Potensi Cangkang Udang Sebagai Pengawet Alami

Salah satu potensi ini adalah udang yang saat ini merupakan komoditas eksport unggulan hasil perikanan, saat ini budi daya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat diandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya Kaban, dkk., 2006. Dalam perkembangannya, Indonesia memasukkan udang vannamei Litopenaeus vannnamei sebagai salah satu jenis udang budidaya tambak, selain udang windu Penaeus monodon dan udang putihudang rebung Penaeus merguiensis yang sudah terkenal lebih dahulu Amri, 2008. Udang windu saat ini tidak berkembang lagi karena terserang berbagai macam penyakit udang diantaranya yang ganas adalah white spot atau virus bintik putih. Petambak udang di Indonesia saat ini banyak memelihara udang putih Pennaeus vannamei Purwanti, 2010. Setelah melalui serangkaian penelitian dan kajian akhirnya melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 412001 pemerintah secara resmi melepas udang vannamei sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di tanah air pada tanggal 12 Juli 2001 Amri, 2008. Berikut tata nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi Haliman, 2008. Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Arthropoda Subfilum : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Eumalacostraca Superordo : Eucarida Ordo : Decapoda Subordo : Dendrobrachiata Famili : Penaeidae Genus : Litopenaeus Species : Litopenaeus vannamei Cangkang udang sampai saat ini memang belum banyak mendapat perhatian. Selama ini orang hanya peduli pada dagingnya saja. Padahal cangkang udang berupa kulit atau yang juga disebut karapas, yang komposisinya bisa mencapai 50-60 bisa dimanfaatkan menjadi berbagai produk. Fungsi cangkang tersebut pada hewan udang yaitu sebagai pelindung. Cangkang udang mengandung protein 25 - 40, kalsium karbonat 45 - 50, dan chitin 15 - 20, tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya, sedangkan cangkang kepiting mengandung protein 15,60 - 23,90, kalsium karbonat 53,70 -78,40, dan chitin 18,70 - 31,20, hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupya. Kandungan chitin dalam cangkang udang lebih sedikit dari cangkang kepiting, tetapi cangkang udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak Kaban, dkk., 2006. Meningkatnya jumlah cangkang udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan. Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari cangkang udang sudah dimanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti di Amerika Serikat dan Jepang, cangkang udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan chtitin dan chitosan. Manfaatnya di berbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan serta pembuatan edible film sebagai pengemas ataupun coating pada berbagai produk makanan, sayur-sayuran, dan buah-buahan Restuati, 2008. Chitin yang belum dimanfaatkan sebesar 56.200 metrik tontahun. Menurut hasil survei Badan Riset Kelautan dan Perikanan BRKP menunjukkan bahwa daerah Jabotabek tersedia sekitar 100 tonbulan cangkang udang kering setara satu ton chitin, dikonversikan ke dalam nilai mata uang, maka akan diperoleh devisa sebesar US 65 ribubulan atau US 780tahun Amri, 2008. Dengan memanfaatkan cangkang udang menjadi chitin dan chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami untuk berbagai produk makanan, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Tentu saja ini sangat menguntungkan karena bernilai ekonomi tinggi. Selain itu, chitosan juga memiliki prospek yang menjanjikan. 2.3. Chitosan 2.3.1. Pengertian Chitosan Gambar 2.1 Serbuk Chitosan Chitosan yaitu poly-D-glucosamine tersusun lebih dari 1000 unit glukosamin dan asetilglukosamin dengan berat molekul lebih dari satu juta ton, merupakan dietary fiber serat yang bisa dimakan kedua setelah selulosa. Chitosan mempunyai nama lain selain Chitin yaitu Chitosan Askorbat, NCarboxybutyl Chitosan. Chitosan diketahui baik untuk kemampuan antimikrobakteri. Volume produksinya di alam bebas menempati peringkat kedua setelah serat Swastawati, 2008. Diketahui bahwa Senyawa ini dapat ditemukan pada cangkang udang, kepiting, mollusca, serangga, annelida serta beberapa dinding sel jamur dan alga. Hasil modifikasi chitosan menghasilkan sifat dan manfaat yang spesifik. Secara komersial telah menghasilkan inovasi diberbagai bidang seperti; industri pangan, kosmetika, pertanian, farmasi, pengolahan limbah dan penjernihan air Purwaningsih, 2000. Chitosan merupakan salah satu polisakarida kationik alami yang diperoleh dari deasetilasi chitin yang banyak terdapat di alam. Chitin dapat diperoleh dari crustacean atau berbagai fungi. Chitin merupakan bentuk molekul yang hampir sama dengan selulosa, yaitu suatu bentuk polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul glukosa sederhana yang identik Setyasih, 2009 . Marganof 2002 menjelaskan bahwa chitin merupakan polimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer n-asetil D-glukosamin dalam ikatan ß1-4 atau 2- asetamida-2-deoksi-D-glukopiranol dengan rumus molekul C8H13NO5n. Chitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer, dan asam-asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida. Gambar 2.2. Struktur Chitosan Sumber : Sugita, 2009