan di tiga sektor: Persalinan Aman, ASI Eksklusif dan Inisasi Menyusui Dini, serta Manajemen Puskesmas. Mencegah Pernikahan Anak Melalui Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Remaja: Hasil Pembelajaran dari Kabupaten Bondowoso Mencegah Pernikahan Anak Melalui Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Remaja: Hasil Pembelajaran dari Kabupaten Bondowoso Situasi sebelum program dilakukan Ketidaksetaraan gender telah lama menjadi salah satu penghalang utama pembangunan manusia di Indonesia. Berdasarkan survei UNDP tahun 2012, indeks ketidaksetaraan gender Indonesia berada di peringkat 102 dari 148 negara. Hanya 36,2 persen perempuan di Indonesia menyelesaikan pendidikan menengah mereka. Selain itu, kematian ibu dan kehamilan remaja jauh lebih sering terjadi di Indonesia dari pada di negara-negara lain di Asia Timur dan Pasifik. Diperkirakan 42,3 persen dari setiap 1.000 kelahiran di Indonesia adalah oleh perempuan remaja.Tingginya angka kehamilan remaja ini berkontribusi terhadap meningkatnya risiko kematian ibu. WHO mencatat kematian ibu menjadi 8 persen di Indonesia pada tahun 2013, sementara negara tetangga Indonesia yaitu Malaysia tercatat hanya 2 persen dan Singapura 0,5 persen. Pemerintah Indonesia sejak lama telah memberikan perhatian khusus tentang kematian ibu dan kehamilan remaja ini. Pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan meluncurkan rencana aksi nasional untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu yang berfokus kepada peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, termasuk remaja. Fokus ini dipilih karena tingkat kehamilan remaja masih terlalu tinggi akibat praktik pernikahan anak yang masih dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Menurut studi SMERU Prevalensi Pernikahan Anak dan Faktor-faktor Penentunya diantara Wanita Muda di Indonesia 2013, faktor ekonomi merupakan pendorong utama pernikahan anak, diikuti oleh faktor sosial dan budaya. Bondowoso, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, adalah salah satu daerah dimana pernikahan anak masih sering dilakukan. Kabupaten ini memiliki persentase pernikahan anak tertinggi se-provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2011, persentase Halaman 119 pernikahan anak di Bondowoso mencapai 50,9 persen. Praktik ini sering dilakukan oleh keluarga miskin karena dianggap sebagai cara paling praktis untuk mengurangi beban keluarga. Pernikahan anak juga didukung oleh nilai-nilai budaya tradisional. Dalam budaya Madura dan Jawa, apalagi di daerah pedesaan, orang tua akan khawatir dan merasa malu jika anak perempuan mereka belum menikah saat berusia 15 tahun. Selain itu nilai keagamaan juga berperan dalam praktik ini. Sebagian besar masyarakat menganggap pernikahan merupakan cara terbaik untuk menghindari seks pra-nikah yang dianggap sebagai dosa. Praktik ini diterapkan untuk semua kalangan termasuk anak-anak. Hal ini diperburuk dengan rendahnya kualitas informasi kesehatan seksual dan reproduksi bagi remaja di Bondowoso. Tidak hanya berdampak pada kesehatan, pernikahan anak di Bondowoso juga berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum. Siklus kemiskinan di daerah ini susah diputus. Banyak anak perempuan yang harus putus sekolah karena menikah sehingga mereka tidak dapat mencari pekerjaan yang layak sehingga kurang dapat memberikan pendidikan dan kehidupan yang layak kepada anak-anak mereka. Dalam jangka panjang, pernikahan anak berkontribusi terhadap rendahnya indeks pembangunan manusia IPM Bondowoso. IPM daerah ini berada di peringkat kedua terendah dari 38 kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Halaman 120 Bentuk inovasi Untuk mengatasi tingginya angka kematian ibu dan bayi serta pernikahan anak, pemerintah Kabupaten Bondowoso melakukan program pendidikan kesehatan reproduksi sebagai bagian dari upaya kesehatan ibu dan anak. Sasaran program tersebut adalah siswa, orang tua, dan masyarakat umum. Tujuannya terutama untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi remaja, mencegah pernikahan anak, dan mengurangi jumlah kematian ibu dan bayi. Pada tahun 2012, pemerintah Bondowoso bekerjasama dengan PKBI Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia melakukan studi awal baseline survey tentang tingginya kematian ibu dan bayi di kabupaten ini. Gambar 1. Siswa membuat poster kampanye pencegahan pernikahan anak. Keterlibatan semua pihak, termasuk remaja merupakan kunci keberhasilan program ini. Halaman 121 Setelah studi dilakukan, sebuah kelompok masyarakat dibentuk oleh beberapa anggota masyarakat yang peduli terhadap isu kesehatan ibu dan anak KIA. Kelompok yang dikenal sebagai MSF multi-stakeholder forum ini melakukan advokasi kepada pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan ibu dan anak serta reproduksi remaja. Berdasarkan advokasi MSF, Bupati Bondowoso menyusun Peraturan Bupati baru tentang persalinan aman, inisiasi menyusu dini IMD dan ASI eksklusif, serta isu pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Bupati juga mengeluarkan surat keputusan yang mengidentifikasi tokoh masyarakat perempuan maupun laki-laki, termasuk istri Bupati sendiri, untuk berperan sebagai ‘duta kespro’ kesehatan reproduksi. Istri Bupati juga menyandang peran penting bagi program ini dan diberi gelar ‘Bunda Kespro’. Bunda Kespro ini sangat aktif dalam mempromosikan pendidikan kespro remaja, dan telah berperan penting dalam kegiatan peningkatan pemahaman masyarakat tentang kesehatan reproduksi remaja dan risiko pernikahan anak. Tokoh agama – baik laki-laki dan perempuan – mempunyai peran penting untuk mengurangi pernikahan anak di Bondowoso. Masyarakat Bondowoso sangat menghormati para tokoh tersebut; masyarakat sering berkonsultasi dan berguru kepada mereka. Oleh karena iu, Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso mulai bekerja dengan tokoh agama dan memberikan mereka pelatihan dalam isu-isu kesehatan ibu dan anak, agar pengetahuan mereka akurat dan dapat dipercaya. Para tokoh agama kemudian sudah mampu memberikan informasi penting mengenai risiko fisik dan mental pernikahan dini untuk remaja perempuan, dan menjadi pendukung kuat terhadap upaya pemerintah. Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso bekerja sama dengan Yayasan Kesehatan Perempuan YKP, sebuah LSM nasional, untuk melaksanakan kegiatan peningkatan kesadaran dan pelatihan kesehatan reproduksi remaja di sekolah-sekolah. Setelahnya, beberapa kelompok masyarakat peduli kesehatan reproduksi terbentuk. Salah satunya adalah Persatuan Guru Peduli Kespro yang didirikan oleh para guru yang prihatin Halaman 122 dengan tingginya jumlah siswa perempuan yang putus sekolah setelah menikah dan atau hamil. Para guru mulai memasukkan informasi kesehatan reproduksi remaja dalam masa orientasi siswa MOS SMP dan SMA baru, dan pelajaran biologi. Saat ini, materi kesehatan reproduski remaja sekarang sudah diberikan di semua SMP dan SMA di seluruh Bondowoso. Para guru juga bekerjasama dengan tokoh masyarakat dan anggota PKK untuk berbagi pengetahuan kesehatan reproduksi dengan remaja dan orangtuanya agar semua lebih sadar tentang risiko pernikahan usia anak. Selain itu, para remaja juga berinisiatif membentuk Komunitas Langit Biru dan pendidik sebaya. Mereka bekerjasama dengan LSM Kampung Halaman untuk meningkatkan kesadaran para remaja tentang kesehatan reproduksi melalui media. Kegiatan ini sangat didukung oleh dinas kesehatan karena remaja lebih cenderung untuk mendengarkan rekan-rekan mereka. Ini adalah pertama kalinya remaja dilibatkan oleh program pemerintah di Bondowoso. Kelompok ini melakukan kegiatan penyadaran publik dan mengadakan pertemuan tiap dua minggu. Sementara itu, program pendidik sebaya muda diawali di empat kecamatan, dan sekarang berjalan di 25 daerah. Jumlah remaja yang sudah menjadi pendidik sebaya telah meningkat dari 24 sampai 279 orang. Semua kegiatan ini merupakan bagian penting dalam pendekatan multi-pihak di Kabupaten Bondowoso untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja dengan tujuan mengurangi dan menghilangkan pernikahan usia anak di kabupaten tersebut. Jumlah pernikahan anak di Kabupaten Bondowoso telah menurun secara signifikan. Pada tahun 2011, pernikahan usia anak menyumbang 50,92 persen dari jumlah pernikahan pada tingkat kabupaten. Pada tahun 2012 angka ini menurun menjadi 50,53 persen, dan pada akhir tahun 2013, pernikahan usia menjadi 43,46 persen dari semua pernikahan di Bondowoso. Halaman 123 Gambar 2. Pemenang festival kesehatan reproduksi berfoto bersama. Proses pelaksanaan program Pendidikan kesehatan reproduksi remaja dilakukan karena angka pernikahan anak di Bondowoso tinggi; pernikahan usia ini menyumbang 50,92 persen total pernilkahan di kabupaten ini. Penelitian yang dilakukan oleh PKBI juga mengungkapkan bahwa hanya 52 persen ibu dengan anak-anak di bawah usia dua belas hanya lulusan sekolah dasar. Berdasarkan hasil penelitian PKBI ini dan advokasi dari MSF, Bupati Bondowoso menandatangani Peraturan Bupati no.41 tahun 2012 tentang Persalinan Aman, Inisiasi Menyusu Dini dan ASI Eksklusif. Peraturan ini bertujuan untuk memastikan ibu bersalin dengan aman. Peraturan ini juga mencakup kesehatan reproduksi untuk remaja. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Bondowoso menunjuk istri bupati sebagai bunda kespro dan istri kepala desa kelurahan dan camat menjadi duta kespro. Salah satu tugas mereka adalah mendukung pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja di wilayah mereka. Untuk mendukung program ini, pemerintah kabupaten Bondowoso mengeluarkan Surat Keputusan 188.45450.A430.6.22012 dan No.188.451698430.6.22013. Untuk memperluas jangkauan program, Bupati Bondowoso dan dinas kesehatan memutuskan untuk melibatkan seluruh lapisan masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, guru, petugas kesehatan, staf LSM, kelompok perempuan, dan pemuda. Mereka menjadi pelaksana program kesehatan reproduksi yang utama karena mereka berinteraksi langsung dengan masyarakat setiap hari. Setiap pihak yang terlibat dalam program ini melakukan kegiatan yang sesuai dengan peran masing-masing. Misal, dinas kesehatan dan LSM mitra melakukan pelatihan kesehatan reproduksi remaja untuk siswa, guru, tenaga kesehatan, dan tokoh agama. Selain itum lomba ‘kuliah tujuh menit’ dengan topik kesehatan reproduksi diadakan dan dihadiri oleh 50 tokoh agama. Keterlibatan para ulama tidak hanya berhenti pada lomba Halaman 124 khotbah, mereka juga aktif menyampaikan pesan tentang kesehatan reproduksi kepada masyarakat melalui ceramah mereka. Para guru juga diajari tentang cara memasukkan materi kesehatan reproduksi remaja sebagai bagian dari mata pelajaran mereka. Salah satu hal yang unik dari program ini adalah bahwa pendidikan kesehatan reproduksi remaja dimasukkan dalam masa orientasi siswa MOS bagi siswa baru di tingkat SMP dan SMA. Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso bekerja sama dengan LSM lokal untuk melakukan kegiatan pendidikan ad-hoc, sementara anggota dari Persatuan Guru Peduli Kespro sering mengunjungi tiap kecamatan untuk mempromosikan isu-isu kespro remaja kepada pejabat lokal dan orang tua. Kegiatan sosialisasi bahaya pernikahan anak kepada remaja dilakukan melalui beberapa kegiatan pelatihan dan kompetisi. Salah satunya adalah festival kesehatan reproduksi. Melalui festival yang mengusung tema “Kesehatanku, Masa Depanku” ini, para remaja belajar menulis artikel, membuat video pendek dan membuat poster kesehatan reproduksi. Festival ini dilakukan di kantor Bupati dan dihadiri oleh sekitar 400 orang, termasuk siswa-siswi SMP dan SMA dari 27 sekolah di seluruh Bondosowo, tokoh masyarakat, anggota kelompok perempuan, kepala desa, dan media. Respon remaja terhadap pelatihan ini sangat positif. Untuk setiap sesi latihan, hanya 50 kursi tersedia, namun lebih dari 300 siswa-siswi mendaftar. Setelah mengikuti pelatihan ini, para remaja mampu membuat film pendek tentang kesehatan reproduksi dan diunggah di media sosial. Salah satunya adalah film pendek ‘Tak Mau Seperti Ibu’ yang diunggah di Youtube. Video ini bercerita tentang pengalaman seorang ibu yang menikah ketika berusia 12 tahun. Pembuat film ini mendorong para perempuan tetap bersekolah dan menunda pernikahan mereka. Duta kesehatan reproduksi melibatkan para remaja untuk menjangkau para pemuda. Para duta ini berperan sebagai pendidik sebaya dan membentuk kelompok monitoring dan evaluasi. Tujuan kelompok ini adalah untuk mengetahui apakah ada keluarga setempat yang mungkin berniat untuk menikahkan anak perempuan mereka; jika Halaman 125 ditemukan, keluarga tersebut diberikan informasi tentang risikonya pernikahan dini dan manfaatnya kalau pernikahan ditunda, dan didorong untuk memberpolehkan anak perempuannya lanjutkan pendidikannya. Sosialisasi tidak hanya dilakukan secara off-air, tetapi juga dilakukan melalui siaran radio lokal. Stasiun ini secara rutin menyediakan waktu untuk topik kesehatan reproduksi remaja dan pencegahan pernikahan anak yang disiarkan mengikuti waktu senggang remaja, yaitu hari Sabtu. Banyak pendengar juga mengajukan pertanyaan tentang masalah-masalah kespro yang dihadapi oleh remaja. Anggaran yang diperlukan Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja perlu anggaran untuk membiayai berbagai kegiatan penyadaran publik. Program ini mendapatkan dukungan anggaran dari berbagai sumber: • Alokasi anggaran dari PKBI, sebesar Rp 249,030,500, termasuk Rp 246,818,000 d Rp 2,212,500 dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso, tahun 2011. • Tahun 2012, program ini mendapatkan dukungan sebesar Rp 244,619,000 dari PKBI, Rp 3,800,000 dari Dinas Kesehatan Kab. Bondowoso, dan Rp 5,000,000 dari Dinas Pendidikan Kab. Bondowoso. • Tahun 2013, Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso menganggarkan Rp 5,500,000. • Tahun 2014, program ini mendapat dukungan anggaran sebesar Rp 171,050,000 dari PKBI, dan Rp 26,857,500 dari Dinas Kesehatan Kab. Bondowoso. Selain itu, USAID-KINERJA mendukung Yayasan Kesehatan Perempuan YKP untuk bekerjasama dengan pemerintah dan Bupati Bondowoso untuk melaksanakan program kesehatan reproduksi dan memberikan dukungan dana sebesar Rp 553,271,000. YKP juga berkontribusi Rp 23,050,000 [US 2,000] dari dana swadaya mereka. Halaman 126 Selain dana di atas, dua media lokal juga memberikan bantuana. Radio Pasopati menyiarkan talkshow kespro remaja selama satu jam sampai enam kali senilai Rp 2,100,000, dan Radar Jember, sebuah Koran lokal, menerbitkan berita tentang kespro bernilai Rp 15,600,000. Hasil dan dampak program Ada beberapa hasil penting yang dihasilkan dari program kesehatan reproduksi remaja di Kabupaten Bondowoso: a. Peraturan Bupati tentang persalinan aman, inisasi menyusui dini dan ASI eksklusif yang mencakup kesehatan reproduksi remaja merupakan salah satu Gambar 3. Pelatihan dan peningkatan kesadaran tentang isu kesehatan reproduksi remaja sangat diperlukan untuk menurunkan angka pernikahan usia anak di Kabupaten Bondowoso Halaman 127 hasil yangt sangat penting. Selain itu Surat Keputusan 188.45450.A430.6.22012 dan Surat Keputusan 188.451698430.6.22013 yang mendukung penunjukkan istri bupati dan para pejabat di kecamatan dan desa kelurahan juga merupakan hasil yang penting. Surat keputusan ini mengukuhkan posisi tokoh perempuan ini sebagai model untuk mengkampanyekan kesehatan reproduksi remaja. Hingga saat ini, 219 istri camat dan 23 istri kepala desa, menjadi duta kespro. b. Pendidik sebaya kespro remaja juga merupakan salah satu hasil yang penting. Pelatihan dan peningkatan kesadaran tentang isu kesehatan reproduksi remaja sangat diperlukan untuk menurunkan angka pernikahan usia anak di Kabupaten Bondowoso. Kegiatan pendidikan sebaya ini melibatkan semua golongan umur, bukan hanya dari para remaja dan siswa, orang tua, guru, dan tokoh masyarakat. c. Keterlibatan remaja dalam program ini menghasilkan adanya posisi duta kespro yang cukup dihormati. Para duta kespro di Kab. Bondowoso sekarang mampu membahas isu dan dan meningkatkan pemahaman masyarakat terkait kespro, dan sudah berperan penting dan bekerja bersama dengan pihak lain sebagai pengawas pencegahan pernikahan anak d. Kespro remaja sekarang sudah menjadi salah satu bagian dari materi masa orientasi siswa MOS untuk semua siswa-siswi SMP dan SMA baru di seluruh Kab. Bondowoso. Materi pendidikan kespro remaja juga sudah dimasukkan dalam beberapa subyek sekolah. e. Guru yang mengkhawatirkan terjadinya pernikahan anak antara siswa-siswi mereka sudah membentuk sebuah kelompok bernama Persatuan Guru Peduli Kespro. Kelompok ini sudah berinisiatif untuk membawa pesan penting tentang bahayanya pernikahan dini kepada desa dan kecamatan melalui roadshow kespro remaja. Sebuah kelompok lain, Komunitas Langit Biru, juga didirikan oleh remaja untuk mempromosikan kespro remaja. Komunitas Langit Biru ini sudah sering terlibat dalam penulisan artikel Koran, pembuatan video inovatif, dan penyiaran talkshow radio untuk berkampanye. Halaman 128 Hasil program terkait perempuan, pernikahan anak, dan kesehatan, adalah sebagai berikut: a. Jumlah pernikahan anak di Kabupaten Bondowoso berkurang secara signifikan. Pada tahun 2011, pernikahan anak menyumbang 50,92 dari total pernikahan di Bondowoso. Pada tahun 2012, angka ini sudah mulai turun menjadi 50,53. Pada tahun 2013, angka tersebut berkurang menjadi 43,46 dari total pernikahan di kabupaten itu. Berarti dalam kurun waktu hanya dua tahun, angka pernikahan dini sudah menurun sekitar 14 sebagai persentase total pernikahan. b. Walaupun masih banyak remaja putus sekolah karena keterbatasan ekonomi, sekarang lebih banyak perempuan di Bondowoso tidak menikah ketika berusia dini dan mereka memiliki kesempatan untuk tetap bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Berbekal pendidikan yang lebih baik, para perempuan tersebut mampu mengembangkan potensinya dan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Selain itu, para perempuan mendapat dukungan berbagai pihak untuk dapat mengambil keputusan tentang masa depan mereka dan menunda pernikahan mereka setelah lulus sekolah. c. Dengan lebih banyak pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan reproduksi mereka, perempuan lebih mampu mengurus isu kesehatan dirinya. Hal ini menyebabkan status mereka dalam keluarga menjadi lebih tinggi. Melalui pendidikan kesehatan reproduksi remaja Bondowoso, remaja perempuan mendapatkan informasi yang mereka perlukan selama kehidupan mereka. d. Risiko kematian ibu dan bayi sudah turun karena remaja perempuan didorong untuk menunda pernikahan sampai tubuh mereka cukup berkembang dan fisiknya cukup bertumbuh. Pesan ini juga berpengaruh kepada para ibu, yang sekarang memikirkan lebih dalam tentang kehamilan dan persalinan dibandingkan dulu. e. Tingkat kesejahteraan sosial dan indeks pembangunan manusia IPMHDI telah meningkat di Bondowoso, seiring dengan partisipasi perempuan yang lebih tinggi dalam pendidikan. Angka kematian ibu dan bayi telah turun karena pengembangan ekonomi dan karena keluarga baru dibesarkan pada saat yang Halaman 129 sesuai dan optimal bagi ibu. IPM di Bondowoso sudah meningkat dari 63,81 pada 2011, dan menjadi 64,98 pada tahun 2012, kemudian menjadi 65,42 pada tahun 2013. f. Kepercayaan tradisional yang menganggap kesehatan reproduksi adalah tabu sudah mulai dikikis. Selain itu, stigma terkait perempuan yang belum menikah ketika berusia 15 tahun sudah mulai dihilangkan. Ini merupakan hasil yang sangat luar biasa karena para ulama dan para tokoh masyarakat terlibat luas dalam kampanye anti-pernikahan anak. Monitoring dan evaluasi Metode utama monitoring dan evaluasi di Kabupaten Bondowoso adalah menganalisis statistik pernikahan selama periode program untuk melihat perkembangan tren jumlah pernikahan dini di kabupaten. Dinas kesehatan Kabupaten Bondowoso melakukan evaluasi tahunan keberhasilan program kesehatan reproduksi remaja. Dinas kesehatan mengumpulkan data tahunan, dan membandingkan data ini dengan data survei awal yang disiapkan oleh PKBI pada tahun 2011. Melalui proses ini. Dinas kesehatan bisa menganalisi tren pernikahan anak. Dinas kesehatan kemudian menjadikan informasi tersebut sebagai dasar perencanaan dan penganggaran program pembangunan. Hasil evaluasi dinas kesehatan Kabupaten Bondowoso sangat konklusif. Hasilnya menunjukkan bahwa persentase pernikahan anak di kabupaten tersebut telah turun sekitar 14 selama periode hanya dua tahun. Monitoring dan evaluasi juga dilakukan oleh masing-masing pihak secara sendiri- sendiri, baik oleh pemerintah maupun LSM. Misalnya, data kesehatan terkait jumlah pernikahan dan angka kematian ibu dan bayi dikumpulkan oleh bidan desa dan bidan koordinator di puskesmas dan disampaikan kepada dinas kesehatan, sedangkan data “Kita perlu menjadikan itu pernikahan dini isu agar pemerintah memperhatikan pernikahan dini.” - Diah Ayu Anggraini Pelajar Jurnalis Warga Halaman 130 anak putus sekolah dikumpulkan oleh sekolah dan disampaikan kepada dinas pendidikan. Hasil tersebut kemudian dianalisis secara bersama-sama dengan beberapa pihak saat pertemuan koordinasi. Kegiatan monitoring kesehata reproduksi remaja juga dilakukan kelompok remaja, guru, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Kegiatan ini memang kurang resmi tapi tetap berdampak kepada penurunan angka pernikahan dini di Bondowoso. Satu lagi pendekatan unik digunakan di Bondowoso. Kelompok masyarakat memantau berita lokal, kabar angin, dan gosip agar bisa mengetahui apakah ada keluarga yang berencana menikahkan anak perempuannya. Anggota kelompok menyampaikan informasi tersebut kepada duta kespro, dan duta kesehatan reproduksi turun ke desa untuk membahas persoalannya dengan orang tua terkait. Mereka mendorong orang tua untuk menunda pernikahan anaknya agar dia bisa bersekolah dan belajar. Tantangan yang dihadapi Program ini bekerja untuk mengubah pemikiran dan kepercayaan masyarakat Bondowoso tentang pernikahan usia anak dan kesehatan reproduksi remaja. Tantangan terbesar adalah budaya tradisional setempat, khususnya yang berkaitan dengan stigma bahwa perempuan yang belum menikah ketika berusia 15 tahun akan sulit mendapat jodoh. Pernikahan usia anak dianggap oleh masyarakat Bondowoso sebagai solusi paling tepat untuk menghindari seks pra-nikah antara remaja. Namun, karena membahas isu- isu seperti kesehatan reproduksi remaja dianggap tabu, orang tua jarang memberikan cukup informasi kepada anaknya. Orang tua lebih suka kalau dapat menikahkan anak perempuan sebelum dia tertarik berhubungan dengan laki-laki. Pernikahan anak juga dianggap sebagai jalan keluar kemiskinan karena dengan demikian jumlah anggota keluarga yang bergantung kepada orang tua akan menurun. Halaman 131 Perubahan perilaku dan nilai budaya selalu membutuhkan waktu yang panjang dan upaya yang kuat oleh semua pihak. Apa lagi di daerah seperti Kabupaten Bondowoso, di mana tingkat pendidikan masih rendah rata-rata hanya 5.94 tahun bersekolah dan tingkat pengembangan ekonomi belum begitu tinggi. Tantangan ini diatasi melalui keterlibatan aktif semua pihak masyarakat baik Pemerintah dan LSM dalam upaya mempromosikan kespro remaja dan bertujuan menghilangkan pernikahan anak. Upaya-upaya ini dilakukan melalui kegiatan pendidikan dan kampanye bersasaran remaja, orang tua, dan masyarakat umum. Tokoh agama dan masyarakat, termasuk istri Bupati, istri kepala desa, dan istri kepala camat, bekerja bersama tenaga kesehatan dan guru untuk memberikan pendidikan kespro remaja di tingkat sekolah. Kegiatan ini merupakan sesi dalam masa orientasi siswa MOS dan pemberian pendidikan kespro dalam subyek sekolah, serta roadshow, khotbah, pelatihan training of trainers, dan peningkatan kesadaran orang tua. Yang tidak bisa diabaikan adalah peran remaja dalam mengatasi tantangan budaya. Para remaja Kab. Bondowoso berperan sebagai pendidik sebaya untuk meningkatkan kepahaman remaja lain tentang kesehatan reproduksi, melalui , media sosial, talkshow radio, video YouTube, dan percakapan dalam pergaulan sehari-hari. Keberlanjutan dan peluang replikasi Inisiatif ini akan berkelanjutan melalui peraturan dan surat keputusan tingkat Kabupaten. Peraturan Bupati no.41 tahun 2012 tentang Persalinan Aman, Inisiasi Menyusu Dini, dan ASI Eksklusif sudah diterapkan untuk menjadikan persalinan lebih aman untuk semua ibu, termasuk remaja. Surat Keputusan 188.45450.A430.6.22012 dan No.188.451698430.6.22013, tentang Bunda Kespro, juga sudah berperan sebagai dasar hukum untuk advokasi, promosi dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja di Kab. Bondowoso. Halaman 132 Sebagai Bunda Kespro, isteri Bupati akan melanjutkan kegiatan promosi kespro dan penurunan pernikahan dini. Peran remaja sebagai duta kespro juga akan berlanjut, serta kontribusi relawan dari kelompok perempuan, guru, tokoh agama, dan tokoh masyarakat lain. Program training of trainers yang sudah dilakukan menghasilkan ratusan guru dan tenaga kesehatan yang mampu melakukan promosi penundaan pernikahan dan peningkatan kesadaran kesehatan reproduksi. Hasil seperti ini akan membantu program menyebar secara mandiri pada tahun-tahun mendatang. Pendidikan kespro remaja sudah dimasukkan dalam masa orientasi siswa MOS untuk semua siswa-siswi yang baru masuk SMP dan SMA di seluruh Bondowoso. Program MOS serta pemberian informasi kespro dalam subyek sekolah ini akan tetap dilanjutkan. Program pendidikan sebaya berfokus kepada remaja akan berlanjut, dan akan melibatkan remaja yang pernah berhasil menunda pernikahan sampai mereka sudah menjadi dewasa. Program ini juga mempromosikan dampak negatif pernikahan dini, seperti menyebabkan anak perempuan putus sekolah, tingginya perceraian maupun menyebabkan terjadinya kematian ibu dan bayi. Jurnalis warga sudah mulai menggunakan pengetahuan baru mereka untuk menulis dan membuat video tentang pernikahan usia dini dan kespro remaja. Penerbitan dan penyiaran media mereka akan memastikan liputan media tetap mendorong pemerintah Kab. Bondowoso untuk menghilangkan pernikahan dini. Peningkatan kesadaran melalui seni dan media sosial juga dilakukan tanpa berhenti. Dari perspektif budaya, tabu terkait kesehatan reproduksi dalam masyarakat konservatif sudah mulai dipecahkan dan dihilangkan. Tokoh agama pun sudah terlibat dan berperan aktif dalam promosi dan pembahasan kespro remaja dalam pengajaran dan khotbah mereka. Halaman 133 Inisiatif ini bisa direplikasi di seluruh Indonesia, asalkan ada komitment dan kepemimpinan kuat dari kepala daerah, pemerintah daerah, dinas setempat, dan tokoh masyarakat. Pemerintah Kab. Bondowoso sangat bangga tentang keberhasilan program mereka, dan Bupati sudah sering diajak menghadiri dan berbagi pengalaman di cukup banyak acara. Daerah lain, seperti Kab. Sambas di Kalimantan Barat dan Kab. Bulukumba di Sulawesi Selatan, sudah berminat untuk mereplikasikan program kespro remaja Bondowoso. Harus diakui bahwa program ini tidak merupakan seri regulasi dari atas yaitu dari pemerintah tapi adalah inisiatif akar rumput yang melibatkan semua bagian dari komunitas, seperti LSM, relawan, guru-guru, petugas kesehatan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan remaja. Hal ini dipercaya akan membuat program lebih berkelanjutan. Hasil pembelajaran dan rekomendasi Keberhasilan program ini tidak hanya milik satu lembaga melainkan hasil kerjasama berbagai pihak: pemerintah Kabupaten Bondowoso, Bupati Bondowoso dan istri beliau, LSM, tenaga kesehatan, guru, media, dan masyarakat setempat. Salah satu pembelajaran kunci adalah walaupun langkah-langkah awal mungkin sulit namun jikalau bekerjasama dengan banyak pihak, program multi-pihak ini akan membawa manfaat lebih besar, luas, berjangka panjang dan berkelanjutan. Kemitraan antara tokoh agama, tokoh masyarakat, dan media dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran tentang kespro remaja dan pernikahan dini, dan untuk membentuk forum untuk remaja agar mereka bisa membahas isu-isu kespro di antara mereka sendiri. Pembelajaran yang paling penting dari program ini adalah pengaruh dan dampak keterlibatan remaja dalam perubahan mindset dan sikap masyarakat terkait pernikahan usia anak dan kesehatan reproduksi. Para remaja harus dilibatkan secara aktif dalam Halaman 134 program pemerintah bersasaran remaja, dan diberikan pelatihan, dukungan, dampingan dan dorongan untuk mengambil peran utama dalam pendidikan sebaya. Pemerintah Kabupaten Bondowoso dan LSM mitranya juga melibatkan remaja sebagai duta kespro, dan mendorong remaja untuk aktif dan bersuara lantang dan bergerak dalam penghapusan pernikahan anak dan peningkatan pengetahuan kespro. Dari inisiatif Bondowoso ini, terbukti bahwa perilaku dan kepercayaan budaya terkait isu kontroversial seperti kespro remaja dapat diubah. Namun, perubahan mindset ini membutuhkan waktu panjang dan komitmen yang kuat, dan tidak bisa semata di dari atas yaitu oleh pemerintah. Seperti terlihat di Bondowoso, masyarakat setempat harus terlibat secara aktif dan ikhlas dalam program terkait masa depan mereka. Pernikahan anak juga bisa ditemukan di kalangan sekolah swasta dan pesantren. Sebuah program atau kemitraan antara pemerintah dan sekolah-sekolah ini perlu diadakan agar siswa-siswi sekolah swasta dan pesantren pun dapat menerima informasi kesehatan reproduksi yang benar dan lengkap. Selain itu, perlu juga kemitraan antara Dinas Kesehatan dan Kantor Urusan Agama agar informasi kesehatan reproduksi bisa dimasukkan dalam kursus calon pengantin untuk pasangan muda. Kursus calon pengantin ini sudah wajib diikuti, tapi belum memberikan pemahaman kesehatan reproduksi yang sangat penting untuk perempuan yang belum selesai berkembang dan bertumbuh. Pasangan muda yang ingin menikah perlu didorong oleh KUA untuk menunda pernikahan mereka, atau paling minim untuk menunda kehamilan sampai baik isteri maupun suami sudah siap secara fisik dan psikologis. Direkomendasikan bahwa inisiatif Bondowoso untuk menghilangkan pernikahan usia dini direplikasi di seluruh Indonesia. Pernikahan dini masih terjadi di seluruh negara ini, apalagi di wilayah pedesaan yang tingkat pendidikan kurang memadai. Jikalau pelaksanaan program seperti yang dilakukan di Kab. Bondowoso diperluas ke Halaman 135 lebih banyak daerah, pernikahan anak bisa diturunkan atau bahkan dihilangkan segera. Informasi kontak Dr. Titik Erna Erawati Kepala bidang kesehatan keluarga, Dinas Kesehatan Kabupaten Bondowoso email: titikernaerawatiyahoo.com Halaman 136 Program kesehatan USAID Kinerja bekerjasama dengan pemerintah daerah dan puskesmas meningkatkan pelayanan kesehatan di tiga sektor: Persalinan Aman, ASI Eksklusif dan Inisasi Menyusui Dini, serta Manajemen Puskesmas. Magang Bidan Desa di Rumah Sakit Umum Daerah Luwu Magang Bidan Desa di Rumah Sakit Umum Daerah Luwu Situasi sebelum program dilakukan Kabupaten Luwu terletak di bagian timur laut Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayahnya cukup luas dan meliputi pegunungan dan pesisir. Kabupaten ini merupakan daerah dengan jumlah kematian ibu tertinggi kedua dan kematian bayi tertinggi keempat di Sulawesi Selatan. Kondisi geografis ini merupakan salah satu faktor penyumbang tingginya angka kematian ibu dan bayi. Akses kesehatan yang terbatas untuk melayani penduduk yang tersebar di daerah yang luas menjadi salah satu faktor yang membuat banyak ibu tidak tertolong ketika melahirkan. Selain itu, faktor budaya seperti kebiasaan melahirkan di rumah dan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada para bidan menjadi salah satu penyebab kematian ibu dan bayi. Sekitar 10 persen ibu hamil di kabupaten ini memilih bersalin dengan pertolongan dukun. Persentase ini lebih tinggi di kecamatan yang berada di wilayah pegunungan, yaitu 20 hingga 30 persen. Pada tahun 2012, 15 ibu dan 49 bayi meninggal di daerah ini. Sebagian besar ibu tersebut meninggal karena pendarahan dan tekanan darah tinggi. Kejadian tersebut umumnya dipengaruhi oleh latar kehidupan sosial budaya masyarakat yang masih mempercayai dan meyakini mitos-mitos seputar kehamilan dan persalinan, sehingga masyarakat lebih memilih dukun untuk mendapat perawatan kehamilan dan praktik persalinan. Di Luwu, dukun memiliki peran sosial yang penting. Mereka dianggap sebagai ‘sanro’ yang akan menentukan kebahagiaan dan kesejahteraan anak sejak dikandung, pada saat dilahirkan, sampai saat anak-anak tersebut tumbuh kembang dan membangun sebuah keluarga. Kepercayaan ini bermakna bahwa dukun beranak sanro akan selalu hadir dan memberikan perhatian kepada anak yang dilahirkan hingga anak berumahtangga. Dalam konteks ini, jika anak sakit, maka sanro harus melakukan perannya untuk mengobati dan merawat si anak hingga sembuh. Selain faktor geografis dan budaya, fasilitas kesehatan juga kurang dapat memberikan pelayanan yang memadai. Di kabupaten Luwu, terdapat 21 Puskesmas; tujuh diantaranya merupakan Puskesmas Rawat Inap, dan enam merupakan Puskesmas Halaman 137 PONED Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar. Tidak ada Rumah Sakit PONEK Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif di Luwu. Masih rendahnya tenaga kesehatan yang bekerja sesuai standar kelayakan profesi baik pelayanan ANC maupun persalinan. Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah Kabupaten luwu merekrut tenaga bidan desa sebagai upaya strategis untuk mengurangi kematian ibu dan anak. Namun, peran ini belum dapat diperankan secara optimal karena bidan mengalami kendala dalam masa pendidikannya untuk mendapatkan kompetensi yang memadai, terutama yang terkait dengan pelayanan persalinan. Kurangnya kompetensi bidan desa dalam memeriksa kehamilan dan menolong persalinan ibu dapat dilihat dari beberapa tindakan, seperti pemasangan infus yang tidak benar, ketidakmampuan menggunakan inkubator bayi, menolong persalinan yang tidak sesuai dengan prosedur teknis kebidanan, dan kurangnya keahlian komunikasi. Salah satu penyebab kompetensi bidan yang rendah adalah kurangnya kesempatan bagi calon bidan untuk terlibat membantu persalinan saat magang dan lemahnya pengawasan kualitas pendidikan kebidanan. Kapasitas bidan yang rendah ini membuat masyarakat semakin tidak percaya kepada bidan desa dan ibu hamil tidak termotivasi untuk memeriksakan keahmilannya di fasilitas kesehatan. Bentuk inovasi Kabupaten Luwu merupakan salah satu dampingan USAID Kinerja di Sulawesi Selatan. Selama bekerjasama dengan program ini, Kabupaten Luwu telah membuat beberapa inovasi perbaikan pelayanan persalinan aman. Salah satunya adalah program magang Bidan Desa di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Batara Guru di Belopa, ibu kota Kabupaten Luwu dengan pembiayaan dari APBD 2013. Program magang ini bertujuan meningkatkan kompetensi bidan desa. Meskipun program peningkatan kompetensi bidan telah lama dilakukan melalui pelatihan asuhan persalinan aman APN, kegiatan ini belum dapat meningkatkan kapasitas bidan karena metode yang digunakan lebih banyak teoritis. Padahal, para bidan telah mendapatkan banyak teori selama pendidikan. Banyak bidan tidak memiliki Halaman 138 pengalaman membantu persalinan karena mereka tidak mendapat kasus persalinan saat magang. Selain itu, kontrol kualitas institusi pendidikan kebidanan juga masih sangat longgar. Selain pelatihan oleh dinas kesehatan, pengembangan kompetensi bidan dilakukan secara mandiri oleh organisasi profesi seperti Ikatan Bidan Indonesia IBI kerjasama dengan institusi pendidikan tinggi dan balai pelatihan kesehatan guna peningkatan kapasitas anggotanya. Berdasarkan pengalaman tersebut, dinas kesehatan Kabupaten Luwu membuat inovasi dengan memberikan kesempatan kepada bidan untuk magang kembali di rumah sakit. Oleh karena itu, dinas kesehatan Kabupaten Luwu menandatangani MoU dengan Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Batara Guru Belopa untuk memberi kesempatan bidan magang di rumah sakit tersebut. Tujuannya adalah meningkatkan keterampilan teknis dan non-teknis persalinan agar masyarakat lebih percaya kepada bidan di desa sehingga angka kematian ibu, balita, dan anak dapat diturunkan secara signifikan. Kerjasama antara dinas kesehatan Kabupaten Luwu dan RSUD Batara Guru Belopa Gambar 1. Bidan desa magang melakukan asistensi kepada bidan senior di rumah sakit. Halaman 139 tersebut dituangkan dalam MoU Nomor 500DinkesTU-2IV2013 dan Nomor 800091RSUD-BGIV2013 tentang Petugas Kesehatan Ibu dan Anak KIA untuk Dimagangkan di RSUD Batara Guru Belopa. Praktik magang ini merupakan inovasi yang pertama kali diterapkan di Kabupaten Luwu. Inisiatif dan inovatif pemerintah daerah ini juga merefleksikan penerapan yang baik tentang prinsip otonomi daerah bidang kesehatan, di mana diharapkan berkembangnya kreativitas-kreativitas lokal dalam menangani permasalahan lokal dengan menggunakan sumber daya sendiri. Program magang ini diharapkan dapat lebih meningkatkan kompetensi bidan di desa karena proses belajar dan latihan dilakukan saat jam pelayanan rumah sakit. Menggunakan metode ini, bidan desa langsung dapat mengamati tindakan pelayanan kebidanan yang ada di rumah sakit dan mempraktekkannya sendiri di bawah pengawasan dari bidan senior dan dokter kandungan yang bekerja di rumah sakit itu. Praktik magang ini dapat juga meningkatkan kepercayaan diri para bidan, sehingga mereka lebih mampu untuk mengambil inisiatif saat menghadapi masalah di desa. Para bidan desa mengikuti magang di RSUD Batara Guru Belopa selama dua minggu. Bidan yang magang ditargetkan melakukan pertolongan langsung persalinan, sehingga kompetensinya benar-benar teruji. Inovasi yang melibatkan lintas instansi ini cukup efisien karena mereka dapat menggunakan sumber dayanya masing-masing secara optimal. Kerjasama lintas instansi ini mendorong pemerintah kabupaten melakukan pembiayaan program bidan magang menggunakan APBD Luwu Utara tahun 2013 yang dituangkan dalam RKA dan DPA bidang bina kesehatan masyarakat dinas kesehatan.Proses perencanaan dan penganggaran seperti ini menunjukkan adanya pola perencanaan yang bersifat dari bawah ke atas dan partisipatif karena kegiatan magang bidan desa berawal dari masalah lapangan yang aktual dan mendesak untuk direspon segera. Perencanaan dan penganggaran ini menunjukkan bahwa Dinas Kesehatan Kabupaten Luwu sudah Halaman 140 berani keluar dari mainstream perencanaan untuk merencanakan program-program yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan inovatif. Hal inovatif yang menarik lainnya adalah partisipasi organisasi profesi IBI dan perangkat desa. IBI Cabang Luwu berperan untuk memberikan masukan kepada dinas kesehatan terkait masalah kurangnya kompetensi bidan desa saat ini sehingga program magang akan lebih efektif. Selain itu, perangkat desa lainnya berpartisipasi dengan cara berbagi pengalaman mereka berinteraksi dengan bidan dan menyampaikan informasi tentang program magang bidan sebagai salah satu cara meningkatkan kapasitas mereka. Para perangkat desa tersebut diharapkan mampu membantu masyarakat lebih percaya kepada bidan desa. Proses pelaksanaan program Gambaran pelaksanaan program ini diuraikan dalam beberapa tahapan proses yang terdiri dari: gagasan awal, penjajakan potensi kelembagaan, diskusi awal tingkat pimpinan, pembuatan MoU, konsultasi terbatas rancangan MoU kepada pemangku kepentingan yang terkait, diskusi akhir untuk finalisasi, perbaikan konsep, penandatanganan MoU, dan pelaksanaan magang bidan desa di RSUD Batara Guru Belopa Kabupaten Luwu.

1. Gagasan awal

Rasionalisasi gagasan yang disertai keinginan kuat kalangan bidan senior untuk membantu dalam peningkatan keterampilan bagi bidan desa mendapat respon dari kepala bidang bina kesehatan masyarakat untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada kepala dinas kesehatan. Kemudian, kepala dinas meminta untuk melakukan penjajakan lokasi magang yang awalnya tempat magang hanya ditujukan di puskesmas. Namun karena pertimbangan fasilitas yang kurang memadai, sehingga tempat magang diarahkan pada Rumah Sakit Umum Daerah Batara Guru Belopa. Halaman 141

2. Penjajakan potensi kelembagaan