Proliferasi SALW dan Keamanan Asia Tenggara

BAB III PERDAGANGAN SENJATA ILEGAL SEBAGAI ANCAMAN

KEAMANAN REGIONAL POTENSIAL DI ASIA TENGGARA

A. Proliferasi SALW dan Keamanan Asia Tenggara

Sejak 1990, lebih dari 100 konflik telah terjadi. Konflik-konflik ini sudah menewaskan lebih dari lima juta nyawa dan menghancurkan geografis banyak kawasan beserta sumber daya alamnya, merusak lingkungan, dan menyisakan puluhan juta pengungsi dan yatim piatu. 72 Sebagian besar dari jumlah angka konflik, kematian dan peristiwa merugikan lainnya ini merupakan buah tangan’ dari Small Arms and Light Weapons SALW dibandingkan dengan jenis senjata konvensional yang secara fisik lebih besar. 73 SALW mudah berpindah tempat, tidak membutuhkan dukungan logistik yang besar, mudah dioperasikan, mudah diperoleh dengan harga relatif terjangkau, tapi tetap mematikan. Sifat dan karakteristik alami yang membedakan SALW dengan sistem senjata konvensional inilah yang menjadikan transfer SALW secara global jauh lebih sulit untuk diawasi dan dikontrol. Arus peredaran SALW ilegal mampu mempengaruhi tidak saja hanya bagi negara dalam situasi krisis, namun juga negara-negara tetangga dan bahkan keamanan satu kawasan. Suplai senjata yang cukup dapat mengalir melewati 72 Robert Muggah dan Eric Berman, Humanitarian Impacts of Small Arms and Light Weapons. Small Arms Survey 2001. hal 3. 73 Ibid. Robert Muggah dan Eric Berman, hal 3. Universitas Sumatera Utara banyak perbatasan negara dengan cepat dan dengan mudah mempengaruhi negara-negara dalam situasi yang sensitif konflik menciptakan kebudayaan kekerasan yang menyentuh seluruh lapisan sosial yang pada akhirnya berujung konflik. 74 Peningkatan kewaspadaan akan proliferasi SALW tidak terkecuali terjadi di Asia Tenggara. Kawasan ini tengah menghadapi proliferasi SALW yang tidak terkontrol yang memiliki dampak bagi negara-negara di kawasan ini dan keamanan manusia, menghambat pembangunan, serta meningkatkan konflik dan kriminalitas. Banyak negara di kawasan ini terlibat dalam memproduksi SALW atau sekedar menggunakannya sebagai channel untuk urusan bisnis dan penyelundupan senjata ilegal. Krisis politik dan ekonomi di beberapa negara di kawasan ini semakin memperburuk proliferasi SALW di Asia Tenggara. Kurangnya kemampuan nasional dan regional dalam mengawasi laut terbuka dan batas-batas maritim yang biasa digunakan sebagai rute penyelundupan SALW yang strategis semakin membuat isu ini menjadi lebih kompleks. 75 Terdapat beberapa faktor yang dapat dihitung mengenai proliferasi SALW di kawasan. Asia Tenggara merupakan kawasan yang masih rawan terhadap isu-isu internal konflik. Sampai saat ini masih terdapat sejumlah konflik berdarah di kawasan, seperti konflik Aceh, Papua, Maluku, selatan Filipina, dan sepanjang perbatasan antara Myanmar dan Thailand. Keanekaragaman di kawasan ini, termasuk kesukuan dan kepercayaan semakin memperumit konflik-konflik 75 Edy Prasetyono, Small Arms Proliferation and Security of Southeast Asia, dalam Small is Not Beautiful: the Problem of Small Arms in Southeast Asia, Philips Jusario Vermonte eds. Penerbit CSIS dan Asia Centre Japan Foundation, 2004. hal 12. Universitas Sumatera Utara tersebut. Di luar ini, arus SALW menuju ke kawasan ini juga terkait dengan warisan masa lampau. Kawasan Asia Tenggara merupakan medan tempur bagi para superpower, perjuangan kemerdekaan, dan perang obat-obatan selama bertahun-tahun. Jutaan senjata telah ditransfer masuk ke kawasan ini. Kesenjangan politik dan kesetiaan lokal sejak masa lampau selama masa berdirinya negara-negara ini dan masa Perang Dingin masih tetap membentuk pola konflik yang sama di kawasan ini. 76 Dalam konflik ini, pihak yang terlibat – baik pemerintah maupun aktor non negara – melihat SALW sebagai pilihan senjata, khususnya karena karakteristik konflik yang muncul dan karakteristik senjata itu sendiri. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik internal juga sering kali beralih kepada jalur SALW ilegal karena kurangnya akses dan juga dukungan dana untuk membeli senjata-senjata baru yang legal. Sebagai contoh, kelompok pemberontak Karen, karena kurangnya sumber hanya mampu menggunakan SALW ilegal. 77 Jika masalahnya tidak terletak pada dana, maka kelompok pemberontak ini juga masih memiliki masalah dengan akses untuk mendapatkan senjata dalam pasar senjata legal internasional. Beberapa kelompok kemudian beralih kepada arms dealers dan arms brokers. 78 Tertangkapnya empat orang WNI Warga Negara Indonesia di Amerika Serikat Oktober 2006 lalu misalnya, dapat dijadikan contoh. Keempat WNI yang tertangkap, yakni Eric Wotulo, Haji Subandi, Reinhard Rusli, dan Helmi Soedirdja, bersama seorang warga Singapura dan 76 Ibid. Edy Prasetyono, hal 13. 77 Ibid. Edy Prasetyono, hal 13. 78 Keterangan lebih lanjut dapat diperoleh dalam contoh studi kasus pada masing-masing negara, yakni Indonesia, Filipina, dan Thailand. Universitas Sumatera Utara Thirunavukurasu Varatharasa dari Srilanka juga ikut dibekuk pihak berwenang. Kelompok yang tidak hanya berencana menjual senjata kepada pemberontak Macan Tamil, tapi juga menjual kepada kelompok-kelompok bersenjata di Indonesia ini ditangkap aparat keamanan Amerika Serikat di Guam, sebuah wilayah Amerika Serikat AS di Pasifik Selatan. Senjata yang dipesan Eric di Guam, seberat 3,5 ton ini di antaranya adalah night vision, sniper rifles, submachine guns with suppressors dan peluncur granat. 79 Perlengkapan militer ini yang seharusnya hanya bisa dibeli di AS oleh dealer berlisensi untuk konsumen yang telah disetujui pemerintah akan dikapalkan pada Liberation Tiger of Tamil Eelam LTTE dan konsumen Indonesia, termasuk TNI. Selain tuduhan penjualan senjata ilegal, mereka juga dikenai tuduhan melakukan pencucian uang dan menyediakan dukungan material pada organisasi teroris. Tidak tanggung-tanggung, pesanan senjata yang diurus oleh kelompok broker ini bisa mencapai angka 15 juta dolar AS. 80 Terkait dengan masalah hukum yang melanda kelompok ini, Badan Hukum Departemen Luar Negeri Indonesia, Ferry Adamhar menegaskan pemerintah tidak akan turut campur terhadap proses hukum dengan menyatakan mereka akan sedang diproses sesuai yang dituduhkan. Biarlah proses hukum negara lain berjalan”. 81 Sementara itu sebelumnya pada bulan April 2006, dua WNI juga di tahan oleh pihak berwenang 79 \WNI Terlibat Mafia Senjata Disesalkan. 2 Oktober 2006. http:www.sinarharapan.co.idberita061002sh03.html , diakses pada tanggal 12 September 2009 80 Nurul Hidayati, Sindikat WNI yang ditangkap di AS Juga Jual Senjata untuk TNI. 1 Oktober 2006. http:jkt.detiknews.comindex.phpdetik.readtahun2006bulan10tgl01time152654idnews686 699idkanal10 , diakses tanggal 12 September 2009 81 Broker Senjata Asal Indonesia – Panglima Bantah Rekanan TNI. 2 Oktober 2009 http:www.balipost.comBaliPostcetak2006102n6.htm , diakses tanggal 12 September 2009 Universitas Sumatera Utara AS untuk tuduhan yang sama. Para broker senjata yang berjumlah 4 orang yakni Hadianto Djoko Djuliarso dan Ignatius Fernandus Soeharli keduanya WNI serta Brahim bin Amran kebangsaan Singapura dan David Beecroft kebangsaan Inggris dituduh telah melanggar tiga peraturan perundangan AS. Pertama, undang-undang tentang pencucian uang. Kedua, tentang konspirasi melawan hukum AS. Dan yang ketiga, undang-undang tentang ekspor senjata,” kata Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Sudjadnan Parnohadiningrat. Rincian pesanan mereka berkisar : 245 rudal Sidewinder AIM 9P-2 dan AIM 9P-4, 882 unit senapan mesin MP5, 800 pistol kaliber 9 mm, 16 senapan sniper semuanya merek Heckler Koch, dan 5.000 butir amunisi senjata otomatis yang nantinya akan dikapalkan ke Indonesia melalui Singapura. 82 Dari contoh di atas, dapat dilihat, perdagangan senjata dalam situasi khusus seperti ini melibatkan kejahatan transnasional lainnya seperti pencucian uang dan drug trafficking. Bahkan untuk aktor negara, akses mereka terhadap senjata-senjata ini semakin dibatasi oleh perkembangan terbaru dari peraturan-peraturan mengenai transfer senjata. Ketika pemerintah dan aktor-aktor negara memiliki tingkat fleksibilitas yang setidaknya lebih tinggi dari pihak lain dalam hal suplai senjata, maka tekanan ini akan mendorong pihak-pihak non-negara yang terlibat konflik untuk beralih ke pasar gelap. Faktor kedua yang membantu meningkatkan proliferasi SALW ilegal di Asia Tenggara merupakan kebijakan untuk mengurangi pajak. Kebijakan ini 82 Taufik Alwie, Bernadetta Febriana, Rohmat Haryadi, dan Didi Prambadi Washington, DC. Pesan Sembarang, Kau Kutahan. Gatra Edisi 23, Senin, 17 April 2006. http:www.gatra.com2006-04-19versi_cetak.php?id=93801 . Universitas Sumatera Utara menjadi signifikan sebagaimana negara-negara di kawasan mewarisi jutaan SALW setelah penarikan pasukan negara-negara superpower. Bersama dengan berlanjutnya produksi SALW domestik, hal ini menciptakan surplus senjata di Asia Tenggara yang mengarah kepada perubahan dalam sirkulasinya menuju senjata-senjata yang ilegal. Negara-negara indocina misalnya tidak diragukan lagi mewarisi jutaan SALW dan amunisinya untuk sirkulasi senjata di Asia Tenggara saja. David Capie menjelaskan tiga jalur utama dimana SALW berubah sifat menjadi senjata-senjata ilegal di Asia Tenggara, di antaranya : Pertama, terdapat kebocoran dimana senjata-senjata ini dijual atau dicuri dari perbendaharaan yang sah atau gudang penyimpanan stockpiles milik pemerintah. Masalah kebocoran yang paling serius terletak di Kamboja. Sebuah program yang dibiayai oleh Uni Eropa untuk pengumpulan dan penghancuran kelebihan senjata EUASAC memberikan gambaran rendahnya kualitas fasilitas penyimpanan senjata yang dikelola pihak berijin atas ratusan senjata di seluruh penjuru negeri. Bahkan seringkali senjata-senjata ini disimpan digudang yang tidak dikunci ataupun markas polisi dengan pengawasan yang buruk. Salah satu bazar militer paling terkenal di Pnom Phen, Pasar Tuk Thla, tadinya hanya terbuka untuk menjual peralatan-peralatan militer yang dapat dijual seperti seragam militer sekarang juga menyediakan seluruh rangkaian produk Universitas Sumatera Utara militer. Menurut beberapa sumber, sebagian besar senjata yang tersedia di pasar ini berasal dari gudang senjata milik pemerintah. 83 Kebocoran senjata juga menjadi masalah yang serius di Indonesia. Di Kalimantan Tengah dilaporkan sejumlah SALW berhasil dicuri dari pasukan keamanan di Kota Sampit. Di Pulau Jawa, juga muncul kecurigaan bahwa senjata dan bahan peledak banyak yang hilang dari perusahaan penghasil senjata terbesar di Indonesia, PT Pindad. Kecurigaan ini memperkuat berita bahwa bahan peledak yang terdapat dalam sebuah bom yang ditemukan di luar kantor Jaksa Umum di Jakarta pada tahun 2000 berasal dari pabrik PT. Pindad yang berlokasi di Bandung. Di Filipina, kelompok pemberontak secara terbuka mengakui bahwa sumber perolehan senjata yang mereka miliki berasal dari Armed Forces of the Philippines AFP dan Philippines National Police PNP. Dalam sebuah razia di Provinsi Bulacan dan Nueva Ecija September 2000, polisi berhasil menjaring 10 orang pria membawa beberapa jenis pistol, peluncur granat, senapan mesin, peledak dan amunisi bagi kelompok pemberontak di Mindanao yang diakui polisi hanya dapat ditemukan di gudang persenjataan milik pemerintah. Bahkan di Malaysia, negara yang terhitung lebih maju, isu kebocoran senjata sempat merebak saat Juli 2000, ketika sejumlah besar senjata milik militer dicuri dari kamp militer dekat kota Grik, di Provinsi Perak setelah sebelumnya 4 buah Steyr AUG juga berhasil dicuri dari kamp militer di Kamaunting. 84 83 David Capie, Small Arms Production and Transfers in South East Asia, Strategic and Defense Studies Centre, Australian National University, Australia, 2002. hal 18. 84 Ibid. David Capie, hal 20. Universitas Sumatera Utara Kedua, Terdapat beraneka transaksi perdagangan SALW ilegal yang dimotivasi oleh laba atau keuntungan. Sebuah jaringan pedagang dan makelar senjata di Singapura, Malaysia, Kamboja dan Thailand memainkan peranan penting dalam pengorganisasian dan pergerakan pengiriman senjata untuk menjangkau pelanggan yang lebih luas. Tidak aneh jika kemudian rute penyelundupan senjata utama di kawasan ini menghubungkan daerah-daerah konflik, seperti Sri Lanka, Aceh, selatan Filipina, juga timur laut India serta sejumlah gerakan pemberontakan di perbatasan Thailand dan Bangladesh. Vietnam dan Laos merupakan daerah transit yang krusial bagi senjata-senjata dari selatan Cina, Thailand menjadi daerah pusat kegiatan brokering SALW ilegal dan Kamboja terkenal akan perannya sebagai supplier. Berdasarkan perannya, dealers di sini digolongkan ke dalam 2 bagian. Pertama, terdapat beberapa operator paruh waktu yang terbiasa bekerja sendiri, membeli senjata di Kamboja lalu menjual senjata-senjata ini kembali kepada mafia-mafia di Bangkok, kelompok pemberontak Myanmar, atau bahkan organisasi-organisasi kejahatan di Taiwan dan Hongkong. Perjualan mereka tidak signifikan tapi cukup menunjukkan tip of the iceberg of illicit arsm sales’. Jenis kedua, tergolong paling menguntungkan ialah transfer senjata besar-besaran dari Kamboja, Cina Selatan, dan Vietnam yang kemudian diselundupkan dengan ijin diam-diam dari personel militer atau politikus pemerintah Kamboja dan Thailand. Sebagian besar senjata-senjata ini meninggalkan Kamboja melewati pelabuhan selatan seperti Universitas Sumatera Utara Kompong Som dan bergerak terus melewati daerah pesisir dan melaju ke arah Rayong dan Pattaya di Thailand. 85 Ketiga, Saat negara-negara seperti Libya, Korea Utara, Sudan, dan Iran sering dikaitkan sebagai negara yang mensponsori terorisme, sebenarnya aktor-aktor lain di kawasan ini juga ikut terlibat dalam transfer SALW ilegal kepada gerakan pemberontakan yang terlibat konflik di kawasan, dimotivasi oleh unsur politik. Walaupun aktivitas mengirimkan senjata kepada kelompok pemberontak di negara tetangga sudah berkurang drastis sejak pasca Perang Dingin, namun aktivitas ini tidak sepenuhnya hilang. Pemerintah Thailand dan Myanmar menyatakan kecurigaan mereka tentang keterlibatan negara-negara lain di kawasan ini yang secara aktif mendukung operasi pemberontakan di sepanjang perbatasan mereka. Thailand sendiri telah mengakui dukungannya terhadap operasi sabotase melawan United Wa State Army di Myanmar. Sementara itu, Malaysia terus dicurigai telah memberikan ijin secara diam-diam bagi pengiriman-pengiriman senjata ke Aceh dan selatan Filipina. Perluasan keterlibatan pemerintah dalam kasus-kasus tersebut memang sulit untuk diukur, tapi banyaknya peristiwa yang telah terjadi telah menunjukkan bahwa perdagangan SALW ilegal di Asia Tenggara merupakan bisnis milyaran dolar AS yang melibatkan gang kriminal dan penyelundup yang dibantu oleh para militer dan organisasi keamanan lainnya serta beberapa politikus. 86 Seakan menambah persoalan di atas, negara-negara Asia Tenggara ini juga merupakan negara-negara yang tergolong lemah. Mereka kekurangan 85 Ibid. David Capie, hal 20. 86 Ibid. David Capie, hal 23. Universitas Sumatera Utara kapasitas untuk menunjukkan banyak langkah-langkah yang dibutuhkan dalam mengamankan perbatasan mereka dan mencegah kegiatan transfer SALW. Terutama lagi mengingat bahwa letak geografis negara-negara ini yang sifatnya rentan akan isu transnational crime. Pemerintah Indonesia misalnya, bertanggungjawab terhadap 17.000 pulau yang terbentang di wilayah seluas seperenam garis equator. Burma dan Thailand membagi wilayah perbatasan seluas 2.500 km yang kebanyakan merupakan daerah perhutanan yang terisolasi dari daerah perkotaan atau bahkan jalan-jalan besar. Batas yang memisahkan antara Burma, Thailand, Kamboja dan Laos sering kali tidak jelas, dan bahkan dalam beberapa kasus perdebatan tentang batas-batas ini masih terus berlangsung sampai saat ini. Seperti halnya dengan batas-batas perairan antara Malaysia sebelah Timur, Filipina, dan Indonesia yang juga masih belum jelas dan bahkan di antaranya tidak memiliki legitimasi artificial. Faktor geografi ini semakin dirumitkan oleh banyaknya penduduk yang sedari dahulu sudah hidup dan bekerja di kedua sisi wilayah perbatasan. Para pengungsi dan juga imigran gelap juga dapat memperkeruh permasalahan. Terdapat 250.000 imigran gelap Filipina yang tinggal di Sabah dan juga sejumlah besar para pengungsi konflik Myanmar di wilayah perbatasan dengan Thailand. 87 Negara-negara lemah weak states juga memiliki kelemahan dalam hal institusi, dan profesionalisme di antara beberapa kebiasaan aturan regional dan penegakan hukum para personel militer yang merupakan komponen penting lainnya dalam perdagangan senjata ilegal. Beberapa bahkan sama sekali tidak 87 Ibid. David Capie, hal 24. Universitas Sumatera Utara mengetahui berapa banyak senjata yang mereka miliki. Data-data yang ada kebanyakan tidak lengkap, sudah tidak relevan lagi dan sama sekali tidak menunjukkan senjata yang sebenarnya terdapat di gudang penyimpanan senjata. Baik polisi maupun seorang tentara dapat dengan mudah mengambil dan membawa senjata-senjata ini pulang ke rumah mereka untuk perlindungan dan kebutuhan pribadi. Sekali keluar dari gudang penyimpanan senjata maka kemungkinan senjata-senjata ini dicuri, hilang atau dijual secara ilegal semakin besar. Rendahnya tingkat penghasilan juga mendorong terjadinya korupsi serta mamfasilitasi pergerakan senjata-senjata ini. Secara khusus hal ini terjadi di Kamboja, akan tetapi sebagian besar negara-negara Asia Tenggara terdapat wacana terhadap para petugas polisi dan militer yang melibatkan pencurian, kehilangan dan penjualan SALW.

B. Transfer SALW Ilegal di Asia Tenggara